Selayang Pandang
Saudaraku pembaca, Kitābul Jāmi’ adalah bagian dari kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām yang ditulis oleh Al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat 852 H). Beliau rahimahullah menjadikan Kitābul Jāmi’ sebagai bab penutup dari karya fenomenalnya tersebut. Nama Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām tentu tak asing bagi banyak khalayak muslim. Ia merupakan salah satu karya tulis ringkas terbaik yang merangkum sejumlah hadis Rasulullah ﷺ dalam kajian fikih. Berbagai hadis yang dimuat di dalamnya terkategorikan ke dalam hadis-hadis yang merupakan pondasi hukum Islam di kalangan para ulama. Dimulai dari Bab Taharah, Bab Salat, Bab Haji, Bab Zakat, Bab Jihad, dan seterusnya hadis demi hadis dalam kitab ini disajikan secara apik dan ringkas oleh Ibnu Hajar, termasuk pula penisbahannya kepada referensi primer di mana hadis tersebut diriwayatkan dengan sanadnya, serta penilaian terhadap derajat akurasinya.
Kitābul Jāmi’ sejatinya tidaklah berhubungan dengan masalah fikih terkait bab tertentu, melainkan lebih cenderung berhubungan dengan masalah adab dan akhlak, yaitu tentang akhlak yang baik yang harus dibiasakan, tentang akhlak yang buruk yang harus dijauhi, serta tentang zikir dan doa. Hanya saja, seakan-akan Al-Hafizh Ibnu Hajar hendak mengingatkan kepada segenap pembaca kitab Bulughul Maram, bahwasanya penguasan terhadap bab-bab fikih, sepatutnya tidak terpisahkan dari balutan adab yang baik dan akhlak yang mulia.
Seakan beliau rahimahullah hendak mengingatkan, bahwa dalam diri seseorang, apabila ilmu tidak dihiasi dengan adab dan akhlak dapat berubah menjadi kecelakaan fatal. Layaknya harta dan kedudukan, ilmu yang banyak –jika tidak disertai dengan keikhlasan dalam menuntutnya dan mengamalkannya- juga berpotensi besar menjerumuskan seseorang dalam keangkuhan dan kesombongan. Bahkan tidak jarang kita jumpai sebagian penuntut ilmu pemula yang masih ‘cetek’ ilmunya, namun sudah mulai tumbuh bibit keangkuhan dan kesombongan yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan lisannya atau pun tulisan-tulisannya. Ilmu yang sejatinya menjadikan seseorang beradab dan berakhlak bisa menjadi senjata makan tuan yang menambahkan kesombongan, apabila jika tidak berangkat dari niat yang benar dan tujuan yang tulus dalam menuntutnya.
Dalam sejarah tradisi penulisan ilmiah Islam, ditengarai bahwa yang pertama kali menginovasi sebutan Kitabul Jami’ adalah Imam Malik bin Anas (wafat 179 H), sebagaimana disebutkan oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al-Ma’afiri (wafat 543 H) dalam al-Qabas yang merupakan syarah milik beliau untuk kitab al-Muwaththa`.
Alasan penamaannya seperti itu oleh Imam Malik, masih menurut Ibnul ‘Arabi, adalah:
- Karena kontennya yang tidak serasi dengan bentuk taklif dari berbagai hukum yang telah terkategorisasikan ke dalam pelbagai bab dan sub-bab.
- Di saat beliau menganalisis ragam hukum syarak dan mendapatinya terbagi menjadi kelompok perintah, larangan, ibadah dan muamalah, serta jinayah, beliau pun merangkainya dan mengaitkan jenis yang satu dengan lainnya. Kemudian didapati sejumlah makna dari ajaran syarak yang tidak dapat dikelompokkan menjadi satu, juga tidak pas untuk dimasukkan satu-persatunya ke dalam suatu bab terpisah dari lainnya karena terlalu ringkas. Akhirnya, beliau pun mengumpulkan dan merangkaikannya menjadi satu dalam kumpulan yang kemudian diberi nama Kitabul Jami’. Apa yang beliau kreasi ini selanjutnya membuka horizon para penulis di masa-masa selanjutnya.[1]
Dilihat dari sistematika penyusunan Bulughul Maram, dalam hal penyertaan Kitabul Jami’ dan penempatannya pada bagian paling akhir, tampaknya al-Hafizh Ibnu Hajar mengikuti para ulama pendahulunya yang juga menuliskan buku kompilasi hadis-hadis hukum secara ringkas semisal Ibnu Daqiq al-Ied (wafat 702 H) dalam al-Ilmam dan Ibnu Abdil Hadi (wafat 744 H) dalam al-Muharrar.
Al-jami’ dalam bahasa Arab artinya yang mengumpulkan atau yang mencakup. Ia disebut sebagai Kitābul Jāmi’, karena kitab ini mencakup 6 bab yang berkaitan dengan akhlak, yaitu sebagai berikut:
_ Bab Pertama – Bab al-Adab.
_ Bab Kedua – Bab al-Birr wa ash-Shilah, yaitu bab tentang bagaimana beramal kebajikan dan bagaimana mengukuhkan tali silaturahim.
_ Bab Ketiga – Bab az-Zuhd wa al–Wara’, tentang zuhud dan sifat warak.
_ Bab Keempat – Bab at-Targhib min Makarim al-Akhlaq, bab yang berisi peringatan dari akhlak-akhlak yang buruk.
_ Bab Kelima – Bab at-Targhib min Makarim al-Akhlaq, bab yang berisi motivasi untuk berakhlak mulia.
_ Bab Keenam – Bab adz-Dzikr wa ad–Du’ā, bab yang berkaitan dengan zikir dan doa.
Footnote:
___________
[1] Lihat: Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, al-Qabas, 3/1082. Uraian serupa juga dikutip dari Ibnul ‘Arabi oleh as-Suyuthi dalam Tanwir al-Hawalik, 3/82, namun dinisbahkan kepada tafsirnya.