36. وَلَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِينٍ
wa lā ṭa’āmun illā min gislīn
36. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tafsir :
غِسْلِينٍ adalah cairan yang keluar dari tubuh penghuni neraka Jahannam ([1]), baik itu nanah, darah, muntahan, dan yang lainnya. Intinya غِسْلِينٍ adalah cairan yang busuk. Dan para ulama menyebutkan bahwa pada cairan ghislin terkumpul tiga sifat. Pertama, شَدِيدَةُ الْحَرَارَةْ yaitu sangat panas. Kedua, شَدِيْدَةُ الرَائِحَةْ yaitu sangat bau. Ketiga, شَدِيْدَةُ الْمَرَارَةْ yaitu sangat tidak enak ([2]). Demikianlah minuman dan makanan mereka kelak. kalau nanah di dunia saja kita merasa jijik melihatnya, maka bagaimana lagi dengan mereka yang harus meminumnya.
_____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/232
([2]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 884
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir tidak ada makanan di neraka kecuali dari darah dan nanah, akan tetapi ada ayat-ayat yang lain yang menjelaskan bahwa ada mkanan yang lain untuk penduduk nerakas sebagaimana firman Allah:
لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ
Tidak ada makanan bagi mereka kecuali dari pohon yang berduri)
Maka ada beberapa jawaban dari ‘ulama diantaranya:
- Penghuni neraka itu bermacam-macam siksaannya, ada yang tidak diberikan makanan melainkan darah dan nanah (sebagaimana yang disebut di dalam ayat ini), dan ada yang tidak diberi makanan kecuali dari pohon yang berduri, dan ada yang tidak diberi makanan kecuali dari pohon Zaqqum.
Dan yang menguatkan ini adalah firman Allah:
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ لِكُلِّ بَابٍ مِنْهُمْ جُزْءٌ مَقْسُومٌ
“Neraka itu memiliki tujuh pintu, dan setiap pintu itu memiliki bagian (adzab) nya masing-masing”.
- Yang dimaksud di dalam ayat-ayat ini adalah: penduduk neraka memang tidak memiliki makanan, karena darah, nanah, pohon berduri, Zaqqum bukan termasuk makanan, hewan saja tidak memakannya, apalagi manusia.
Mereka yang diberi ini semua tidak mendapatkan makanan, akan tetapi hanya ini bagian mereka, dan makanan hanya penamaan. (Lihat : Daf’ Iham Al Idthirob, Muhammad Amin Assyinqithy, 244)