1. سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى
sabbiḥisma rabbikal-a’lā
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.
Tafsir Surat Al-A’la Ayat-1:
سَبِّحِ dalam bahasa arab diambil dari kata تَسْبِيْحٌ artinya mensucikan. Ada banyak kata ‘mensucikan’ di dalam Al-Quran dengan berbagai shighah seperti bentuk fi’il mudhari’ يُسَبِّحُ, bentuk fi’il amr سَبِّحْ, bentuk fi’il madhi سَبَّحَ, bentuk isim masdar سُبْحَانَ, semuanya dalam rangka untuk mensucikan Allah. Hal ini karena Allah adalah Dzat yang berhak untuk disucikan dari perkataan mulhidin. Sebab ada banyak perkataan-perkataan atau aqidah-aqidah yang batil tentang Allah sehingga Allah memerintahkan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dan kaum muslimin untuk mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah. Misalnya ketika Allah dituduh memiliki anak, maka Allah mengatakan سُبْحَانَ.
Diantara hal-hal yang tidak pantas bagi Allah adalah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang kurang seperti cacat, buta, tuli, bisu, atau Allah punya anak, Allah punya istri, semua ini adalah sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah. Jika kita membuka buku-buku seperti al-Kitab maka kita akan mendapati sifat-sifat yang menunjukkan kerendahan Allah, seperti Allah itu menangis, Allah bisa menyesal dan hatinya pilu/sedih, Allah menyesal telah menciptakan manusia (lihat al-Kitab, Kejadian 6 ayat 6-7), Allah menyesal karena malapetaka yang dirancangkanNya atas umatnya (lihat al-Kitab, Keluaran 32 ayat 14). Allah menyesal menjadikan Saul raja atas Isra’il (lihat Al-Kitab Samuel 1 : 15 ayat 35). Disebutkan juga bahwa Allah mencari-cari Nabi Adam yang bersembunyi (lihat Al-Kitab, Kejadian 3 ayat 9-10), Allah juga tidak tahu ternyata Nabi Adam dan Hawwa telah memakan buah yang dilarang (lihat Al-Kitab, Kejadian 3 ayat 11). Disebutkan juga Allah istirahat karena letih setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, sehingga hari ke tujuh Allah istirahat. (lihat al-Kitab, Kejadian 2 ayat 2). Yang lebih parah disebutkan bahwa Allah bergulat dengan Nabi Ya’qub dan akhirnya Ya’qub yang menang (lihat Al-Kitab, Kejadian 32 ayat 22-28 dan Hosea 12 ayat 2-4). Hal-hal seperti ini mustahil didapati di dalam Al-Quran, justru di dalam Al-Quran Allah berulang-ulang menyuruh untuk mensucikan-Nya sebagaimana dalam banyak ayat.
Diantara hal yang perlu kita sucikan dari Allah adalah menyamakan Allah dengan makhluk. Memang benar bahwasanya beberapa sifat Allah sama dengan sifat-sifat makhluk dalam penamaan. Akan tetapi meskipun namanya sama tapi hakikatnya berbeda. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy-Syura : 11)
Allah mendengar dan juga melihat, akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah berbeda dengan makhluk. Penglihatan manusia sangat terbatas, begitupun pendengarannya, apabila ada lima orang yang berbicara secara bersamaan niscaya dia tidak akan bisa konsentrasi mendengarkannya. Berbeda dengan penglihatan dan pendengaran Allah, pendengaran Allah meliputi segala sesuatu di alam semesta ini, demikian juga penglihatan dan ilmunya. Manusia berilmu, Allah juga berilmu, akan tetapi ilmu Allah tidak bisa dibandingkan dengan ilmu manusia yang penuh dengan kekurangan. Sesuatu yang melekat di dalam manusia saja, tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui hakikatnya, yaitu ruh. Seandainya ada seribu orang yang berbicara tentang ruh, maka akan ada seribu penafsiran tentangnya. Allah berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kalian tidak diberikan pengetahuan kecuali sangat sedikit.” (QS Al-Isra’ : 85)
Oleh karena itu, tidak boleh terbetik dalam benak kita bahwasanya sifat Allah sama hakikatnya dengan sifat manusia, meskipun namanya sama. Contoh lain Allah punya tangan, maka tidak boleh terbetik dalam benak kita bahwasanya tangan Allah sama seperti tangan manusia, karena itu tidak mungkin. Allah berfirman:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamatm dan langit akan digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS Az-Zumar : 67)
Dan kaidah ini berlaku untuk seluruh sifat-sifat Allah, barangsiapa yang menyamakan antara sifat Allah dengan sifat makhluk maka telah terjerumus dalam kesyirikan. Inilah makna dari ayat ini, yaitu agar kita menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi Allah dan dari penyamaan antara sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Kemudian dari ayat ini kita mengetahui bahwa diantara sifat Allah adalah Maha Tinggi, ada banyak dalil-dalil yang menunjukkan ke-MahaTinggi-an Allah. Allah Maha Tinggi dalam tiga perkara; Pertama, Allah Maha Tinggi sifat-sifat-Nya yaitu sifat-sifat Allah semuanya adalah sifat-sifat yang sempurna; Kedua, Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya; Ketiga Dzat Allah Maha Tinggi.
Semua umat islam sepakat bahwasanya sifat-sifat Allah adalah sifat yang tinggi, begitupun semua sepakat bahwasanya tidak ada satu makhluk pun yang menyamai ketinggian Allah. Namun dalam masalah ketinggian Dzat, di tengah kaum muslimin telah terjadi penyimpangan. Sebagian kaum muslimin sampai sekarang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana. Padahal pendapat ini sudah dibantah oleh Imam Ahmad beratus-ratus tahun yang lalu di dalam kitabnya Ar-Radd ‘alal Jahmiyah waz zanaadiqoh, karena kelaziman bahwasanya Allah ada di mana-mana sangat berbahaya. Bahwasanya Allah ada di kamar mandi, Allah di dalam perut hewan, Allah juga di dalam perut kita, Maha Suci Allah dari pendapat bathil seperti ini. Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Sebagian ada yang mengatakan bahwasanya Allah tidak di atas tidak pula di bawah, sebagaimana perkataan orang-orang filsafat. Lantas Allah itu dimana jika tidak di atas tidak pula di bawah, keyakinan seperti ini akan berkonsekuensi bahwa Allah itu tidak ada. Allah Maha Suci dari anggapan seperti itu. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risalah ila ahlits tsaghr telah menyebutkan bahwasanya para sahabat telah ijma’ (sepakat) Allah berada di atas ‘Arsy. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadist Nabi.
Keyakinan bahwasanya Allah berada di atas adalah fitrah manusia. Karenanya kita dapati semua manusia jika berdoa maka tangannya pasti menengadah ke atas. Seandainya Allah berada di mana-mana maka tangannya juga akan ke mana-mana. Demikian kita dapati semua orang kalau menghadapi permasalahan yang berat mereka berkata, ‘’Kita serahkan kepada Yang di atas’’.
Pendapat yang mengatakan Allah ada di mana-mana atau Allah tidak di atas dan tidak di bawah dan tidak dimana-mana juga secara tidak langsung mengingkari mukjizat Isra’ Mi’raj. Karena ketika Nabi shalallahu’alayhi wa sallam menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj, beliau dibawa ke atas langit ketujuh untuk bertemu dengan Allah Rabbul ‘Aalamin. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyyah memberi perhatian khusus tentang masalah ini, diantaranya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah di dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Uluw li al-‘Aliy al-Ghoffaar yang sekarang tercetak menjadi 2 jilid. Dalam buku tersebut disebutkan seluruh perkataan ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman beliau tentang Allah berada di atas.
Keyakinan bahwa Allah tidak berada di atas akan menjerumuskan manusia dalam pemahaman yang batil. Contohnya meyakini bahwasanya Allah berada dimana-mana. Atau sebagiannya meyakini bahwasanya Allah bisa bersatu dengan makhluk yang dikenal dengan istilah aqidah wihdatul wujud atau manunggal ing kawula gusti. Ini adalah aqidah yang batil, sama seperti aqidah trinitas yang meyakini Allah bersatu dengan Nabi Isa. Pendapat-pendapat seperti ini merupakan kekufuran. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan Allah berada di atas ‘Arsy. Allah berfirman tentang Nabi Isa:
بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ ۚ
“Tetapi Allah mengangkat (ke atas) Nabi Isa menuju Allah” (QS An-Nisa’ : 158)
Allah juga berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ
“Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya.” (QS Fathir : 10)
Dan terlalu banyak ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Allah itu di atas.