3. إِنَّا هَدَيْنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
innā hadaināhus-sabīla immā syākiraw wa immā kafụrā
3. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Tafsir :
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menguji seseorang dengan pendengaran dan penglihatan seseorang, maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan adanya dua model hasil manusia dari ujian tersebut yaitu bersyukur atau kufur. Kalau kita kembali kepada bahasa Arab, maka شَاكِرًا merupakan bentuk isim fa’il yang artinya bersyukur dan كَفُورًا merupakan bentuk sighoh mubalaghah sehingga artinya adalah sangat kufur. Kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menggunakan sifat mubalaghah pada kata syukur sebagaimana kata kufur? Para ulama menjelaskan bahwa alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menuntut manusia untuk bersyukur dengan sangat tinggi karena manusia tidak akan mampu. Bagaimana pun seseorang berusaha untuk bersyukur dengan semestinya pasti tidak akan bisa karena nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan terlalu banyak, sementara kita tidak bisa mempertanggungjawabkannya([1]). Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aisyah berkata: ‘Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau bersabda: ‘Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?’.”([2])
Jika seseorang bisa sampai derajat شَكُورًا (sighoh/bentuk mubaalaghoh dari شَاكِر yang berarti sangat bersyukur), maka bisa dikatakan dia telah sampai pada derajat wali-wali Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengatakan شَاكِرًا, artinya seseorang bersyukur (biasa) pun sudah bisa memasukkannya ke dalam surga. Hanya saja kita harus ingat bahwa surga itu bertingkat-tingkat. Akan tetapi ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut kata kufur, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan sifat mubalaghah yang menunjukkan sangat kufur. Artinya adalah jika seseorang kufur nikmatnya sedikit mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala akan maafkan, dan tidaklah Allah Subhanahu wa ta’ala mengazab seseorang kecuali dia sangat kufur nikmat. Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang kurang dari Maha Baiknya Allah Subhanahu wa ta’ala?
____________________________
Footnote :
([1]) Lihat Tafsir Hadaaiq Ar-Ruh war Raihan karya Muhammad Al-Amin Al-Harory 30/523.