13. إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ لَفِى نَعِيمٍ
innal-abrāra lafī na’īm
13. Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.
Tafsir:
الْأَبْرَارَ adalah jamak dari البَرُّ atau الْبَارُّ yang diambil dari masdar البِرٌّ, Al-Azhari berkata :
البِرّ: الاتِّسَاع فِي الْإِحْسَان والزّيادة فِيهِ…وسُمِّيت البَرِّيّة لاتِّساعها.
البِرٌّ artinya lapang dan tambah dalam berbuat kebaikan…dan dinamakan darat dengan البَرِّيَّةُ karena lapangnya (Tahdziib Al-Lughoh 15/138)
Az-Zabiidi berkata :
إِن أَصلَ معنَى البِرِّ السَّعَةُ، وَمِنْه أُخِذَ البَرُّ مُقَابِل البَحْرِ
“Sesungguhnya asal makna dari البِرٌّ adalah السَّعَةُ “kelapangan”, dari makna inilah daratan yang luas dinamakan البَرُّ sebagai lawan dari البَحْرِ lautan yang luas” (Taajul ‘Aruus 10/151)
Artinya orang yang disebut الْبَارُّ berbuat kebaikan yang sangat banyak. Jika bersilaturrahmi, dia tidak hanya bersilaturrahmi kepada ayahnya dan ibunya, tetapi dia juga bersilaturrahmi kepada pamannya, bibinya, kakaknya, adik-adiknya, yaitu apabila dia menjalanlan suatu amalan maka dikerjakannya dengan sangat baik. Jika dia shalat, dia tidak hanya shalat 5 waktu saja tetapi dia shalat 5 waktu di masjid ditambah shalat-shalat Sunnah lainnya. Jika dia mengeluarkan zakat maka dia tidak mencukupkan dengan yang wajib saja tetapi dia juga bersedekah kepada para fakir miskin, kepada para penuntut ilmu, dan semua itu dia berikan dalam keadaan lapang dada dan ikhlas. Dia tidak hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja akan tetapi disempurnakan dengan amalan dan kebaikan-kebaikan lain yang banyak. Inilah yang dinamakan denganالْأَبْرَارَ .
Allah tidak mengatakan إِنَّ الْأَبْرَارَ عَلَى نَعِيمٍ (sesungguhnya orang-orang yang baik di atas kenikmatan), tetapi Allah mengatakan لَفِي نَعِيمٍ “benar-benar berada dalam kenikmatan”, yaitu seakan-akan mereka tenggelam dalam kenikmatan tersebut.
Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan bahwasanya ayat ini mencakup kenikmatan dalam tiga kondisi, kenikmatan di dunia, kenikmatan di alam barzakh, maupun kenikmatan di alam akhirat.
Beliau berkata :
وَلَا تَحْسَبُ أَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: {إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ – وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ} مَقْصُورٌ عَلَى نَعِيمِ الْآخِرَةِ وَجَحِيمِهَا فَقَطْ بَلْ فِي دُورِهِمُ الثَّلَاثَةِ كَذَلِكَ – أَعْنِي دَارَ الدُّنْيَا، وَدَارَ الْبَرْزَخِ، وَدَارَ الْقَرَارِ – فَهَؤُلَاءِ فِي نَعِيمٍ، وَهَؤُلَاءِ فِي جَحِيمٍ، وَهَلِ النَّعِيمُ إِلَّا نَعِيمُ الْقَلْبِ؟ وَهَلِ الْعَذَابُ إِلَّا عَذَابُ الْقَلْبِ؟ وَأَيُّ عَذَابٍ أَشَدُّ مِنَ الْخَوْفِ وَالْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَضِيقِ الصَّدْرِ، وَإِعْرَاضِهِ عَنِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَتَعَلُّقِهِ بِغَيْرِ اللَّهِ، ..؟
‘’Janganlah engkau menyangka bahwa firman Allah ((Sesungguhnya orang-orang yang baik benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka)) hanya terbatas pada kenikmatan dan adzab akhirat saja, akan tetapi mencakup tiga alam, yaitu alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat. Maka mereka yang satu dalam kenikmatan, sementara mereka yang lainnya dalam kesengsaraan. Dan bukankah kenikmatan kecuali kebahagiaan hati?, dan bukankah adzab yang sesungguhnya adalah kesengsaraan hati?. Dan adzab apakah yang lebih sengsara dari ketakutan, kegelisahan, kesedihan, sempitnya hati, sikap berpaling dari Allah dan kampung akhirat, ketergantungan kepada selain Allah…? (Al-Jawaab al-Kaafi hal 76)
Meskipun kenikmatan yang paling sempurna adalah kenikmatan di surga/di akhirat. Tetapi orang yang baik pasti akan merasakan kenikmatan di dunia sebelum di akhirat. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata:
إِنَّ فِيْ الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَا يَدْخُلْ جَنَّةَ الآخِرَةَ
“Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.” (Madarijus Salikin, 1/488)
Artinya untuk memastikan bahwasanya orang yang berbuat baik pasti akan merasakan kebahagiaan. Ibnu Taimiyyah juga pernah berkata:
مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِيْ بِيْ؟ أَنَا جَنَّتِيْ وَبُسْتَانِيْ فِيْ صَدْرِيْ، أَيْنَ رَحْتُ فَهِيَ مَعِيْ لَا تُفَارِقُنِيْ، أَنَا حيسي خَلْوَةٌ، وَقَتْلِيْ شَهَادَةٌ، وَإِخْرَاجِيْ مِنْ بَلَدِيْ سَيَاحَةٌ
“Apa yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Aku ini surga dan tamanku dalam dadaku. Kemana pun aku pergi, ia selalu bersamaku tidak berpisah dariku. Jika aku dipenjara, maka ia bagiku khalwat (bersendirian dengan Allah). Jika aku terbunuh, maka ia bagiku kesyahidan. Jika aku diusir dari negeriku, maka bagiku ia adalah wisata.” (Al-Waabilush Shayyib, hal. 109)
Hal ini karena beliau merasakan bahwa seluruhnya adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, orang yang beramal shaleh pasti dia akan merasakan kebahagiaan. Itulah kebahagiaan. Berbeda dengan sekedar kelezatan, karena kelezatan berkaitan dengan rasa, makan enak itu adalah kelezatan, mencium bau yang enak adalah kelezatan. Adapun kebahagiaan itu dari dalam, dan dia terbina secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman kepada Allah subhanallahu wata’ala diberikan kehidupan yang bahagia bagaimanapun kondisinya. Mungkin dia tidak merasakan kelezatan makanan tetapi dia merasakan kelezatan hati yang disebut dengan kebahagiaan. Sehingga orang yang beriman harus yakin bahwasanya dia akan bahagia, jika dia menjalankan sunnah Nabi maka dia pasti bahagia baik itu di dunia, di alam barzakh, terlebih lagi dia akan bahagia di alam akhirat kelak dengan kenikmatan yang Allah sediakan baginya. Berbeda dengan orang-orang yang fajir.