1. هَلْ أَتَىٰ عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا
hal atā ‘alal-insāni ḥīnum minad-dahri lam yakun syai`am mażkụrā
1. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Tafsir :
Kata هَلْ merupakan kata istifhamiyah (kata tanya), sehingga jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka akan menjadi ‘apakah’ atau ‘bukankah’. Akan tetapi jika Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengajukan pertanyaan, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengetahui jawabannya? Oleh karenanya disebutkan oleh Ahli Bahasa Al-Farra’ bahwa kalimat istifham di dalam Alquran hanya bisa bermakna dua, yaitu bisa sebagai penekanan (taqriri) atau bisa sebagai pengingkaran (ingkari) ([1]), dan kata istifham dengan dua makna ini banyak kita jumpai di dalam Alquran.
Yang benar dalam ayat ini adalah kata هَلْ di sini berfungsi untuk menekankan, sehingga maknanya menjadi قد (sungguh). Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Sungguh, telah datang kepada manusia suatu zaman di mana mereka bukanlah sesuatu yang disebut” ([2]).
Adapun kata الْإِنْسَانِ dalam ayat ini, ada dua pendapat dikalangan para ahli tafsir,
Pendapat pertama mengatakan bahwa ال (Alif lam) dalam kata الْإِنْسَانِ adalah ال العهدية (Alif Lam Al-‘Ahdiyah) yang menunjukkan kepada manusia yang telah ditentukan yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam([3]). Maka sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang Nabi Adam ‘alaihissalam. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala melalui ayat ini mengingatkan kita tentang nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam.
Nabi Adam ‘alaihissalam termasuk dari makhluk terakhir diciptakan. Oleh karenanya dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.”([4])
Dari hadits ini, secara urutan zaman penciptaan, Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan terakhir oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan kita dapati sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya terlebih dahulu.
Maka dengan ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Bukankah telah datang suatu zaman Wahai Adam, yang alam semesta telah ada sebelum engkau diciptakan jutaan tahun lamanya tanpa ada manusia”. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa tanpa manusia pun alam semesta ini akan tetap berjalan. Maka di sini Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan bahwa telah ada suatu zaman di mana Nabi Adam ‘alaihissalam bukanlah sesuatu yang ada dan tidak pula disebutkan([5]), sehingga ini menunjukkan ketiadaan yang sempurna.
Akan tetapi sebagian Ahli Tafsir berpendapat bahwa maksud Allah ada masa dimana Nabi Adam telah ada namun tidak memiliki nilai sama sekali. Mereka mengemukakan pendapat ini berdasarkan maksud dari kata شَيْئًا مَذْكُورًا “sesuatu yang dapat disebut” sehingga dipahami bahwa Adam sudah sudah ada namun belum disebut-sebut, yaitu belum bernilai yaitu ketika Adam masih berupa jasad dari tanah belum ditiupkan ruh padanya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa ال (Alif Lam) dalam kata الْإِنْسَانِ merupakan ال للإستغراق (Alif Lam Lil-Istighraq) yang menunjukkan keumuman, yaitu seluruh manusia([6]). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr 1-3)
Manusia dalam ayat ini tidak menunjukkan satu orang, melainkan berlaku umum yaitu seluruh manusia. Oleh karenanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini seakan-akan mengatakan “Wahai manusia, bukankah telah datang suatu zaman dimana kalian tidak ada dan tidak disebut-sebut”. Intinya adalah jika kita berbicara 100 atau ribuan tahun yang lalu, maka kita ini adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan tidak disebut-sebut.
Intinya adalah ayat ini bisa merujuk kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan bisa pula berlaku untuk seluruh manusia. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya agar Nabi Adam ‘alaihissalam atau manusia seluruhnya itu tahu diri serta tidak sombong dan angkuh. Dan juga agar manusia itu ingat bahwasanya ada yang menciptakan mereka yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.
_________________________________
Footnote :
([1]) Untuk mengetahui apakah istifham tersebut merupakan taqriri (penekanan) ataukah ingkari (pengingkaran) maka dengan cara menjawab pertanyaan tersebut. Jika jawabannya adalah “iya” maka itu merupakan istifham taqriri, dan jika jawabannya adalah “tidak” maka itu adalah istifham ingkari. Jika kita memperhatikan ayat 1 dari surah al-Insan yaitu
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
“Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan : 1)
Tentu jawaban yang tepat adalah “iya”. Maka diketahui bahwa istifham pada ayat tersebut adalah untuk taqriri.
([2]) Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Imam al-Bukhari, beliau berkata :
سُورَةُ هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ يُقَالُ: مَعْنَاهُ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ، وَهَلْ تَكُونُ جَحْدًا، وَتَكُونُ خَبَرًا، وَهَذَا مِنَ الخَبَرِ
“Surah “Hal ataa álaal insaan (Bukankah pernah datang kepada manusia)” dikatakan maknanya adalah “Telah datang kepada manusia”. Dan هَلْ “Hal” bisa untuk mengingkari dan bisa untuk mengkabarkan, dan “Hal” disini untuk mengabarkan (menekankan)” (Shahih al-Bukhari 6/164). Lihat juga penjelasan Ibnu Hajar (Fathul Baari 8/684)
([3]) Tafsir Al-Qurthuby 19/119.
([5]) Tingkatakan ketiadaan ada dua: Pertama adalah belum ada namun telah disebut-sebut, contohnya adalah seseorang yang berencana melakukan sesuatu di tahun depan lantas kemudian menyebut-nyebut rencana tersebut; Kedua adalah belum ada dan tidak disebut sama sekali, contohnya adalah salah seorang di zaman ini belum ada 1000 tahun yang lalu dan tidak pula disebut-sebut.
([6]) Lihat Tafsir At-Tahrir wat tanwir 29/373, Tafsir Al-Qurthuby 19/119-120