Wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khadijah radhiallahu ‘anha sangat istimewa bagi Rasulullah ﷺ. Setelah wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha pun Rasulullah ﷺ tidak melupakannya dan selalu mengenangnya, sampai begitu sering menyebut namanya, sehingga ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun cemburu kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah ﷺ yang sudah meninggal dunia.
Setelah pemboikotan orang-orang kafir terhadap bani Hasyim selesai. Kesehatan Khadijah radhiallahu ‘anha pun mulai melemah, tidak seperti sedia kala. Setelah 3 tahun mengalami pemboikotan yang luar biasa, ditambah lagi dengan usianya yang sudah tua. Tidak lama setelah itu, Khadijah radhiallahu ‘anha pun wafat.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha wafat pada tahun ke-10 dari masa kenabian, setelah Nabi Muhammad ﷺ berdakwah di Makkah, lebih tepatnya 3 tahun sebelum hijrah([1]). Nabi Muhammad berada ﷺ di Makkah selama 13 tahun dan pada tahun ke-10 dari masa kenabian, Khadijah radhiallahu ‘anha meninggal dunia([2]).
Ada khilaf di kalangan para ulama tentang siapakah yang lebih dahulu meninggal dunia, Khadijah radhiallahu ‘anha atau Abu Thalib? Sebagian ulama berpendapat Khadijah radhiallahu ‘anha lebih dahulu meninggal sebelum Abu Thalib. Sebagian dari mereka juga berpendapat Abu Thalib lebih dahulu meninggal dunia dari pada Khadijah radhiallahu ‘anha. Intinya, Khadijah radhiallahu ‘anha dan Abu Thalib meninggal dalam waktu yang berdekatan. Ada yang mengatakan hanya selisih tiga hari, ada juga yang mengatakan dua bulan. ([3])
Inilah ujian yang berat bagi Nabi Muhammad ﷺ ketika itu. Pada saat beliau ﷺ berada di puncak dakwah semakin sulit, di mana orang-orang Quraisy semakin memberikan tekanan dan serangan kepada kaum muslimin, dan saat itu juga orang-orang terdekat beliau, yang selalu membela dakwah beliau ﷺ telah meninggal dunia. Yang selalu membantu Nabi Muhammad ﷺ di dalam rumah dan menenangkan hati beliau adalah Khadijah radhiallahu ‘anha telah meninggal dunia. Yang selalu membela Nabi Muhammad ﷺ di luar rumahnya, di saat ada orang-orang kafir yang mengganggu dakwah beliau ﷺ, maka mereka akan ketakutan ketika ada Abu Thalib, namun akhirnya juga meninggal dunia([4]).
Tentu saja, ini sangat membuat sedih Nabi Muhammad ﷺ, karena dua orang terdekat itu telah tiada. Terlebih lagi, Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan musyrik dan ini sangat menyedihkan Rasulullah ﷺ. Sampai-sampai saat itu turun firman Allah ﷻ,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasas: 56)
Oleh karenanya, sebagian ulama menyebutkan tahun tersebut dengan nama عَامُ الْحُزْنِ ‘Tahun kesedihan’ ([5]) bagi Rasulullah ﷺ. Bagaimana tidak? Di puncak-puncak kesulitan yang beliau hadapi, ketika pulang ke rumah beliau tidak melihat lagi senyuman yang biasanya beliau lihat di rumahnya. Khadijah radhiallahu ‘anha sudah tiada. Tidak ada lagi yang menenangkan Nabi Muhammad ﷺ, tidak ada yang menjadi tempat curhat beliau ﷺ. Semua hari-hari yang beliau lalui bersama istrinya telah tiada dengan wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha.
Di antara hal yang menakjubkan bagi Khadijah radhiallahu ‘anha adalah dia wafat di saat kondisi yang belum menyenangkan bagi kaum muslimin. Berbeda dengan istri-istri Nabi Muhammad ﷺ yang lain, di mana Nabi Muhammad ﷺ sudah berada di Madinah, menjadi kepala negara di sana, jumlah para sahabat semakin banyak, meraih kemenangan-kemenangan di dalam banyak peperangan. Itu semua tidak dirasakan oleh Khadijah radhiallahu ‘anha, karena dia wafat di saat-saat yang sulit pada periode Makkah, sehingga -menurut sebagian ulama-, Allah ﷻ ingin agar Khadijah radhiallahu ‘anha mendapatkan ganjarannya secara sempurna([6]).
Berbeda dengan istri-istri Nabi Muhammad ﷺ yang lain. Meskipun mereka juga mengalami kesulitan, namun tidak ada yang mengalami kesulitan yang serupa dengan yang dialami Khadijah radhiallahu ‘anha. Perjuangan demi perjuangan tiada henti-hentinya, mengalami pemboikotan selama 3 tahun, sehingga membuat tubuhnya lemah dan mengakibatkannya meninggal dunia. Tidak ada kesenangan dunia yang dirasakan oleh Khadijah radhiallahu ‘anha. Pada saat itu dakwah Nabi Muhammad ﷺ belum selesai, justru masih pada fase permulaan. Berbeda, tatkala Nabi Muhammad ﷺ sudah berada di Madinah, meraih banyak kemenangan di dalam banyak peperangan dan penaklukan negeri-negeri kafir.
Keutamaan Khadijah radhiallahu ‘anha
Di antara keistimewaan Khadijah radhiallahu ‘anha adalah selama Rasulullah ﷺ hidup bersamanya selama 25 tahun, beliau ﷺ tidak berpoligami([7]). Padahal, jika Rasulullah ﷺ hendak melakukannya, maka mudah bagi beliau.
Siapa yang tidak ingin putrinya menikah dengan seorang seperti Nabi Muhammad ﷺ? Di mana akhlak beliau terkenal mulia, bernasab tinggi, apalagi beliau adalah seorang nabi. Tetapi, selama Khadijah radhiallahu ‘anha hidup 25 tahun bersama Nabi Muhammad ﷺ, beliau ﷺ tidak menikah dan tidak memiliki budak. Kita tahu mungkin ada perbudakan pada zaman itu, tetapi Rasulullah ﷺ tidak menikah dan tidak mempunyai budak. Sebagian ulama menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak ingin sedikit pun menyakiti hati Khadijah radhiallahu ‘anha. Ini menunjukkan betapa cintanya Rasulullah ﷺ kepada Khadijah radhiallahu ‘anha([8]).
Setelah Khadijah radhiallahu ‘anha meninggal dunia, Rasulullah ﷺ melakukan poligami, bahkan beliau memiliki sembilan istri. Sebelumnya, ketika beliau bersama Khadijah radhiallahu ‘anha tidak ada poligami, karena beliau sangat sayang kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Tahun demi tahun berlanjut, setelah wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha, akhirnya Rasulullah ﷺ berhijrah ke kota Madinah, kemudian terjadi perang Badar.
Perang Badar terjadi pada saat tahun ke-2 hijriah, putri Nabi Muhammad ﷺ yang paling tua, yaitu Zainab, masih ada di Makkah bersama suaminya Abu Al-‘Ash. Abu Al-‘Ash adalah keponakan Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha dan ibunya bernama Halah binti Khuwailid. Abu Al-‘Ash adalah seorang musyrik, tetapi dia sayang kepada Zainab. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa suami Ruqayyah dan suami Ummu Kultsum berkhianat dengan menceraikan keduanya, karena keduanya merupakan anak-anak Abu Lahab. Adapun Abu Al-‘Ash ketika disuruh untuk menceraikan istrinya, Zainab radhiallahu ‘anha, dan ditawarkan harta dan wanita yang cantik jika sudi menceraikan istrinya, dia tidak mau menceraikannya, meskipun akhirnya keduanya berbeda agama.
Akhirnya, ketika terjadi perang Badar, Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ masuk ke dalam barisan kaum musyrikin bersama Abu Jahl serta kawan-kawannya untuk memerangi mertuanya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Pasukan kaum musyrikin berangkat dengan 1000 pasukan menuju Badar untuk memerangi kaum muslimin. Rasulullah ﷺ bersama para sahabat keluar dari Madinah menuju Badar dengan 313 atau 315 pasukan([9]).
Kaum musyrikin meraih kekalahan di dalam peperangan tersebut. Ketika itu, banyak tawanan dari mereka, lalu dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ, di antaranya adalah Al-‘Abbas bin Abdul Mutthalib -paman beliau-, Al-‘Aqil bin Abu Thalib -sepupu beliau- dan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ -menantu beliau-. Setelah itu, Rasulullah ﷺ membuat pengumuman kepada orang-orang Quraisy di Makkah, barang siapa yang hendak membebaskan tawanan mereka, maka hendaknya menebusnya dengan sejumlah harta. Rasulullah ﷺ meminta tebusan harta dari kaum musyrikin untuk keamanan negara dan kekuatan perang. Setelah itu, datanglah tebusan-tebusan yang datang dengan harta untuk menebus saudara-saudara mereka yang tertawan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Ternyata Zainab radhiallahu ‘anha, putri Nabi Muhammad ﷺ, di Makkah mendengar suaminya ditawan oleh ayahnya sendiri. Zainab radhiallahu ‘anha sangat sayang kepada Abu Al-‘Ash, karena baginya dia adalah suami yang setia. Tetapi, karena perbedaan agama membuat ayah dan suaminya saling berperang. Ketika Zainab radhiallahu ‘anha mendengar ayahnya meminta sejumlah tebusan untuk pembebasan tawanan, maka Zainab radhiallahu ‘anha pun mengirim tebusan untuk membebaskan suaminya, Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’. Zainab radhiallahu ‘anha tidak banyak memiliki harta, lalu dia melepaskan kalungnya yang dia miliki dan meletakkannya di dalam tebusan tersebut, kemudian dikirimkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Kalung yang dijadikan tebusan Zainab radhiallahu ‘anha adalah kalung yang pernah dipakai oleh Khadijah radhiallahu ‘anha.([10])
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pernikahan Zainab dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ adalah atas isyarat Khadijah radhiallahu ‘anha, karena Abu Al-‘Ash adalah anak dari saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha, yaitu Halah binti Khuwailid. Akhirnya, menikahlah Zainab radhiallahu ‘anha dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’.
Di malam pengantin, Zainab radhiallahu ‘anha yang tidak memiliki apa-apa, sedangkan Khadijah radhiallahu ‘anha tidak menemukan kalung yang hendak diberikan kepada putrinya, maka Khadijah radhiallahu ‘anha melepaskan kalungnya yang sering dia pakai dan sering dilihat oleh Nabi Muhammad ﷺ. Beliau ﷺ sering melihat kalung tersebut dipakai oleh Khadijah radhiallahu ‘anha. Setelah itu, Khadijah radhiallahu ‘anha memberikannya kepada putrinya, Zainab radhiallahu ‘anha, untuk menghiasi dirinya ketika bertemu dengan suaminya di malam pengantin. Ternyata kalung tersebut dilepas oleh Zainab radhiallahu ‘anha untuk menebus suaminya yang masih musyrik dan tertawan tatkala menjadi tawanan kaum muslimin.
Akhirnya, datanglah tebusan yang dikirim oleh Zainab radhiallahu ‘anha kepada Nabi Muhammad ﷺ. Disebutkan di dalam riwayat Abu Dawud, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
لَمَّا بَعَثَ أَهْلُ مَكَّةَ فِي فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ بَعَثَتْ زَيْنَبُ فِي فِدَاءِ أَبِي الْعَاصِ بِمَالٍ، وَبَعَثَتْ فِيهِ بِقِلَادَةٍ لَهَا كَانَتْ عِنْدَ خَدِيجَةَ أَدْخَلَتْهَا بِهَا عَلَى أَبِي الْعَاصِ قَالَتْ: فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَّ لَهَا رِقَّةً شَدِيدَةً
“Ketika penduduk Makkah mengirimkan tebusan untuk para tawanan, Zainab, putri Rasulullah ﷺ mengirimkan tebusan untuk menebus Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ berupa sejumlah harta dan kalung yang dimilikinya dari Khadijah radhiallahu ‘anha, dia memberikannya saat malam pengantin dengan Abu Al-‘Ash. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau merasa kesedihan yang luar biasa.” ([11])
Ketika Nabi Muhammad ﷺ melihat kalung yang diberikan Zainab radhiallahu ‘anha, maka dia merasakan kesedihan yang luar biasa. Semua kenangan indah teringat kembali oleh Nabi Muhammad ﷺ, semua ingatan tentang Khadijah radhiallahu ‘anha berputar di dalam benak beliau, karena kalung yang diberikan Zainab radhiallahu ‘anha, sejatinya milik kekasih beliau, Khadijah radhiallahu ‘anha.
Setiap hari Nabi Muhammad ﷺ melihat kalung tersebut di leher istrinya radhiallahu ‘anha. Setelah sekian lama Rasulullah ﷺ tidak pernah melihat Khadijah radhiallahu ‘anha, namun dengan tiba-tiba kalung tersebut hadir di depan mata beliau dalam kondisi yang sangat menyedihkan dan dikirimkan oleh putrinya, Zainab radhiallahu ‘anha, yang ada di Makkah untuk menebus suaminya yang masih musyrik kala itu.
وَقَالَ: إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا، وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِي لَهَا. فَقَالُوا: نَعَمْ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ عَلَيْهِ أَوْ وَعَدَهُ أَنْ يُخَلِّيَ سَبِيلَ زَيْنَبَ إِلَيْهِ، وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَرَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: كُونَا بِبَطْنِ يَأْجِجَ حَتَّى تَمُرَّ بِكُمَا زَيْنَبُ فَتَصْحَبَاهَا حَتَّى تَأْتِيَا بِهَا
“Beliau ﷺ bersabda, ‘Seandainya menurut kalian boleh melepaskan tawanannya dan mengembalikan tebusannya (kalung ini) kepada Zainab, maka lakukanlah’, lalu mereka berkata, ‘Baik, wahai Rasulullah’. Rasulullah ﷺ mengambil janji dari Abu Al-‘Ash agar membebaskan Zainab kepada beliau. Rasulullah ﷺ mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang pemuda dari Anshar (untuk menjemput Zainab), seraya bersabda, ‘Hendaklah kalian menunggu di lembah Ya’jij hingga Zainab melewati kalian berdua, lalu kalian menemaninya sampai tiba di Madinah’.” ([12])
Akhirnya Abu Al-‘Ash pulang ke Makkah dan mengirimkan Zainab ke kota Madinah untuk bergabung Nabi Muhammad ﷺ. Setelah itu, terpisahlah Zainab dari Abu Al-‘Ash. Dari pernikahan mereka lahir seorang laki-laki yang kemudian meninggal dunia saat masih kecil dan seorang anak perempuan yang bernama Umamah binti Abu Al-‘Ash. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ ketika shalat membawa Umamah binti Zainab binti Rasulullah ﷺ.”([13])
Tidak lama kemudian Abu Al-‘Ash masuk Islam. Abu Al-‘Ash dan Zainab berpisah sekitar tahun ke-2 setelah hijrah, kemudian Abu Al-‘Ash masuk Islam sekitar tahun ke-7 hijriah. Bagaimana ceritanya ketika berpisah selama 6 tahun?
Abu Al-‘Ash dan Zainab radhiallahu ‘anha adalah suami istri yang terpisahkan karena perbedaan agama mereka. Suatu hari Abu Al-‘Ash membawa barang dagangan orang-orang Quraisy, ternyata dia dihadang oleh pasukan kecil kaum muslimin, dan akhirnya semua dagangannya direbut oleh kaum muslimin. Abu Al-‘Ash sempat melarikan dirinya dari mereka dan tidak terbunuh. Dia melarikan diri dan masuk ke kota Madinah, kemudian menemui istrinya, Zainab radhiallahu ‘anha, dan meminta untuk mendapatkan perlindungan. Bagaimana Zainab radhiallahu ‘anha tidak bahagia, karena pada saat itu bertemu dengan suaminya.
Di dalam satu riwayat disebutkan,
لَمَّا دَخَلَ أَبُو الْعَاصِ بْنُ الرَّبِيعِ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَجَارَ بِهَا، خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصُّبْحِ، فَلَمَّا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ صَرَخَتْ زَيْنَبُ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ أَجَرْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ. فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ، قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، هَلْ سَمِعْتُمْ مَا سَمِعْتُ؟. قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا عَلِمْتُ بِشَيْءٍ مِمَّا كَانَ حَتَّى سَمِعْتُ مِنْهُ مَا سَمِعْتُمْ
“Ketika Abu Al-‘Ash menemui Zainab binti Rasulullah ﷺ dan meminta perlindungannya, Rasulullah ﷺ keluar untuk shalat subuh, ketika beliau bertakbir untuk shalat, tiba-tiba Zainab berteriak, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku menjadi pelindung Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’. Ketika Rasulullah ﷺ salam dan selesai dari shalatnya, beliau menghadap kepada para sahabat, seraya bersabda, ‘Wahai manusia, apakah kalian mendengar apa yang telah aku dengar?’, mereka berkata, ‘Betul’, beliau ﷺ bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku Muhammad berada di tangannya, aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang telah kalian dengar’.” ([14])
Artinya Rasulullah ﷺ tidak mengetahui apa-apa dan tidak ada kesepakatan antara diri beliau dengan Zainab radhiallahu ‘anha. Zainab radhiallahu ‘anha sendiri yang hendak menolong dan melindungi suaminya. Akhirnya, Rasulullah ﷺ menyuruh para sahabat untuk mengembalikan harta Abu Al-‘Ash. Rasulullah ﷺ berbuat baik kepadanya, karena dia juga berbuat baik kepada Zainab radhiallahu ‘anha, meskipun masih dalam keadaan musyrik.
Setelah itu, harta orang-orang Quraisy yang telah dirampas oleh kaum muslimin dikembalikan kepada Abu Al-‘Ash, dan akhirnya dia kembali ke Makkah membawa semua harta tersebut. Sampai di Makkah, dia mengembalikan semua harta tersebut kepada orang-orang Quraisy. Dia telah mendapatkan sikap yang luar biasa dari mertuanya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Dia sangat mengenali sifat beliau ﷺ, maka tibalah baginya untuk masuk Islam.
Ketika dia sudah mengembalikan harta milik orang-orang Quraisy, dia berkata,
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، هَلْ بَقِيَ لِأَحَدٍ مِنْكُمْ عِنْدِي مَالٌ لَمْ يَأْخُذْهُ؟ قَالُوا: لَا وَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَدْ وَجَدْنَاكَ لَعَفِيفًا كَرِيمًا قَالَ: فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَاللهِ مَا مَنَعَنِي مِنَ الْإِسْلَامِ عِنْدَهُ إِلَّا تَخَوُّفًا أَنْ تَظُنُّوا أَنِّي إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ آكُلَ أَمْوَالَكُمْ فَأَمَّا إِذَا أَدَّاهَا اللهُ إِلَيْكُمْ وَفَرَغْتُ مِنْهَا أَسْلَمْتُ وَخَرَجَ حَتَّى قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Wahai orang-orang Quraisy, apakah masih ada harta kalian yang aku bawa dan kalian belum mengambilnya?, mereka berkata, ‘Tidak ada, semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, sungguh kami mengenalmu sebagai orang yang jujur dan mulia’, dia pun berkata, ‘Aku bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, tidak ada yang mencegahku masuk Islam, melainkan aku takut kalian menyangka bahwa aku ingin merampas harta kalian. Tatkala Allah telah memenuhi harta tersebut kepada kalian dan aku telah mengembalikannya, maka aku masuk Islam’. Setelah itu dia keluar dari Makkah, hingga sampai kepada Rasulullah ﷺ.” ([15])
Abu Al-‘Ash bertemu dengan istrinya, Zainab radhiallahu ‘anha, setelah selama 6 tahun berpisah, lebih tepatnya pada tahun ke-7 hijriah. Tidak lama kemudian, setelah mereka bertemu dan hidup bersama, akhirnya Zainab binti Rasulullah ﷺ wafat di awal tahun 8 hijriah.
Inilah bagaimana Nabi Muhammad ﷺ mengenang Khadijah radhiallahu ‘anha. Terakhir ketika Fathu Makkah pada tahun 8 hijriah, Nabi Muhammad ﷺ berangkat bersama sekitar 10.000 pasukan untuk menyerang kota Makkah, karena pengkhianatan mereka setelah sebelas tahun. Sejak wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha, tiga tahun sebelum hijrah hingga tahun ke-8 setelah hijrah. Rasulullah ﷺ pergi menuju kota Makkah dengan pasukan yang banyak, sehingga sebagian orang menyangka,
اليَوْمَ يَوْمُ الْمَلْحَمَةِ
“Hari ini adalah hari peperangan (atas orang-orang Quraisy).” ([16])
Orang-orang merasakan ketakutan melihat pasukan Nabi Muhammad ﷺ yang sangat banyak. Nabi Muhammad ﷺ memasuki kota Makkah dengan penuh tawaduk, sampai beliau menundukkan kepala beliau ﷺ. Beliau tidak bersikap sombong dan angkuh karena hendak merebut kota Makkah, meskipun setelah diusir 8 tahun yang lalu. Akan tetapi, dengan penuh tawaduk, Nabi Muhammad ﷺ memasuki kota Makkah, kemudian beliau ﷺ tiba di Al-Hajun (lokasi kuburan Khadijah radhiallahu ‘anha)([17]), kemudian beliau ﷺ memerintahkan Az-Zubair bin Al-Awwam radhiallahu ‘anhu untuk memasang bendera kaum muslimin di Al-Hajun, dan diperintahkan untuk dijaga. Paman Nabi Muhammad ﷺ, Al-‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata kepada Az-Zubair bin Al-Awwam radhiallahu ‘anhu,
هَا هُنَا أَمَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَرْكُزَ الرَّايَةَ
“Di sini lah Nabi ﷺ memerintahkanmu untuk menegakkan bendera.”([18])
Inilah bendera kemenangan yang Rasulullah ﷺ perintahkan untuk ditancapkan di Al-Hajun. Sebagian ulama menulis buku tentang Khadijah radhiallahu ‘anha menjelaskan bahwa seakan-akan Rasulullah ﷺ hendak menunjukkan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, ‘Wahai Khadijah radhiallahu ‘anha, inilah hasil perjuangan kita’. Setelah 11 tahun sejak wafatnya Khadijah radhiallahu ‘anha, ternyata Rasulullah ﷺ berhasil kembali menaklukkan kota Makkah, namun Khadijah radhiallahu ‘anha tidak hadir bersama Rasulullah ﷺ.
Inilah kisah seorang istri yang salihah dan setia di saat kondisi suaminya kesulitan dan mengorbankan segala harta dan waktunya untuk suaminya dalam berdakwah di jalan Allah ﷻ. Semoga Allah ﷻ mengangkat derajat Khadijah radhiallahu ‘anha dengan derajat setinggi-tingginya.
Pendapat para ulama tentang Khadijah radhiallahu ‘anha, manakah yang lebih utama antara Khadijah radhiallahu ‘anha dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha?
Khadijah radhiallahu ‘anha dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sama-sama memiliki keistimewaan masing-masing. Dari sisi ilmu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dikenal dengan ilmunya yang luar biasa. Para sahabat sering kali datang kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk bertanya tentang masalah-masalah agama. Bahkan, ketika terjadi khilaf di antara mereka, maka mereka bertanya kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Namun, dari sisi perjuangan dan pengorbanan, maka tidak ada yang ragu akan Khadijah radhiallahu ‘anha. Oleh karenanya, para ulama khilaf, manakah yang lebih utama, apakah Khadijah radhiallahu ‘anha atau ‘Aisyah radhiallahu ‘anha?([19])
Sebagian ulama mengatakan bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha lebih utama dan sebagian lagi menyebutkan bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha lebih utama. Banyak ulama yang bertawaqquf (tidak memberikan pendapat) karena bimbang manakah di antara keduanya yang lebih utama, di antaranya adalah Ibnu Katsir s, Ibnu Al-Qayyim s, Adz-Dzahabi s. Saking luar biasanya dua wanita mulia ini dan sangat berpengaruh di kehidupan Rasulullah ﷺ. ([20])
Di antara dalil yang menunjukkan kemuliaan Khadijah radhiallahu ‘anha adalah riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَفَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Lelaki yang sempurna banyak, (adapun wanita,) tidak ada wanita yang sempurna kecuali Maryam binti ‘Imran, ‘Asiyah istri Firaun. Dan keutamaan ‘Aisyah dibandingkan para wanita adalah seperti tsarid([21]) dibandingkan seluruh makanan yang lain.” ([22])
Maryam o dan Asiyah adalah wanita yang sempurna, artinya memiliki banyak kelebihan dalam segala sisi, seperti kecerdasan, sabar, mampu berjuang dan berkorban dan hal-hal yang lain. Kita tahu bahwa yang sempurna kebanyakan dari kaum lelaki. Namun, perempuan menjadi sempurna hanya dari beberapa sisi. Adapun secara komprehensif kebanyakan dari laki-laki.
Nabi Muhammad ﷺ pernah menjelaskan tentang keutamaan Maryam o, yang kemudian digandengkan dengan keutamaan Khadijah radhiallahu ‘anha. Di dalam hadits yang lain, ketika Nabi Muhammad ﷺ memuji Maryam binti ‘Imran, beliau ﷺ menyebutkan tentang Khadijah radhiallahu ‘anha, beliau ﷺ bersabda,
خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ
“Sebaik-baik wanita di zamannya adalah Marya binti ‘Imran dan sebaik-baik wanita di zamannya adalah Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha.”([23])
Di sini, Khadijah radhiallahu ‘anha digandengkan dengan Maryam o. Maryam o adalah wanita yang sangat spesial dan sempurna, bahkan wanita yang terbaik di zamannya. Di dalam hadits tersebut Maryam o digandengkan dengan Khadijah radhiallahu ‘anha dengan sebutan خَيْرُ نِسَائِهَا ‘Sebaik-baik wanita di zamannya’([24]). Dari sinilah terjadi perbincangan di kalangan para ulama, manakah yang lebih utama antara Khadijah radhiallahu ‘anha dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Adapun sikap kita terhadap istri-istri Nabi Muhammad ﷺ adalah hendaknya bertawaqquf sebagaimana tawaqqufnya para ulama. Kita mengatakan Wallahu a’lam manakah di antara keduanya yang paling utama, namun keduanya adalah istri-istri Nabi Muhammad ﷺ yang sangat mulia, di mana mereka memiliki pengaruh di dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ di dalam dakwah beliau ﷺ ataupun di dalam hal-hal yang lain.
Sebagaimana telah disampaikan juga bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha telah dijamin masuk ke dalam surga. Ketika Jibril n datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ، أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ، فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لاَ صَخَبَ فِيهِ، وَلاَ نَصَبَ
“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah telah datang menemuimu dengan membawa sebuah tempat yang berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Jika dia datang kepadamu, maka sampaikanlah bahwa Rabb-nya telah memberikan salam kepadanya dan dariku (Jibril) dan berikanlah berita gembira kepadanya bahwa dia akan mendapatkan rumah di surga yang terbuat dari mutiara, tidak ada hiruk pikuk dan keletihan di dalamnya.” ([25])
Ini menjadi dalil bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha telah dijamin masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan ketenangan, karena semasa hidupnya tidak pernah mengangkat suara di hadapan Nabi Muhammad ﷺ([26]). Ini merupakan prestasi yang sangat luar biasa bagi seorang istri. Semoga istri-istri kaum muslimin bisa meniru Khadijah radhiallahu ‘anha, menjadi istri yang sabar, tidak mengangkat suara tatkala di hadapan suaminya, sabar di dalam mengurus anak-anak. Itulah kebahagiaan para suami.
Footnote:
_________
([1]) Lihat: Dalail An-Nubuwwah, karya Al-Baihaqi, (2/353).
([2]) Lihat: Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (7/134).
([3]) Lihat: Dalail An-Nubuwwah, karya Al-Baihaqi, (2/353).
([4]) Lihat: Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (7/194).
([5]) Lihat: ‘Umdah Al-Qari, karya Al-‘Aini, (8/180).
([6]) Lihat: ‘Umdah Al-Qari, karya Al-‘Aini, (16/281).
([7]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/190).
([8]) Lihat: Al-Fushul Fii As-Sirah , karya Ibnu Katsir, (1/243) dan Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar (7/109).
([9]) Lihat: Dalail An-Nubuwwah, karya Al-Baihaqi, (3/40).
([10]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/653).
([11]) HR. Abu Dawud No. 2692 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([12]) HR. Abu Dawud No. 2692 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([14]) HR. Ath-Thabrani No. 1050, Al-Hakim 3/262 dan Al-Baihaqi No. 14061.
([15]) HR. Ath-Thabrani, 22/426 dan dinyatakan sahih oleh Al-Hakim.
([17]) Lihat: Akhbaru Makkah, Li Al-Azraqi, (2/125).
([19]) Lihat: Jala’ Al-Afham, (1/234-236) dan Al-Fushul Fii As-Sirah , karya Ibnu Katsir, (1/243).
([20]) Lihat: Fath Al-Bari, (7/109) dan Tafsir Ibnu Katsir, (6/404).
([21]) Makanan yang paling lezat di zaman Nabi Muhammad ﷺ. [Lihat: Fath Al-Bari, (15/310)].
([23]) HR. Bukhari No. 3432 dan Muslim No. 2430.
([24]) Lihat: Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (15/198).
([26]) Lihat: Ar-Raudh Al-Unuf, karya As-Suhaili, (2/277) dan Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (7/138).