6. إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
inna alladziina kafaruu min ahli alkitaabi waalmusyrikiina fii naari jahannama khaalidiina fiihaa ulaa-ika hum syarru albariyyati
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”
Tafsir Surat Al-Bayyinah Ayat-6
Mereka adalah makhluk-makhluk yang paling buruk, hal tersebut karena Allah telah memberikan untuk mereka segala macam nikmat, Allah telah memberi tubuh yang indah, akal yang cerdas, namun mereka malah memalingkan penyembahan kepada selain Allah. Bahkan sebagian dari mereka justru menyembah makhluk yang lebih buruk dari mereka seperti syaithan, jin, patung sapi, dan lain-lain.
Dalam ayat lain Allah berfirman :
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman (QS Al-Anfaal : 55)
Allah juga menjelaskan bahwa mereka lebih buruk dari pada binatang ternak. Allah berfirman :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A’roof : 179)
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu) (QS Al-Furqon : 44)
Mereka juga dikatakan terburuk karena mereka telah mengetahui kebenaran (الْبَيِّنَةُ “Bukti yang jelas”) akan tetapi mereka tetap meninggalkan kebenaran tersebut (lihat Tafsir As-Sa’di hal 931)
Ayat ini sekaligus bantahan untuk orang-orang liberal yang menyatakan bahwasanya Yahudi dan Nashrani masuk surga sebagaimana kaum muslimin. Keyakinan demikian adalah keyakinan yang kufur, karena seakan-akan melazimkan telah menyamakan antara agama tauhid dan kesyirikan atau menyamakan Allah sebagai sesembahan orang yang beriman dan selain Allah. Sesungguhnya pemikiran seperti itu muncul karena mereka menganggap bahwa agama itu hanyalah cara beradab (cara mencapai akhlak yang baik), dan akhlak yang baik bisa diperoleh dengan mengikuti agama Budha, Hindu, atau agama lainnya. Akan tetapi anggapan seperti ini adalah anggapan yang tidak berdasar, karena Allah mengutus para Nabi ke muka bumi ini prioritas utamanya adalah agar mendakwahkan tauhid. Seseorang yang memiliki akhlak mulia tetapi tidak mentauhidkan Allah maka hal itu tidak bermanfaat. Seperti Ibnu Jud’an, dalam sebuah hadits yang shahih, ketika ‘Aisyah bertanya kepada Nabi :
يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ قَالَ لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an di zaman jahiliyyah, dia adalah orang yang menyambung silaturahmi, memberi makan kepada orang-orang miskin, apakah bermanfaat bagi dia kebaikannya dahulu? Nabi menjawab, “Tidak bermanfaat, dia tidak pernah berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah ampunilah dosa-dosaku pada hari kiamat kelak’.” (HR Muslim no. 214)
Begitu pun apa yang terjadi dengan paman Nabi yaitu Abu Thalib. Padahal siapa yang lebih hebat dari Abu Thalib dalam membela Islam, bahkan rela mati untuk membela Nabi. Tetapi bersamaan dengan itu, pembelaannya terhadap Nabi tidak dapat menghindarkannya dari api neraka Jahannam. Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi mendatangi Abu Thalib dan mengatakan,
أَىْ عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ “. فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ آخِرَ شَىْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Dengan kalimat ini, akan aku bela engkau nanti di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menanggapi, “Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan kepada pamannya. Namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka, “Di atas agamanya Abdul Muthalib.” Ia enggan mengucapkan laa ilaha illallaah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.” (HR Bukhari no. 4494)
Semasa hidupnya Abu Thalib juga pernah menyenandungkan syair:
وَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ دِينَ مُحَمَّدٍ … مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِينَا
لَوْلَا الْمَلَامَةُ أَوْ حِذَارُ مَسَبَّةٍ … لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِينَا
“Sungguh aku tahu bahwa agamanya Muhammad adalah agama yang terbaik diantara agama-agama manusia. Kalau bukan karena takut celaan dan cercaan kau akan dapati aku sudah memeluk Islam.” (Dalaailun Nubuwwah, Al-Baihaqi 2/188 dan Syarh al-Aqidah at-Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi 2/461)
Akhirnya Allah menurunkan ayat yang melarang Nabi memohonkan ampun, meskipun jasa Abu Tholib sangat luar biasa. Allah berfirman:
Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
“Tidak patut bagi seorang nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan kepada orang-orang musyrik.” (QS At-Taubah : 113)
Nabi hanya bisa memberi syafaat atas izin Allah untuk pamannya tersebut, yaitu siksaannya diringankan dibanding penghuni neraka lainnya. Dalam suatu hadits dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟
“Apakah anda tidak bisa menolong paman anda?, karena dia selalu melindungi anda dan marah karena anda.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR Bukhari no. 3883, Ahmad no. 1774)
Yaitu Abu Thalib disiksa dengan diletakan dua bara api di bawah kedua telapak kakinya sehingga otaknya mendidih.
Oleh karena itu, agama yang diserukan oleh Nabi Muhammad bukanlah sekedar mendakwahkan akhlak, akan tetapi yang paling penting adalah tauhid. Dan pemahaman bahwasanya semua agama sama dan bisa mengantarkan ke surga adalah pemahaman yang batil lagi berbahaya.
Setelah Allah menyebutkan tentang kesudahan kaum ahli kitab dan kaum musyrikin, Allah kemudian menyebutkan tentang keadaan orang-orang yang beriman.