Praktik Harta Haram Yang Tidak Disadari
(Khutbah Jumat)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Sesungguhnya di antara dosa besar yang diperingatkan oleh syariat adalah memakan sesuatu dari hasil yang haram. Rasulullah ﷺ telah mengabarkan bahwasanya akan datang suatu masa di mana orang-orang sudah tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan hartanya. Beliau ﷺ bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ: بِحَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ
“Sungguh akan datang suatu zaman dimana seseorang tidak peduli apakah ia mengambil hartanya dengan cara halal atau haram.”([1])
Terlebih lagi sampai ada ungkapan yang familier di tengah-tengah masyarakat kita saat ini bahwasanya jangankan untuk mencari harta yang halal, mencari harta yang haram pun susah. Ungkapan tersebut akhirnya membuat seseorang semakin mudah untuk mencari harta dengan cara yang haram.
Ketahuilah bahwasanya barang siapa yang mengambil harta yang haram atau memakan harta yang haram, baik itu karena cara atau pun sumbernya, maka ketahuilah bahwa dia telah terjerumus dalam dosa besar.
Ketika kita mau melihat dalil-dalil yang melarang untuk memakan harta orang lain tanpa hak, maka kita akan dapati bahwa dalil-dalil tersebut datang dalam bentuk peringatan yang sangat mengerikan. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah itu?’ Beliau bersabda, ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan, dan menuduh seorang wanita mukmin yang suci berbuat zina’.”([2])
Pada hadis ini, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan memakan riba dan memakan harta anak yatim merupakan perkara yang haram, yang dosanya sangat besar apabila dilakukan oleh seseorang.
Selain itu, Allah ﷻ juga telah berfirman,
﴿إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)
Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa yang mengambil sejengkal saja dari tanah secara zalim, maka dia akan dikalungkan dengan tanah sebanyak tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”([3])
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya (dengan kezaliman), maka Allah mewajibkan neraka untuknya, dan mengharamkan surga atasnya.” Maka seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, meskipun itu sesuatu yang sedikit?’ Beliau menjawab, ‘Meskipun itu hanya sebatang kayu siwak’.”([4])
Sungguh terlalu banyak dalil yang menunjukkan bahwa memakan harta dengan cara yang haram merupakan dosa besar. Ketahuilah bahwa inilah ciri-ciri orang Yahudi, sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman tentang ciri-ciri mereka,
﴿سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ﴾
“Mereka itu (orang-orang Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. Al-Maidah: 42)
Ma’syiral muslimin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Oleh karena itu, ada beberapa praktik-praktik memakan harta haram yang tersebar di masyarakat kita, yang akan khatib ingatkan pada kesempatan kali ini. Kita berharap agar Allah ﷻ menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan tersebut, dan semoga kita bisa menjaga mulut dan perut kita kecuali dari suatu yang kita yakini akan kehalalannya. Di antara praktik-praktik tersebut antara lain:
- Tidak bekerja sebagaimana dengan jam kerja yang telah disepakati
Terkadang seorang pegawai negeri maupun swasta di sebuah lembaga atau perusahaan, mereka telah ditetapkan bekerja selama delapan jam sehari, namun ternyata dia hanya bekerja kurang lebih enam jam, adapun dua jamnya yang lain habis untuk mengisi waktu keterlambatannya dan sisa waktu karena dia pulang lebih cepat, padahal dia mendapatkan gaji penuh tanpa ada pengurangan sedikit pun. Ketahuilah bahwa dari waktu yang dia tidak penuhi, maka ada harta yang asalnya haram untuk dia makan.
Oleh karena itu, ingatlah bahwa jika seseorang telah memiliki ikatan-ikatan janji dengan perusahaan atau lembaga tertentu yang merupakan tempat dia bekerja, maka penuhilah janji tersebut, termasuk jam kerja yang telah diatur. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Orang-orang muslim itu terikat di atas syarat-syarat (kesepakatan) mereka.”([5])
Maka ketika seseorang bekerja kurang dari waktu yang telah ditentukan, sementara dia mendapatkan gaji secara penuh, maka dia telah memakan harta yang haram. Oleh karena itu, hendaknya siapa pun di antara kita yang bekerja dengan keterikatan tertentu, penuhilah syarat-syarat tersebut.
- Memosisikan diri sebagai wakil lalu mengambil keuntungan tanpa sepengetahuan dari yang mewakilkannya
Contoh pada perkara ini seperti si A yang meminta tolong kepada temannya si B untuk membelikan suatu barang. Harga barang tersebut dari sebuah toko adalah 10 juta. Kemudian, si B mengatakan kepada si A bahwa harga barang tersebut adalah 12 juta, dan dia tidak memberi tahu bahwa kelebihan 2 juta tersebut adalah keuntungan baginya. Si A tentu menyangka bahwa temannya hanya menolongnya untuk membelikan barang tanpa mengambil keuntungan dari muamalah tersebut. Maka tatkala si A menyetujui untuk membeli barang tersebut dengan harga 12 juta dari si B tanpa dia tahu bahwa si B telah menaikkan harga, maka si B telah memakan harta yang haram.
Contoh lain, seseorang yang bertugas di bagian pengadaan barang di sebuah perusahaan. Dia adalah orang yang pandai menawar. Ketika diperintahkan untuk mengadakan suatu barang, dia mencari dan menawar barang-barang hingga di bawah harta normal. Akan tetapi, dia melaporkan kepada perusahaan tempat dia bekerja bahwa barang-barang dia beli dengan harga normal, dan selisih harga dia masukkan ke dalam kantongnya. Maka apa yang dilakukan oleh pegawai seperti ini hukumnya haram, karena dia posisinya sebagai wakil.
Perkara ini banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Maka hendaknya setiap kita waspada akan hal ini, dan bertobat serta mengembalikan kelebihan harta yang kita ambil jika kita pernah melakukannya. Adapun cara agar praktik seperti ini terlepas dari sesuatu yang haram, maka seseorang boleh memosisikan dirinya sebagai penjual terlebih dahulu, atau meminta keuntungan secara langsung kepada pihak yang mewakilkan atas tugasnya sebagai wakil.
- Berutang dan tidak mengembalikannya
Seseorang yang berutang dan tidak mengembalikan utangnya tersebut, maka dia telah memakan harta yang haram. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya. Sebaliknya, barang siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (tidak mengembalikannya), maka Allah akan hancurkan dia.”([6])
Orang yang berutang dengan niat tidak ingin mengembalikan apa yang dia utangi, maka dia akan dihancurkan oleh Allah ﷻ. Kalau dia tidak hancur di dunia, maka pasti dia akan hancur di alam barzakh sebelum dia kembali disiksa di neraka jahanam.
Perkara berutang ini bukanlah perkara yang ringan. Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, sampai-sampai beliau tidak mau menyalati jenazah seseorang yang utangnya ternyata belum lunas.([7]) Oleh karena itu, apabila seseorang berutang kepada orang lain seperti meminjam uang, maka dia harus berniat untuk mengembalikannya.
Ingatlah pula bahwasanya bukan hanya berniat tidak membayar utang, menunda-nunda pembayaran utang pun dicela dengan sebutan perbuatan zalim oleh Nabi Muhammad ﷺ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman.”([8])
Ketahuilah, apabila seseorang mampu membayar utang namun dia terus-terusan menundanya sementara telah jatuh tempo, maka dia telah melakukan kezaliman. Semakin lama dia menunda pembayaran utang, maka argo dosa kezalimannya pun tetap jalan terus.
Sungguh sebagian orang telah menjadi tidak beradab kepada orang lain dalam hal ini, dia telah membalas air susu dengan air tuba, orang telah berbuat baik kepadanya, namun dia malah menunda-nunda pembayaran utangnya. Sebagian orang menunda-nunda pembayaran utangnya, akhirnya membuat sang pemberi utang seakan-akan menjadi pengemis kepadanya. Maka setiap dari kita hendaknya waspada ketika berutang, jangan sampai menunda-nunda pembayaran utang, dan terlebih lagi jangan sampai berniat untuk tidak membayar utang tersebut.
- Al-Ghulul
Al-Ghulul adalah mengambil harta masyarakat umum atau negara untuk kepentingan pribadinya. Di antara bentuk ghulul adalah pegawai negeri yang menerima hadiah dari masyarakat karena statusnya sebagai pegawai negara, yang jika dia bukan sebagai pegawai negara maka tidak akan ada yang memberinya hadiah.
Di zaman Nabi Muhammad ﷺ, ada seseorang yang bernama Ibnu Luthbiyah yang ditugaskan untuk mengambil harta zakat. Ketika dia telah mengambil harta zakat, maka dia pun menyerahkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ketika dia serahkan harta zakat tersebut, dia pun mengatakan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya dari apa yang dia bawa tersebut, ada harta kaum muslimin dan ada pula hadiah yang diberikan untuknya. Maka Nabi Muhammad ﷺ pun marah dan mengingatkannya,
فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Cobalah dia tinggal di rumah ayahnya atau ibunya lalu dia lihat apakah dia diberi hadiah atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik.”([9])
Oleh karena itu, ini menjadi peringatan bagi para pegawai negeri bahwasanya ketika Anda melakukan tugas negara kemudian masyarakat memberikan hadiah kepada Anda, maka tidak boleh Anda terima. Kalaupun Anda terima, maka hadiah tersebut harus Anda serahkan kepada negara. Jika Anda menerimanya untuk kepentingan pribadi, maka itu adalah ghulul, dan hukumnya haram.
Demikian pula dengan mengambil harta negara. Disebutkan sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad ﷺ dalam perang Khaibar, ketika ada seseorang meninggal dalam peperangan, maka para sahabat mengatakan bahwa orang tersebut mati syahid dan masuk surga. Namun, Nabi Muhammad ﷺ tidak mengatakan demikian, bahkan Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa dia tempatnya di neraka jahanam. Mengapa demikian? Setelah diperiksa ternyata orang tersebut mengambil burdah yang seharusnya itu menjadi harta ganimah yang dibagi oleh negara, akan tetapi dia mengambilnya sebelum dibagi.([10])
Demikian pula Nabi Muhammad ﷺ telah mengutus Abu Mas’ud t, beliau ﷺ berkata,
انْطَلِقْ أَبَا مَسْعُودٍ، وَلَا أُلْفِيَنَّكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَجِيءُ وَعَلَى ظَهْرِكَ بَعِيرٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ لَهُ رُغَاءٌ، قَدْ غَلَلْتَهُ
“Pergilah wahai Abu Mas’ud, dan jangan sampai aku mendapatimu pada hari kiamat datang sementara di atas punggungmu terdapat unta dari unta-unta zakat yang mengeluarkan suara yang telah engkau ambil sebagai harta ghulul.”([11])
Oleh karena itu, tidak boleh seseorang mengambil harta negara, karena itu adalah ghulul. Di antara praktik yang jelas dalam hal ini pula adalah korupsi (mengambil harta negara) yang dilakukan oleh sebagian orang. Ketahuilah, jika mencuri harta satu orang saja akan menjadikannya bermasalah pada hari kiamat kelak, maka bagaimana lagi dengan mencuri uang rakyat dan aset-aset negara? Maka tentu dosanya tidak sama dengan mencuri dari satu orang saja.
- Menerima subsidi yang tidak berhak untuk dia terima
Banyak dari sebagian kita yang melakukan praktik ini. Ketahuilah bahwa apabila pemerintah memberikan subsidi pada barang tertentu, kemudian kita ternyata tidak termasuk dalam kriteria penerima subsidi tersebut, namun kita ambil subsidi tersebut, maka kita telah memakan harta yang haram.
- Seorang istri yang mengambi harta suaminya tanpa izin
Memang benar bahwa jika seorang suami tidak memberi nafkah yang cukup kepada istrinya, maka sang istri boleh mengambil haknya meskipun suaminya tidak tahu, akan tetapi dengan syarat bahwa yang diambil hanya sebanyak yang dia butuhkan saja. Akan tetapi, apabila seorang istri telah dipenuhi kebutuhan dan keperluannya, kemudian dia mengambil dan menggunakan harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, maka dia telah memakan harta yang haram.
- Mengolah harta titipan untuk kepentingan pribadi
Ingatlah, tentu berbeda kasusnya apabila kita sebagai orang yang meminjam uang kepada orang lain. Kalau kita meminjam uang kepada seseorang, maka kita boleh menggunakan uang tersebut. Namun, apabila ketika orang menitipkan uang kepada kita yang dalam syariat disebut dengan wadi’ah, maka tidak boleh kita menggunakan uang tersebut kecuali dengan izinnya. Kalau orang yang menitipkan mengizinkan untuk menggunakan titipan tersebut, maka status wadi’ah tersebut berubah menjadi utang (qardh). Namun ketika status uang tersebut yang masih wadi’ah (titipan), kemudian kita gunakan tanpa seizin orang yang menitipkan, maka dia telah melakukan hal yang haram.
Ketahuilah, saking pentingnya untuk seseorang untuk memperhatikan masalah ini, yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik barang sebelum menggunakannya, sampai-sampai para ulama juga membahas bahwa tidak boleh seseorang menggunakan sandal orang lain di masjid untuk berwudu tanpa seizin pemilik sandal. Kalau sandal saja tidak boleh digunakan tanpa izin, terlebih lagi yang lebih besar daripada itu pun seseorang harusnya meminta izin kepada pemilik terlebih dahulu.
- Tidak jujur dalam menerangkan kondisi barang dagangannya
Sungguh betapa banyak orang yang tidak jujur dalam menginformasikan barang dagangannya dengan berbohong, dengan bersumpah, hanya agar barang dagangannya cepat laku. Sungguh yang demikian adalah perkara yang haram, dan jika barang dagangannya laku dengan sebab seperti itu, maka dia telah memakan harta yang haram.
Oleh karena itu, hendaknya seorang pedagang jujur dalam menjelaskan kondisi barang dagangannya. Ketika ada aib pada barang dagangannya, hendaknya dia tetap menjelaskannya. Ingatlah bahwa apabila seseorang jujur dalam berdagang, sungguh Allah ﷻ akan memberikan keberkahan pada dagangannya.
- Mengurangi takaran dan timbangan
Ketahuilah bahwasanya perkara ini merupakan satu perkara yang pernah membuat suatu kaum binasa, yaitu kaum Nabi Syua’ib ‘Alaihissalam, karena mereka adalah kaum yang suka mengurangi takaran dan timbangan.
- Menjual ayat-ayat Allah ﷻ untuk dunia
Ini merupakan kebiasaan para pendeta-pendeta Yahudi, sebagaimana yang telah Allah ﷻ firmankan,
﴿إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)
Sebagian para dai, para kiai, dan para ulama, mereka tidak berani berbicara dengan hak, mereka menyembunyikan ayat-ayat Allah ﷻ, menyembunyikan hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ, demi untuk menyenangkan sebagian orang atau sebagian kelompok, atau untuk mendapatkan uang yang banyak, bahkan ketika mereka ditanya tidak jarang mereka menghalalkan yang haram. Ketahuilah, orang yang melakukan demikian berarti telah memakan harta yang haram.
أَقٌولُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيئَةٍ فَأَسْتَغْفِرُهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِه، وَأَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، أَللَّهُمَّ صَلِى عَلَيهِ وعَلَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ
Ma’asyiral muslimin, sidang jamaah Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Maka dari itu, hendaknya kita semua tidak memakan kecuali yang halal, karena barang siapa yang memakan harta yang haram, maka dia akan mendapatkan banyak kebinasaan. Di antara keburukan dan kebinasaan tersebut antara lain:
- Hidup tidak akan berkah
Orang yang memakan harta yang haram hidupnya tidak akan berkah. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda tentang dua orang yang bertransaksi,
البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan cacatnya dan berdusta maka akan dihilangkan keberkahan jual belinya.”([12])
Bisa jadi ada seseorang yang memiliki harta yang banyak, namun karena harta tersebut berasal dari harta yang haram, akhirnya hartanya habis begitu saja karena tidak adanya keberkahan pada hartanya. Bahkan tidak jarang karena harta yang haram tersebut menjadikannya terjerumus dalam banyak kemaksiatan, atau anak dan istrinya menjadi rusak akhlak dan agamanya, atau bahkan menjadikannya terkena penyakit yang menyebabkan hartanya habis.
Sungguh masih banyak di antara kita yang teperdaya dengan jumlah yang banyak, padahal yang penting dari sebuah harta adalah keberkahannya. Jumlah yang banyak dan berkah tentu lebih baik, akan tetapi sedikit namun diberkahi itu jauh lebih baik daripada banyak namun tidak berkah.
- Doa tidak akan dikabulkan
Orang yang memakan harta yang haram makan doanya tidak akan dikabulkan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya yang masyhur,
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Nabi ﷺ menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan (safar) -karena jauhnya jarak yang ditempuhnya-, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi kecukupan dengan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?.”([13])
- Ibadahnya tidak akan diterima
Akibat lain dari memakan harta yang haram adalah ibadahnya tidak akan diterima. Hal ini sebagaimana dalil yang telah kita sebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang safar dan berdoa, namun doanya tidak dikabulkan. Doa adalah ibadah, sehingga ini menjadi bukti bahwa memakan harta yang haram menjadikan ibadah tidak akan diterima.
Oleh karenanya pula, para ulama menyebutkan bahwasanya barang siapa yang berhaji dengan harta yang haram, maka hajinya pun tidak akan diterima. Dalam sebagian riwayat yang lemah disebutkan bahwa tatkala seseorang berhaji dengan harta yang haram, kemudian dia berkata, “Labbaik Allahumma Labbaik”, maka dikatakan kepadanya,
لَا لَبَّيْكَ وَلَا سَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُورٍ
“Tidak ada talbiyah bagimu. Bekalmu haram, hartamu haram dan hajimu tidak mabrur.”([14])
Oleh karena itu, seseorang yang memakan harta yang haram maka ibadahnya tidak akan diterima.
- Terancam dengan neraka jahanam
Ini merupakan akibat yang paling mengerikan bagi seseorang yang memakan harta yang haram, yaitu dia diancam dengan api neraka jahanam. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih berhak atasnya.”([15])
Inilah beberapa bentuk praktik makan harta haram yang ada di sekitar kita dan dampak buruk dari praktik tersebut. Semoga kita bisa menghindarkan diri kita dari memakan harta yang haram, agar kita tidak mendapatkan dampak-dampak buruknya.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Footnote:
__________
([1]) HR. Ibnu Hibban No. 6726, dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani.
([5]) HR. Abu Daud No. 3589, dinyatakan hasan sahih oleh Syekh al-Albani.
([7]) Lihat: HR. Abu Daud No. 3342, dinilai sahih oleh Syekh al-Albani.
([11]) HR. Abu Daud No. 2947, dinilai hasan oleh Syekh al-Albani.