1. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
yā ayyuhan-nabiyyu lima tuḥarrimu mā aḥallallāhu lak, tabtagī marḍāta azwājik, wallāhu gafụrur raḥīm
1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
2. قَدْ فَرَضَ ٱللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَٰنِكُمْ ۚ وَٱللَّهُ مَوْلَىٰكُمْ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ
qad faraḍallāhu lakum taḥillata aimānikum, wallāhu maulākum, wa huwal-‘alīmul-ḥakīm
2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. وَإِذْ أَسَرَّ ٱلنَّبِىُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَٰجِهِۦ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِۦ وَأَظْهَرَهُ ٱللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُۥ وَأَعْرَضَ عَنۢ بَعْضٍ ۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِۦ قَالَتْ مَنْ أَنۢبَأَكَ هَٰذَا ۖ قَالَ نَبَّأَنِىَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْخَبِيرُ
wa iż asarran-nabiyyu ilā ba’ḍi azwājihī ḥadīṡā, fa lammā nabba`at bihī wa aẓ-harahullāhu ‘alaihi ‘arrafa ba’ḍahụ wa a’raḍa ‘am ba’ḍ, fa lammā nabba`ahā bihī qālat man amba`aka hāżā, qāla nabba`aniyal-‘alīmul-khabīr
3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
4. إِن تَتُوبَآ إِلَى ٱللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِن تَظَٰهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ مَوْلَىٰهُ وَجِبْرِيلُ وَصَٰلِحُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ
in tatụbā ilallāhi fa qad ṣagat qulụbukumā, wa in taẓāharā ‘alaihi fa innallāha huwa maulāhu wa jibrīlu wa ṣāliḥul-mu`minīn, wal-malā`ikatu ba’da żālika ẓahīr
4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
5. عَسَىٰ رَبُّهُۥٓ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبْدِلَهُۥٓ أَزْوَٰجًا خَيْرًا مِّنكُنَّ مُسْلِمَٰتٍ مُّؤْمِنَٰتٍ قَٰنِتَٰتٍ تَٰٓئِبَٰتٍ عَٰبِدَٰتٍ سَٰٓئِحَٰتٍ ثَيِّبَٰتٍ وَأَبْكَارًا
‘asā rabbuhū in ṭallaqakunna ay yubdilahū azwājan khairam mingkunna muslimātim mu`mināting qānitātin tā`ibātin ‘ābidātin sā`iḥātin ṡayyibātiw wa abkārā
5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
6. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
yā ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw wa qụduhan-nāsu wal-ḥijāratu ‘alaihā malā`ikatun gilāẓun syidādul lā ya’ṣụnallāha mā amarahum wa yaf’alụna mā yu`marụn
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
7. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَا تَعْتَذِرُوا۟ ٱلْيَوْمَ ۖ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
yā ayyuhallażīna kafarụ lā ta’tażirul-yaụm, innamā tujzauna mā kuntum ta’malụn
7. Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.
8. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
yā ayyuhallażīna āmanụ tụbū ilallāhi taubatan naṣụḥā, ‘asā rabbukum ay yukaffira ‘angkum sayyi`ātikum wa yudkhilakum jannātin tajrī min taḥtihal-an-hāru yauma lā yukhzillāhun-nabiyya wallażīna āmanụ ma’ah, nụruhum yas’ā baina aidīhim wa bi`aimānihim yaqụlụna rabbanā atmim lanā nụranā wagfir lanā, innaka ‘alā kulli syai`ing qadīr
8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
9. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ جَٰهِدِ ٱلْكُفَّارَ وَٱلْمُنَٰفِقِينَ وَٱغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
yā ayyuhan-nabiyyu jāhidil-kuffāra wal-munāfiqīna wagluẓ ‘alaihim, wa ma`wāhum jahannam, wa bi`sal-maṣīr
9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
10. ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ
ḍaraballāhu maṡalal lillażīna kafarumra`ata nụḥiw wamra`ata lụṭ, kānatā taḥta ‘abdaini min ‘ibādinā ṣāliḥaini fa khānatāhumā fa lam yugniyā ‘an-humā minallāhi syai`aw wa qīladkhulan-nāra ma’ad-dākhilīn
10. Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”.
11. وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًا فِى ٱلْجَنَّةِ وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
wa ḍaraballāhu maṡalal lillażīna āmanumra`ata fir’aụn, iż qālat rabbibni lī ‘indaka baitan fil-jannati wa najjinī min fir’auna wa ‘amalihī wa najjinī minal-qaumiẓ-ẓālimīn
11. Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.
12. وَمَرْيَمَ ٱبْنَتَ عِمْرَٰنَ ٱلَّتِىٓ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِۦ وَكَانَتْ مِنَ ٱلْقَٰنِتِينَ
wa maryamabnata ‘imrānallatī aḥṣanat farjahā fa nafakhnā fīhi mir rụḥinā wa ṣaddaqat bikalimāti rabbihā wa kutubihī wa kānat minal-qānitīn
12. dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.
Asbabun Nuzul dan Tafsir Surat At-Tahrim
Surah At-Tharim adalah surah Madaniyah menurut jumhur ulama. Bahkan sebagian ulama seperti Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa Ahli Tafsir ijma’ menyebutkan bahwa surah At-Tharim merupakan surah Madaniyah([1]). Artinya surah ini adalah surah yang turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada ayat kesepuluh dalam surah At-Tahrim adalah Makkiyah, akan tetapi yang lebih benar adalah semua ayat-ayat dalam surah At-Tahrim merupakan ayat-ayat Madaniyah. Wallahu a’lam bishshawab. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya surah At-Tahrim turun setelah surah Al-Hujurat dan sebelum surah Al-Jumu’ah.
Surah At-Tahrim memiliki beberapa nama yang disebutkan oleh para Ahli Tafsir di antaranya adalah surah At-Tahrim. Di antaranya juga disebut dengan surah Al-Limatuharrim, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu?” (QS. At-Tahrim : 1)
Sebagian ulama juga menyebutkan di antara namanya adalah surah An-Nabiy, karena dibuka dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ
“Wahai Nabi.” (QS. At-Tahrim : 1)
Inilah di antara beberapa nama surah At-Tahrim yang disebutkan oleh sebagian Ahli Tafsir([2]).
Sebab Nuzul
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan tentang sebab nuzul dari surah At-Tahrim. Akan tetapi pendapat yang paling kuat dan dengan sanad yang paling sahih hanya dua sebab, yaitu pertama karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan madu baginya untuk menyenangkan para istrinya, dan yang kedua adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan untuk menggauli budaknya yaitu Mariah Al-Qibthiyyah.
- Sebab nuzul pertama : Nabi mengharamkan madu untuknya
Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan yang lainnya disebutkan, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا، فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ: أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ، أَكَلْتَ مَغَافِيرَ، فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا، فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: لاَ، بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ، فَنَزَلَتْ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ – إِلَى – إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ، لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah singgah di rumah Zainab binti Jahsy dan beliau juga minum madu di situ. Lalu aku dan Hafshah saling berpesan, bahwa siapa saja di antara kita yang ditemui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah ia berkata, ‘Sesungguhnya aku mendapatkan bau maghafir. Apakah Anda telah makan maghafir?’. Akhirnya beliau pun masuk menemui salah seorang dari keduanya dan ia mengungkapkan kalimat itu pada beliau. Akhirnya beliau bersabda: ‘Tidak, akan tetapi aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan mengulanginya lagi’. Maka turunlah ayat, ‘Wahai Nabi, kenapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah’, hingga firman-Nya ‘Jika kalian berdua bertaubat’ yakni kepada Aisyah dan Hafshah.”([3])
Yang menceritakan kisah ini adalah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau menceritakan tentang kecemburuannya terhadap Zainab binti Jahsy, akan tetapi karena ini adalah ilmu maka beliau harus menyampaikan hal ini. Dan hal seperti ini juga sering disampaikan oleh beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan beberapa kesalahan yang berkaitan dengan dirinya, beliau tidak menyembunikannya akan tetapi bahkan beliau tetap ceritakan, karena ini merupakan ilmu dan pelajaran bagi kaum muslimin.
Maghafir adalah sejenis tumbuhan yang memiliki rasa yang enak, namun bau yang dikeluarkannya sangat tidak enak, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang tidak suka tercium dari tubuh atau mulutnya bau yang tidak enak. Aisyah berkata :
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ يُوجَدَ مِنْهُ الرِّيحُ
“Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam merasa berat (sangat tidak suka) jika tercium darinya bau yang tidak enak” ([4])
Oleh karenanya dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila masuk rumahnya, maka beliau memulainya dengan bersiwak.”([5])
Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian dengan kebersihan, sampai-sampai beliau tidak ingin ada aroma yang tidak baik tatkala bertemu dengan istri-istrinya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak suka jika memiliki istri yang tidak perhatian dengan hal seperti ini. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menikahi seorang wanita, beliau mengirim Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha untuk mengecek wanita tersebut apakah pantas menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha,
شُمِّي عَوَارِضَهَا، وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبَيْهَا
“Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang tumitnya.”([6])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal ini kepada Ummu Salamah karena tentunya agar ada kebahagiaan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala memiliki istri yang menjaga kebersihan. Oleh karenanya penulis ingatkan kepada para Ikhwan dan akhwat agar senantiasa menjaga kebersihannya terlebih kepada pasangannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak senang jika istri-istrinya mencium bau yang tidak enak dari tubuhnya.
Disebutkan bahwa setelah ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma bersepakat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terlebih dahulu masuk ke rumah Hafshah. Tatkala beliau masuk, maka Hafshah mengatakan apa yang telah menjadi kesepakatan antara dia dan ‘Aisyah. Maka karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menyenangkan istrinya Hafshah, maka beliau mengatakan,
لاَ، بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ
“Tidak, akan tetapi aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Maka setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Hafshah untuk tidak memberitahukan hal ini kepada ‘Aisyah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin ‘Aisyah marah atau cemburu.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal demikian kepada Hafshah, maka turunlah surah At-Tahrim ini sebagai teguran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengharamkan madu untuk dirinya. Inilah di antara sebab nuzul yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab turun surah At-Tahrim([7]).
- Sebab kedua : Nabi mengharamkan Mariyah Al-Qibthiyyah untuk dirinya
Di antara sebab nuzul surah At-Tahrim yang disebutkan para ulama adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan bagi dirinya Mariyah untuk digauli. Riwayat yang menyebutkan sebab nuzul ini pada dasarnya tidak lebih sahih dari sebab nuzul yang pertama, akan tetapi riwayat ini disahihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dan Dhiya’ Al-Maqdisi([8]).
Disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke rumah Hafshah, akan tetapi ternyata Hafshah tidak di rumah dan sedang pergi bersilaturahmi ke rumah bapaknya yaitu Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tahu rumah tersebut kosong, maka beliau memanggil budaknya Mariyah Al-Qibthiyyah. Mariyah Al-Qibthiyyah adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh al-Muqowqis raja di Mesir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Mariyah Al-Qibthiyyah inilah lahir anak laki-laki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibrahim, yang kemudian meninggal di pangkuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang masih dalam masa menyusui, dan membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis dan berkata,
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan sungguh kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.”([9])
Intinya waktu itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil budaknya Mariyah, kemudian menggaulinya di rumah Hafshah. Maka tatkala Hafshah mengetahui hal itu, dia pun marah dan berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، لَقَدْ جِئْتَ إليَّ شَيْئًا مَا جِئْتَ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَزْوَاجِكَ، فِي يَوْمِي، وَفِي دَوْرِي، وَعَلَى فِرَاشِي. قَالَ: أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أُحَرِّمَهَا فَلَا أَقْرَبَهَا؟ قَالَتْ: بَلَى. فحَرَّمها وَقَالَ: لَا تَذْكُرِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ
“Wahai Nabi Allah, sesungguhnya engkau telah melakukan terhadapku suatu perbuatan yang belum pernah engkau lakukan terhadap seorang pun dari istri-istrimu. Engkau melakukannya di hari giliranku, dan di rumahku, dan di atas tempat tidurku.” Maka Nabi menjawab, ‘Puaskah engkau bila aku mengharamkannya atas diriku dan aku tidak akan mendekatinya lagi?’ Hafsah menjawab, ‘Baiklah’. Maka Nabi pun mengharamkan dirinya untuk menggauli Mariyah, dan beliau bersabda, ‘Tetapi jangan kamu ceritakan hal ini kepada siapa pun (‘Aisyah)’.”([10])
Akan tetapi ternyata Hafshah menceritakan hal tersebut kepada ‘Aisyah, maka setelah itu turunlah beberapa ayat dari surah At-Tahrim.
Maka sebab manakah yang paling kuat di antara dua sebab nuzul di atas? Para ulama menyebutkan bahwa jika dari sisi sanad, maka lebih kuat sebab nuzul pertama, yaitu tentang pengharaman madu. Akan tetapi dari sisi makna maka lebih kuat sebab nuzul yang kedua, yaitu tentang pengharaman Mariyah. Karena pengharaman madu menunjukkan bahwa itu untuk diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, yaitu karena Nabi tidak suka tercium bau tidak enak dari dirinya. Sedangkan pengharaman Mariyah adalah untuk menyenangkan istri-istrinya. Dan ayat menyebutkan تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ “engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu”. Oleh karenanya tatkala Ibnu Katsir rahimahullah membawakan asbabun nuzul surah ini, sebab yang pertama beliau sebutkan adalah kisah tentang pengharaman Mariyah, sehingga seakan-akan menunjukkan bahwa beliau lebih condong kepada sebab nuzul yang kedua, yaitu surah ini turun berkaitan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengharamkan Mariyah Al-Qibthiyyah untuk digauli lagi([11]).
Surah At-Tahrim merupakan surah yang penting bagi kita yang telah berumah tangga, terutama bagi mereka yang berpoligami. Karena surah ini juga berkaitan dengan muamalah seseorang dalam berumah tangga. Yaitu bahwasanya bagaimanapun kehidupan rumah tangga seseorang, pasti ada yang namanya problematika rumah tangga. Dalam rumah tangga tetap ada yang namanya kecemburuan ataupun keributan kecil. Hanya saja rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang problematikanya hanya datang sesekali dan tidak sering. Adapun jika ada rumah tangga yang dalam setiap pekan atau bahkan hari terdapat problematika antara suami istri, maka kita katakan bahwa rumah tangga tersebut tidak sehat. Ketahuilah bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang bahagia di rumahnya. Boleh seseorang bahagia di luar, akan tetapi jika dia tidak menemukan kebahagiaan dalam rumahnya, maka sejatinya dia tidak bahagia. Maka ketika seseorang menyadari bahwa dia tidak bahagia dalam kehidupan rumah tangganya, maka dia harus merubah pola muamalah antara dia dengan pasangannya, dan bekerja sama dalam meraih kebahagiaan.
_______________
Footnote:
([1]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 18/177.
([2]) Lihat At Tahrir wa At Tanwir 28/343.
([4]) HR Al-Bukhari no 6972 dan Muslim no 1474
([6]) HR. Ahmad no. 13424 disahihkan oleh Syeikh Al-Albany.
([7]) Lihat At Tahrir wa At Tanwir 28/344.
([8]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/159; Al Mukhtaroh karya Dhiya’ Al-Maqdisi no.189.