2. فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
fa iżā balagna ajalahunna fa amsikụhunna bima’rụfin au fāriqụhunna bima’rụfiw wa asy-hidụ żawai ‘adlim mingkum wa aqīmusy-syahādata lillāh, żālikum yụ’aẓu bihī mang kāna yu`minu billāhi wal-yaumil-ākhir, wa may yattaqillāha yaj’al lahụ makhrajā
2. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Tafsir :
Firman Allah ﷻ,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.”
Ketika seorang istri dicerai, maka dia harus menunggu tiga kali haid sebagai waktu masa idahnya. Terdapat khilaf di kalangan para ulama terkait kapan masa idah itu selesai. Secara umum ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa ketika darah haid berhenti pada haid yang ketiga (terakhir), baik dia telah bersuci atau belum maka selesailah masa idahnya. Pendapat kedua menyebutkan bahwa jika seorang wanita yang dicerai telah berhenti darah haid pada haid yang ketiga dan dia belum bersuci, maka belum selesai masa idahnya. Masa idahnya baru selesai ketika dia bersuci (mandi junub). Pendapat kedua ini dipilih oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah dan banyak riwayat bahwa para salaf juga lebih memilih pendapat ini([1]). Pendapat yang lebih kuat di antara kedua pendapat ini adalah pendapat kedua. Jadi jika seorang suami ingin rujuk kepada istrinya, sementara istrinya telah selesai haid namun belum bersuci maka rujuknya sah.
Jadi maksud firman Allah ﷻ ini adalah seorang suami harus hati-hati dalam menghitung masa idah istrinya. Karena jika telah mendekati akhir masa idahnya, maka dia hanya punya dua pilihan yaitu rujuk atau melepaskannya (membiarkan masa idah selesai). Oleh karenanya inilah di antara fungsi seorang suami harus menghitung masa idah dengan detail.
Jika wanita yang dicerai telah di penghujung akhir masa iddahnya maka di hadapan suami ada dua hal yang bisa ia lakukan, silahkan ia memilih salah satunya.
- Rujuk. Di antara pilihan yang Allah ﷻ berikan kepada seorang suami yang menceraikan istrinya adalah rujuk sebelum masa idahnya berakhir. Tentunya inilah yang diinginkan oleh Allah ﷻ, yaitu agar tidak terjadi perceraian. Oleh karenanya Allah ﷻ mendahulukan penyebutan “Fa-amsikuhunna” (rujuklah) daripada “Faariquhunna” (pisahlah)([2]). Dan tentunya seorang suami jika ingin kembali kepada istrinya, hendaknya dia kembali dengan cara yang makruf. Jangan sampai seorang suami kembali kepada istrinya dalam rangka untuk memberi kemudharatan kepada istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.([3]) Oleh karenanya Islam datang dengan memberikan aturan bahwa talak hanya bisa sampai tiga kali. Dan jika telah tiga kali maka dia tidak bisa kembali lagi.
- Melepaskan. Jika seorang suami tidak ingin kembali kepada istrinya, maka biarkan istrinya menyelesaikan masa idahnya dengan cara yang baik, karena kebanyakan orang yang bercerai dengan cara yang tidak baik. Betapa banyak pasangan yang bercerai dengan dendam dan pertikaian yang masih terus berlanjut hingga masa idah berakhir. Sampai-sampai terkadang ada seorang istri yang tatkala selesai masa idahnya, maka seketika itupun dia langsung menikah dengan orang lain untuk membuat jengkel mantan suaminya. Demikian pula seorang suami, ketika telah bercerai, dia berusaha untuk menikah wanita lain, bahkan melakukan poligami sekaligus untuk membuat mantan istrinya jengkel pula. Akhirnya pasangan seperti ini bercerai dengan penuh kedendaman, cacian, makian, padahal cerai seperti ini tidak sesuai dengan sunnah dan melanggar hukum Allah ﷻ dalam perceraian. Ketika seseorang bercerai dengan melanggar aturan Allah ﷻ, akhirnya yang timbul bagi mereka adalah musibah, kesedihan, dan penderitaan yang berkepanjangan. Oleh karenanya hendaknya seseorang yang ingin tetap melepaskan istrinya, maka hendaknya dia melepaskan istrinya dengan cara yang baik, tanpa perlu menimbulkan masalah yang lain. Biarkan hati istirahat, dan hidup dengan tenteram.
Kemudian firman Allah ﷻ,
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah.”
Pendapat di kalangan para ulama mengatakan bahwa ketika seseorang hendak rujuk atau melepaskan (cerai), maka disyariatkan untuk mendatangkan dua saksi yang adil. Pendapat ini adalah pendapat jumhur para ulama. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa jika seseorang rujuk atau cerai tanpa ada dua saksi maka tidak sah. Akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang salah([4]). Karena para ulama sepakat bahwa hukum rujuk atau cerai tanpa saksi itu sah. Hanya saja para ulama menganjurkan untuk mendatangkan dua saksi. Adapun hukum mendatangkan dua saksi, terdapat khilaf di kalangan para ulama, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Akan tetapi ulama yang berpendapat wajib pun mengatakan bahwa rujuk atau cerai tanpa saksi sah, hanya saja dia berdosa. Ini perlu untuk kita pahami karena ada sebagian negara yang membuat peraturan bahwa cerai tanpa saksi maka tidak sah cerainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki pendapat lain bahwasanya menghadirkan dua saksi hanya berlaku ketika seseorang hendak rujuk. Adapun cerai maka tidak perlu menghadirkan dua saksi([5]). Beliau berpendapat demikian karena melihat bahwa ayat ini berbicara tentang rujuk atau membiarkan masa idah habis, bukan kemudian membuat talak baru. Dan sejatinya orang yang sedang berada pada masa idah adalah orang yang telah menjatuhkan talak. Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ini juga merupakan pendapat sebagian salaf, dan juga pendapat yang penulis kuatkan.
Menghadirkan dua saksi untuk pasangan yang ingin rujuk memiliki fungsi agar rujuk tersebut diketahui oleh sang istri dan orang lain, sehingga sang suami serius dan tidak bersikap bermain-main dan tentunya karena dibalik keputusan rujuk ada hak-hak yang berlaku dan harus dipenuhi. Akan tetapi seandainya seorang suami rujuk tanpa mendatangkan dua saksi maka rujuknya sah. Dan rujuk hendaknya dilakukan dengan perkataan, dan hal ini lebih utama. Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa rujuk bisa dengan perbuatan, yaitu jika seorang suami mendatangi istrinya dan memeluknya, maka otomatis dia rujuk kepada istrinya. Namun yang lebih hati-hati adalah seseorang rujuk dengan perkataan sebelum dengan perbuatan, karena sebagian ulama lain mengatakan bahwa rujuk dengan perbuatan tidak sah dan harus dengan perkataan.
Oleh karenanya jika seseorang ingin rujuk, yang lebih utama dan termasuk dia telah menjalankan sunnah adalah dia mendatangkan dua saksi yang adil, dan dia persaksikan rujuknya terhadap istrinya. Namun jika sekiranya seorang suami tidak bisa mendatangkan saksi karena malu dan alasan syar`i lainnya maka rujuknya sah dengan syarat rujuk dengan perkataan dan dia rujuk selama masa idah belum selesai. Dan hendaknya mereka menegakkan persaksian tersebut karena Allah ﷻ.
Kemudian firman Allah ﷻ,
ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.”
Artinya adalah orang yang bisa menjalankan aturan Allah ﷻ terkait perceraian yang kita bahas ini hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir([6]). Dan kebanyakan orang tidak peduli, cuek sehingga cerai seenaknya dan mengabaikan aturan-aturan Allah ﷻ. Dan bagaimana mereka mau perhatian, sedangkan aturan-aturan Allah ﷻ terkait perceraian ini pun mereka tidak tahu. Mereka tidak mau belajar fikih perceraian, tidak mau tahu bagaimana dampak dan akibat, akhirnya yang mereka lakukan adalah cerai yang bid’ah atau cerai semparangan yang tanpa aturan.
Kemudian firman Allah ﷻ,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.”
Penggalan ayat ini sangat sering kita dengan para khatib-khatib menyampaikannya di mimbar-mimbar masjid, bahwa setiap kita memiliki masalah maka solusinya adalah takwa. Ternyata ayat ini berkaitan dengan perceraian. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya di antara permasalahan yang sangat berat yang dihadapi oleh seorang suami maupun istri adalah masalah perceraian. Maka dia harus bertakwa kepada Allah ﷻ agar diberi solusi. Karena dibalik perceraian akan ada banyak hal-hal yang akan terjadi, baik bagi sang suami maupun bagi sang istri. Seorang suami yang jika menjadi duda belum tentu bisa mendapat istri. Kalaupun dia mendapatkan istri belum tentu istri tersebut bisa mengayomi anak-anaknya. Demikian pula seorang istri jika telah menjanda belum tentu bisa menikah lagi, dia harus kerja di luar rumah untuk mencari rezekinya. Tentunya ini semua bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan bahwa barangsiapa yang bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan aturan-aturan-Nya terkait masalah perceraian, maka Allah ﷻ akan berikan baginya solusi. Bahkan para ulama mengatakan, selain solusi yang Allah ﷻ berikan di dunia, mereka juga akan diberikan solusi di akhirat. Karena barangsiapa yang mencerai dengan tidak sesuai aturan, maka tentunya dia bersikap zalim. Dan ketika seseorang telah berbuat zalim, maka ketahuilah bahwa pasti dia bermasalah pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya orang yang bertakwa dalam masalah ini tentunya Allah ﷻ akan berikan solusi di dunia dan juga di akhirat.
Firman Allah مَخْرَجًا “jalan keluar” menunjukan orang yang terjebak dalam kasus talak sedang berada dalam kondisi yang sempit sehingga dia membutuhkan jalan keluar([7]). Tentunya kesulitan ini dialami oleh keduanya, baik orang yang menjatuhkan talak maupun yang ditalak. Maka untuk mendapatkan jalan keluar, mereka berdua harus bertakwa kepada Allah ﷻ.
___________________
Footnote :
([1]) Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ 13/192-193
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/308
([3]) Orang-orang jahiliyah dahulu tidak memiliki batasan dalam menceraikan. Sehingga mereka menceraikan istri-istri mereka seenaknya. Jika hampir habis masa idahnya, mereka kemudian rujuk. Akan tetapi setelah itu mereka menceraikan kembali, dan jika masa idahnya hampir habis mereka kemudian rujuk. Dan hal itu terjadi terus menerus sehingga sang wanita terkatung-katung tidak jelas (lihat: Tafsir Al-Qurthuby 3/126).
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/158
([5]) Lihat: Al-Fatawa Al-Kubra 3/296, dan ini juga yang dipilih oleh al-Qurthubi (lihat Tafsir al-Qurthubi 18/157)
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/159