Thowaf Ifaadhoh
- Thowaf ifadhoh/thowaf ziaroh/thowaf haji’ merupakan rukun haji, thowaf ini dilakukan setelah wuquf di padang Arofah. ([1])
- Disunnahkan untuk dikerjakan pada siang hari tanggal 10 dzulhijjah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam([2]).
- Waktu awal boleh mengerjakannya adalah setelah lewat tengah malam, yaitu bagi orang-orang yang lemah yang diizinkan untuk keluar dari Muzdalifah setelah lewat tengah malam([3])
- Tidak ada batas akhir waktu mengerjakan thowaf ifadhoh. Kapan seseorang mengerjakannya maka sah([4]).
- Bagi yang telah melakukan tahallul awal (setelah melempar dan mencukur) maka silahkan thowaf dengan baju biasa. Bagi yang belum bertahallul awal dan dari Muzdalifah langsung menuju thowaf maka tetap thowaf dengan menggunakan kain ihrom
- Dalam thowaf ifadhoh tidak disyariátkan ar-Romal dan idhthiba’([5]), karena keduanya hanya disyariátkan dalam thowaf qudum atau thowaf úmroh.
- Tatacara Thawaf lainnya yang telah dijelaskan di awal, juga berlaku pada pelaksanaan Thawaf Ifadhah. Lihat tata cara thawaf
- Setelah thowaf disunnahkan untuk sholat dua rakaát di belakang Maqam Ibrahim, bila memungkinkan, namun bila tidak maka boleh sholat di tempat lain dari Masjid Al Haram.
____________
Footnote:
وَيُسَمَّى طَوَافَ الْإِفَاضَةِ؛ لِأَنَّهُ يَأْتِي بِهِ عِنْدَ إفَاضَتِهِ مِنْ مِنًى إلَى مَكَّةَ، وَهُوَ رُكْنٌ لِلْحَجِّ، لَا يَتِمُّ إلَّا بِهِ. لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
“Dan dinamakan dengan thowaf Ifadhoh (bertolak/beranjak pergi) karena ia mengerjakannya ketika bertolak meninggalkan Mina menuju Mekah. Dan thowaf ini merupakan rukun haji, tidak sah haji tanpa mengerjakannya, kami tidak mengetahui ada khilaf akan hal ini” (Al-Mughni 3/390)
([2]) Jabir bin Abdillah berkata
فَأَفَاضَ إِلَى الْبَيْتِ، فَصَلَّى بِمَكَّةَ الظُّهْرَ
“Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam pun menuju ka’bah (untuk thowaf ifadhoh) lalu beliau sholat dzuhur di Mekah” (HR Muslim no 1218)
Dalam hadits Ibnu Umar beliau berkata
أَفَاضَ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بِمِنًى
“Nabi melakukan thowaf ifadhoh pada hari an-Nahar lalu beliau kembali (ke Mina) dan sholat dzuhur di Mina” (HR Muslim no 1308)
([3]) Ini adalah pendapat Asy-Syafií. Adapun Abu Hanifah maka menurut beliau thowaf Ifadhoh hanya boleh dikerjakan setelah terbit fajar 10 Dzulhijjah. (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/391)
([4]) An-Nawawi Asy-Syafií berkata
أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ لَا آخِرَ لِوَقْتِهِ بَلْ يَبْقَى مَا دَامَ حَيًّا وَلَا يَلْزَمُهُ بِتَأْخِيرِهِ دَمٌ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَلَا أَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَهُمْ فِي أَنَّ مَنْ أَخَّرَهُ وَفَعَلَهُ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَجْزَأَهُ وَلَا دَمَ فَإِنْ أَخَّرَهُ عَنْ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فقد قال جمهور العلماء كمذهبنا لاَ دَمَ
“Sesungguhnya madzhab kami (madzhab Syafií) bahwasanya thowaf Ifadhoh tidak batsa akhir waktu pelaksanaannya. Bahkan waktunya terus berlanjut selama ia masih hidup. Dan tidak wajib bayar dam jika menunda pelaksanaannya. Ibnul Mundzir berkata, “Dan aku tidak mengetahui adanya khilaf diantara para ulama tentang barang siapa yang menunda thowaf ifadhoh (dari hari nahar) lalu mengerjakannya tatkala hari tasyriq maka sah tidak perlu bayar dam. Dan jika ia menundanya hingga hari-hari tasyriq telah selesai maka mayoritas ulama berpendapat seperti madzhab kita, yaitu tidak perlu bayar dam” (Al-Majmuu’ 8/224)
Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata
وَالصَّحِيحُ أَنَّ آخِرَ وَقْتِهِ غَيْرُ مَحْدُودٍ؛ فَإِنَّهُ مَتَى أَتَى بِهِ صَحَّ بِغَيْرِ خِلَافٍ، وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِي وُجُوبِ الدَّمِ، فَنَقُولُ: إنَّهُ طَافَ فِيمَا بَعْدَ أَيَّامِ النَّحْرِ طَوَافًا صَحِيحًا، فَلَمْ يَلْزَمْهُ دَمٌ، كَمَا لَوْ طَافَ أَيَّامَ النَّحْرِ، فَأَمَّا الْوُقُوفُ وَالرَّمْيُ، فَإِنَّهُمَا لَمَّا كَانَا مُوَقَّتَيْنِ، كَانَ لَهُمَا وَقْتٌ يَفُوتَانِ بِفَوَاتِهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ الطَّوَافُ، فَإِنَّهُ مَتَى أَتَى بِهِ صَحَّ
“Yang benar bahwasanya akhir waktu thowaf ifadhoh tidak terbatas, kapan seseorang mengerjakannya maka sah thowafnya tanpa ada khilaf. Khilaf para ulama hanya pada apakah harus bayar dam atau tidak (karena menunda thowaf ifadhoh di luar hari nahar). Maka kami katakan, sesungguhnya ia telah thowaf setelah hari nahar dengan thowaf yang sah -sebgaiamana jika ia thowaf di hari nahar- maka tidak wajib baginya untuk bayar dam. Adapun wuquf (di Árofah) dan melempar (jamaroot) maka keduanya dibatasi dengan waktu, jika telah lewat waktunya maka terluputlah keduanya. Hal ini tidak seperti thowaf, kapan seseorang mengerjakannya maka sah” (al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/391)
Adapun madzhab Abu Hanifah, maka barangsiapa yang menunda pelaksanaan thowaf Ifadhoh hingga selesai hari-hari tasyriq maka harus membayar dam. Akan tetapi pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena hukum asal adalah tidak ada keharusan bayar dam hingga ada dalil yang menunjukannya. (lihat Al-Majmuu’8/224)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرْمُلْ فِي السَّبْعِ الَّذِي أَفَاضَ فِيهِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu álaihi wasallam tidaklah melakukan ar-Romal tatakala thowaf ifadhoh 7 putaran” (HR Abu Dawud no 1746 dan dishahihkan oleh Al-Albani)