Nabi Isma’il ‘alaihis salam
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Keistimewaan Nabi Ismaíl ‘alaihis salam
Allah berfirman :
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا، وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya” (QS Maryam : 54-55)
Pertama : Beliau disifati dengan صَادِقَ الْوَعْدِ “menepati janjinya”.
Hal ini sangat tampak bagaimana Nabi Isamíl benar-benar menunaikan janjinya adalah ia telah berjanji untuk bersabar jika disembelih oleh Ayahnya dan ia tunaikan janjinya tersebut([1]).
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS As-Shooffaat : 102)
Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa Nabi Ismaíl berjanji untuk bertemu dengan seseorang di suatu tempat, maka ia pun menunggu di tempat tersebut selama tiga hari menanti hingga datanglah orang tersebut([2]).
Para Ulama menyatakan meskipun para Nabi semua menepati janji akan tetapi Nabi Ismaíl terkenal dengan sifat ini, seakan-akan banyak janji yang selalu Beliau tepati. Atau karena janji yang ia janjikan adalah janji yang berat. Wallahu a’lam.
Kedua : Memerintahkan keluarganya untuk shalat dan bersedakah
Beliau senantiasa bersabar dalam memerintahkan Istri dan anak-anaknya untuk shalat dan bersedekah([3]). Ini menunjukan perhatian Beliau terhadap keluarga sangatlah besar. Ini juga menunjukan bahwa yang lebih utama untuk diperhatikan setelah diri sendiri adalah orang terdekat, yaitu keluarga([4]).
Ketiga : Beliau adalah seorang Nabi sekaligus rasul
Al-Qurthubi berkata :
قِيلَ: أُرْسِلَ إِسْمَاعِيلُ إِلَى جُرْهُمَ
“Dikatakan bahwa Nabi Ismaíl diutus untuk kabilah Jurhum (Arab)” ([5])
Keempat : Beliau bersama Ayah Beliau (Ibrahim) telah membangun ka’bah.
Allah berfirman :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqoroh : 127
Lahirnya Nabi Ismaíl
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah penduduk asli negeri Syam di Palestina, akan tetapi ia adalah pendatang dari negeri Babil. Demikian pula dengan orang-orang Yahudi yang tinggal di Palestina bukanlah penduduk asli di negeri tersebut.
Ketika Nabi Ibrahim diusir oleh kaumnya maka Beliaupun meninggalkan kaumnya dan memohon kepada Allah agar diberi keturunan yang shalih.
Allah berfirman :
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ، فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”. Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS As-Shooffaat : 97-101)
Allahpun mengabulkan doa Beliau, sebagai ganti atas pengorbanan Beliau. Beliau meninggalkan kaumnya dan kampung halamannya maka Allah menggantikan dengan anak yang sangat sholih dan menghilangkan kesepiannya. Akan tetapi anugrah anak tersebut yaitu Nabi Isma’il baru Allah berikan setelah Nabi Ibrahim sangat tua. Sebagian
Ulama menyatakan tatkala umur Ibrahim di atas 80 tahun. Kita bisa bayangkan betapa sangat bernilai anak tersebut yang baru lahir setelah penantian puluhan tahun?. Betapa besar kasih sayang Ibrahim ‘alaihis salam terhadap Isma’il?. Sungguh menanti lahirnya seorang anak hingga puluhan tahun itu merupakan ujian tersendiri. Akan tetapi anak yang dinanti ini ternyata merupakan ujian berat bagi Ibrahim álaihis salam.
Sarah cemburu kepada Hajar
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari negeri Mesir, sampailah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bersama Sarah dan pembantunya Hajar di Palestina. Disebutkan oleh Ibnu Katsir bahwa mereka tinggal di Palestina selama 20 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ternyata Sarah belum juga dikaruniai seorang anak([6]). Sarah ternyata mandul dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga sudah tua yang kala itu telah berumur sekitar 80 tahun. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Allah mewajibkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sunat pada usia tua tersebut([7]).
Maka ketika Sarah merasa kasihan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam karena tidak memiliki anak dari dia, maka Sarah kemudian menyerahkan pembantunya Hajar kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk dinikahi agar Nabi Ibrahim memiliki keturunan([8]). Maka menikahlah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan Hajar, dan akhirnya Allah mentakdirkan Hajar mengandung dan melahirkan seorang anak bernama Ismail ‘alaihissalam. Disebutkan ketika Ismaíl lahir umur Ibrahim ketika itu 83 tahun([9]), yaitu 14 tahun sebelum lahirnya Ishaq([10]). Tentunya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sangat sayang dan cinta kepada Ismail ‘alaihissalam karena setelah puluhan tahun baru dia dikaruniakan seorang anak. Akan tetapi dari kecintaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam itulah Allah akan kembali memberikan ujian kepadanya.
Ketika Hajar melahirkan anak maka Sarahpun cemburu, karena ada yang dimiliki oleh Hajar yang tidak dimiliki olehnya. Ia tidak cemburu pada masalah kecantikan atau karena kasih sayang Nabi Ibrahim kepadanya, akan tetapi ia cemburu pada perkara Hajar memiliki apa yang tidak ia miliki, Hajar bisa memberi kepada Nabi Ibrahim apa yang tidak bisa ia berika. Padahal sebagaimana yang kita tahu Sarahlah yang menghadiahkan Hajar kepada Ibrahim. Begitu cemburunya Sarah kepada Hajar, sampai disebutkan dalam sebuah riwayat Sarah bersumpah akan memotong tiga bagian tubuh Hajar (yaitu kedua daun telinganya dan hidungnya Hajar). Sarah adalah wanita salehah dan tidak ada yang ragu dengan kesalehannya. Hal ini ditunjukkan dari perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mengatakan bahwa Sarah adalah saudari seimannya. Ini membuktikan bahwa ketika para wanita yang lain kufur kepada Allah, Sarah menjadi wanita yang beriman kepada Allah. Kemudian di antara bentuk kesalehan Sarah yang lain ditunjukkan ketika Allah langsung mengabulkan doanya ketika dia memintakan kebebasan atas belenggu yang terjadi kepada raja Mesir kala itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa seperti itulah wanita, ketika dia telah cemburu kepada seseorang -betapapun salehahnya dia, maka akan sulit mengontrol dirinya. Maka janganlah seorang laki-laki menyalahkan perbuatan aneh dari seorang wanita yang sedang cemburu, karena begitulah sifat wanita.
Lihatlah kisah kecemburuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Tidak ada yang meragukan bagaimana kesalehan Beliau. Akan tetapi ketika dia mengetahui bahwa salah seorang Istri Rasulullah ﷺ yang lain mengutus orang untuk datang membawakan makanan ke rumahnya, dia pun cemburu. Maka ketika telah orang yang membawa makanan tersebut, dipukullah tangan wanita tersebut oleh ‘Aisyah, sehingga jatuh dan pecahlah piring yang dibawanya. Padahal ketika itu Rasulullah ﷺ kedatangan para sahabat di rumahnya. Bagi diri kita tentu ini adalah perkara yang berat ketika Istri kita sedang marah di hadapan tamu-tamu kita, sehingga terkadang yang adalah kita kembali marah. Akan tetapi sikap Rasulullah ﷺ tidak marah ketika melihat makanan dan piring tersebut jatuh. Beliau pun turun untuk mengumpulkan pecahan piring tersebut. kemudian Rasulullah memberikan uzur kepada ‘Aisyah dengan berkata kepada para sahabat; غَارَتْ أُمُّكُمْ “Ibu kalian telah cemburu“([11]). Rasulullah ﷺ menyadari bahwa ‘Aisyah melakukan kesalahan tersebut disebabkan cintanya dan kecemburuannya kepada Nabi ﷺ.
Ibnu Hajar mengomentari dengan berkata :
قَالُوا فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى عَدَمِ مُؤَاخَذَةِ الْغَيْرَاءَ بِمَا يَصْدُرُ مِنْهَا لِأَنَّهَا فِي تِلْكَ الْحَالَةِ يَكُونُ عَقْلُهَا مَحْجُوبًا بِشِدَّةِ الْغَضَبِ الَّذِي أَثَارَتْهُ الْغَيْرَةُ وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو يَعْلَى بِسَنَدٍ لَا بَأْسَ بِهِ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا أَنَّ الْغَيْرَاءَ لَا تُبْصِرُ أَسْفَلَ الْوَادِي مِنْ أَعْلَاهُ
“Para Ulama berkata, hadits ini mengisyaratkan untuk tidak menghukumi wanita yang cemburu akibat kesalahan yang dilakukannya. Hal ini karena ketika dalam kondisi begini akalnya tertutup dengan kemarahan yang berat yang ditimbulkan oleh kecemburuannya. Abu Ya’la meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Aisyah secara marfu’ (dari Nabi shallallahu álaihi wasallam, Beliau bersabda) : “Sesungguhnya wanita yang sedang cemburu tidak bisa membedakan antara dasar lembah dan atas lembah” ([12])
Maka begitu pun dengan Sarah yang cemburu karena sangat cinta kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Sehingga tidak pantas seorang Suami marah dan mencaci maki Istrinya yang melakukan kesalahan karena cintanya kepada dia ([13]).
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ketika Sarah telah bertekad untuk melaksanakan sumpahnya tersebut yaitu memotong kedua daun telinga dan hidung, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memberikan solusi, Ibrahim meminta Sarah cukup merealisasikan sumpahnya dengan melubangi kedua telinga Hajar dan menyunat Hajar([14]). Akan tetapi ketika Sarah telah melakukan hal tersebut, maka tampak semakin cantik Hajar daripada sebelumnya. Akhirnya ketika Sarah melihat kelebihan yang ada pada Hajar, maka bertambahlah kecemburuan Sarah. Kecemburuan Sarah inilah yang menjadi di antara sebab Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar dan Ismail ‘alaihissalam ke kota Mekkah([15]).
Kepergian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar dan Nabi Ismail ke kota Mekkah adalah sebuah ujian. Dan kita ketahui bahwa kehadiran Nabi Ismail ‘alaihissalam yang dinanti-nantikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, menjadikan relung hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Nabi Ismail ‘alaihissalam. Sehingga Allah hendak menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tentang mana yang paling dia cintai antara memenuhi perintah Allah Subhanahu wa ta’ala untuk berpisah dengan anaknya atau tetap bersama anaknya Ismail yang telah dinanti-nantikan. Akan tetapi kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menunjukkan bahwa dia lebih mencintai Allah, sehingga akhirnya dia memenuhi perintah Allah dan rela untuk meninggalkan Ismail yang akan dibawanya ke kota Mekkah. Kemudian bentuk lain kecintaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Allah adalah kisah ketika Beliau memilih untuk menyembelih anaknya Ismail tatkala dia berada dipuncak kecintaannya kepada Ismail yang akan kita sebutkan pula dalam pembahasan ini. Semua pilihan itu Allah berikan dalam rangka untuk menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, apakah dia lebih cinta kepada Allah atau masih ada kecintaan terhadap dunia di dalam hatinya. Oleh karenanya ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lebih memilih untuk melaksanakan perintah Allah, itulah yang membuat dia mampu mencapai derajat sebagai kekasih Allah. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah satu dari dua orang Nabi yang diangkat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai kekasihnya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (QS. An-Nisa : 125)
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berserta Hajar dan Ismail di Mekkah
Kisah kepergian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam beserta Hajar dan Ismail ‘alaihissalam ke Mekkah disebutkan dalam hadits yang cukup panjang dalam Sahih Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu menuturkan,
أَوَّلَ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ المِنْطَقَ مِنْ قِبَلِ أُمِّ إِسْمَاعِيلَ، اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لِتُعَفِّيَ أَثَرَهَا عَلَى سَارَةَ، ثُمَّ جَاءَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ وَبِابْنِهَا إِسْمَاعِيلَ وَهِيَ تُرْضِعُهُ
“Wanita pertama yang menggunakan minthaq (ikat pinggang) adalah Ibu Nabi Isma’il ‘Alaihissalam. Dia menggunakannya untuk menghilangkan jejak dari Sarah. Kemudian Ibrahim ‘Alaihissalam membawanya berserta anaknya Isma’il dalm kondisi ia menyusuinya.” ([16])
Disebutkan bahwa karena kecemburuan Sarah terhadap Hajar, dia pun mengejar Hajar. Sehingga Hajar menggunakan sesuatu yang diikat di pinggangnya, sehingga kain yang dipakainya bisa menghilangkan jejaknya yang tatkala itu mereka sedang berjalan di padang pasir. Disebutkan pula bahwa tatkala Hajar lari dari kejaran Sarah, dia menggunakan pakaian seorang pembantu([17]). Hal itu dilakukan Hajar untuk menenangkan Sarah dengan menunjukkan bahwa dirinya adalah pembantunya dan bukan saingannya meskipun dia adalah Istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Akhirnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Istri dan putranya ke Mekkah dan meletakkan mereka di suatu lembah dekat tempat berdirinya Ka’bah yang dia menyebutnya sebagai tempat yang tandus karena tidak memiliki tumbuhan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ
“Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.” (QS. Ibrahim : 37)
Ketika telah sampai di tempat tersebut, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kemudian memberi satu kantong air dan satu kantong kurma untuk bekal bagi Hajar dan Ismail ‘alaihissalam. Kemudian Ibnu ‘Abbas kembali menuturkan,
ثُمَّ قَفَّى إِبْرَاهِيمُ مُنْطَلِقًا، فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لاَ يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا
“Kemudian Ibrahim pergi untuk meninggalkan keduanya. Maka Ibu Isma’il mengikutinya seraya berkata; “Wahai Ibrahim, kamu mau pergi kemana?. Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apa pun ini”. Ibu Isma’il terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya.”([18])
Kepergian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk meninggalkan Hajar dan Ismail ‘alaihissalam di tempat yang tidak ada apa-apa sudah cukup membuat Hajar merasa sedih. Akan tetapi kesedihannya semakin bertambah tatkala dia bertanya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tentang alasan dia menempatkan mereka di tempat tersebut secara berulang-ulang, akan tetapi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tetap tidak menjawab dan bahkan tidak menoleh kepadanya sekalipun. Sampai akhirnya Hajar menyadari bahwa tidak mungkin Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melakukan hal tersebut kecuali karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena Hajar tahu bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah orang yang sangat lembut dan penyayang.
Maka ketika Hajar menyadari bahwa apa yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kebiasaan yang dia ketahui, dia pun kembali bertanya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
فَقَالَتْ لَهُ: آللَّهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَتْ: إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا ثُمَّ رَجَعَتْ
“Akhirnya Ibu Isma’il bertanya; “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?”. Ibrahim menjawab: “Ya”. Ibu Isma’il berkata; “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami”. Kemudian Ibu Isma’il kembali.”([19])
Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terus berjalan menjauh dari Istri dan anaknya. Ketika dia telah sampai di sebuah bukit yang agak tinggi dan sudah tidak dapat dilihat oleh Istri dan anaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berbalik ke arah tempat Ka’bah akan didirikan, tempat dia menempatkan Istri dan anaknya, kemudian dia berdoa kepada Allah yang doanya diabadikan oleh Allah di dalam Alquran,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ، رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim 35-36)
Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam takut terhadap kesyirikan. Meskipun Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menghancurkan berhala-berhala di kampungnya Babil, akan tetapi dia pula yang meminta untuk dijauhkan dari kesyirikan. Kemudian ayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan betapa lembutnya hati Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, sampai dia memintakan ampunan bagi orang-orang yang berbuat kesyirikan. Sebagian Ulama menyebutkan bahwa perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ini menunjukkan bahwa dia tidak tahu kalau kesyirikan tidak akan diampuni oleh Allah. Oleh karenanya disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memintakan ampun kepada Allah atas kesyirikan yang dilakukan oleh Ayahnya. Akan tetapi kemudian barulah dia menyadari hal tersebut tidak boleh, maka dia pun tidak lagi memintakan ampun untuk Ayahnya. Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga berdoa,
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Akhirnya Allah Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ini. Oleh karenanya kita mendapati betapa banyak orang yang rindu untuk ke mekkah melaksanakan ibadah haji. Sampai orang yang telah melaksanakan ibadah haji pun ingin kembali mengulangnya. Padahal secara tempat yang dikunjungi adalah hanya Mekkah yang terdapat bangunan dari batu berbentuk kotak di tengahnya. Akan tetapi demikianlah Allah menjadikan orang-orang rindu untuk kembali ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh karena berkat doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga berdoa,
رَبَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِي وَمَا نُعْلِنُ وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (QS. Ibrahim : 38)
Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga berdoa,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ، رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ، رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (mengabulkan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua Ibu Bapakku dan orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)“. (QS. Ibrahim : 39-41)
Doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang memintakan ampun untuk orang tuanya ini adalah doa yang dia panjatkan sebelum datang larangan Allah baginya untuk tidak memintakan ampunan untuk mereka. Dari doa ini juga kita belajar agar seseorang tidak hanya mendoakan dirinya sendiri, akan tetapi juga mendoakan anak keturunannya agar menjadi anak saleh dan salehah, karena orang tua butuh dengan anak-anak yang saleh dan salehah. Inilah di antara doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tatkala meninggalkan Istri dan anaknya.
Tatkala Hajar dan Ismail ‘alaihissalam telah ditinggal pergi oleh Ibrahim ‘alaihissalam, ternyata bekal yang diberikan kepadanya telah habis, sehingga air susunya pun tidak keluar. Kemudian mulailah Ismail ‘alaihissalam menangis dan meronta-rotan karena kelaparan. Ketika melihat kondisi seperti itu, Hajar tidak kuasa melihat anaknya yang menangis, sehingga dia pun pergi ke bukit Shafaa untuk melihat apakah ada orang atau sesuatu yang bisa yang bisa menolongnya. Hajar tidak putus asa dengan keadaan yang dialaminya karena dia telah yakin sebelumnya bahwa Allah tidak akan mungkin meninggalkan mereka. Maka ketika Hajar telah naik ke bukit Shafaa dan tidak mendapatkan sesuatu, maka dia turun melewati lembah menuju bukit Marwah. Ketika telah sampai di bukti Marwah, dia pun kembali melihat dan mencari orang yang dapat menolongnya namun dia tidak mendapati seorang pun. Hajar pun kembali ke Shafaa lalu kemudian kembali ke Marwah bolak-balik, dan dia tidak putus asa. Ketika dia telah bolak-balik dari Shafaa ke Marwah sebanyak tujuh kali mencari pertolongan, Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
فَذَلِكَ سَعْيُ النَّاسِ بَيْنَهُمَا
“Itulah sa’i yang mesti dilakukan oleh manusia (yang berhaji) di antara kedua bukit itu” ([20])
Allah memerintahkan seseorang untuk melaksanakan sa’i agar mengenang bagaimana semangatnya, juga tidak putus asa serta tawakkalnya yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka ketika Hajar telah sampai di bukit Marwah, dia mendengar ada suara. Maka dia pun berkata dalam hatinya memerintahkan dirinya untuk diam. Maka dia pun berusaha untuk kembali mendengar suara tersebut dan ternyata dia mendengarnya kembali. Akhirnya Hajar berkata; “Engkau telah memperdengarkan suaramu, jika engkau bermaksud memberi pertolongan (maka tolonglah)“. Kemudian Ibnu ‘Abbas menuturkan,
فَإِذَا هِيَ بِالْمَلَكِ عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ، أَوْ قَالَ بِجَنَاحِهِ، حَتَّى ظَهَرَ المَاءُ، فَجَعَلَتْ تُحَوِّضُهُ وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ المَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَ مَا تَغْرِفُ
“Ternyata suara itu adalah suara malaikat (Jibril ‘Alaihissalam) yang berada di dekat (lokasi yang akan keluar) zamzam, lantas Jibril mengais tanah dengan tumitnya” atau katanya; dengan sayapnya hingga air keluar memancar. Ibu Isma’il (mendatanginya) mulai membuat tampungan air dengan tangannya seperti ini yaitu menciduk air dan memasukkannya ke geriba sedangkan air terus saja memancar dengan deras setelah diciduk.” ([21])
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ memberikan komentar tentang perbuatan Hajar yang membendung air zamzam. Rasulullah mengatakan,
يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ – أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ المَاءِ -، لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِينًا
“Semoga Allah merahmati Ummu Isma’il (Siti Hajar) karena kalau dia membiarkan zamzam” atau sabda Beliau: “kalau dia tidak segera menampung air tentulah air zamzam itu akan menjadi air yang mengalir (sungai).” ([22])
Maka kemudian Hajar meminum air zamzam tersebut, dan akhirnya dia dapat kembali menyusui Ismail ‘alaihissalam. Ternyata dengan hanya meminum air zamzam Hajar dapat menyusi Ismail ‘alaihissalam, padahal tidak terdapat makanan apa pun. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
مَاءُ زَمْزَمَ، لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air Zamzam mempunyai khasiat tergantung niat orang yang meminumnya.”([23])
Dan juga perkataan Rasulullah ﷺ ketika mengetahui bahwa Abu Dzar al-Ghifari hanya minum air zamzam selama sebulan sebagai ganti makanannya sembari menanti kedatangannya,
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya air zamzam penuh dengan keberkahan, dan lebih mengenyangkan daripada makanan biasa.”([24])
Maka meskipun tidak ada asupan lain bagi Hajar selain air zamzam, tetapi dia tetap dapat menyusui Ismail ‘alaihissalam. dan demikianlah Hajar tinggal bersama Ismail ditemani dengan air zamzam.
Kemudian malaikat Jibril ‘alaihissalam berkata kepada Hajar,
لاَ تَخَافُوا الضَّيْعَةَ، فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ، يَبْنِي هَذَا الغُلاَمُ وَأَبُوهُ، وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُضِيعُ أَهْلَهُ
“Janganlah kalian takut ditelantarkan karena di sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan Ayahnya dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”([25])
Demikianlah Hajar dan Ismail hidup di tempat itu tanpa ada orang lain. Sampai suatu ketika datang kabilah Jurhum yang datang dari Yaman yang merupakan Arab Qahtan (penduduk arab asli) melewati Mekkah. Tatkala mereka turun ke bagian bawah kota Mekkah, mereka mendapati ada burung-burung terbang berputar-putar di sekitar lokasi yang akan di bangun Ka’bah. Mereka pun berkata,
إِنَّ هَذَا الطَّائِرَ لَيَدُورُ عَلَى مَاءٍ، لَعَهْدُنَا بِهَذَا الوَادِي وَمَا فِيهِ مَاءٌ
“Burung ini pasti berputar karena mengelilingi air padahal setahu kita selama ini bahwa di lembah ini tidak ada air.” ([26])
Mereka pun mengirim satu atau dua utusan untuk mencari tahu apakah benar ada air. Ternyata mereka benar mendapatkan air, lalu mengabarkan kepada rombongannya. Akhirnya mereka pun mendatangi sumber air zamzam tersebut dan mereka mendapati Hajar bersama Ismail berada di dekat air zamzam. Mereka pun berkata kepada Hajar,
أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَنْزِلَ عِنْدَكِ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، وَلَكِنْ لاَ حَقَّ لَكُمْ فِي المَاءِ، قَالُوا: نَعَمْ
“Apakah kamu mengizinkan kami untuk singgah (untuk tinggal) bergabung denganmu di sini?”. Ibu Isma’il berkata; “Ya boleh tapi kalian tidak berhak memiliki air”. Mereka berkata; “Baiklah“. ([27])
Maka tinggallah kabilah Jurhum tersebut bersama Hajar dan Ismail ‘alaihissalam. Ibnu ‘Abbas kembali menuturkan,
حَتَّى إِذَا كَانَ بِهَا أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْهُمْ، وَشَبَّ الغُلاَمُ وَتَعَلَّمَ العَرَبِيَّةَ مِنْهُمْ، وَأَنْفَسَهُمْ وَأَعْجَبَهُمْ حِينَ شَبَّ
“Ketika para keluarga dari mereka sudah tinggal bersama Hajar dan Isma’il sudah beranjak belia, dia belajar berbahasa arab dari mereka, bahkan menjadi manusia paling berharga dan paling menakjubkan di kalangan mereka. Kemudian Isma’il tumbuh menjadi seorang pemuda yang disenangi oleh mereka.”([28])
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam beserta Hajar dan Ismail ‘alaihissalam bukan asli orang Arab. Oleh karenanya disebutkan bahwa mereka belajar bahasa Arab kepada orang asli arab dari kabilah Jurhum. Para Ulama juga mengatakan bahwa orang Arab terbagi atas tiga jenis :
- al-‘Arab al-Baa’idah, yaitu Arab yang sudah punah, dan sudah tidak ada keturunannya lagi, dan di antaranya adalah Kaum ‘Aad dan kaum Tsamud.
- al-‘Arab al-‘Aaribah, yaitu Arab asli yang disebut dengan Arab Yaman (Arab Qahtan), yang mereka berasal dari Yaman.
- al-‘Arab al-Musta’ribah([29]), yang secara bahasa kita bermakna Arab yang tidak asli (arab campuran), yang kemudian dianggap sebagai orang Arab.
No tiga ini merupakan arabnya keturunan Nabi Ismail ‘alaihissalam. Karena Ismail ‘alaihissalam tinggal di kota Mekkah, yang kemudian menikahi seorang wanita dari kabilah Jurhum (keturunan Arab Qahtan). Sampai disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Allah menjadikan dia lebih hebat dan lebih fasih dari orang-orang Arab asli([30]).
Setelah Ismail ‘alaihissalam semakin dewasa, akhirnya dia pun dinikahkan dengan wanita dari Kabilah Jurhum. Dan tidak lama setelah itu Hajar meninggal dunia. Kemudian setelah itu disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam senantiasa datang ke Mekkah untuk menengok keadaan anaknya yaitu Ismail dan keluarganya. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengendarai Buroq dalam perjalanannya dari Syam menuju Mekkah([31]). Perlu penulis kembali ingatkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan Hajar dan Ismail ‘alaihissalam di lembah yang tidak terdapat apa-apa itu karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka kemudian jangan disalah pahami bahwa seorang Suami kemudian boleh meletakkan Istri dan anak-anak di suatu tempat yang kemudian ditinggalkan. Karena terkadang ada seseorang Suami yang keluar berdakwah dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi tidak meninggalkan apa-apa untuk keluarganya. Bahkan tidak memberikan nafkah untuk mereka. Maka yang seperti adalah salah paham, karena perintah tersebut khusus ditujukan kepada Nabi Ibrahim dan tidak boleh disamakan dengan yang lain. Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meletakkan bekal untuk Istri dan anaknya sebelum meninggalkannya.
Akhirnya ketika Ismail ‘alaihissalam telah menikah, datanglah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengunjungi anaknya. Tatkala dia telah sampai di Mekkah, ternyata Ismail ‘alaihissalam sedang keluar mencari nafkah, dan dia mendapati Istrinya. Akan tetapi Istrinya Ismail ‘alaihissalam tidak mengetahui bahwa yang berkunjung kepadanya adalah Ayah dari Suaminya. maka terjadi dialog antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Istrinya Ismail ‘alaihissalam. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu menuturkan,
فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: خَرَجَ يَبْتَغِي لَنَا، ثُمَّ سَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ، فَقَالَتْ نَحْنُ بِشَرٍّ، نَحْنُ فِي ضِيقٍ وَشِدَّةٍ، فَشَكَتْ إِلَيْهِ، قَالَ: فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلاَمَ، وَقُولِي لَهُ يُغَيِّرْ عَتَبَةَ بَابِهِ، فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ كَأَنَّهُ آنَسَ شَيْئًا، فَقَالَ: هَلْ جَاءَكُمْ مِنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، جَاءَنَا شَيْخٌ كَذَا وَكَذَا، فَسَأَلَنَا عَنْكَ فَأَخْبَرْتُهُ، وَسَأَلَنِي كَيْفَ عَيْشُنَا، فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا فِي جَهْدٍ وَشِدَّةٍ، قَالَ: فَهَلْ أَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ السَّلاَمَ، وَيَقُولُ غَيِّرْ عَتَبَةَ بَابِكَ، قَالَ: ذَاكِ أَبِي، وَقَدْ أَمَرَنِي أَنْ أُفَارِقَكِ، الحَقِي بِأَهْلِكِ، فَطَلَّقَهَا
“Ibrahim bertanya tentang Isma’il kepada Istrinya Isma’il. Istrinya menjawab; “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami. Lalu Ibrahim bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Isma’il menjawab; “Kami mengalami banyak keburukan dan hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat”. Istri Isma’il mengadukan kehidupan yang dijalaninya bersama Suaminya kepada Ibrahim. Ibrahim berkata; “Nanti apabila Suami kamu datang sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar mengubah landasan/pijakan pintu([32]) rumahnya”. Ketika Isma’il datang dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada Istrinya; “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”. Istrinya menjawab; “Ya. Tadi ada orang tua begini dan begini keadaannya datang kepada kami dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan”. Isma’il bertanya; “Apakah orang itu ada memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab; “Ya. Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengubah landasan pintu rumah kamu”. Isma’il berkata; “Dialah Ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu maka itu kembalilah kamu kepada keluargamu”. Maka Isma’il menceraikan Istrinya.”([33])
Ketahuilah bahwa bagi seorang Suami, lafal “kembalilah kamu kepada keluargamu” merupakan lafal cerai. Kata para Ulama bahwa lafal cerai ada dua. Yang pertama adalah lafal Sharih yaitu lafal yang tegas menunjukkan perceraian, yang kedua adalah lafal Kinayah yaitu lafal yang tidak menunjukkan secara langsung makna cerai tapi maknanya adalah cerai, seperti lafal “pulanglah ke rumah orang tuamu” atau yang semisalnya. Jika yang terucap adalah jenis lafal Sharih, baik niat atau tidak niat untuk cerai, maka tetap jatuh cerai. Akan tetapi jika lafal yang terucap adalah jenis lafal Kinayah (tidak tegas), maka keputusan cerai atau tidaknya tergantung niat orang yang mengucapkan lafal tersebut, jika dia niatnya cerai maka telah jatuh cerai dan jika hanya sekedar menakut-nakuti maka tidak jatuh cerai. Sehingga niat seseorang yang mengucapkan lafal Kinayah hanya diri kita dan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka hendaknya seorang Suami berhati-hati dengan ucapannya.
Kemudian setelah itu Ismail ‘alaihissalam menikah dengan wanita lain dari kalangan penduduk itu. Maka tidak lama setelah mereka menikah, datanglah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan bertemu dengan Istrinya Ismail ‘alaihissalam. Ibnu ‘Abbas kembali menuturkan,
فَسَأَلَهَا عَنْهُ، فَقَالَتْ: خَرَجَ يَبْتَغِي لَنَا، قَالَ: كَيْفَ أَنْتُمْ؟ وَسَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ، فَقَالَتْ: نَحْنُ بِخَيْرٍ وَسَعَةٍ، وَأَثْنَتْ عَلَى اللَّهِ، فَقَالَ: مَا طَعَامُكُمْ؟ قَالَتِ اللَّحْمُ، قَالَ فَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتِ المَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالمَاءِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ يَوْمَئِذٍ حَبٌّ، وَلَوْ كَانَ لَهُمْ دَعَا لَهُمْ فِيهِ». قَالَ: فَهُمَا لاَ يَخْلُو عَلَيْهِمَا أَحَدٌ بِغَيْرِ مَكَّةَ إِلَّا لَمْ يُوَافِقَاهُ، قَالَ: فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلاَمَ، وَمُرِيهِ يُثْبِتُ عَتَبَةَ بَابِهِ، فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ قَالَ: هَلْ أَتَاكُمْ مِنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَتَانَا شَيْخٌ حَسَنُ الهَيْئَةِ، وَأَثْنَتْ عَلَيْهِ، فَسَأَلَنِي عَنْكَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَسَأَلَنِي كَيْفَ عَيْشُنَا فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا بِخَيْرٍ، قَالَ: فَأَوْصَاكِ بِشَيْءٍ، قَالَتْ: نَعَمْ، هُوَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلاَمَ، وَيَأْمُرُكَ أَنْ تُثْبِتَ عَتَبَةَ بَابِكَ، قَالَ: ذَاكِ أَبِي وَأَنْتِ العَتَبَةُ، أَمَرَنِي أَنْ أُمْسِكَكِ
“Setelah itu datang kembali untuk menemui mereka namun dia tidak mendapatkan Isma’il hingga akhirnya dia mendatangi Istri Isma’il lalu bertanya kepadanya tentang Isma’il. Istrinya menjawab; “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami. Lalu Ibrahim bertanya lagi; “Bagaimana keadaan kalian”. Dia bertanya kepada Istrinya Isma’il tentang kehidupan dan keadaan hirup mereka. Istrinya menjawab; “Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup”. Istri Isma’il memuji Allah. Ibrahim bertanya; ‘Apa makanan kalian? ‘. Istri Isma’il menjawab; “Daging”. Ibrahim bertanya lagi; “Apa minuman kalian? ‘. Istri Isma’il menjawab; “Air”. Maka Ibrahim berdo’a: “Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saat itu tidak ada biji-bijian di Makkah dan seandainya ada tentu Ibrahim sudah mendoakannya”. Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata; “Dan dari doa Ibrahim tentang daging dan air itulah, tidak ada seorang pun selain penduduk Makkah yang mengeluh bila yang mereka dapati hanya daging dan air”. Ibrahim selanjutnya berkata; “Jika nanti Suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh landasan pintu rumahnya”. Ketika Isma’il datang, dia berkata: “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”. Istrinya menjawab; “Ya. Tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang kepada kami”. Istrinya mengagumi Ibrahim. Dia bertanya kepadaku tentang kamu maka aku terangkan lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja”. Isma’il bertanya; “Apakah orang itu ada memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab; “Ya. Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan landasan pintu rumah kamu”. Isma’il berkata; “Dialah Ayahku dan landasan pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu“. ([34])
Footnote:
______
([1]) Lihat Adhwaaul Bayaan 3/437 dan at-Tahrir wa at-Tanwir 16/129
([2]) Lihat Tafsir al-Qurthubi 11/115
([3]) Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat yang dimaksud adalah sedekah secara umum bukan sayariát zakat secara khusus. Sebagian ulama yang lain berpendapat yang dimaksud dengan zakat di sini adalah tazkiyatun nufuus “pensucian jiwa” (Lihat Ruuhul Maáani 8/422-423)
([4]) Lihat Ruuhul Maáani 8/422
([5]) Lihat Tafsir al-Qurthubi 11/116
([6]) Lihat Qashah Al-Anbiya’ hal 1/201
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“(Nabi) Ibrahim berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau khitan dengan menggunakan kapak” (HR Bukhori 5824).
Sebagian ulama mengartikan القَدُّوْم dengan nama sebuah lokasi (kota)
([8]) Lihat Qashah Al-Anbiya’ hal 1/200
([9]) Lihat Fathul Baari 12/379
([10]) Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara Ismaíl dan Ishaq hanyalah 4 tahun dan sebagian ulama berpendapat 14 tahun. (Lihat Fathul Baari 12/379)
([13]) Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Nabi غَارَتْ أُمُّكُمْ “Ibunda kalian telah cemburu” yaitu Sarah istri Ibrahim telah cemburu. Yaitu Nabi berkata kepada para sahabat agar tidak heran dengan sikap Aisyah yang telah memecahkan piring karena ibunda kalian yaitu Sarah juga pernah cemburu kepada Hajar. (Lihat Fathul Baari 9/325)
([14]) Lihat At-Tamhiid, Ibn Ábdil Barr 21/59
([15]) Lihat Tafsir Fathul Qodir karya As-Syaukani 3/136-137
([16]) HR. Bukhari 4/142 no. 3364
([17]) Lihat Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir 68/187
([18]) HR. Bukhari 4/142 no. 3364
([19]) HR. Bukhari 4/142 no. 3364
([20]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([21]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([22]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([23]) HR. Ibnu Majah 2/1018 no. 3062 disahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Al-Irwaa’ no. 1123.
([24]) HR. Muslim 4/1922 no. 2473
([25]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([26]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([27]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([28]) HR. Bukhari 4/143 no. 3364
([29]) Lihat Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Shafiyurrahman Al-Mubarakfury hal. 10, telah lalu penjelasannya di kisah Nabi Hud álaihis salam
أَوَّلُ مَنْ فَتَقَ اللَّهُ لِسَانَهُ بِالْعَرَبِيَّةِ الْمُبِينَةِ إِسْمَاعِيلُ
“Orang yang pertama kali Allah bukakan lisannya dengan bahasa Arab yang jelas adalah Isma’il” (Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqolani di Fathul Baari 6/403)
Sehingga jadilah bahasa Arabnya Isma’il lebih hebat dan lebih fashih dari orang-orang Arab yang lainnya, karena Allah memantapkan bahasa Arab beliau.
([31]) Lihat Tafsir At-Thabari 9/370
([32]) عَتَبَةُ الْبَابِ maknanya kayu yang terletak di bawah pintu yang biasanya dijadikan pijakan sebelum melewati pintu (Lihat Tahdziib al-Lughoh, al-Azhari 10/47). Terkadang dijadikan kata kiasan dari seorang wanita. Karena sama-sama mauthuuáh مَوْطُوْءَةٌ (Lihat Syamsul Úluum 7/4352) dan dalam bahasa Arab مَوْطُوْءَةٌ bisa artinya diinjak dan bisa artinya digauli.