6. وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ ٱلْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ ٱلْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
wa annahụ kāna rijālum minal-insi ya’ụżụna birijālim minal-jinni fa zādụhum rahaqā
6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
Tafsir :
Ayat ini juga menjadi dalil bahwa jin itu ada yang laki-laki ada yang perempuan. Oleh karenanya di antara tafsiran dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلاَءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak masuk kakus, beliau mengucapkan: ‘ALLAHUMMA INNI A’UUDZUBIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHABAAITSI (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Jin laki-laki maupun perempuan’.”([1])
Oleh karena itu, jin juga ada yang laki-laki maupun perempuan, dan mereka pun juga beranak pinak sebagaimana manusia. Dan para ulama mengatakan bahwa secara umum syariat yang ada pada kalangan jin muslim itu sama dengan syariat yang ada pada manusia muslim. Adapun secara detail hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengetahuinya, adapun kita tidak mengetahuinya karena ada perbedaan fisik antara manusia dan jin. ([2])
Dari ayat ini, para jin mengabarkan bahwa sesungguhnya ada sekelompok laki-laki yang meminta perlindungan kepada sekelompok jin laki-laki. Dan disebutkan dalam kitab-kitab tafsir seperti Al-Qurthubi, Ath-Thabari, Ibu Katsir, dan yang lainnya, bahwasanya di zaman jahiliah tatkala sekelompok laki-laki dari golongan manusia yang melewati suatu lembah namun mereka takut, maka mereka akan meminta perlindungan kepada segolongan jin yang menurut mereka adalah penguasa lembah tersebut. Mereka meminta perlindungan dengan berkata,
نَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنْ سُفَهَاءِ قَوْمِهِ
“Kami meminta perlindungan kepada penguasa lembah ini dari kaumnya yang bodoh.”
Setelah mereka berkata demikian, maka mereka pun dilindungi dan tidak diganggu oleh penguasa jin tersebut. Namun apa yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut adalah kesyirikan. Karena meskipun pemimpin jin tersebut mampu mengabulkan permintaan sekelompok orang tersebut, namun mereka telah meminta kepada makhluk yang gaib, dan itu merupakan bentuk kesyirikan. Disebutkan pula bahwa ini adalah kebiasaan orang Arab dari Yaman, sehingga akhirnya kebiasaan tersebut diikuti oleh banyak orang di Jazirah Arab termasuk kabilah-kabilah Arab yang ada di Mekkah.
Maka tatkala ada sekelompok manusia yang meminta pertolongan kepada jin, semakin bertambahlah kesombongan para jin. Ada kelezatan tersendiri yang para jin rasakan ketika manusia meminta tolong kepada mereka. Oleh karenanya terkadang jin mengganggu manusia karena mereka meminta sajen. Dan yang demikian merupakan bentuk pengagungan terhadap jin, karena hal itulah yang memang mereka inginkan. ([3])
Meminta pertolongan kepada jin adalah hal yang diharamkan di dalam syariat. Apabila seseorang melewati tempat yang mengerikan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan solusi dengan mengajarkan kita untuk membaca doa,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa yang singgah pada suatu tempat kemudian dia berdoa: ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan’, niscaya tidak akan ada yang membahayakannya hingga di pergi dari tempat itu.”([4])
Oleh karenanya tidak boleh seseorang meminta perlindungan kepada jin, karena jin membutuhkan suatu lambang/simbol bahwa seseorang taat atau mengagungkannya. Jika seseorang merasa takut, hendaklah berdoa dan meminta perlindungan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan sebagaimana telah disebutkan bahwa meminta pertolongan kepada jin adalah kesyirikan, dan hanya akan menambah kesombongan baginya.
___________________________
Footnote :
([2]) Az-Zarkasyi berkata, “Telah terjadi perdebatan di kalangan ulama belakangan tentang apakah para jin dibebankan untuk menjalankan furu’ (cabang-cabang) syari’at?. Maka ahli tahqiq (para peneliti) diantara mereka berpendapat bahwasanya para jin sama dibebani secara global, akan tetapi tidak sama persis seperti syari’at manusia, karena para jin berbeda dengan manusia baik secara definisi maupun hakikat. Maka tentunya akan berbeda pula pada sebagian syari’at. Contohnya sebagian jin telah diberikan kekuatan untuk terbang di udara, dan mereka juga diperintahkan untuk berhaji dengan terbang, sementara manusia tidak diperintahkan demikian karena tidak bisa terbang. Akan tetapi sebaliknya jin tentu dibebankan dengan perintah/syari’at yang tidak dibebankan kepada manusia. Maka setiap syari’at yang berkaitan dengan syari’at tabi’at manusia (secara khusus) maka tidak akan dibebankan kepada jin karena jin tidak memiliki tabi’at tersebut.” (Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh 1/309)
([3]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 654, Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 10 dan Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 239.