Kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini kita akan bercerita tentang kisah seorang Nabi yang sangat mulia, yang merupakan contoh dalam hal kesabaran yang sangat luar bisa. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Shad: 44)
Tentunya kehidupan kita tidak lepas dari ujian, bahkan sebagian kita diuji dengan ujian yang berat. Maka ketika kita mendengar kisah-kisah orang-orang terdahulu tentang bagaimana sabarnya mereka, paling tidak hal itu akan menghibur diri kita dan mengurangi kepedihan atau kesulitan yang sebagian orang di antara kita yang diuji dengan ujian dan penderitaan.
Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah-kisah para Nabi tidak lain agar kita mengambil ibrah untuk meneladani mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90)
Ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau mengikuti petunjuk para Nabi terdahulu, maka tentu bagi kita umatnya sangat perlu untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka. Dan sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (QS. Yusuf: 176)
Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah salah satu dari para Nabi yang Allah Subhanahu wa ta’ala kisahkan di dalam Al-Quran, yang dengan tegas Allah Subhanahu wa ta’ala memberi wahyu kepada beliau. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا، وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Daud. Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman secara langsung.” (QS. An-Nisa: 163-164)
Terdapat banyak para nabi dan rasul, akan tetapi tidak semua Allah Subhanahu wa ta’ala kisahkan kepada kita. Namun Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah salah satu dari para nabi-nabi yang Allah Subhanahu wa ta’ala ceritakan kisahnya.
Adapun Nabi Ayub ‘alaihissalam, maka beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam([1]), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yakub kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk, dan sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-An’am: 84)
Mengenai nasab Nabi Ayub ‘alaihissalam maka terdapat khilaf yang panjang di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan beberapa pendapat di kalangan ahli sejarah dalam Fathul Bari, di antaranya beliau menyebutkan :
أَيُّوبُ بْنُ سَارِي بْنِ رِغْوَالَ بْنِ عِيصُو بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Ayub bin Sari bin Righwaal bin ‘Ishu bin Ishak bin Ibrahim. Ini adalah salah satu pendapat, terdapat pendapat yang lain, akan tetapi semua pendapat tersebut kembali kepada Ishak bin Ibrahim, karena nabi Bani Israil pasti keturunan Ishak bin Ibrahim. Akan tetapi tidak ada dalil yang tegas tentang siapa nama ayah dan kakek dari Nabi Ayub ‘alaihissalam. Sebagian ulama berpendapat bahwa Íshu bin Ishaq menikah dengan putri Ismaíl álaihis salam (yang Ismaíl álaihis salam adalah pamannya Íshu) maka lahirlah Righwaal.([2])
Namun sebagian ulama berpendapat yang lain, Muhammad bin Saib Al-Kalbiy mengatakan,
أَوَّلُ نَبِيٍّ بُعِثَ إِدْرِيسُ، ثُمَّ نُوحٌ، ثمَّ إِبْرَاهِيم، ثمَّ إِسْمَاعِيل، ثمَّ إِسْحَق، ثُمَّ يَعْقُوبُ، ثُمَّ يُوسُفُ، ثُمَّ لُوطٌ، ثُمَّ هُودٌ، ثُمَّ صَالِحٌ، ثُمَّ شُعَيْبٌ، ثُمَّ مُوسَى وهرون، ثُمَّ إِلْيَاسُ، ثُمَّ الْيَسَعُ، ثُمَّ يُونُسُ، ثمَّ أيوب
“Nabi yang pertama diutus adalah Idris, kemudian Nuh, kemudian Ibrahim, kemudian Ismail, kemudian Ishak, kemudian Ya`qub, kemudian Yusuf, Kemudian Luth, Kemudian Hud, kemudian Shalih, Kemudian Syu`aib, kemudian Musa dan Harun, kemudian Ilyas, kemudian Ilyasa`, kemudian Yunus, Kemudian Ayub.”([3])
Berdasarkan pendapat ini maka Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah termasuk nabi-nabi yang diutus belakangan, dan dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun sebagian telah lalu, para ulama berbeda berpendapat lain dalam hal ini, ada yang berpendapat bahwa Ayub álaihis salam setelah nabi Syuáib álaihis salam, ada yang mengatakan sebelum nabi Musa álaihis salam, dan ada yang mengatakan nabi Ayub setelah nabi Sulaiman álaihis salam([4]).
Kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam disebutkan dalam Alquran pada dua surah, pertama dalam surah Al-Anbiya`, Allah berfirman :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ، فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang’. Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (QS. Al-Anbiya`: 83-83)
Kemudian yang kedua Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surah Shad,
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ، ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ، وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ، وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku diganggu syaithan dengan penderitaan dan bencana’. (Allah berfirman), ‘Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Dan Kami menganugerahkan dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami melipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Shad: 41-44)
Berbeda dengan kisah Nabi Musa, Nabi Yusuf, Syu`aib, atau Nabi Shalih ‘alaihimassalam, maka kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam sangat pendek. Oleh karenanya jika kita ingin mengetahui kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam dengan lebih dalam dan detail, maka kita kembali kepada hadits dan atsar. Terdapat hadits yang sahih yang menceritakan tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam Shahih Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari mengatakan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا، خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ، فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى، قَالَ بَلَى يَا رَبِّ، وَلَكِنْ لاَ غِنَى لِي عَنْ بَرَكَتِكَ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Ketika Nabi Ayub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuh (dari langit) belalang yang terbuat dari emas. Lalu Ayub mengambil pakaiannya untuk mengumpulkannya. Kemudian Rabbnya memanggilnya, ‘Wahai Ayub, bukankah aku telah mencukupkan kamu dengan apa yang baru saja kamu lihat?’. Ayub menjawab. ‘Benar, wahai Rabb. Namun aku tidak akan pernah merasa cukup dari barakah-Mu’.”([5])
Ini adalah satu-satunya hadits sahih yang menyebutkan tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Lantas bagaimana kisah tentang kesabaran Nabi Ayub ‘alaihissalam? Al-Hafidzh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari,
وَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِي قصَّته مَا أخرجه بن أبي حَاتِم وبن جريج وَصَححهُ بن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ مِنْ طَرِيقِ نَافِعِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَيُّوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ابْتُلِيَ فَلَبِثَ فِي بَلَائِهِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَفَضَهُ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إِلَّا رَجُلَيْنِ مِنْ إِخْوَانِهِ فَكَانَا يَغْدُوَانِ إِلَيْهِ وَيَرُوحَانِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ لَقَدْ أَذْنَبَ أَيُّوبُ ذَنْبًا عَظِيمًا وَإِلَّا لَكُشِفَ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءُ فَذَكَرَهُ الْآخَرُ لِأَيُّوبَ يَعْنِي فَحَزِنَ وَدَعَا اللَّهَ حِينَئِذٍ
“Dan riwayat yang paling sahih yang bercerita tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir([6]), dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari jalur Nafi` bin Yazid, dari ‘Uqail, dari Az-Zuhri, Dari Anas, (dia bercerita), “Sesungguhnya Nabi Ayub ‘alaihissalam diuji dalam ujiannya selama tiga belas tahun, sehingga dia dijauhi oleh semua orang (kerabat) dekat maupun yang jauh, kecuali dua orang dari saudaranya yang biasa mengunjunginya setiap pagi dan petang hari. (Suatu ketika) salah seorang dari mereka berkata kepada yang lainnya. ‘Sesungguhnya Ayub telah melakukan suatu dosa yang amat besar. Kalau tidak, tentu cobaan (penyakit) tersebut telah diangkat (dihilangkan)’. Maka yang lainnya datang menceritakan hal tersebut kepada Nabi Ayub, maka beliau pun sedih dan berdoa kepada Allah ketika itu.”([7])
Nabi Ayub ‘alaihissalam merasa berat ketika dituduh telah melakukan dosa yang amat besar. Bahkan tuduhan tersebut terasa lebih berat daripada ujian yang sedang beliau hadapi. Kalau sakit selama tiga belas tahun masih mampu dia hadapi, akan tetapi ketika dituduh telah melakukan dosa besar sehingga diberi ujian yang begitu lama, dia bersedih dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Doa itulah yang tercantum dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya`: 83)
Orang yang mulia seperti orang-orang shalih lebih berat bagi mereka merasakan ujian dicemooh orang-orang dari pada ujian fisik.
Kemudian Anas melanjutkan haditsnya,
خَرَجَ لِحَاجَتِهِ وَأَمْسَكَتِ امْرَأَتُهُ بِيَدِهِ فَلَمَّا فَرَغَ أَبْطَأَتْ عَلَيْهِ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ أَنِ ارْكُضْ بِرِجْلِكَ فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ الْأَرْضَ فَنَبَعَتْ عَيْنٌ فَاغْتَسَلَ مِنْهَا فَرَجَعَ صَحِيحًا فَجَاءَتِ امْرَأَتُهُ فَلَمْ تَعْرِفْهُ فَسَأَلَتْهُ عَنْ أَيُّوبَ فَقَالَ إِنِّي أَنَا هُوَ وَكَانَ لَهُ أَنْدَرَانِ أَحَدُهُمَا لِلْقَمْحِ وَالْآخَرُ لِلشَّعِيرِ فَبَعَثَ اللَّهُ لَهُ سَحَابَةً فَأَفْرَغَتْ فِي أَنْدَرِ الْقَمْحِ الذَّهَبَ حَتَّى فَاضَ وَفِي أَنْدَرِ الشَّعِيرِ الْفضة حَتَّى فاض
“(Suatu hari) Nabi Ayub keluar untuk suatu hajat dan istrinya memegang tangannya (kemudian pergi). Ketika Nabi Ayub telah selesai dari hajatnya, istrinya terlambat. Maka Allah mewahyukan kepadanya ‘Hentakkan kakimu’. Nabi Ayub kemudian mengentakkan kakinya di tanah, maka muncullah mata air dan dia mandi dengan air tersebut. Seketika itu pula dia langsung sehat. Ketika istrinya datang, dia tidak mengenalinya. Maka istrinya bertanya kepada tentang (dimana) Nabi Ayub. Maka Nabi Ayub berkata, ‘Aku adalah Ayub’. Dan disebutkan Nabi Ayub memiliki dua tempat gandum, satunya untuk gandum cokelat dan satunya untuk gandum putih. Kemudian Allah mengirim awan dan menurunkan darinya emas pada tempat gandum cokelat hingga meluber, dan menurunkan perak pada tempat gandum putih hingga meluber.”([8])
Al-Hafidzh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa secara dzahir seluruh kisah-kisah yang datang mengenai Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah kisah-kisah yang tidak kuat menurut Imam Al-Bukhari. Oleh karenanya Imam Al-Bukhari hanya menyebutkan satu hadits tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam([9]).
Adapun kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam lainnya yang lebih detail maka datang dalam kisah-kisah israiliyat.
Apakah yang dimaksud dengan kisah israiliyat? Kisah israiliyat adalah kisah-kisah yang berkaitan dengan nabi-nabi Bani Israil dan kaumnya, namun kisah tersebut bukan diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (karena kalau Nabi shallallahu álaihi wasallam yang menceritakan tentu menjadi hadits Nabi shallallahu álaihi wasallam), melainkan kisah-kisah tersebut disampaikan oleh para sahabat atau tabi`in. Sehingga kisah-kisah israiliyat ini bukanlah hadits, melainkan para sahabat yang mendengar dari orang-orang Yahudi. Kisah israiliyat juga ada dua model, ada yang sanadnya sahih dan ada yang sanadnya lemah. Adapun sikap kita terhadap kisah israiliyat yang datang dengan sanad sahih tergantung tiga model,
Pertama, jika matan (kontennya) sesuai dengan syariat Islam maka tidak mengapa untuk disampaikan.
Kedua, jika matannya bertentangan syariat Islam maka kita tolak karena riwayat tersebut palsu. Karena memang ada dalam sebagian riwayat kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam yang bertentangan dengan syariat.
Ketiga, jika matannya tidak dibenarkan dan tidak pula ditolak oleh syariat Islam maka boleh untuk disampaikan([10]). Sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
حَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ
“Ceritakanlah riwayat dari Bani Israil, dan itu tidak mengapa.”([11])
Maka sikap kita terhadap kisah israiliyat adalah kisah yang dibenarkan syariat kita benarkan, yang didustakan oleh syariat kita dustakan, dan yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan maka boleh diriwayatkan.
Namun perlu untuk kita ketahui bahwa kita tidak bisa memahami apa yang dialami oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam kecuali dengan riwayat-riwayat dari kisah israiliyat. Oleh karenanya jika kita melihat buku tafsir, maka para Ahli Tafsir dalam menyampaikan kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam, mereka membawakan kisah-kisah israiliyat. Diantara Ahli Tafsir yang sangat kritis dalam menghadapi kisah-kisah israiliyat adalah Ibnu Katsir rahimahullah. Ketika Ibnu Katsir telah bercerita tentang kisah-kisah tentang nabi-nabi Bani Israil, maka beliau terkadang membawakan riwayat israiliyat, namun beliau mengkritiki jika riwayat tersebut tidak benar. Demikianlah metode Ibnu Katsir rahimahullah dalam menyikapi kisah-kisah israiliyat.
Al-Hafidzh Ibnu Hajar juga menyebutkan beberapa kisah lain dari para salaf seperti dari Wahab bin Munabbih, Muhammad bin Ishaq, Ibnu ‘Abbas, dan dari yang lainnya. Namun ada kisah israiliyat yang sangat panjang, yang sering disebutkan oleh para ahli tafsir. Kisah tersebut menggambarkan tentang bagaimana ujian yang dialami oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam. Akan tetapi riwayat tersebut sulit untuk dikatakan sebagai riwayat yang sahih, hanya saja riwayat tersebut disebutkan oleh para ulama. Kita akan sebutkan kisah tersebut sebagai tambahan pengetahuan tentang adanya riwayat-riwayat tersebut. Dan cukuplah bagi kita riwayat-riwayat yang sahih. Kisah tersebut datang dari Hasan Al-Bashri rahimahullah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya. Hasan Al-Bashri mengatakan,
إِنَّ أَيُّوبَ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَأَوْسَعَ عَلَيْهِ، وَلَهُ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالْإِبِلِ. وَإِنَّ عَدُوَّ اللَّهِ إِبْلِيسَ قِيلَ لَهُ: هَلْ تَقْدِرُ أَنْ تَفْتِنَ أَيُّوبَ؟ قَالَ: رَبِّ إِنَّ أَيُّوبَ أَصْبَحَ فِي دُنْيَا مِنْ مَالٍ وَوَلَدٍ، وَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ لَا يَشْكُرَكَ، وَلَكِنْ سَلِّطْنِي عَلَى مَالِهِ، وَوَلَدِهِ، فَسَتَرَى كَيْفَ يُطِيعُنِي وَيَعْصِيكَ قَالَ: فَسَلَّطَهُ عَلَى مَالِهِ وَوَلَدِهِ. قَالَ: فَكَانَ يَأْتِي بِالْمَاشِيَةِ مِنْ مَالِهِ مِنَ الْغَنَمِ فَيَحْرِقُهَا بِالنِّيرَانِ، ثُمَّ يَأْتِي أَيُّوبَ وَهُوَ يُصَلِّي مُتَشَبِّهًا بِرَاعِي الْغَنَمِ، فَيَقُولُ: يَا أَيُّوبُ تُصَلِّي لِرَبِّكَ مَا تَرَكَ اللَّهُ لَكَ مِنْ مَاشِيَتِكَ شَيْئًا مِنَ الْغَنَمِ إِلَّا أَحْرَقَهَا بِالنِّيرَانِ، وَكُنْتُ نَاحِيَةً، فَجِئْتُ لِأُخْبِرَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ أَيُّوبُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْطَيْتَ وَأَنْتَ أَخَذْتَ، مَهْمَا تُبْقِي نَفْسِي أَحْمَدْكَ عَلَى حُسْنِ بَلَائِكَ، فَلَا يَقْدِرُ مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا يُرِيدُ ثُمَّ يَأْتِي مَاشِيَتَهُ مِنَ الْبَقَرِ فَيَحْرِقُهَا بِالنِّيرَانِ، ثُمَّ يَأْتِي أَيُّوبَ فَيَقُولُ لَهُ ذَلِكَ، وَيَرُدُّ عَلَيْهِ أَيُّوبُ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: وَكَذَلِكَ فَعَلَ بِالْإِبِلِ حَتَّى مَا تَرَكَ لَهُ مِنْ مَاشِيَةٍ، حَتَّى هَدَمَ الْبَيْتَ عَلَى وَلَدِهِ، فَقَالَ: يَا أَيُّوبُ أَرْسَلَ اللَّهُ عَلَى وَلَدِكَ مَنْ هَدَمَ عَلَيْهِمُ الْبُيُوتَ حَتَّى هَلَكُوا فَيَقُولُ أَيُّوبُ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: رَبِّ هَذَا حِينَ أَحْسَنْتَ إِلَيَّ الْإِحْسَانَ كُلَّهُ، قَدْ كُنْتُ قَبْلَ الْيَوْمِ يَشْغَلُنِي حُبُّ الْمَالِ بِالنَّهَارِ، وَيَشْغَلُنِي حُبُّ الْوَلَدِ بِاللَّيْلِ شَفَقَةً عَلَيْهِمْ، فَالْآنَ أُفَرِّغُ سَمْعِي وَبَصَرِي، وَلَيْلِي وَنَهَارِي بِالذِّكْرِ وَالْحَمْدِ وَالتَّقْدِيسِ وَالتَّهْلِيلِ فَيَنْصَرِفُ عَدُوُّ اللَّهِ مِنْ عِنْدِهِ، لَمْ يُصِبْ مِنْهُ شَيْئًا مِمَّا يُرِيدُ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: كَيْفَ رَأَيْتَ أَيُّوبَ قَالَ إِبْلِيسُ: يَا أَيُّوبُ قَدْ عَلِمَ أَنَّكَ سَتَرُدُّ عَلَيْهِ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، وَلَكِنْ سَلِّطْنِي عَلَى جَسَدِهِ، فَإِنْ أَصَابَهُ الضُّرُّ فِيهِ أَطَاعَنِي وَعَصَاكَ قَالَ: فَسُلِّطَ عَلَى جَسَدِهِ، فَأَتَاهُ فَنَفَخَ فِيهِ نَفْخَةً، قَرِحَ مِنْ لَدُنْ قَرْنِهِ إِلَى قَدَمِهِ. قَالَ: فَأَصَابَهُ الْبَلَاءُ بَعْدَ الْبَلَاءِ، حَتَّى حُمِلَ فَوُضِعَ عَلَى مَزْبَلَةِ كُنَاسَةٍ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ. فَلَمْ يَبْقَ لَهُ مَالٌ وَلَا وَلَدٌ وَلَا صَدِيقٌ وَلَا أَحَدٌ يَقْرَبُهُ غَيْرُ زَوْجَتِهِ، صَبَرَتْ مَعَهُ بِصِدْقٍ، وَكَانَتْ تَأْتِيهِ بِطَعَامٍ، وَتَحْمَدُ اللَّهَ مَعَهُ إِذَا حَمِدَ، وَأَيُّوبُ عَلَى ذَلِكَ لَا يَفْتُرُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ، وَالتَّحْمِيدِ وَالثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ، وَالصَّبْرِ عَلَى مَا ابْتَلَاهُ اللَّهُ. قَالَ الْحَسَنُ: فَصَرَخَ إِبْلِيسُ عَدُوُّ اللَّهِ صَرْخَةً جَمَعَ فِيهَا جُنُودَهُ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ جَزَعًا مِنْ صَبْرِ أَيُّوبَ، فَاجْتَمَعُوا إِلَيْهِ وَقَالُوا لَهُ: جَمَعْتَنَا، مَا خَبَرُكَ؟ مَا أَعْيَاكَ؟ قَالَ: أَعْيَانِي هَذَا الْعَبْدُ الَّذِي سَأَلْتُ رَبِّيَ أَنْ يُسَلِّطَنِي عَلَى مَالِهِ وَوَلَدِهِ، فَلَمْ أَدَعْ لَهُ مَالًا وَلَا وَلَدًا، فَلَمْ يَزْدَدْ بِذَلِكَ إِلَّا صَبْرًا وَثَنَاءً عَلَى اللَّهِ وَتَحْمِيدًا لَهُ، ثُمَّ سُلِّطْتُ عَلَى جَسَدِهِ فَتَرَكْتُهُ قُرْحَةً مُلْقَاةً عَلَى كُنَاسَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ، لَا يَقْرَبُهُ إِلَّا امْرَأَتُهُ، فَقَدِ افْتُضِحْتُ بِرَبِّي، فَاسْتَعَنْتُ بِكُمْ، فَأَعِينُونِي عَلَيْهِ قَالَ: فَقَالُوا لَهُ: أَيْنَ مَكْرُكَ؟ أَيْنَ عِلْمُكَ الَّذِي أَهْلَكْتَ بِهِ مَنْ مَضَى؟ قَالَ: بَطُلَ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي أَيُّوبَ، فَأَشِيرُوا عَلَيَّ قَالُوا: نُشِيرُ عَلَيْكَ، أَرَأَيْتَ آدَمَ حِينَ أَخْرَجْتَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، مِنْ أَيْنَ أَتَيْتَهُ؟ قَالَ: مِنْ قِبَلِ امْرَأَتِهِ، قَالُوا: فَشَأْنَكَ بِأَيُّوبَ مِنْ قِبَلِ امْرَأَتِهِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَعْصِيَهَا، وَلَيْسَ أَحَدٌ يَقْرَبُهُ غَيْرُهَا. قَالَ: أَصَبْتُمْ. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى امْرَأَتَهُ وَهِيَ تَصَدَّقُ، فَتَمَثَّلَ لَهَا فِي صُورَةِ رَجُلٍ، فَقَالَ: أَيْنَ بَعْلُكِ يَا أَمَةَ اللَّهِ؟ قَالَتْ: هُوَ ذَاكَ يَحُكُّ قُرُوحَهُ، وَيَتَرَدَّدُ الدَّوَابُّ فِي جَسَدِهِ. فَلَمَّا سَمِعَهَا طَمِعَ أَنْ تَكُونَ كَلِمَةَ جَزَعٍ، فَوَقَعَ فِي صَدْرِهَا فَوَسْوَسَ إِلَيْهَا , فَذَكَّرَهَا مَا كَانَتْ فِيهِ مِنَ النِّعَمِ، وَالْمَالِ وَالدَّوَابِّ، وَذَكَّرَهَا جَمَالَ أَيُّوبَ وَشَبَابَهُ، وَمَا هُوَ فِيهِ مِنَ الضُّرِّ، وَأَنَّ ذَلِكَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهُمْ أَبَدًا ” قَالَ الْحَسَنُ: ” فَصَرَخَتْ، فَلَمَّا صَرَخَتْ، عَلِمَ أَنْ قَدْ صَرَخَتْ وَجَزِعَتْ، أَتَاهَا بِسَخْلَةٍ، فَقَالَ: لِيُذْبَحْ هَذَا إِلَيَّ أَيُّوبَ وَيَبْرَأُ، قَالَ: فَجَاءَتْ تَصْرُخُ: يَا أَيُّوبُ، يَا أَيُّوبُ، حَتَّى مَتَى يُعَذِّبُكَ رَبُّكَ، أَلَا يَرْحَمُكَ؟ أَيْنَ الْمَاشِيَةُ؟ أَيْنَ الْمَالُ؟ أَيْنَ الْوَلَدُ؟ أَيْنَ الصَّدِيقُ؟ أَيْنَ لَوْنُكَ الْحَسَنُ , قَدْ تَغَيَّرَ، وَصَارَ مِثْلَ الرَّمَادِ؟ أَيْنَ جِسْمُكَ الْحَسَنُ الَّذِي قَدْ بَلِيَ وَتَرَدَّدَ فِيهِ الدَّوَابُّ؟ اذْبَحْ هَذِهِ السَّخْلَةَ وَاسْتَرِحْ قَالَ أَيُّوبُ: أَتَاكِ عَدُوُّ اللَّهِ فَنَفَخَ فِيكِ، فَوَجَدَ فِيكِ رِفْقًا وَأَجَبْتِهِ، وَيْلَكَ أَرَأَيْتِ مَا تَبْكِينَ عَلَيْهِ مِمَّا تَذْكُرِينَ مَا كُنَّا فِيهِ مِنَ الْمَالِ وَالْوَلَدِ وَالصِّحَّةِ وَالشَّبَابِ؟ مَنْ أَعْطَانِيهِ؟ قَالَتِ: اللَّهُ. قَالَ: فَكَمْ مُتِّعْنَا بِهِ؟ قَالَتْ: ثَمَانِينَ سَنَةً. قَالَ: فَمُذْ كَمِ ابْتَلَانَا اللَّهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ الَّذِي ابْتَلَانا بِهِ؟ قَالَتْ: مُنْذُ سَبْعِ سِنِينَ وَأَشْهُرٍ. قَالَ: وَيْلَكَ وَاللَّهِ مَا عَدَلْتِ وَلَا أَنْصَفْتِ رَبَّكِ أَلَا صَبَرْتِ حَتَّى نَكُونَ فِي هَذَا الْبَلَاءِ الَّذِي ابْتَلَانَا رَبُّنَا بِهِ ثَمَانِينَ سَنَةً كَمَا كُنَّا فِي الرَّخَاءِ ثَمَانِينَ سَنَةً؟ وَاللَّهِ لَئِنْ شَفَانِي اللَّهُ لَأَجْلِدَنَّكِ مِائَةَ جَلْدَةٍ هِيهِ أَمَرْتِينِي أَنْ أَذْبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ، طَعَامُكِ وَشَرَابُكِ الَّذِي تَأْتِيَنِي بِهِ عَلَيَّ حَرَامٌ، وَأَنْ أَذُوقَ مَا تَأْتِيَنِي بِهِ بَعْدُ، إِذْ قُلْتِ لِي هَذَا، فَاغْرُبِي عَنِّي فَلَا أَرَاكِ فَطَرَدَهَا، فَذَهَبَتْ، فَقَالَ الشَّيْطَانُ: هَذَا قَدْ وَطَّنَ نَفْسَهُ ثَمَانِينَ سَنَةً عَلَى هَذَا الْبَلَاءِ الَّذِي هُوَ فِيهِ فَبَاءَ بِالْغَلَبَةِ وَرَفَضَهُ. وَنَظَرَ أَيُّوبُ إِلَى امْرَأَتِهِ وَقَدْ طَرَدَهَا، وَلَيْسَ عِنْدَهُ طَعَامٌ وَلَا شَرَابٌ وَلَا صَدِيقٌ “، قَالَ الْحَسَنُ: ” وَمَرَّ بِهِ رَجُلَانِ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ، وَلَا وَاللَّهِ مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ يَوْمَئِذٍ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ أَيُّوبَ، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ لِصَاحِبِهِ: لَوْ كَانَ لِلَّهِ فِي هَذَا حَاجَةٌ، مَا بَلَغَ بِهِ هَذَا فَلَمْ يَسْمَعْ أَيُّوبُ شَيْئًا كَانَ أَشَدَّ عَلَيْهِ مِنْ هَذِهِ الْكَلِمَةِ،
“Sesungguhnya Nabi Ayub telah diberi oleh Allah keluasan harta, dan baginya para wanita, sapi, domba, dan unta. Dan kepada musuh Allah (yaitu) Iblis, dikatakan kepadanya, ‘Bisakah kamu menggoda Ayub?’ Iblis berkata, ‘Ya Rabb, sesungguhnya Ayub di dunia telah memiliki harta dan anak-anak, tidak mungkin dia tidak bersyukur kepadamu, akan tetapi izinkan aku mengganggunya pada harta dan anak-anaknya, niscaya Engkau melihat bagaimana dia menaatiku dan bermaksiat kepada-Mu’. Maka Iblis pun menggoda Ayub dari sisi harta dan anak-anaknya. Kemudian Iblis mendatangi hewan-hewan ternak dari hartanya berupa domba, kemudian membakarnya. Kemudian Iblis dalam bentuk menyerupai penggembala domba mendatangi Ayub yang sedang shalat, dia berkata, ‘Wahai Ayub, engkau sedang shalat kepada Rabbmu, sementara Allah tidak meninggalkan bagimu hewan ternak berupa domba kecuali Dia telah membakarnya dengan api, dan aku saat itu berada di suatu sudut tempat dan sekarang aku datang untuk mengabarkanmu’. Maka Nabi Ayub ‘alaihissalam berkata, ‘Ya Allah, Engkau yang telah memberi dan Engkau pula yang mengambil. Selama jiwaku masih ada, aku tetap akan memuji-Mu atas baiknya ujian-Mu’. Ternyata Iblis tidak berhasil menggoda Nabi Ayub sebagaimana yang dia inginkan. Maka kemudian Iblis mendatangi ternaknya berupa sapi, kemudian membakarnya dengan api. Kemudian Iblis kembali mendatangi Nabi Ayub dan mengatakan hal yang serupa, akan tetapi Nabi Ayub menanggapinya dengan hal yang sama pula. Dan akhirnya Iblis melakukan hal yang sama terhadap unta-untanya sehingga tidak ada lagi yang tersisa dari hewan ternaknya, sampai-sampai Iblis menghancurkan rumahnya sementara anak-anaknya berada di rumah. Maka Iblis berkata, ‘Wahai Ayub, sesungguhnya Allah telah mengutus seseorang untuk menghancurkan rumahmu sehingga anak-anakmu meninggal di dalamnya’. Maka kemudian Nabi Ayub berkata seperti sebelumnya, ‘Ya Rabb, ini semua adalah kebaikan yang Engkau berikan kepadaku. Sebelum musibah hari ini, aku disibukkan dengan cinta harta pada siang hari, dan aku disibukkan cinta kepada anak-anak di malam hari karena rasa cinta kepada mereka. Maka saat ini aku bisa fokuskan pendengaranku dan mataku, malamku dan siangku untuk berdzikir, bertahmid, bertasbih dan bertahlil’. Maka musuh Allah (Iblis) pergi darinya, dia tidak berhasil mencapai tujuannya. Kemudian Allah bertanya kepada Iblis, ‘Bagaimana engkau melihat Ayub?’ Iblis berkata, ‘Sesungguhnya Ayub tahu bahwa Engkau akan kembalikan harta dan anak-anaknya. Akan tetapi izinkan aku menguasainya dari sisi jasadnya, karena jika dia ditimpa kemudharatan (pada tubuhnya) maka dia akan taat kepadaku dan bermaksiat kepada-Mu’. Maka Iblis pun dizinkan menguji Nabi Ayub dengan jasadnya. Maka Iblis mendatangi Nabi Ayub, kemudian meniupkan padanya tiupan yang membuat luka di sekujur tubuhnya dari kepala hingga kaki. Maka Nabi Ayub ‘alaihissalam diuji dengan ujian yang sangat berat, sampai dia dibawa ke tempat pembuangan sampah dimana Bani Israil biasa membuang sampah. Maka tidak ada yang tersisa dari Nabi Ayub, tidak pada hartanya, tidak pada anak-anaknya, dan tidak pula pada teman-temannya. Dan tidak satu pun mendekatinya kecuali istrinya([12]), dia bersabar terhadap Nabi Ayub dengan tulus. Dan dia yang membawakan makanan kepadanya, dan dia memuji Allah bersamanya jika Nabi Ayub memuji-Nya, dan Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam kondisinya tidak berhenti berdzikir kepada Allah, tetap memuji dan menyanjung Allah, dan tetap bersabar atas apa yang Allah timpakan kepadanya. (Al-Hasan berkata): Maka Iblis pun berteriak, dia kumpulkan seluruh anak buahnya yang ada di seluruh bumi karena putus asa dengan kesabaran Nabi Ayub ‘alaihissalam. Maka anak buahnya pun berkumpul dan berkata, ‘Kau telah mengumpulkan kami, ada apa? Apa yang membuatmu tidak mampu?’ Iblis berkata, ‘Hamba ini telah membuatku putus asa. Aku telah memohon kepada Rabbku untuk mengujinya dari sisi harta dan anak-anaknya dan aku tidak menyisakan baginya harta juga anak. Dan hal itu tidak menambah padanya kecuali kesabaran, sanjungan dan pujiannya kepada Allah. Dan aku juga telah mengganggunya pada jasadnya, kutinggalkan luka pada tubuhnya sehingga dia ditempatkan di sekitar tempat pembuangan sampah Bani Israil. Tidak ada yang mendekatinya kecuali istrinya. Sungguh aku malu terhadap Tuhanku, maka aku meminta kepada kalian untuk membantuku menggodanya’. Anak buahnya berkata, ‘Dimana tipu dayamu? Dimana ilmumu yang telah membinasakan orang-orang sebelumnya?’ Iblis menjawab, ‘Semua sirna di hadapan Ayub. Maka beri masukan kepadaku’. Anak buahnya berkata, ‘Tidakkah kamu lihat bagaimana Adam dikeluarkan dari surga, bagaimana kamu menggodanya?’ Iblis berkata, ‘Melalui istrinya’. Anak buahnya berkata, ‘Maka godalah Ayub melalui istrinya, karena sesungguhnya dia pasti mengalah terhadapnya, dan tidak ada seorang pun yang mendekatinya kecuali istrinya’. Iblis berkata, ‘Kalian benar’. Maka pergilah Iblis mendatangi istri Nabi Ayub yang sedang bersedekah (untuk menggodanya), kemudian dia menjelma menjadi seorang laki-laki. Iblis kemudian berkata kepada istri Nabi Ayub, ‘Dimana suamimu wahai hamba Allah?’ Istrinya menjawab, ‘Itu dia yang sedang menggaruk-garuk lukanya, dan ada ulat-ulat pada tubuhnya’. Ketika mendengar perkataan istri Nabi Ayub, Iblis ingin agar istrinya mengeluh. Maka mulailah Iblis membisiki hatinya dan memberinya was-was. Istrinya diingatkan tentang nikmat yang pernah dia miliki dari harta dan hewan-hewan ternak, dan dia diingatkan tentang ketampanan Nabi Ayub di masa mudanya ketika dia belum tertimpa penyakit, seakan-akan kenikmatan itu tidak akan hilang dari mereka selamanya. Mendengar hal tersebut, maka istri Nabi Ayub berteriak. Ketika istri Nabi Ayub berteriak dan kecewa, maka Iblis mendatangkan kepadanya anak kambing dan berkata, ‘Bawalah anak kambing ini kepada Ayub agar disembelih untukku, maka dia akan sembuh’. Kemudian istrinya mendatangi Nabi Ayub sambil berteriak, ‘Wahai Ayub, wahai Ayub, sampai kapan Tuhanmu akan menyiksamu? Tidakkah Dia mengasihanimu? Dimana hewan-hewan ternakmu? Dimana hartamu? Dimana anak-anakmu? Dimana teman-temanmu? Dimana warna kulitmu yang indah? Semua telah berubah seperti debu. Mana jasad indahmu sebelum adanya ulat-ulat ditubuhmu? Potonglah anak kambing ini, maka engkau akan sembuh’. Maka Nabi Ayub berkata, ‘Engkau telah didatangi oleh Iblis, dia telah menggodamu. Dia melihatmu seorang yang lembut, sehingga engkau memenuhi bisikannya. Celaka engkau, apakah engkau menangis karena mengingat apa yang pernah kita miliki berupa harta, anak-anak, kesehatan di masa muda? Siapa yang memberi itu semua?’ Istrinya menjawab, ‘Allah’. Nabi Ayub kembali bertanya, ‘Berapa lama kita menikmatinya?’ Istrinya menjawab, ‘Delapan puluh tahun’. Nabi Ayub kembali bertanya, ‘Berapa lama Allah memberikan ujian yang menimpa kita ini?’ Istrinya menjawab, ‘Sudah tujuh tahun lebih’. Maka Nabi Ayub berkata, ‘Celaka engkau, Demi Allah engkau tidak bersikap adil di hadapan Rabbmu. Tidakkah kita harus bersabar dalam ujian ini selama delapan puluh tahun sebagaimana kita berada dalam kesejahteraan selama delapan puluh tahun? Demi Allah, jika aku sembuh nanti niscaya akan aku cambuk engkau dengan seratus kali cambukan karena engkau telah memerintahkanku untuk menyembelih kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Mulai saat ini makanan dan minuman yang engkau bawa menjadi haram bagiku, dan aku tidak ingin merasakan apa yang engkau bawa untuk setelah ini. Karena engkau mengatakan demikian, maka menyingkirlah dariku (pergi), aku tidak ingin melihatmu lagi’. Maka Nabi Ayub ‘alaihissalam mengusirnya, dan istrinya pun pergi. Syaithan berkata, ‘Sesungguhnya dia (Nabi Ayub) telah menyiapkan dirinya selama delapan puluh tahun terhadap ujian ini’. Akhirnya Iblis pulang dengan kekalahan. Ayub melihat istrinya dan dia telah mengusirnya, dan dia tidak memiliki makanan, minuman, juga teman. Lalu ada dua orang yang melewatinya sedangkan Ayub dalam keadaan seperti itu, dan demi Allah tidak ada di muka bumi yang lebih mulia daripada Ayub. Lalu berkata salah satu dari kedua lelaki tersebut, ‘Seandainya Allah membutuhkan Ayub, maka tidak mungkin Ayub sampai kondisinya seperti ini’. Dan Ayub tidak mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan dari kalimat ini.” ([13])
فَقَالَ: رَبِّ إِنِّي { «مَسَّنِيَ الضُّرُّ» } ثُمَّ رَدَّ ذَلِكَ إِلَى رَبِّهِ فَقَالَ: { «وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ»، فَقِيلَ لَهُ: ارْفَعْ رَأْسَكَ , فَقَدِ اسْتُجِيبَ لَكَ، فَقِيلَ لَهُ: {ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ} [ص: 42] , فَرَكَضَ بِرِجْلِهِ , فَنَبَعَتْ عَيْنٌ، فَاغْتَسَلَ مِنْهَا، فَلَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ مِنْ دَائِهِ شَيْءٌ ظَاهِرٌ إِلَّا سَقَطَ، فَأَذْهَبَ اللَّهُ كُلَّ أَلَمٍ وَكُلَّ سَقَمٍ، وَعَادَ إِلَيْهِ شَبَابُهُ وَجَمَالُهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ , وَأَفْضَلَ مَا كَانَ. ثُمَّ ضَرَبَ بِرِجْلِهِ، فَنَبَعَتْ عَيْنٌ أُخْرَى فَشَرِبَ مِنْهَا، فَلَمْ يَبْقَ فِي جَوْفِهِ دَاءٌ إِلَّا خَرَجَ، فَقَامَ صَحِيحًا، وَكُسِيَ حُلَّةً. قَالَ: فَجَعَلَ يَتَلَفَّتُ وَلَا يَرَى شَيْئًا مِمَّا كَانَ لَهُ مِنْ أَهْلٍ وَمَالٍ إِلَّا وَقَدْ أَضْعَفَهُ اللَّهُ لَهُ، حَتَّى وَاللَّهِ ذُكِرَ لَنَا أَنَّ الْمَاءَ الَّذِي اغْتَسَلَ بِهِ تَطَايَرَ عَلَى صَدْرِهِ جَرَادًا مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: فَجَعَلَ يَضُمُّهُ بِيَدِهِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ: يَا أَيُّوبُ، أَلَمْ أُغْنِكَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهَا بَرَكَتُكَ، فَمَنْ يَشْبَعُ مِنْهَا؟ قَالَ: فَخَرَجَ حَتَّى جَلَسَ عَلَى مَكَانٍ مُشْرِفٍ. ثُمَّ إِنَّ امْرَأَتَهُ قَالَتْ: أَرَأَيْتُ إِنْ كَانَ طَرَدَنِي , إِلَى مَنْ أَكِلُهُ؟ أَدَعُهُ يَمُوتُ جُوعًا، أَوْ يَضِيعُ فَتَأْكُلَهُ السِّبَاعُ؟ لَأَرْجِعَنَّ إِلَيْهِ فَرَجَعَتْ، فَلَا كُنَاسَةَ تَرَى، وَلَا مِنْ تِلْكِ الْحَالِ الَّتِي كَانَتْ، وَإِذَا الْأُمُورُ قَدْ تَغَيَّرَتْ، فَجَعَلَتْ تَطُوفُ حَيْثُ كَانَتِ الْكُنَاسَةُ وَتَبْكِي، وَذَلِكَ بِعَيْنِ أَيُّوبَ، قَالَتْ: وَهَابَتْ صَاحِبَ الْحُلَّةِ أَنْ تَأْتِيَهَ فَتَسْأَلَ عَنْهُ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا أَيُّوبُ فَدَعَاهَا، فَقَالَ: مَا تُرِيدِينَ يَا أَمَةَ اللَّهِ؟ فَبَكَتْ وَقَالَتْ: أَرَدْتُ ذَلِكَ الْمُبْتَلَى الَّذِي كَانَ مَنْبُوذًا عَلَى الْكُنَاسَةِ، لَا أَدْرِي أَضَاعَ أَمْ مَا فَعَلَ. قَالَ لَهَا أَيُّوبُ مَا كَانَ مِنْكِ؟ فَبَكَتْ وَقَالَتْ: بِعْلِي، فَهَلْ رَأَيْتَهُ وَهِيَ تَبْكِي إِنَّهُ قَدْ كَانَ هَا هُنَا؟ قَالَ: وَهَلْ تَعْرِفِينَهُ إِذَا رَأَيْتِيهِ؟ قَالَتْ: وَهَلْ يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ رَآهُ؟ ثُمَّ جَعَلَتْ تَنْظُرُ إِلَيْهِ وَهِيَ تَهَابُهُ، ثُمَّ قَالَتْ: أَمَا إِنَّهُ كَانَ أَشْبَهَ خَلْقِ اللَّهِ بِكَ إِذْ كَانَ صَحِيحًا. قَالَ: فَإِنِّي أَنَا أَيُّوبُ الَّذِي أَمَرْتِينِي أَنْ أَذْبَحَ لِلشَّيْطَانِ، وَإِنِّي أَطَعْتُ اللَّهَ، وَعَصَيْتُ الشَّيْطَانَ، فَدَعَوْتُ اللَّهَ فَرَدَّ عَلَيَّ مَا تَرَيْنَ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ رَحِمَهَا بِصَبْرِهَا مَعَهُ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ أَمَرَهُ تَخْفِيفًا عَنْهَا أَنْ يَأْخُذَ جَمَاعَةً مِنَ الشَّجَرِ، فَيَضْرِبَهَا ضَرْبَةً وَاحِدَةً تَخْفِيفًا عَنْهَا بِصَبْرِهَا مَعَهُ “
“(Al-Hasan berkata) Maka kemudian Ayub berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang’. Maka Allah berfirman kepada Ayub, ‘Angkat kepalamu, sesungguhnya telah dikabulkan permohonanmu’. Kemudian dikatakan kepada Ayub, ‘Hentakkanlah kakimu, ada air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Maka Ayub mengentakkan kakinya lalu keluarlah mata air. Kemudian dia mandi dengan air tersebut, maka tidak ada yang tersisa dari segala luka-luka ditubuhnya. Allah menjadikan seluruh penyakit pergi dari tubuhnya, dan mengembalikan ketampanannya seperti saat dia muda. Kemudian dia mengentakkan kakinya kembali, keluarlah mata air kemudian dia minum dengannya, maka tidak ada penyakit dalam tubuhnya kecuali keluar. Maka dia bangun dalam kondisi sehat, dan Allah memberinya pakaian. Kemudian dia berbalik, dan dia tidak melihat sesuatu dari anak-anaknya dan hartanya kecuali Allah kembalikan kepadanya. Bahkan Allah menjadikan air yang digunakan untuk mandi sebelumnya beterbangan menjadi belalang emas. Maka Ayub menangkapnya dengan tangannya. Maka Allah berkata kepadanya, ‘Wahai Ayub, bukankah Aku telah mencukupkanmu?’ Ayub berkata, ‘Tentu, akan tetapi inilah keberkahan-Mu, siapa yang merasa cukup dari keberkahanmu?’ Maka Ayub pergi dan duduk pada sebuah tempat yang agak tinggi. Kemudian istri Ayub ketika telah pergi berkata (dalam hatinya), ‘Bagaimana jika dia mengusirku, siapa yang memberinya makan? Jika aku meninggalkannya maka dia akan mati kelaparan atau hilang lalu kemudian dimakan binatang buas? Sungguh aku akan kembali kepadanya’. Maka istrinya pun kembali, namun dia tidak menemukan apa-apa ditempat pembuangan itu, dia mencari di sekitar tempat itu, namun dia melihat semua sudah berubah. Maka dia pun berkeliling di sekitar tempat pembuangan itu dan menangis, dan itu dilihat oleh Ayub. (Istrinya melihat Ayub dari kejauhan namun tidak mengenalinya) Dan dia tidak berani mendatangi orang berpakaian indah (Ayub) dan bertanya tentang Ayub. Maka Ayub memanggilnya dan bertanya, ‘Apa yang engkau cari wahai hamba Allah?’ Istrinya sambil menangis menjawab, ‘Aku mencari seorang laki-laki yang sedang diuji yang berada di tempat sampah itu, aku tidak tahu dimana dia dan apa yang terjadi kepadanya’. Ayub berkata kepadanya, ‘Apa hubunganmu dengannya?’ Istrinya menjawab, ‘Dia suamiku, apakah engkau melihatnya?’ Istrinya menangis sementara dia tidak sadar bahwa Ayub ada di hadapannya. Ayub berkata, ‘Apakah engkau mengenalnya jika melihatnya?’ Istrinya menjawab, ‘Apakah ada seorang istri yang tidak mengenali suaminya jika melihatnya?’ Kemudian istrinya melihat Ayub namun dia ragu-ragu. Kemudian dia berkata, ‘Adapun suamiku itu mirip engkau jika dia dalam keadaan sehat’. Ayub berkata, ‘Ketahuilah bahwa aku adalah Ayub yang engkau pernah memerintahkanku untuk menyembelih kepada syaithan. Sesungguhnya aku taat kepada Allah dan aku bermaksiat kepada syaithan. Dan aku berdoa kepada Allah maka Dia mengembalikan seperti yang engkau lihat sekarang ini’.” Kemudian Allah merahmati istrinya karena kesabarannya bersama Ayub atas ujian, maka untuk meringankan istrinya, Allah memerintahkan Ayub untuk mengambil sekelompok ranting pohon lalu memukulkannya kepada istrinya dengan sekali pulu, sebagai bentuk keringanan baginya karena kesabarannya bersama Ayub.” ([14])
Di antara faedah dari kisah israiliyat ini, kita jadi tahu bahwa diantara sifat bawaan manusia adalah suka mengeluh. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sesungguhnya manusia suka berkeluh kesah (ingkar) terhadap Tuhannya.” (QS. Al-‘Adiyat : 6)
Hasan Al-Bashri juga mengatakan,
يَنْسَى النِّعَمَ وَيَذْكُرُ الْمَصَائِبَ
“(Manusia itu) lupa dengan nikmat-nikmat dan mengingat musibah-musibah.” ([15])
Demikianlah manusia, bisa jadi baru diberi sakit satu hari oleh Allah akan tetapi dia hanya mengeluh saja sepanjang hari, padahal bisa jadi selama satu tahun sebelumnya dia tidak pernah sakit sama sekali. Demikianlah manusia yang seringnya lupa akan nikmat-nikmat yang diberikan, sehingga terkadang sering mengeluh kepada manusia dan seakan-akan menolak takdir Allah. Oleh karenanya dalam kisah ini Nabi Ayub ‘alaihissalam berusaha untuk mengingatkan istrinya akan hal tersebut.
Disamping itu, tidaklah orang yang dicintai oleh Allah itu tidak diuji, justru terkadang orang yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala lebih sering ujian diberikan kepadanya. Lihatlah Nabi Ayub ‘alaihissalam, beliau adalah orang yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala namun beliau diuji oleh Allah dengan penderitaan sampai tujuh bahkan mungkin belasan tahun. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam adalah orang yang juga dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, namun beliau juga diuji dengan perpisahan dengan putranya. Bahkan sebab perpisahan itu setiap hari beliau menangis sampai matanya buta karena saking sedihnya. Maka jika Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan musibah kepada kita bukan berarti Allah Subhanahu wa ta’ala tidak cinta kepada kita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
“Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka.” ([16])
Akan tetapi jangan kemudian di antara kita ada yang meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk diuji, karena bisa jadi kita belum tentu kuat menerima ujian Allah tersebut.
Inilah kira-kira di antara kisah tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam yang datang dalam kisah israiliyat. Semua riwayat israiliyat ini datang dari para salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Hasan Al-Bashri, Wahab bin Munabbih, atau Ibnu Ishaq.
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa istri Nabi Ayub ‘alaihissalam merawat Nabi Ayub selamat bertahun-tahun dan dia sabar dalam merawatnya. Akhirnya dia kerja agar bisa membawakan makanan buat suaminya. Akan tetapi suatu hari dia tidak lagi diterima bekerja karena orang-orang takut bahwa ketularan penyakit Nabi Ayub ‘alaihissalam melalui istrinya. Akhirnya dia tidak kerja lagi dan dia bingung dan kasihan terhadap suaminya jika kelaparan. Disebutkan bahwa istri Nabi Ayub ‘alaihissalam punya kepang di rambutnya, maka kemudian dia gunting kepangnya tersebut dan dijual, karena waktu itu orang-orang suka mengepang rambut. Akhirnya dia menjual potongan rambutnya kepada salah seorang putri raja atau orang kaya di negeri tersebut, dan kemudian dari uang tersebut dia bisa mendapat makanan. Nabi Ayub ‘alaihissalam kemudian bertanya dari mana asalnya makanan tersebut sementara dia tahu bahwa istrinya tidak lagi bekerja. Akan tetapi istrinya tidak mau menceritakan hal tersebut. Namun kemudian Nabi Ayub tahu bahwa istrinya menjual salah satu kepang di rambutnya, maka Nabi Ayub mengancam agar istrinya tidak menjual rambutnya lagi, dan bersumpah akan mencambuknya seratus kali jika istrinya kembali menjual rambutnya. Ketika uang yang dimiliki istrinya telah habis, istrinya kemudian kembali menjual kepang yang satunya hingga dia menjadi gundul. Maka ketika dia membawa makanan kepada Nabi Ayub ‘alaihissalam, Nabi Ayub bertanya dari mana makanan itu dia dapatkan, maka istrinya pun bercerita bahwa dia mendapatkan uang dari hasil menjual rambutnya([17]). Karena tidak tega, Nabi Ayub ‘alaihisalam pun berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakitnya. Kisah ini pun juga merupakan kisah israiliyat. Intinya, setelah Nabi Ayub ‘alaihissalam sembuh, dia berusaha memukul istrinya, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ
“Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah.” (QS. Shad : 44)
Artinya, Nabi Ayub ‘alaihissalam diperintahkan untuk tidak memukul istrinya sampai seratus kali cambukan, akan tetapi hendaknya Nabi Ayub ‘alaihissalam mengumpulkan seikat rumput dengan jumlah seratus, lalu pukullah sekali saja.
Inilah beberapa kisah tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam yang sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa kisah-kisah tersebut kebanyakan datang dalam riwayat israiliyat. Intinya, kita tidak tahu penyakit apa yang dialami oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam, akan tetapi kita tahu bahwa ujiannya sangatlah berat, sampai-sampai Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisahnya secara khusus dalam Al-Quran sebagai contoh tentang hamba yang sangat penyabar. Kalau kita melihat kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam ini, beliau sangat sabar dalam menghadapi ujian, sabar tidak bermaksiat, tidak mengeluh kepada manusia sama sekali, dan dia sabar dalam ketaatan meskipun dalam kondisi sakit dia tetap beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sampai sebagian para salaf mengatakan bahwa Allah telah menegakkan hujjah bagi orang yang sakit dan bagi orang yang kaya dari hamba-hamba-Nya. Yaitu sebagai seorang hamba, hendaknya sakit tidak menghalangi dia untuk beribadah kepada Allah, dan bahkan jika dia seorang raja pun tidak seharusnya menghalangi dia dari beribadah kepada Allah. Seorang dalam kondisi sakit harusnya tidak berhenti dari beribadah kepada Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam, meskipun sakit dia tetap beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula jika dirinya seorang raja, hendaknya tidak berhenti beribadah kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Maka janganlah seseorang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa beribadah karena sibuk dan banyak urusan, sesungguhnya tidak ada alasan bagi siapa pun, karena Nabi Sulaiman ‘alaihissalam seorang raja pun tetap bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula bagi seorang budak, jangan dia karena merasa sibuk mengurusi majikannya sehingga tidak bisa beribadah kepada Allah, ketahuilah bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang pernah menjadi budak tetap bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, seseorang tetap harus terus beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Faedah kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari kisah-kisah.
- Mengeluh kepada Allah bukan berarti tidak sabar
Nabi Ayub ‘alaihis salam diuji dengan ujian luar biasa. Nampak ujian tersebut pada hal-hal berikut ini :
Pertama : Beliau memiliki keluarga yang banyak dan anak-anak yang banyak, lalu Allah mengambil seluruhnya dari beliau.
Kedua : Tubuh beliau diuji oleh Allah dengan penyakit yang menjadikan orang-orang menjauh darinya
Ketiga : Sakitnya beliau tersebut sangat lama
Keempat : Orang-orang sudah bosan untuk menjenguknya, ada yang berpendapat karena kawatir penyakit menularnya, atau karena saking lamanya sakit yang diderita nabi Ayub ‘alaihis salam. Sebagaimana kondisi di zaman sekarang pun demikian, jika ada orang yang sakit maka di hari-hari awal banyak yang akan menjenguknya, akan tetapi jika telah sebulan apalagi setahun, apalagi lebih dari itu maka semakin berkurang orang-orang yang menjenguknya([18]).
Namun meskipun demikian beliau tidak pernah mengeluh kepada manusia. Beliau bersabar menghadapi itu semua. Beliau hanya mengeluhkan penderitaan beliau kepada Allah. Nabi Ayub ‘alaihissalam berkata,
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya’ : 83)
Mengeluhnya Nabi Ayub kepada Allah tidak menafikan bahwa dia adalah seorang penyabar. Hal ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah orang yang sabar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Shad : 44)
Lantas mengapa Nabi Ayub ‘alaihissalam masih dikatakan sebagai hamba yang penyabar? Jawabannya adalah karena dia sama sekali tidak mengeluh kepada orang lain. Namun perlu diingat mengeluh di sini bukan berarti protes kepada Allah atas apa yang Allah taqdirkan kepadanya, akan tetapi dalam artian ia berdoa kepada Allah dengan memaparkan penderitaannya kepada Allah. Yaitu menunjukan kebutuhannya dan kelemahannya di hadapan Allah. Inilah yang dimaksud !!
Contoh lain yang menunjukkan bahwa mengeluh kepada Allah tidak menafikan bahwa orang tersebut adalah orang yang sabar adalah seperti Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Setelah puluhan tahun terpisah dari anaknya, sampai menangis tiap hari hingga matanya buta, dia berkata,
يَاأَسَفَا عَلَى يُوسُفَ
“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” (QS. Yusuf : 84)
Akan tetapi kemudian Nabi Ya’qub ‘alaihissalam berkata,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf : 86)
Contoh yang lain pula adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Ketika dia dalam kondisi sangat lapar, dia berkata,
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashash : 24)
Oleh karena itu, jika seseorang mengeluh kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka itu tidak mengapa (dalam artian berdoa kepada Allah agar penderitaannya diangkat dan bukan protes atau marah kepada Allah atas taqdir Allah kepadanya), akan tetapi jangan sampai dia mengeluh kepada manusia. Sesungguhnya mengeluh kepada manusia adalah bentuk seseorang seakan-akan mengeluhkan tentang Allah kepada manusia. Betapa banyak kita jumpai orang yang bertemu dengan orang yang lainnya dan mengeluhkan kehidupannya, bukankah itu berarti dia seakan-akan meragukan Allah Subhanahu wa ta’ala? Padahal justru seharusnya kita mengeluhkan manusia kepada siapa Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bukan mengeluhkan Tuhan kepada makhluk. Oleh karena itu, Nabi Ayub ‘alaihissalam mengeluhkan kesusahan yang dia alami hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bukan kepada manusia.
Para ulama mengatakan bahwa jika ada seseorang yang dalam kondisi sulit maka hendaknya dia mengeluh kepada Allah, hendaknya dia sujud dan berdoalah kepada Allah dalam sujudnya tersebut, bahkan jangan dia angkat kepalanya kecuali dia telah sampaikan seluruh keluhannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jangan kemudian kita menjadi seseorang yang seringnya mengeluh di media-media sosial untuk mendapatkan perhatian banyak orang. Apa yang bisa manusia lakukan untuk kita jika kita mengeluhkan keluh kesah kita kepada mereka? Ketahuilah bahwa jika kita terbiasa bertawakal kepada manusia, akhirnya Allah akan menjadikan kita orang yang terus mengeluh kepada manusia. Akan tetapi jika kita selalu mengeluh kepada Allah semata, maka kita akan dijaga oleh Allah subhanahu wa taala dari bertawakal kepada manusia. Maka dari itu, serahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak perlu orang tahu apa yang menjadi permasalahan kita. Sebisa mungkin kita menutupi dari orang lain, tentu Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri yang akan mengirim orang untuk memudahkan kita menghadapi permasalahan kita.
- Mengingat banyaknya kenikmatan dari Allah akan membuat seseorang bisa bersabar
Di antara hal yang bisa membuat seseorang menjadi orang yang sabar adalah dengan banyak mengingat nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya. Terkadang seseorang ketika diberikan musibah atau ujian, dia hanya bisa mengingat berbagai keburukan-keburukan yang telah dia alami, dia tidak bisa mengingat nikmat-nikmat yang telah Allah Subhanahu wa ta’ala berikan. Betapa banyak orang yang sakit kemudian sangat mengeluhkan sakit yang dia alami, padahal sakit yang dia alami baru beberapa hari, sementara kesehatan yang Allah berikan kepadanya jauh lebih lama dari sakit yang dia alami.
Bukankah kita seringnya hanya mengalami kesulitan hanya sesekali saja? Dan bukankah kita diberi kelapangan dibanyak waktu? Maka dari itu sabarlah sebagaimana Nabi Ayub ‘alaihissalam, dia diuji selama tujuh tahun namun tidak mengeluh sama sekali, bahkan dia berusaha menyabarkan istrinya dengan menyebutkan kenikmatan yang mereka alami. Sebagaimana riwayat israiliyat yang telah kita sebutkan, kalau bukan karena perkataan dua orang yang menghina Nabi Ayub ‘alaihissalam, mungkin saja dia tidak mengeluh dan minta kesehatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, jangan sampai musibah yang menimpa kita membuat kita lupa terhadap kebaikan-kebaikan Allah kepada kita selama ini.
- Doa yang terbaik adalah doa yang mengumpulkan antara pengakuan terhadap kelemahan diri dengan pengakuan terhadap keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala
Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah doa yang terbaik adalah doa yang mengandung dua hal, yaitu pengakuan akan lemahnya diri dan pengakuan akan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah bahwa jika terkumpul kedua hal ini dalam doa seseorang, maka akan sangat mudah untuk doanya dikabulkan sebagaimana doa Nabi Ayub ‘alaihissalam,
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya’ : 83)
Dalam doa ini, Nabi Ayub ‘alaihissalam mengakui kelemahan dirinya, dan dia mengakui keagungan Allah Yang Maha Penyayang, dalam doanya bahkan menunjukkan bahwa memang banyak dari orang-orang yang menyayanginya, akan tetapi tidak ada yang Maha Penyayang seperti Allah Subhanahu wa ta’ala.
Demikianlah doa-doa para Nabi, mereka menggabungkan dalam doanya ungkapan kelemahan dirinya dan ungkapan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala. Contohnya adalah seperti doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam,
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا، وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.” (QS. Maryam : 4-5)
Lihatlah Nabi Zakaria ‘alaihissalam, dia sangat detail dalam menjelaskan kelemahan dirinya. Oleh karena itu, semakin seseorang menunjukkan kelemahannya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka Allah akan suka terhadapnya. Oleh karenanya pula Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa semakin seseorang mengakui kefakirannya (kelemahannya) di hadapan Allah, maka dia akan semakin dekat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إلَى اللَّهِ
“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS. Fathir : 15)
Semakin seseorang mengakui kekurangan dan kehinaannya di hadapan Allah, maka akan semakin mudah dikabulkan doanya. Oleh karenanya posisi yang terbaik dalam berdoa adalah tatkala sedang sujud, yaitu ketika seorang hamba dalam posisi menunjukkan kehinaannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Keadaan yang paling dekat dari seorang hamba terhadap Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” ([19])
Demikian pula dengan doa Sayyidul Istighfar, para ulama mengatakan bahwa di antara yang menjadikan doa tersebut sebagai istighfar yang terbaik adalah karena dalam doa tersebut adanya pengakuan akan kelemahan diri seseorang([20]). Dalam doa tersebut berbunyi,
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menepati perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui dosaku kepada-Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu.” ([21])
Doa istighfar ini merupakan doa yang menggabungkan antara pengakuan akan kehinaan seseorang dan pengakuan akan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala. maka ketika seseorang menggabungkan dua hal ini, maka doanya akan sangat mudah untuk dikabulkan.
- Mukjizat Nabi Ayub ‘alaihissalam
Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan mukjizat kepada Nabi Ayub ‘alaihissalam berupa air yang keluar dari tanah karena hentakan kaki Nabi Ayub ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ
“Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad : 38)
Para ulama mengatakan bahwa biasanya air yang kalau dari tanah itu hangat, akan tetapi bagi Nabi Ayub ‘alaihissalam ketika air keluar maka langsung dingin sehingga mudah untuk dipakai oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam dan langsung sembuh.
Kemudian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami melipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Shad : 43)
Terdapat khilaf yang banyak di kalangan ahli tafsir terkait makna ayat ini, dan bahkan riwayat dari para salaf pun berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwasanya anak-anak Nabi Ayub ‘alaihissalam dihidupkan kembali, kemudian Nabi Ayub ‘alaihissalam menikah dan punya anak lagi yang jumlahnya sama dengan anaknya yang meninggal dunia. Sebagian yang lain mengatakan bahwa ketika Nabi Ayub ‘alaihissalam ditanya apakah ingin anak-anaknya dihidupkan kembali, maka Nabi Ayub ‘alaihissalam tidak ingin anak-anaknya dihidupkan kembali, akan tetapi Allah memberikan anak-anak yang baru bagi Nabi Ayub ‘alaihissalam yang jumlahnya sama dengan jumlah anak-anaknya yang meninggal, sehingga jadilah Nabi Ayub ‘alaihissalam memiliki anugerah anak dua kali lipat([22]). Kemudian istrinya pun dikembalikan. Bahkan disebutkan dalam kisah israiliyat bahwa istrinya sangat salehah dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dan dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa kisah ini adalah peringatan dan pelajaran bagi orang yang cerdas. Artinya, jika seseorang ditimpa musibah maka hendaknya dia mengingat kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam, dia hendaknya menyadari bahwa musibah yang menimpanya masih jauh lebih ringan dari apa yang dihadapi oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam.
- Boleh mengumpulkan harta halal sebanyak-banyaknya
Di antara faedah dari kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama bahwa boleh seseorang mengumpulkan harta halal sebanyak-banyaknya([23]). Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam kisah israiliyat yang telah kita sebutkan bahwa dia mengumpulkan belalang emas yang beterbangan, ketika ditanya oleh Allah tentang mengapa dia lakukan tersebut, kata Nabi Ayub ‘alaihissalam,
وَلَكِنَّهَا بَرَكَتُكَ، فَمَنْ يَشْبَعُ مِنْهَا؟
“Akan tetapi inilah keberkahan-Mu, siapa yang merasa cukup dari keberkahanmu?” ([24])
Ini merupakan dalil bahwa seseorang boleh mengumpulkan harta halal sebanyak-banyaknya karena itu adalah berkah, adapun harta haram tidak berkah. Maka seseorang boleh mengumpulkan harta halal yang berkah sebanyak-banyaknya dengan syarat diniatkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula seseorang boleh mengumpulkan harta halal sebanyak-banyaknya ketika dia tahu bahwasanya dia tidak akan terfitnah dengan harta tersebut, atau dia mengumpulkan harta dengan niat untuk memberikannya kepada anak yatim, fakir miskin, atau para janda, maka tidak mengapa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ القَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
“Orang yang memberi kecukupan (membantu) kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid dijalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamullail dan berpuasa di siang harinya.” ([25])
Akan tetapi jika dia tahu bahwa semakin banyak hartanya maka dia semakin sibuk dan lupa dengan Allah, meskipun sebelumnya dia berniat untuk membantu fakir miskin, maka hendaknya dia berhenti. Ketahuilah bahwa harta itu manis, kalau seseorang sudah merasakannya maka dia tidak akan berhenti. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” ([26])
Oleh karena itu, boleh seseorang mengumpulkan harta jika memang niatnya untuk membantu anak yatim, fakir miskin, dan janda, dan dia tahu bahwa dirinya mampu untuk tidak terfitnah dengan harta.
Akan tetapi dalil ini tidak boleh dijadikan sebagai dalil bolehnya membuat patung-patung sebagaimana belalang emas yang ditangkap oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam, karena pada hakikatnya yang membuat belalang-belalang emas tersebut adalah Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan Nabi Ayub ‘alaihissalam.
- Boleh mandi telanjang
Dari kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam ini, para ulama mengatakan bahwa kisah ini dijadikan dalil bahwa bolehnya seseorang mandi telanjang. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari telah kita sebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا، خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ، فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى، قَالَ بَلَى يَا رَبِّ، وَلَكِنْ لاَ غِنَى لِي عَنْ بَرَكَتِكَ
“Ketika Nabi Ayub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuh (dari langit) belalang yang terbuat dari emas. Lalu Ayub mengambil pakaiannya untuk mengumpulkannya. Kemudian Rabbnya memanggilnya, ‘Wahai Ayub, bukankah aku telah mencukupkan kamu dengan apa yang baru saja kamu lihat?’. Ayub menjawab. ‘Benar, wahai Rabb. Namun aku tidak akan pernah merasa cukup dari barakah-Mu’.”([27])
Para ulama menyebutkan bahwa boleh seorang mandi telanjang selama tidak ada yang melihatnya([28]). Dan Nabi Ayub ‘alaihissalam ketika mandi dalam kondisi tidak berpakaian.
Hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana dalam Shahih Bukhari juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً، يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ، وَكَانَ مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ، فَقَالُوا: وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ، فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ، فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ، فَفَرَّ الحَجَرُ بِثَوْبِهِ، فَخَرَجَ مُوسَى فِي إِثْرِهِ، يَقُولُ: ثَوْبِي يَا حَجَرُ، حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى مُوسَى، فَقَالُوا: وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ، وَأَخَذَ ثَوْبَهُ، فَطَفِقَ بِالحَجَرِ ضَرْبًا
“Orang-orang bani Israil jika mandi maka mereka mandi dengan telanjang, hingga sebagian melihat sebagian yang lainnya. Sedangkan Nabi Musa ‘Alaihissalam lebih suka mandi sendirian (karena malu). Maka mereka pun berkata, ‘Demi Allah, tidak ada menghalangi Musa untuk mandi bersama kita kecuali karena ia adalah seorang laki-laki yang kemaluannya ada kelainan. Lalu pada suatu saat Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya pada sebuah batu, lalu batu tersebut lari membawa pakaiannya. Maka Musa lari mengejar batu tersebut sambil berkata ‘Wahai batu, kembalikan pakaianku’, sehingga orang-orang bani Israil melihat Musa. Mereka lalu berkata, ‘Demi Allah, pada diri Musa tidak ada ada apa-apa’. Musa kemudian mengambil pakaiannya dan memukul batu tersebut dengan satu pukulan.” ([29])
Demikian pula yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dalam kondisi tidak berpakaian. Sebagaimana disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، مِنْ قَدَحٍ يُقَالُ لَهُ الفَرَقُ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu ember terbuat dari tembikar yang disebut Al Faraq.” ([30])
Dalam riwayat yang lain, Atha’ bertanya kepada ‘Aisyah radhiallahu tentang bolehkan seorang suami atau istri melihat kemaluan pasangannya? Maka ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab dengan hadits ini. Maka Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ini adalah dalil bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha saling melihat aurat masing-masing dan hukumnya adalah boleh([31]). Oleh karena itu tidak mengapa seseorang mandi dalam keadaan telanjang, selama tidak ada orang yang haram untuk melihatnya.
- Berusaha menjaga janji untuk tetap ditunaikan.
Allah berfirman :
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ
“Dan jagalah (tunaikanlah) janji-janji kalian” (QS Al-Maidah : 89)
Nabi Ayub berusaha menunaikan janjinya -sebaimana telah lalu-, Allah berfirman kepada beliau :
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ
“Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah.” (QS. Shad: 41-44)
Ini adalah pelajaran bahwa seseorang berusah semaksimal mungkin untuk bisa menunaikan janjinya, jangan menggampangkan janji sehingga dilanggar atau menggampangkan untuk menggantinya dengan kaffaroh sumpah. Kecuali ia tidak mampu untuk menunaikan maka iapun membayar kaffaroh sumpah (sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surah al-Maidah ayat 89) atau ia mendapatkan kondisi yang lebih baik dari pada sumpahnya maka hendaknya ia berpindah pada yang lebih baik dan tetap membayar kaffaroh sumpah. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ، فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا كَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي وَأَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Dan tidaklah aku bersumpah dengan suatu sumpah lalu aku melihat ada yang lebih baik dari sumpahku kecuali aku menunaikan kaffaroh sumpah dan aku melakukan yang lebih dari sumpahku tersebut” (HR Al-Bukhari no 6623 dan Muslim 1649)
Nabi Ayub versi Perjanjian Lama
Adapun perjanjian lama maka kisah Ayub sangat detail dan sangat panjang, bahkan lebih dari 1000 ayat, yaitu tepatnya 1070 ayat (mulai dari Ayub 1- hingga ayub 42, yang masing-masing rata-rata 20 hingga 30 ayat)
Namun ada perbedaan yang sangat mendasar antara Nabi Ayub versi al-Qur’an dengan Ayub versi Perjanjian Lama. Dalam al-Qur’an Nabi Ayub disifati oleh Allah dengan penyabar, tentunya ini menunjukan Nabi Ayub bukan orang yang mengeluh akan penderitaannya. Terlebih lagi jika kita bersandar kepada isroiliyat yang diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri maka Nabi Ayub disebutkan dengan sangat penyabar, padahal penderitaan yang ia alami begitu berat dan begitu lama.
Sementara di Perjanjian Lama, nampak bahwa Ayub suka mengeluh, protes keapda Allah, bahkan marah kepada Allah. Berikut nukilan-nukilan yang menunjukan akan hal itu. Ayub berkata :
“Kedahsyatan ditimpakan kepadaku; kemuliaanku diterbangkan seperti oleh angin, dan bahagiaku melayang hilang seperti awan, Oleh sebab itu jiwaku hancur dalam diriku; hari-hari kesengsaraan mencekam aku, Pada waktu malam tulang-tulangku seperti digerogoti, dan rasa nyeri yang menusuk tak kunjung berhenti.
Oleh kekerasan yang tak terlawan koyaklah pakaianku dan menggelambir sekelilingku seperti kemeja. Ia telah menghempaskan aku ke dalam lumpur, dan aku sudah menyerupai debu dan abu.
Aku berseru minta tolong kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab; aku berdiri menanti, tetapi Engkau tidak menghiraukan aku. Engkau menjadi kejam terhadap aku, Engkau memusuhi aku dengan kekuatan tangan-Mu. Engkau mengangkat aku ke atas angin, melayangkan aku dan menghancurkan aku di dalam angin ribut.
Ya, aku tahu: Engkau membawa aku kepada maut, ke tempat segala yang hidup dihimpunkan. Sesungguhnya, masakan orang tidak akan mengulurkan tangannya kepada yang rebah, jikalau ia dalam kecelakaannya tidak ada penolongnya? Bukankah aku menangis karena orang yang mengalami hari kesukaran? Bukankah susah hatiku karena orang miskin?
Tetapi, ketika aku mengharapkan yang baik, maka kejahatanlah yang datang; ketika aku menantikan terang, maka kegelapanlah yang datang. Batinku bergelora dan tak kunjung diam, hari-hari kesengsaraan telah melanda diriku. Dengan sedih, dengan tidak terhibur, aku berkeliaran; aku berdiri di tengah-tengah jemaah sambil berteriak minta tolong. Aku telah menjadi saudara bagi serigala, dan kawan bagi burung unta. Kulitku menjadi hitam dan mengelupas dari tubuhku, tulang-tulangku mengering karena demam” (Ayub 30 : 15-30)
Perhatikanlah, semuanya sarat dengan keluhan Ayub dan ketidak sabarannya, serta kemarahannya kepada Allah.
Bahkan Ayub menuduh Allah dzolim kepadanya, Ayub berkata :
“insafilah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku, dan menebarkan jala-Nya atasku. Sesungguhnya, aku berteriak: Kelaliman!, tetapi tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, tetapi tidak ada keadilan. Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. Ia telah menanggalkan kemuliaanku dan merampas mahkota di kepalaku. Ia membongkar aku di semua tempat, sehingga aku lenyap, dan seperti pohon harapanku dicabut-Nya. Murka-Nya menyala terhadap aku, dan menganggap aku sebagai lawan-Nya” (Ayub 19 : 6-11)
Ayub juga berkata :
“Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku. Aku akan berkata kepada Allah: Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku. Apakah untungnya bagi-Mu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tangan-Mu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik?….
sehingga Engkau mencari-cari kesalahanku, dan mengusut dosaku, padahal Engkau tahu, bahwa aku tidak bersalah, dan bahwa tiada seorangpun dapat memberi kelepasan dari tangan-Mu? Tangan-Mulah yang membentuk dan membuat aku, tetapi kemudian Engkau berpaling dan hendak membinasakan aku?….
Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan? Lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku! Maka aku seolah-olah tidak pernah ada; dari kandungan ibu aku langsung dibawa ke kubur. Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? Biarkanlah aku, supaya aku dapat bergembira sejenak,” (Ayub 10 : 1-20)
Perhatikanlah, keluhan Ayub, protesnya terhadap keputusan Allah, mempertanyakan kebijakan dan keputusan Allah…, apakah ini akhlak seorang Nabi?
Bahkan bisa jadi ini akhlak yang sangat burung yang bisa menjadikan Ayub telah kafir kepada Allah.
Footnote:
___________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 7/31
([2]) Lihat: Fathul Bari 6/420
([4]) Lihat: Fathul Bari 6/420. Adapun berdasarkan nasab nabi Ayub yang disebutkan oleh Ibnu Hajar yaitu Ayub bin Sari bin Righwal bin Ishu bin Ishaq, maka zaman Nabi Ayub adalah setelah Nabi Yusuf álaihis salam dan sebelum nabi Musa álaihis salam. Wallahu a’lam.
([6]) Yaitu Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya
([7]) Lihat: Fathul Bari 6/421.
Riwayat ini datang secara :
Pertama : Marfu’ (yaitu Anas meriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya no 13698, at-Thobari dalam tafsir surat shad, At-Thahawi di Syarh Musykil al-Aatsaar no 4593, Ibnu Hibban no 2898, dan Al-Hakim no 4115
Kedua : Mauquf (dari Anas bin Malik), dan ini yang diisyaratkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah. Beliau berkata (setelah menyebutkan atsar Anas di atas) :
وَهَذَا غَرِيبٌ رَفْعُهُ جِدًّا، وَالْأَشْبَهُ أَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا
“Dan ini marfu’nya sangat gharib, dan yang lebih tepat ini adalah riwayat mauquf” (Al-Bidayah wa an-Nihayah 1/511)
Namun Ibnu Katsir tidak menyebutkan riwayat mauquf (dari Anas) tersebut. Beliau hanya menyatakan bahwa yang pantas riwayat ini adalah mauquf. Setelah itu beliau menyebutkan rwiayat mauquf yang lain dari Ibnu Ábbas yang juga berbicara tentang nabi Ayub dengan makna yang mirip dengan riwayat Anas bin Malik.
Ketiga : Mursal, yaitu mursal Az-Zuhri (Atsar riwayat Ibnul Mubarok di Az-Zuhd 2/48). Sebagian ulama memandang riwayat marfu’ adalah riwayat yang shahih, dan ini adalah pendapat al-Albani (lihat As-Shahihah 1/53 no 17), dan dzohirnya dishahihkan juga oleh Ibnu Hajar.
([8]) Lihat: Fathul Bari 6/421
([9]) Lihat: Fathul Bari 6/420
([10]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/31
([11]) HR. Bukhari no. 3461 dan HR. Abu Daud no. 3662
([12]) Disebutkan bahwa nama istri Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah Rahmah. (lihat: Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsir Bil Ma’tsur 7/197)
([13]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/502-503
([14]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/503-504
([15]) Muhaadhorootul Udabaa’ Wa Muhaawarootusy Syu’aroo’ Wal Bulaghoo’ 2/485
([16]) HR. Ibnu Majah no. 4031. Dan Al-Albani mengatakan hadits ini hasan
([17]) lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/66
([18]) lihat: Fabihudaahum iqtadih, Utsman al-Khomis hal 277
([20]) lihat: Mirqootul Mafaatiih Syarhu Misykaatul Mashoobiih 4/1619
([22]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/506
([23]) Lihat: Kasysyaaf Tahliilii lil Masaailil Fiqhiyyati Fit Tafsiiril Qurthubii hal 229
([24]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/504