Hal-hal Yang Menggugurkan Amalan
(Khutbah Jumat)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Para hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah ﷻ yang telah memudahkan kita untuk bisa melalui bulan Ramadan dengan ibadah kepada-Nya, dengan berpuasa, salat malam, dan melantunkan tilawah Al-Qur’an. Semoga Allah ﷻ menerima amalan kita semua, dan semoga Allah ﷻ menjadikan amalan-amalan tersebut sebagai sebab untuk diampuninya dosa-dosa kita dan dimasukkannya kita ke dalam surga. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
”Barang siapa yang berdiri (menunaikan salat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”. ([1])
Maka berbahagialah Anda yang tatkala di bulan Ramadan masih menyisihkan waktu untuk membaca Al-Qur’an. Maka berbahagialah Anda yang tatkala di bulan Ramadan mau berletih-letih untuk salat malam mengharap ampunan dari Allah ﷻ. Maka berbahagialah Anda yang tatkala di bulan Ramadan meneteskan air mata karena mengharapkan surga Allah ﷻ dan takut dari azab-Nya, karena Rasul kita ﷺ telah memberikan kabar gembira,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.([2])
Ramadan bulan suci telah berlalu dan sekarang telah datang bulan-bulan yang lain. Ingatlah bahwa hendaknya kita tidak beribadah hanya di bulan Ramadan saja, karena Tuhan yang kita sembah di bulan Ramadan adalah tuhan yang menguasai bulan-bulan yang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama salaf,
بِئْسَ الْقَوْمُ لَا يَعْرِفُوْنَ للهَ حَقًا إِلَّا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
“Betapa buruknya suatu kaum yang tidak mengenal hak Allah kecuali di bulan Ramadan.” ([3])
Allah ﷻ menjelaskan bahwasanya hikmah dari berpuasa adalah agar kalian bertakwa,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Sekarang, apakah setelah selesai bulan Ramadan kita masih bertakwa? Ini yang menjadi ujian bagi kita. Saat ini belenggu-belenggu setan telah dilepaskan dan setan mulai mudah untuk menggoda bani Adam. Maka 11 bulan ke depan ini, apakah kita bisa menjaga ketakwaan yang telah diraih tatkala di bulan Ramadan?
Para hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ, pada kesempatan yang berbahagia ini, di antara perkara penting yang perlu disampaikan adalah bagaimana menjaga amalan kita agar tidak rusak dan agar tidak gugur. Sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qayyim ﷺ,
وَلَيْسَ الشَّأْنُ فِي العَمَلِ، إِنَّمَا الشَّأْنُ فِي حِفْظِ العَمَلِ مِمَّا يُفْسِدُهُ وَيُحْبِطُهُ
“Dan bukanlah perkara yang penting dengan banyaknya beramal, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana menjaga amal kita agar tidak rusak dan tidak gugur.” ([4])
Di sana ada perkara-perkara yang hendaknya kita jauhi karena perkara-perkara tersebut bisa merusak amalan kita, atau bahkan bisa menggugurkan amalan kita. Di antara perkara-perkara yang bisa merusak amalan kita antara lain:
Pertama: Keluar dari Islam
Allah ﷻ berfirman di dalam Al-Qur’an,
﴿وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴾
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Kedua: Berbuat syirik
Barang siapa yang meninggal dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah ﷻ maka seluruh amalannya akan gugur meskipun dia telah beribadah selama berpuluh-puluh tahun. Meskipun dia salat, meskipun dia haji, meskipun dia bersedekah, meskipun dia banyak melakukan banyak kebajikan, namun jika dia meninggal dalam kondisi syirik akbar kepada Allah ﷻ maka seluruh amalannya akan gugur. Allah ﷻ berfirman,
﴿إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ﴾
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS. Az-Zumar: 65)
Rasulullah ﷺ tentunya tidak akan berbuat kesyirikan, akan tetapi Allah ﷻ mengumpamakan jika seandainya Muhammad yang beliau merupakan makhluk dan manusia paling mulia yang pernah ada di muka bumi ini berbuat kesyirikan, sungguh akan benar-benar gugur amalannya. Jika demikian, maka bagaimana lagi dengan kita yang derajatnya jauh di bawah Rasulullah ﷺ, apakah kita merasa aman jika dia berbuat kesyirikan? Apakah kita merasa aman bahwasanya amalan kita tidak akan gugur? Sungguh amalan kita akan digugurkan oleh Allah ﷻ apabila kita berbuat syirik.
Ketiga: Riya’
Beramal saleh dengan harapan pujian kepada manusia dan beramal saleh dengan mengharapkan penghormatan kepada manusia adalah di antara sebab yang menggugurkan amalan seseorang. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah ﷺ? Rasulullah ﷺ menjawab: Riya’.” ([5])
Rasulullah ﷺ juga telah bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ؟ قَالَ: قُلْنَا: بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajal?” Abu Sa’id berkata: Kami menjawab, ‘Tentu’. Beliau bersabda, ‘Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan salat dan membaguskan salatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya’.” ([6])
Orang tersebut memperpanjang salatnya bukan karena Allah ﷻ, dia menghiasi salatnya bukan karena Allah ﷻ, dan mengindahkan lantunan bacaan Al-Qur’annya bukan karena Allah ﷻ, akan tetapi dia lakukan itu semua agar dipuji oleh manusia.
Oleh karenanya, sungguh menyedihkan kondisi orang yang riya’, yang beramal saleh karena ingin dipuji oleh manusia, karena dia mendahulukan untuk memperoleh pujian manusia dan dia meninggalkan untuk mendapatkan pujian dari Allah ﷻ. Dia lebih mementingkan ganjaran dunia dan meninggalkan ganjaran akhirat. Dia tidak mengagungkan Allah ﷻ, akan tetapi dia mengagungkan manusia yang penuh dengan kehinaan. Dia berharap mendapatkan ganjaran di dunia berupa pujian dengan meninggalkan ganjaran yang akan Allah ﷻ berikan di akhirat.
Para hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ, di antara perkara yang membahayakan dan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam riya’ adalah perbuatan sebagian orang yang sering menunjukkan amal ibadahnya. Ketika dia menunaikan ibadah haji, dia memfoto dirinya. Tatkala di depan Ka’bah dia memfoto dirinya. Tatkala sedang berdoa dia memfoto dirinya. Tatkala sedang membaca Al-Qur’an, dia memfoto dirinya. Kemudian semua foto-foto tersebut dipajang di media-media sosial. Seandainya perbuatan tersebut untuk motivasi orang lain maka tentu hal tersebut menjadi perkara yang baik. Akan tetapi, dikhawatirkan dia melakukan hal tersebut untuk dipuji, untuk mendapatkan komentar orang lain, dan untuk memamerkan ibadahnya, seperti orang yang beribadah haji kemudian tujuannya hanya ingin dipanggil dengan “pak haji”. Hal ini sangat merugikan, karena dia telah mengeluarkan uang yang sangat banyak dan menanti masa penantian yang sangat lama hanya dengan tujuan dipanggil dengan “pak haji” dan agar dihormati oleh masyarakat. Amalan yang seperti ini tidak akan diterima oleh Allah ﷻ, karena dia melakukan ibadah bukan karena ikhlas, akan tetapi karena riya’.
Di akhirat kelak, Allah ﷻ akan menghinakan orang-orang yang riya’, Rasulullah ﷺ bersabda menyebutkan firman Allah ﷻ,
اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan disisi mereka?” ([7])
Seakan-akan Allah ﷻ berkata kepada orang yang riya’, “Kalian dahulu beramal bukan karena Aku, akan tetapi kalian beramal karena mengharapkan pujian dari manusia, maka carilah pahala dari mereka apakah kalian akan mendapatkan balasan?” Jawabannya tentu tidak sama sekali.
Keempat: Pergi ke dukun
Perkara ini adalah perkara yang sangat mengerikan. Tatkala kita melihat bagaimana dukun-dukun sangat laris di tanah air kita, karena hampir di setiap kota memiliki dukun, bahkan mungkin di setiap kecamatan pun memiliki dukun, sungguh ini adalah hal yang sangat mengerikan.
Dukun sangat banyak, dan lebih banyak lagi orang yang percaya kepada dukun. Padahal kita tahu bahwasanya kebanyakan para dukun bukanlah orang yang berpendidikan. Bagaimana kita tidak sedih melihat orang yang telah sarjana kemudian percaya kepada dukun yang tidak lulus SD, di manakah akal mereka? Tidakkah mereka takut dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ ini,
“Barang siapa mendatangi tukang tenung lalu dia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam?”
Ketahui pula bahwa sabda Nabi Muhammad ﷺ ini juga berlaku bagi orang-orang yang membaca ramalan-ramalan bintang, karena ramalan-ramalan bintang di antara bentuk perdukunan. Maka hati-hati, jangan sampai kita membaca ramalan-ramalan bintang, apalagi sampai memasukkannya ke dalam rumah-rumah kita, dan tidak boleh bagi siapa pun untuk membacanya, karena ini adalah bentuk dari perdukunan. Barang siapa yang membacanya, maka dikhawatirkan salatnya tidak akan diterima selama 40 hari.
Sabda Nabi Muhammad ﷺ ini hanya berbicara tentang orang yang sekedar bertanya, adapun orang yang percaya kepada perkataan dukun maka hukumannya akan lebih besar. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi dukun lalu ia membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah mengingkari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad ﷺ.” ([8])
Kelima: Minum khamar.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Barang siapa minum khamar maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi (hari).” ([9])
Sungguh merugi orang-orang yang meminum khamar. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا، حُرِمَهَا فِي الآخِرَةِ
“Barang siapa meminum khamr di dunia dan tidak bertaubat, maka akan di haramkan baginya di akhirat kelak.” ([10])
Orang yang meminum khamar di dunia, maka dia tidak akan meminum khamar di akhirat kelak. Ini adalah hukuman bagi orang yang menyegerakan kenikmatan di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan kenikmatan ketika di akhirat kelak.
Sungguh aneh orang yang diberi kenikmatan akal dan kecerdasan oleh Allah ﷻ lantas dia menghilangkan akalnya dengan meminum khamar, sehingga masuklah dia ke dalam rombongan orang-orang yang gila. Apakah dia rida ketika disamakan dengan orang-orang yang gila dan tidak berakal? Tentu tidak! Namun demikianlah, ketika syahwat telah memenuhi diri seseorang maka dia tidak akan peduli, dia akan tetap meminum khamar demi mendapatkan kenikmatan sementara dan mengorbankan kenikmatan yang abadi.
Keenam: Meninggalkan Salat Ashar
Secara umum, meninggalkan salat adalah dosa besar, terlebih lagi salat Ashar. Allah ﷻ mengkhususkan salat Ashar sebagaimana dalam firman-Nya,
﴿حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴾
“Peliharalah semua salatmu, dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Siapa yang meninggalkan salat Ashar, maka amalnya akan gugur.” ([11])
Sesungguhnya, menjaga salat Ashar adalah ibadah yang sangat mulia. Dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ صَلَّى البَرْدَيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang salat bardain (salat Subuh dan salat Asar) maka ia akan masuk surga.”([12])
Salat Ashar salah satu dari dua sebab seseorang akan merasakan kenikmatan indahnya melihat wajah Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا
“Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan salat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah.” ([13])
Ini dalil bahwasanya menjaga salat Ashar merupakan sebab seseorang mendapatkan kenikmatan indahnya melihat wajah Allah ﷻ pada hari kiamat kelak. Berhati-hatilah, betapa banyak orang yang bermudah-mudahan dalam meninggalkan salat Ashar, terutama orang-orang yang bekerja di siang hari, tatkala mereka pulang kelelahan lantas mereka tidur sehingga mereka meninggalkan salat Ashar.
أَقٌولُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيئَةٍ فَأَسْتَغْفِرُهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِه، وَأَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، أَللَّهُمَّ صَلِى عَلَيهِ وعَلَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ
Para hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ. Di antara sebab lain yang bisa membatalkan amal saleh antara lain:
Ketujuh: Al-Mann, yaitu mengungkit-ungkit kebaikan atau mengungkit-ungkit sedekah
Allah ﷻ berfirman,
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Oleh karenanya, jika memberi bantuan kepada orang lain, maka hendaknya kita lupakan dan jangan kita ungkit-ungkit, karena ini bisa menyakitkan hatinya, dan akhirnya ketika kita mengungkit-ungkit amalan kita, maka akan gugur amalan kita, bahkan kita diancam dengan azab yang pedih. Dalam hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah ﷺ membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata, ‘Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang melakukan isbal (memanjangkan pakaian), orang yang suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya’), dan orang yang membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu’.” ([14])
Sungguh akan sakit hati orang yang menerima pemberian tatkala kita mengatakan kepadanya: “Bukankah saya pernah membantu engkau, meringankan bebanmu, melunaskan hutangmu, membantumu?” Sungguh perkataan ini akan menggugurkan amalan baiknya. Maka dari itu, hendaknya kita menjadi seseorang yang ketika berinfak tidak berharap kecuali ganjaran dari Allah ﷻ, sebagaimana perkataan kaum mukminin penghuni surga,
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)
Kedelapan: Mengangkat suara di atas suara Nabi Muhammad ﷺ
Allah ﷻ berfirman,
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat: 2)
Para ulama mengatakan, jikalau Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, lantas kita berkata keras di hadapan Nabi Muhammad ﷺ, maka apa yang kita lakukan tersebut bisa menggugurkan amalan kita. Lantas, bagaimana jika seseorang tidak hanya sekedar mengeraskan suara? Bahkan menyelisihi hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ?
Tentu ini perkara yang sangat menyedihkan sebagian orang, ketika didatangkan hadis-hadis yang sahih bahwasanya Rasulullah ﷺ mengatakan demikian, lalu dia mengatakan bahwa dia lebih percaya perkataan ustaznya, gurunya, kiainya, atau para syekhnya, lalu dia mencampakkan hadis-hadis Rasulullah ﷺ dan menolak hadis tersebut, kita khawatir orang yang seperti ini akan gugur amalannya. Kita tahu bahwasanya para ulama memiliki kedudukan yang sangat mulia akan tetapi mereka tidak ada yang maksum (terjaga dari kesalahan). Berkata Imam Malik,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلَّا صاحِبَ هَذَا القَبْرِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ
“Setiap orang perkataannya diambil dan ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini (yaitu Nabi Muhammad) ﷺ.” ([15])
Maka dari itu, janganlah seseorang beragama dengan hawa nafsunya, dan jangan pula beragama dengan mengedepankan syahwatnya, sehingga ketika datang hadis-hadis yang sahih dia pun menolaknya dengan berdalil dengan perkataan syekh, guru, ustaz, atau yang lainnya, karena maka ini bisa menggugurkan amal salehnya.
Kesembilan: Bersumpah dengan nama Allah ﷻ dengan menyatakan bahwasanya si fulan tidak akan diampuni oleh Allah ﷻ
Rasulullah ﷺ mengisahkan tentang dua orang dari Bani Israil,
كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ، كَانَ أَحَدُهُمَا مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى نَفْسِهِ، فَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ، فَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى ذَنْبٍ، فَيَقُولُ: يَا هَذَا، أَقْصِرْ. فَيَقُولُ: خَلِّنِي وَرَبِّي، أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ قَالَ: إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ، فَقَالَ لَهُ: وَيْحَكَ، أَقْصِرْ. قَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي، أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا، قَالَ: فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا. قَالَ أَحَدُهُمَا، قَالَ: فَبَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا، فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، وَاجْتَمَعَا عِنْدَهُ، فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي. وَقَالَ لِلْآخَرِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا، أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا، اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ “.
“Ada dua orang laki-laki dari bani Israil yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat dalam beribadah. Orang yang giat dalam beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, “Berhentilah.” Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, “Berhentilah.” Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!” Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.” Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?” Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: “Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan berkata kepada ahli ibadah: “Pergilah kamu ke dalam neraka.”([16])
Ketika seseorang telah memvonis dengan suatu kalimat “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu”, maka berarti dia telah menyempitkan rahmat Allah ﷻ yang sangat luas. Maka berhati-hatilah, jangan sampai ketika kita emosi kemudian mengucapkan perkataan-perkataan yang melebihi syariat Allah ﷻ. Abu Hurairah t yang meriwayatkan hadis ini dia berkata,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
“Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.”([17])
Demikianlah para hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ, kita berharap semoga Allah ﷻ menerima amalan ibadah kita dan semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari hal-hal yang bisa merusak, mengurangi, atau menggugurkan amal ibadah kita.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الْكُفْرَ وَالْكَافِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
اللَّهُمَّ تَقَبَّل مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
Footnote:
([1]) HR. Bukhari No. 37 dan Muslim No. 759.
([2]) HR. Bukhari No. 38 dan Muslim No. 760.
([3]) Lihat: Lathaif al-Ma’arif (1/222).
([4]) Lihat: Al-Wabil ash-Shoyyib min al-Kalam ath-Thayyib (1/11).
([5]) HR. Ahmad No. 23630, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa hadis ini hasan.
([6]) HR. Ibnu Majah No. 4204.
([7]) HR. Ahmad No. 23630, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa hadis ini hasan.
([8]) HR. Ahmad No. 9536, dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bawah hadis ini hasan.
([9]) HR. At-Tirmidzi No. 1862, dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([10]) HR. Bukhari No. 5575 dan Muslim No. 2003.
([12]) HR. Bukhari No. 574 dan Muslim No. 635.
([13]) HR. Bukhari No. 554 dan Muslim No. 663.
([16]) HR. Ahmad No. 8292, dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa hadis ini hasan.