16. فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟ خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
fattaqullāha mastaṭa’tum wasma’ụ wa aṭī’ụ wa anfiqụ khairal li`anfusikum, wa may yụqa syuḥḥa nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥụn
16. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Tafsir:
Dalam ayat ini memerintahkan hamba-Nya secara umum untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala semampunya, di antaranya adalah ketika mengurus anak-anak dan istri-istrinya serta dalam pengaturan pengeluaran hartanya, maka dia harus berusaha untuk mengatur dan mengurus itu semua semampunya([1]). Bukan berarti ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seorang hamba untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia harus menjadikan anak-anak dan istri-istrinya menjadi orang yang shalih, sebab ini belum tentu bisa dilakukan oleh seseorang, akan tetapi tugas seorang hamba adalah berusaha semaksimal mungkin dalam mendidik mereka, menasihati mereka dengan penuh kesabaran, dan dengan bertahap. Namun kebanyakan orang kita dapati tidak sabar dalam mendidik sehingga dia tidak berhasil mendidik anak-anak dan istri-istrinya, bahkan terkadang seseorang bisa sabar kepada orang lain namun dia tidak bisa bersabar terhadap anak-anak dan istri-istrinya. Maka hendaknya seseorang harus memiliki banyak tabungan kesabaran dalam menghadapi anak-anak dan istri-istrinya, apalagi istrinya lebih dari satu maka dia harus lebih banyak lagi memiliki tabungan kesabaran. Penulis pernah berjumpa dengan praktisi poligami dan dia berkata: “Ustadz, jika anda ingin berpoligami maka hendaknya memiliki tabungan sabar yang banyak, jika tidak memilikinya maka akan hancur”. Kita dapati memang terhadap 1 istri saja harus memiliki tabungan sabar yang banyak apalagi jika istri lebih dari 1 maka harus lebih memiliki tabungan kesabaran yang lebih banyak lagi.
Dalam ayat ini juga menyebutkan akan pentingnya berinfak, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَأَطِيعُوا “taatlah kalian” yaitu dengan berbagai macam ketaatan, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan secara khusus dari jenis-jenis ketaatan tersebut dengan firman-Nya وَأَنْفِقُوا “dan berinfaklah kalian”([2]), dan tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan infak secara khusus dari sekian banyak ketaatan kecuali menunjukkan bahwa infak adalah salah satu jenis ketaatan yang luar biasa. Banyak sekali didapati di dalam Al-Quran perintah untuk berinfak, dan ini menunjukkan bahwasanya kita harus berkorban dengan harta kita, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ»
“Sedekah itu bukti” ([3])
Dalam hadits ini disebutkan bahwa sedekah adalah bukti, yaitu bukti bahwasanya seseorang telah beriman dengan cara berinfak. Lagi pula untuk apa seseorang menyimpan hartanya banyak banyak? karena ketika dia meninggal dia tidak dapat membawa hartanya. Namun bukan berarti kita harus menginfakkan seluruh harta kita, akan tetapi kita diperintahkan untuk menginfakkan sebagian saja dari harta kita di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah kebaikan untuk diri kita sehingga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman خَيْرًا لِأَنفُسِكُمْ “(itu) lebih baik untuk kalian”, maksudnya apa yang kalian infakkan bukan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi infak kalian untuk menjadi bekal kalian di akhirat nanti.
Lain halnya jika kalian meninggal lantas kepemilikan harta kalian berpindah ke ahli waris, sehingga jika ahli waris yang berinfak maka pahalanya adalah untuk ahli warisnya, karena harta bukan lagi miliknya tapi milik ahli warisnya. Lain halnya jika ketika dia masih hidup dia yang berinfak, maka pahalanya tidak akan berpindah tangan dan itu akan menjadi miliknya sendiri.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya asal sifat manusia adalah ingin selalu memegang hartanya dan tidak ingin melepaskannya dari tangannya([4]), karenanya untuk bisa berinfak seseorang harus melatihnya sedikit demi sedikit. Jika tidak dilatih maka tidak mungkin dia bisa berinfak, karena dalam berinfak dia harus melawan rasa pelitnya, dan setiap orang mempunyai rasa pelit yang harus dia lawan, jika dia tidak melawannya maka dia tidak bisa untuk berinfak sehingga dia akan terus hidup dengan penuh rasa pelit dan dia akan meninggal dalam keadaan pelit.
____________
Footnote:
([1]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/287