Mengobati Penyakit Ujub
Allah telah menegur sebagian sahabat yang tertimpa penyakit ujub dalam perang Hunain. Allah berfirman :
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kalian ujub karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (QS At-Taubah : 25)
Ibnu Hajar berkata : “Yunus bin Bukair meriwayatkan dalam “Ziadaat Al-Maghoozi” dari Ar-Robii’ bin Anas ia berkata,
قَالَ رَجُل يَوْم حُنَيْنٍ : لَنْ نُغْلَب الْيَوْم مِنْ قِلَّة , فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ الْهَزِيمَة …
“Tatkala perang Hunain seseorang berkata : “Kita tidak akan kalah hari ini karena sedikitnya pasukan (*karena jumlah pasukan kaum muslimin banyak)”, maka hal inipun memberatkan Nabi ﷺ. Maka terjadilah kekalahan” (Fathul Baari 8/27)
Ibnul Qoyiim rahimahullah berkata, “Dengan hikmah Allah maka pada awalnya Allah menjadikan kaum muslimin merasakan pahitnya kekalahan padahal jumlah pasukan mereka banyak dengan persiapan tempur yang kuat. Hal ini agar Allah menundukkan kepala-kepala yang ditinggikan tatkala peristiwa Fathu Makkah, yang kepala-kepala tersebut tidak masuk dalam kota Mekah sebagaimana sikap Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam yang dalam kondisi menundukkan kepalanya dan merendahkan tubuhnya di atas kudanya, bahkan sampai-sampai dagu beliau hampir mengenai pelana beliau, semua itu karena tawadhu’ kepada Allah dan tunduk kepada keagunganNya dan rendah kepada keperkasaan Allah …
Dan agar Allah menjelaskan kepada orang yang telah berkata, “Kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit” bahwasanya kemenangan hanyalah dari Allah, dan Allah menolong siapa yang menolong-Nya, maka tidak ada yang bisa mengalahkannya, dan barangsiapa yang dihinakan oleh Allah maka tidak ada yang bisa menolongnya. Dan Allahlah yang telah memberikan kemenangan kepada RasulNya dan agamaNya dan bukan jumlah kalian yang banyak yang membuat kalian ujub. Sesungguhnya banyaknya pasukan kalian tidak memberi manfaat sama sekali, bahkan kalianpun lari ke belakang dengan bercerai berai” (Zaadul Ma’aad 3/477)
Setelah hilang sifat ujub dari hati-hati mereka dan mereka sadar bahwasanya kemenangan mereka semata-mata karunia dari Allah dan tidak ada andil sama sekali dari mereka, maka Allahpun memberikan pertolongan kepada mereka dengan menurunkan ketenangan pada mereka dan pasukan malaikat yang tidak dilihat oleh mereka.
Padahal ujub yang menimpa para sahabat bukanlah ujub terhadap amal sholeh, akan tetapi ujub terhadap jumlah pasukan yang banyak yang mereka andalkan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam.
Untuk mengobati penyakit ujub maka silahkan membaca kembali pasal yang telah lalu (Kenapa Mesti Ujub?)
Diantara perkara-perkara lain yang membantu kita menolak penyakit ujub adalah :
Pertama : Menyadari bahwasanya mampunya kita beramal sholeh adalah semata-mata kemudahan dan karunia dari Allah.
Allah berfirman :
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya (QS An-Nuur : 21)
Allah menceritakan tentang kaum mukminin yang masuk ke dalam surga, di mana mereka mengakui bahwasanya hidayah mereka semata-mata dari Allah.
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ
Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi Kami petunjuk”. (QS Al-A’raaf : 43)
Dari Al-Baroo’ bin ‘Aazib radhiallahu ‘anhu berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْقُلُ التُّرَابَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى اغْمَرَّ بَطْنُهُ أَوْ اغْبَرَّ بَطْنُهُ يَقُوْلُ : وَاللهِ لَوْلاَ اللهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا
Nabi ﷺ mengangkat tanah tatkala peristiwa penggalian khondak hingga perut beliau tertutup/terkotori tanah, seraya berkata :
“Demi Allah, kalau bukan karena Allah tidaklah kami mendapatkan hidayah, dan tidak juga kami bersedekah dan sholat” (HR Al-Bukhari no 4104 dan Muslim 1802)
Kedua : Banyak ibadah yang agung yang disyari’atkan untuk diakhiri dengan istighfar, hal ini agar para pelaku ibadah-ibadah tersebut tidak merasa ujub dengan ibadah-ibadah yang telah mereka lakukan, akan tetapi tetap merasa dan sadar bahwa ibadah yang mereka lakukan tetap ada kekurangannya.
Diantara ibadah-ibadah agung tersebut adalah :
Pertama : Sholat lima waktu. Dari Tsaubaan radhiallahu ‘anhu ia berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا
“Rasulullah ﷺ jika selesai dari sholatnya maka beliau beristighfar tiga kali” (HR Muslim no 591)
Jika Nabi ﷺ yang sholatnya begitu khusyuu’ namun setelah selesai sholat tetap beristighfar, maka bagaimana dengan kita??.
Al-Aluusiy rahimahullah berkata :
“Kemungkinan istighfarnya Nabi ﷺ karena ma’rifah (ilmu) beliau tentang keagungan dan kemuliaan Allah, maka meskipun ibadah beliau lebih mulia dari pada ibadahnya para ahli ibadah namun beliau memandangnya rendah dan tidak layak dengan kemuliaan dan keagungan Allah tersebut yang jauh di luar jangkauan pikiran seseorang. Maka Nabipun malu dan bersegera untuk beristighfar. Dan telah valid bahwasanya Nabi ﷺ beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari semalam.
Dan untuk memberi isyarat akan kurangnya seorang yang beribadah untuk bisa melakukan ibadah yang layak dengan kemuliaan Allah meskipun ia telah berusaha semaksimal mungkin maka disyari’atkanlah istighfar setelah banyak ketaatan-ketaatan” (Ruuhul Ma’aani 30/259)
Kedua : Sholat malam/tahajjud yang merupakan ibadah yang sangat mulia dan merupakan kebiasaannya kaum sholihin.
Allah menyebutkan bahwasanya diantara sifat-sifat kaum mukminin yang dijanjikan surga bagi mereka adalah beristighfar setelah sholat malam. Allah berfirman :
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (١٥) الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٦)الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأسْحَارِ
Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”. untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka,”
(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur. (QS Ali Imroon : 15-17)
Lihatlah…mereka adalah orang-orang yang memenuhi siang hari mereka dengan ibadah, dengan sabar, senantiasa taat, sedekah, dan berbagai macam ketaatan…dan di malam hari mereka sholat malam hingga menjelang subuh…dan mereka menutup ibadah siang dan malam mereka dengan istighfar.
As-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkata :
لَمَّا بَيَّنَ صِفَاتِهِمْ الْحَمِيْدَةِ ذَكَرَ احتقارَهم لأنفسهم وأنهم لا يرون لأنفسهم، حالاً ولا مقامًا، بل يَرَوْنَ أنفسَهم مُذْنِبِين مُقَصِّرين فيستغفرون ربهم، ويتوقعون أوقات الإجابة وهي السحر، قال الحسن: مدوا الصلاة إلى السحر، ثم جلسوا يستغفرون ربهم
“Tatkala Allah menjelaskan sifat-sifat mereka (*yaitu kaum muttaqiin yang dijanjikan surga oleh Allah), maka Allah menyebutkan bagaimana mereka memandang hina diri mereka, dan mereka tidak memandang bahwasanya mereka memiliki kedudukan, bahkan mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berdosa, yang banyak kekurangan, maka merekapun beristighfar kepada Rob mereka, serta mereka memilih waktu-waktu yang mustajab (*untuk beristighfar) yaitu waktu sahur. Al-Hasan Al-Bashri berkata : Mereka memanjangkan sholat (*malam/tahajjud) hingga waktu sahur lalu mereka duduk beristghfar kepada Allah” (Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan hal 124)
Ketiga : Ibadah haji. Allah berfirman :
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Baqoroh : 199)
Lihatlah…inti dari ibadah haji adalah wuquf di padang arofah sebagaimana sabda Nabi الْحَجُّ عَرَفَةُ (Haji adalah Arofah). Dan di padang arofahlah para jama’ah haji berdoa dan memohon kepada Allah dengan menampakkan seluruh kehinaan dan perendahan. Dan sangatlah jelas jika wuquf di padang arofah merupakan ibadah yang sangat agung, bahkan Allah menjanjikan ampunanNya bagi orang-orang yang wuquf di padang Arofah. Akan tetapi setelah wuquf di padang Arofah Allah memerintahkan para jama’ah haji untuk beristighfar kepada Allah.
Keempat : Istighfarnya Nabi ﷺ setelah beliau menyempurnakan dakwah yang beliau bangun selama 23 tahun dan berhasil memperoleh kemenangan dan menyebabkan berbondong-bondongnya manusia masuk Islam.
Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa berkata :
كَانَ عُمَرُ يُدْخِلُنِي مَعَ أَشْيَاخِ بَدْرٍ فَكَأَنَّ بَعْضَهُمْ وَجَدَ فِي نَفْسِهِ فَقَالَ : لِمَ تُدْخِلُ هَذَا مَعَنَا وَلَنَا أَبْنَاءٌ مِثْلُهُ؟ فَقَالَ عُمَرُ : إِنَّهُ مَنْ قَدْ عَلِمْتُمْ، فَدَعَاهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُمْ فَمَا رُئِيْتُ أَنَّهُ دَعَانِي يَوْمَئِذٍ إِلاَّ لِيُرِيَهُمْ، قَالَ : مَا تَقُوْلُوْنَ فِي قَوْلِ اللهِ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ أَمَرَنَا أَنْ نَحْمَدَ اللهَ وَنَسْتَغْفِرَهُ إِذَا نُصِرْنَا وَفُتِحَ عَلَيْنَا وَسَكَتَ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَقلْ شَيْئًا فَقَالَ لِي أَكَذَاكَ تَقُوْلُ يَا ابِنَ عَبَّاسٍ؟ فَقُلْتُ لاَ، قَالَ فَمَا تَقُوْلُ؟ قُلْتُ هُوَ أَجَلُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَهُ لَهُ، قَالَ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ وَذَلِكَ عَلاَمَةُ أَجَلِكَ { فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا } فَقَالَ عُمَرُ : مَا أَعْلَمُ مِنْهَا إِلاَّ مَا تَقُوْلُ
“Umar bin Al-Khottoob memasukan (menyertakan) aku (*untuk bermusyawarah) bersama para sesepuh sahabat yang pernah ikut perang Badar, maka seakan-akan ada diantara mereka merasakan sesuatu di hatinya, lalu berkata : Kenapa engkau menyertakan anak muda ini bersama kita, dan kita juga memiliki anak-anak sepertinya?. Maka Umar berkata : Sesungguhnya dia (*yaitu Ibnu Abbaas) sebagaimana yang telah kalian ketahui (*yaitu Umar memberi isyarat akan kekerabatan Ibnu Abbas dengan Nabi yang telah diketahui bersama, atau kepintaran Ibnu Abbas yang telah diketahui bersama –lihat Fathul Baari 8/735).
Maka Umar memanggil orang tersebut dan menyertakannya bersama para sesepuh perang Badar, dan aku tidak memandang Umar memanggilku (*untuk hadir menyertai mereka) kecuali untuk memperlihatkan (*kelebihanku) kepada mereka.
Umar berkata kepada mereka : “Apa pendapat kalian tentang firman Allah “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”?. Maka sebagian mereka berkata : Allah memerintahkan kita untuk memujinya dan beristighfar jika kita tertolong dan menang. Sebagian mereka yang lain hanya terdiam dan tidak mengucapkan apapun. Lalu Umar berkata kepadaku, “Apakah demikian pendapatmu wahai Ibnu Abbaas?”, aku berkata : Tidak. Umar berkata : Apa pendapatmu?. Aku berkata : Itu adalah ajalnya Rasulullah ﷺ, Allah memberitahukannya kepadanya, Allah berkata : “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”, dan hal itu adalah tanda ajal (kematian)mu, “Maka hendaknya engkau bertasbih kepada Robmu dengan memujiNya dan beristighfarlah kepadanya, sesungguhnya Robmu maha penerima taubat”. Umar berkata : Aku tidak mengetahui tentang ayat ini kecuali sebagaimana pendapatmu. (HR Al-Bukhari no 4970)
Ibnu Abbas memahami ayat ini sebagai pertanda akan wafatnya Nabi ﷺ karena agama telah sempurna, pertolongan dan kemenangan dari Allah telah tiba, dan disusul dengan masuknya manusia secara berbondong-bondong dalam Islam. Hal ini semua menunjukkan akan keberhasilan dakwah Nabi selama kurang lebih 23 tahun.
Setelah menyebutkan tentang banyaknya ibadah yang diakhiri dan ditutup dengan istighfar Al-Aluusi rahimahullah berkata :
فَفِي الْأَمْرِ بِالاِسْتِغْفَارِ رَمْزٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى مَا قِيْلَ إِلَى مَا فُهِمَ مِنَ النَّعْيِ وَالْمَشْهُوْرِ أَنَّ ذَلِكَ لِلدَّلاَلَةِ عَلَى مُشَارَفَةِ تَمَامِ أَمْرِ الدَّعْوَةِ وَتَكَامُلِ أَمْرِ الدِّيْنِ
“Maka dalam perintah untuk beristighfar ada bentuk dari sisi ini (*menutup ibadah dengan istighfar) sebagaimana yang dikatakan terhadap apa yang dipahami dari pemberitaan tentang wafatnya Nabi. Dan yang masyhuur pemberitaan ini menunjukan bahwa telah menjelang kesempurnaan urusan dakwah dan sempurnanya agama” (Tafsiir Ruuhul Ma’aani 30/258)
Hal ini menunjukkan bagaimana jauhnya Nabi shallallahu ‘alaihi dari sifat ujub, hal ini berbeda dengan sebagian dai yang baru sedikit berdakwah dan sedikit berhasil sudah berkoar-koar dengan berkata, “Sayalah yang membuka ladang dakwah di sana…!!”, “Kalau bukan karena saya maka dakwah tidak akan berkembang hingga seperti ini…!!” dan ungkapan-ungkapan yang lain yang menunjukkan ujubnya sang da’i dan pandangannya terhadap dakwah yang telah ia jalankan dengan pandangan ta’jub. Lihatlah Nabi yang berdakwah selama 23 tahun dengan berbagai cobaan dan rintangan…dan seluruh gerakan beliau karena Allah…, adapaun sang da’i…??
Ketiga : Membaca sejarah hidup orang-orang sholeh dari para imam kaum muslimin. Kita bisa melihat luar biasanya ibadah mereka, bagaimana sholat malam mereka.., bagaimana puasa mereka…, bagaimana bacaan Qur’an mereka…, bagaimana sedekah mereka…, bagaimana jihad mereka…, bagaimana dakwah mereka…, dan bagaimana keikhlasan mereka..??
Ternyata meskipun ibadah mereka begitu luar biasa namun mereka memiliki rasa takut dan khosyah kepada Allah yang sangat luar biasa. Mereka tidak terpedaya dan ujub dengan besarnya ibadah mereka.
Lantas apakah sebagian kita yang ibadahnya sangat minim…sholat malam sangat jarang…bahkan hampir-hampir tidak pernah…, tidak pernah berjihad…., pelit untuk bersedekah…, jarang mengkhatamkan Al-Qur’an…, kemudian banyak terjerumus dalam kemaksiatan…maka apakah pantas bagi kita untuk ujub??!!. Amalan kita dibandingkan amalan mereka para imam kaum muslimin seperti sebuah kerikil dibandingkan gunung yang menjulang tinggi. Jika kondisi amalan kita demikian lantas apa yang hendak kita banggakan?, apa yang hendak kita ujubkan??!!
Ditulis oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Judul: Berjihad Melawan Riya’ (Series)