4. لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ
laqad khalaqnal-insāna fī kabad
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
Tafsir Surat al-Balad Ayat-4
Allah bersumpah dengan empat perkara pada tiga ayat sebelumnya untuk menegaskan bahwa manusia itu tercipta dalam kesulitan dan kepayahan. Allah ingin membantah persangkaan sebagian orang bahwa dunia ini bisa ditempuh dengan senang-senang tanpa ada kesulitan sama sekali. Padahal Allah menjadikan manusia dalam keadan sulit dan payah sepanjang hidupnya, bahkan sejak lahirnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi rahimahullah bahwa seorang anak sejak lahir sudah mengalami kepayahan. Pada saat dilahirkan pusarnya dipotong kemudian dia harus menyusu kepada ibunya, kadangkala air susu ibunya tidak lancar. Tatkala giginya tumbuh ia merasa kesakitan dan panas. Setelah dia bertumbuh semakin besar dia harus menghadapi kehidupannya, setelah dia menikah dia harus menanggung nafkah istri dan anak-anaknya. Memasuki masa tuanya badannya mulai lemah dan terus menerus mengalami kepayahan hingga akhirnya dia meninggal dunia. Di dalam kubur dia akan ditanyai oleh para malaikat, kemudian dibangkitkan lagi dalam keadaan payah. Ini semua menunjukan bahwa ada Tuhan yang mengatur dirinya, kalau seandainya tidak ada yang mengatur tentu dia tidak akan memilih kesulitan dan kepayahan tersebut. Karenanya hendaknya ia tunduk kepada Tuhan tersebut yang mengatur segala urusannya. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/62-63). Maka hendaknya ia berusaha untuk beramal sholih yang menyelamatkannya dari kesulitan-kesulitan akhirat, jika tidak maka ia akan terus dalam kesulitan dan kepayahan yang abadi (lihat Tafsir As-Sa’di hal 924). Manusia istirahat dari kepayahannya adalah ketika masuk ke dalam surga.
Ada seseorang datang jauh-jauh dari Khurosan untuk menemui Imam Ahmad, ia berkata;
يا أبا عَبْد اللَّهِ قَصَدْتُكَ مِنْ خُرَاسَان أَسْأَلُكَ عَنْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad) aku datang menemuimu dari Khurosan untuk bertanya kepadamu tentang satu permasalahan?”
Imam Ahmad berkata kepadanya, سَلْ “Tanyakanlah !”. Orang itu berkata, مَتَى يَجِدُ الْعَبْدُ طَعْمَ الرَّاحَةِ؟ “Kapankah seorang hamba merasakan nikmatnya istirahat?”. Imam Ahmad berkata :
عِنْدَ أَوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهَا فِي الْجَنَّةِ
“Tatkala pertama kali ia menginjakan kakinya di surga” (Thobaqoot al-Hanaabilah 1/293 dan al-Maqshod al-Arsyad 2/398)
Oleh karena itu, ada 2 pendapat di kalangan para ahli tafsir tentang manusia yang akan merasakan kepayahan yang dimaksudkan dalam ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah manusia secara umum sebab pada kenyataannya semua manusia mengalami kepayahan. Baik muslim maupun kafir, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, baik baik kaya maupun miskin, baik dia presiden ataupun rakyat. Semua orang dalam keadaan susah dan payah, tidak ada kelezatan yang sempurna dan peristirahatan yang sempurna kecuali di surga kelak. Semua manusia akan diuji, apalagi orang-orang yang beriman. Bahkan Allah berjanji untuk menguji mereka, semakin tinggi iman seseorang semakin berat ujiannya. Dalam sebuah hadits dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024)
Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah orang kafir. (lihat At-Thariir wa At-Tanwiir 30/351) Sebagaimana kaidah yang telah berlalu pada tafsir surat sebelumnya, seluruh kata al-insan yang terdapat dalam surat Makiyyah ditujukan untuk orang kafir karena surat tersebut turun dalam rangka mencela dan mengajak orang-orang kafir untuk berpikir. Sehingga yang dimaksudkan dalam ayat mengalami kepayahan adalah orang-orang kafir. Dan konteks ayat-ayat dari pertama hingga terkahir adalah tentang orang kafir. Karena orang mukmin meskipun menghadapi kepayahan tetapi hatinya tenteram, karena ada keimanan di dalam hatinya. Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d : 28)
Meskipun orang-orang mukmin diuji oleh Allah tetapi hatinya akan tenang. Berbeda dengan orang-rang kafir, meskipun nampaknya mereka dalam kesenangan dan kemewahan, tetapi hati mereka kosong dari keimanan, hati mereka tidak bahagia. Mereka hanya merasakan kelezatan jasmani dan tidak merasakan kebahagiaan hati. Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha : 124)