TELADAN MULIA IBUNDA KHADIJAH radhiallahu ‘anha
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Seorang wanita yang sangat mulia, wanita yang pertama kali masuk Islam dan menjadi istri pertama Nabi Muhammad ﷺ, dialah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha([1]). Dia adalah seorang wanita yang Nabi Muhammad ﷺ pernah berbangga dengan bersabda,
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sesungguhnya aku telah dikaruniai kecintaan kepadanya.”([2])
Tentunya kisah Khadijah radhiallahu ‘anha penuh ibrah dan memberikan pelajaran bagi kita dan juga bagi para wanita, agar bisa meniru bagaimana kesabaran dan akhlak yang mulia dari ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha.
Ayah dan Ibu Khadijah radhiallahu ‘anha
Ayahnya bernama Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai bin Kilab. Adapun ibunya bernama Fathimah binti Zaidah bin Al-Asham bin Rawahah bin Hujr bin Ma’iish bin ‘Amir bin Lu’ay bin Ghalib([3]).
Kita tahu bahwasanya nasab Nabi Muhammad ﷺ adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab. Nasab Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah radhiallahu ‘anha bertemu di Qushai bin Kilab. Dari sini kita tahu bahwasanya Ayah dan ibu Khadijah radhiallahu ‘anha berasal dari suku Quraisy, sehingga Khadijah radhiallahu ‘anha adalah الْقُرَشِيَّةُ, yaitu seorang wanita Quraisy yang memiliki nasab tinggi([4]).
Khadijah radhiallahu ‘anha menikah
Khadijah radhiallahu ‘anha pertama kali menikah dengan suaminya yang pertama bernama ‘Atiq ibnu A’idh Al-Makhzumi, dan akhirnya meninggal dunia. Setelah itu Khadijah radhiallahu ‘anha menikah dengan suaminya yang kedua, yaitu Abu Halah bin an-Nabbasy at-Tamimi. Dari pernikahannya dengan Abu Halah At-Tamimi lahirlah seorang anak yang bernama Hind bin Abu Halah, yang setelahnya menjadi rabib (anak tiri) Nabi Muhammad ﷺ dan beliau merawatnya di rumah ketika menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha. Setelah Abu Halah At-Tamimi meninggal, maka Khadijah radhiallahu ‘anha menikah dengan suaminya yang ketiga, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Kelebihan-kelebihan Khadijah radhiallahu ‘anha
Khadijah radhiallahu ‘anha memiliki banyak kelebihan, di antaranya adalah:
- Laqabnya adalah الطَّاهِرَة ‘wanita suci’.
- Seorang wanita yang terkenal cantik
- Seorang wanita saudagar kaya raya
- Seorang wanita yang bernasab tinggi (الْقُرَشِيَّةُ)
Inilah kelebihan-kelebihan yang dimilikinya pada masa jahiliah. Khadijah radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita yang kaya raya, namun dia memiliki gelar yang mulia, dan di antara gelar yang diberikan kepadanya pada masa jahiliah adalah الطَّاهِرَة ‘wanita suci’([5]). Disebutkan oleh para ahli sejarah, kenapa dinamakan dengan wanita suci? Karena Khadijah radhiallahu ‘anha tidak seperti wanita lain, yang senang berkumpul-kumpul dengan wanita-wanita lainnya, bernyanyi dan lain sebagainya. Khadijah radhiallahu ‘anha tidak demikian, padahal dia memiliki nasab yang tinggi dan mulia([6]).
Di samping kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, -setelah kematian suami pertamanya, yaitu Atiq ibnu A’idh Al-Makhzumi dan suami keduanya, yaitu Abu Halah bin an-Nabbasy at-Tamimi- banyak lelaki yang datang untuk melamar Khadijah radhiallahu ‘anha. Namun, dia tidak berminat untuk menikah dengan siapa pun. Karena dia adalah seorang saudagar, maka dia mempekerjakan para lelaki untuk mudarabah, yaitu mereka membawa barang dagangan Khadijah radhiallahu ‘anha untuk diperjual belikan, kemudian hasil dari keuntungannya akan dibagi sesuai dengan perjanjian di antara mereka.
Sampai terdengarlah seorang sosok pemuda yang terkenal bernama Muhammad bin Abdullah, yaitu Rasulullah ﷺ. Saat itu, beliau terkenal karena akhlaknya dan terkenal amanahnya, sehingga beliau diberi gelar Al-Amin (Orang yang terpercaya) oleh orang-orang Quraisy. Khadijah radhiallahu ‘anha tertarik dengan lelaki ini dan ingin tahu lebih dalam tentangnya. Karena hanya mendengarnya saja tidaklah cukup, maka Khadijah radhiallahu ‘anha mengirim utusan kepada Abu Thalib agar Muhammad bin Abdullah mau bekerja dengan Khadijah radhiallahu ‘anha sebagai penjual barang dagangannya, yang kemudian untungnya dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka.
Akhirnya Muhammad bin Abdullah pergi menuju kediaman Abu Thalib. Kita tahu bahwa Abu Thalib memiliki nasab dan kedudukan yang tinggi, namun dia adalah seorang yang miskin. Oleh karenanya, sejak kecil Nabi Muhammad ﷺ sudah bekerja untuk membantu pamannya, di antaranya adalah beliau menggembala kambing. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
وَأَنَا كُنْتُ أَرْعَاهَا لِأَهْلِ مَكَّةَ بِالْقَرَارِيطِ
“Dahulu aku menggembalakan kambing milik penduduk kota Makkah untuk mendapatkan upah.” ([7])
Di antara upah yang beliau dapatkan adalah untuk membantu paman beliau. Pada saat ada tawaran untuk bekerja, maka Rasulullah ﷺ sangat tertarik untuk membantu paman beliau dengan membantu perdagangan Khadijah radhiallahu ‘anha.
Di sini, para ulama berpendapat bahwa ini menunjukkan akan kecerdasan Khadijah radhiallahu ‘anha. Jadi, Khadijah radhiallahu ‘anha mengajak Nabi Muhammad ﷺ untuk berdagang/ mudarabah (modal dari Khadijah radhiallahu ‘anha dan yang menjual belikan adalah Nabi Muhammad ﷺ). Nabi Muhammad ﷺ pun setuju, lalu beliau bersafar untuk berdagang menuju negeri Syam dan ditemani oleh Maisarah, seorang budak lelaki Khadijah radhiallahu ‘anha.([8])
Dari sinilah Khadijah akan mengetahui lebih jauh tentang akhlak Nabi Muhammad ﷺ. Karena akan tampak akhlak Nabi Muhammad ﷺ yang sesungguhnya pada saat berurusan dengan uang dan ketika safar. Inilah dua hal yang membuat Khadijah radhiallahu ‘anha bisa mengetahui akhlak Nabi Muhammad ﷺ, yaitu ketika berurusan dengan uang dan dalam keadaan safar. Karena di dalam perdagangan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ akan bekerja sama dengan Khadijah radhiallahu ‘anha dalam masalah uang, dan beliau juga akan bersafar bersama Maisarah dengan safar yang jauh menuju negeri Syam. Syam adalah negeri yang jauh sekali. Jarak antara Makkah dan Madinah adalah sekitar 500 kilometer, sedangkan dari Madinah ke Syam berjarak sekitar 700 kilometer, sehingga beliau harus menempuh perjalanan/safar sekitar 1200 kilometer.
Oleh karenanya, disebutkan bahwa ketika ada seseorang yang menjadi saksi di hadapan Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, maka dia bertanya tentang dirinya terlebih dahulu.
شَهِدَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِشَهَادَةٍ , فَقَالَ لَهُ: لَسْتُ أَعْرِفُكَ , وَلَا يَضُرُّكَ أَنْ لَا أَعْرِفَكَ , ائْتِ بِمَنْ يَعْرِفُكَ , فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَنَا أَعْرِفُهُ , قَالَ: بِأِيِّ شَيْءٍ تَعْرِفُهُ؟ قَالَ: بِالْعَدَالَةِ وَالْفَضْلِ , فَقَالَ: فَهُوَ جَارُكَ الْأَدْنَى الَّذِي تَعْرِفُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ , وَمَدْخَلَهُ وَمَخْرَجَهُ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَمُعَامِلُكَ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ اللَّذَيْنِ بِهِمَا يُسْتَدَلُّ عَلَى الْوَرَعِ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَرَفيِقُكَ فِي السَّفَرِ الَّذِي يُسْتَدَلُّ عَلَى مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: لَسْتَ تَعْرِفُهُ
“Ada seorang lelaki yang bersaksi di hadapan Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, Umar berkata kepadanya, ‘Aku tidak mengenalmu, dan tidak masalah meskipun aku tak mengenalmu, tapi datangkanlah seseorang yang mengenalmu’. Tiba-tiba seorang laki-laki berkata, ‘Aku mengenalnya, wahai Amirul mukminin’. Umar bertanya, ‘Bagaimana engkau mengenalnya?’, ia menjawab, ‘Dengan kepercayaan dan kebaikannya’, lalu Umar bertanya, ‘Apakah dia adalah tetanggamu hingga engkau tahu keadaannya, baik siang maupun malam, masuk dan keluar rumahnya?’, dia berkata, ‘Tidak’. Umar bertanya, ‘Apakah engkau pernah berurusan harta dengannya sehingga kau tahu bahwa ia adalah seorang yang wara’?’, dia berkata, ‘Tidak’. Umar berkata, ‘Pernahkah engkau bersafar (bepergian) dengannya, hingga engkau tahu bahwa ia memiliki akhlak yang mulia?’, dia berkata, ‘Tidak’, Umar berkata, ‘Berarti engkau tidak mengenalnya’.”([9])
Jika kita hendak mengenal betul tentang saudara kita, maka kita akan tahu bagaimana akhlaknya tatkala sedang safar bersamanya. Dengan bersafar kita akan tahu tentang akhlaknya, apakah dia orang yang bisa dipercaya atau tidak? Apakah dia mementingkan dirinya sendiri atau tidak? Apakah dia bersabar menunggu temannya saat bersafar atau tidak? Apakah dia rela bekerja sama dengan teman-temannya? Apakah rela merasakan kesenangan dan kesusahan bersama-sama? Bagaimana kebiasaannya ketika tidur?
Kita juga bisa mengenal akhlak seseorang terutama ketika berurusan dengan masalah uang. Sebagian orang terlihat memiliki akhlak yang bagus, tutur kata yang indah, namun ketika bermasalah dengan uang, dia tidak bisa menjaga amanah, bahkan cenderung tamak dan tidak peduli dengan hak orang lain.
Khadijah radhiallahu ‘anha sungguh-sungguh ingin mengetahui lebih dalam tentang Nabi Muhammad ﷺ, maka dia menyuruh beliau untuk pergi berdagang dan memerintahkan budaknya, yaitu Maisarah, untuk melihat akhlak dan gerak-gerik beliau. Setelah pulang dari perdagangan, Khadijah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Maisarah tentang Muhammad ﷺ. Maka, Maisarah pun bercerita tentang Muhammad ﷺ dengan cerita yang banyak, maka bertambahlah perhatian Khadijah radhiallahu ‘anha kepada Muhammad bin Abdullah pada saat itu.
Para ahli sejarah -yang bersumber dari sirah-sirah- hampir seluruhnya mengatakan bahwa ketika Khadijah radhiallahu ‘anha sudah tertarik kepada Muhammad bin Abdullah, maka Khadijah radhiallahu ‘anha yang menawarkan dirinya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Tentu saja, ini melanggar kebiasaan orang-orang Arab. Padahal, sebelumnya banyak laki-laki yang datang melamarnya, tetapi dia menolaknya. Pada saat dia tahu bahwa Muhammad ﷺ adalah orang yang sangat mulia, memiliki akhlak yang sangat agung, maka dia memberanikan diri untuk menawarkan dirinya kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagian riwayat mengatakan bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha mengutarakan langsung kepada Muhammad ﷺ, dan sebagian riwayat lain mengatakan bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha mengutarakannya melalui orang-orang terdekatnya. Intinya, penawaran datang dari Khadijah radhiallahu ‘anha kepada Muhammad ﷺ. Ini menjadi dalil bahwasanya kalau kita mungkin sebagai seorang kakak atau ayah, sedangkan kita mempunyai saudara perempuan atau anak perempuan dan kita melihat ada laki-laki yang saleh, maka tidak mengapa kita menawarkannya kepada orang saleh tersebut. Karena kita tahu bahwa kebahagiaan sangat kita harapkan dari seorang yang saleh. Tentu, dengan kita mengetahui bagaimana akhlaknya, bagaimana hubungannya dengan uang, bagaimana ibadahnya, tutur katanya, tawaduk dan sombongnya. Ketika kita telah sungguh-sungguh memeriksanya, tidak ada salahnya kita menawarkan putri atau saudara perempuan kita, agar kita bisa meletakkan mereka kepada orang yang terpercaya, yang paling tidak ada ketakwaan pada dirinya, karena kebahagiaan tidak pernah bisa diperoleh dengan ketakwaan kepada Allah ﷻ. ([10])
Terjadi Pernikahan
Terjadilah pernikahan antara dua orang kekasih yang sangat mulia, Muhammad ﷺ yang memiliki nasab yang mulia, demikian dengan Khadijah radhiallahu ‘anha, memiliki nasab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Berapakah umur keduanya ketika menikah?
Terdapat khilaf di antara para ulama tentang usia Nabi Muhammad ﷺ ketika menikah. Sebagian ulama ada yang mengatakan 29-30 tahun, namun yang pendapat yang lebih kuat adalah 25 tahun. Adapun usia Khadijah radhiallahu ‘anha juga terdapat khilaf ulama, namun pendapat yang terkuat mengerucut kepada dua pendapat. Ada yang mengatakan bahwa usia Khadijah radhiallahu ‘anha saat itu adalah 40 tahun dan ada juga yang mengatakan 28 tahun. ([11])
Ulama yang mengatakan bahwa usia Khadijah radhiallahu ‘anha saat menikah adalah 28 tahun, berdalil karena ketika Khadijah radhiallahu ‘anha menikah dengan Muhammad ﷺ, maka Khadijah radhiallahu ‘anha mampu melahirkan 5 atau 6 anak. Seandainya usianya 40 tahun, tentu saja akan susah baginya untuk melahirkan anak sebanyak itu. Apalagi, Fathimah radhiallahu ‘anha yang terlahir agak belakangan. Oleh karenanya, pendapat ini menguatkan bahwa umur Khadijah radhiallahu ‘anha saat menikah adalah 28 tahun, bukan 40 tahun([12]).
Adapun ulama yang mengatakan usia Khadijah radhiallahu ‘anha saat menikah adalah 40 tahun, berdalil dengan perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika cemburu kepada Khadijah radhiallahu ‘anha,
مَا تَذْكُرُ مِنْ عَجُوزٍ مِنْ عَجَائِزِ قُرَيْشٍ، حَمْرَاءِ الشِّدْقَيْنِ، هَلَكَتْ فِي الدَّهْرِ، قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Mengapa engkau masih mengingat-ingat perempuan Quraisy yang tua renta itu, yang kedua rahangnya telah memerah, sudah tidak ada lagi, sedangkan Allah telah memberikan ganti kepadamu yang lebih baik darinya.”([13])
‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyebut Khadijah radhiallahu ‘anha sebagai nenek di antara nenek-nenek orang Quraisy. Sejatinya tidak mungkin dikatakan sebagai nenek-nenek, karena kita tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ menjalani pernikahan dengan Khadijah radhiallahu ‘anha selama 25 tahun. Jika Khadijah radhiallahu ‘anha berumur 28 tahun, artinya Khadijah radhiallahu ‘anha wafat pada usia 53 tahun, artinya dia masih muda.
Akan tetapi, jika dia menikah pada saat usia 40 tahun, kemudian hidup bersama Nabi Muhammad ﷺ selama 25 tahun, maka Khadijah radhiallahu ‘anha wafat pada usia 65 tahun. Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyifati Khadijah radhiallahu ‘anha dengan nenek, maka yang lebih tepat adalah pendapat bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha menikah saat usia 40 tahun, karena jika dia wafat pada usia 53 tahun, belum tepat dikatakan sebagai nenek. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat adalah berdasarkan riwayat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha berusia 40 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ.
Rumah Tangga Nabi Muhammad ﷺ
Nabi Muhammad ﷺ hidup bersama Khadijah radhiallahu ‘anha kurang lebih sekitar 25 tahun. Anak-anak Nabi Muhammad ﷺ dari Khadijah radhiallahu ‘anha berjumlah 6 anak. Di antaranya adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah. Ada juga anak beliau yang lak-laki, yaitu Al-Qasim dan Abdullah.
Para ulama bersepakat bahwa anak laki-laki beliau yang tertua bernama Al-Qasim. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ diberi gelar Abu Al-Qasim dan hanya beliau yang berhak diberikan gelar ini. Suatu ketika ada salah seorang sahabat memanggil sahabat yang lain, ‘Wahai Abu Al-Qasim’, lalu Nabi Muhammad ﷺ menoleh, dan ternyata bukan beliau yang dipanggil, kemudian beliau bersabda,
تَسَمَّوْا بِاسْمِي، وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَت
“Berikanlah nama dengan namaku, jangan berikan gelar dengan gelarku.”([14])
Adapun anak berikutnya yang bernama Abdullah, ada khilaf di kalangan para ulama. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Abdullah lahir setelah Nabi Muhammad ﷺ diangkat menjadi nabi. Adapun Al-Qasim lahir sebelum Nabi Muhammad ﷺ diangkat menjadi nabi atau setelah diangkat menjadi nabi. Tetapi para ulama sepakat bahwa Al-Qasim meninggal dunia ketika masih kecil sebelum Nabi Muhammad ﷺ berdakwah. Jadi, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai berdakwah, yang tersisa hanya empat anak perempuannya([15]).
Ada beberapa orang yang juga tinggal di rumah Nabi Muhammad ﷺ, di antaranya adalah Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Ketika Nabi Muhammad ﷺ menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha dan memiliki rumah dan harta, karena Khadijah radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita yang kaya raya. Oleh karenanya, ketika Allah ﷻ berfirman,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى . وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى . وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Ad-Duha: 6-8)
Di antara ulama menafsirkan bahwa karena Nabi Muhammad ﷺ menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha, maka Allah ﷻ memberikan kecukupan kepada beliau ﷺ.
Di sini, ketika Nabi Muhammad ﷺ diberikan kecukupan, maka beliau dengan pamannya, yaitu Al-Abbas pergi ke kediaman Abu Thalib. Abu Thalib memiliki beberapa orang anak, di antaranya saat itu adalah Ali bin Abu Thalib, Jakfar bin Abu Thalib, Aqil bin Abu Thalib dan Thalib bin Abu Thalib. Mereka bersepakat untuk membantu Abu Thalib, dengan merawat anak-anaknya. Maka, Abu Thalib memberikan Ali kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk dirawat, sedangkan Jakfar diberikan kepada Al-Abbas, adapun Aqil dan Thalib tetap berada di bawah asuhan Abu Thalib. Jadi, Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tinggal di rumah Nabi Muhammad ﷺ.
Di antara yang tinggal bersama di rumah Nabi Muhammad ﷺ adalah Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dibelikan oleh Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah radhiallahu ‘anha, dan diberikannya sebagai hadiah kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Setelah Zaid bin Haritsah dihadiahkan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, maka Khadijah radhiallahu ‘anha memberikannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Jadi, Zaid bin Haritsah juga tinggal bersama Nabi Muhammad ﷺ. Selain itu, di antara yang tinggal bersama Nabi Muhammad ﷺ adalah Hind bin Abu Halah, anaknya Khadijah radhiallahu ‘anha, yang kemudian menjadi anak tiri Nabi Muhammad ﷺ. Jadi, banyak orang yang diurus oleh Nabi Muhammad ﷺ. Disebutkan juga bahwa Ummu Aiman -pengasuh Nabi Muhammad ﷺ- ikut tinggal di rumah Nabi Muhammad ﷺ.
Inilah gambaran bagaimana rumah dan kehidupan Nabi Muhammad ﷺ bersama Khadijah radhiallahu ‘anha. Khadijah radhiallahu ‘anha hidup bersama Nabi Muhammad ﷺ dengan penuh kebahagiaan. Khadijah radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita yang berakhlak mulia, Rasulullah ﷺ juga memiliki akhlak yang mulia. Mereka menjalani kehidupan tahun demi tahun. Sampai akhirnya tiba Rasulullah ﷺ menerima wahyu, pada saat berusia 40 tahun, lebih tepatnya 15 tahun setelah menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha.
Wahyu yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ diawali dengan mimpi-mimpi. Kadang kala Nabi Muhammad ﷺ melihat mimpi yang sangat jelas رُؤْيَا صَادِقَةٌ ‘mimpi yang benar’, seperti cahaya yang terang. Setelah Nabi Muhammad ﷺ sering bermimpi, beliau diberikan oleh Allah ﷻ suka menyendiri, maka beliau pun pergi ke gua Hira’. Tentunya, Nabi Muhammad ﷺ mengalami hal-hal yang aneh yang berkaitan dengan tanda-tanda kenabian, seperti ketika beliau melihat sebuah batu, maka batu tersebut memberikan salam kepada Nabi Muhammad ﷺ. Berdasarkan riwayat yang datang dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ
“Sungguh aku mengetahui sebuah batu di Makkah, dahulu memberikan salam kepadaku sebelum aku diutus.”([16])
Intinya, Nabi Muhammad ﷺ ketika diberikan suka menyendiri, maka beliau ﷺ pergi ke gua Hira. Sebelum berangkat ke gua Hira, Nabi Muhammad ﷺ meminta bekal dari Khadijah radhiallahu ‘anha. Khadijah radhiallahu ‘anha sangat sayang kepada suaminya. Dia tahu benar bagaimana perangai suaminya, jadi apa yang diinginkannya, maka dia pun mendukungnya. Bahkan, ketika Nabi Muhammad ﷺ hendak pergi ke tempat yang jauh untuk menyendiri, maka Khadijah radhiallahu ‘anha juga mendukungnya. Dia membuatkan makanan agar dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Jika bekal yang dibawa habis, maka Nabi Muhammad ﷺ pun turun dan pulang ke rumah untuk mengambil bekal dari Khadijah radhiallahu ‘anha. Semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, Khadijah radhiallahu ‘anha tidak pernah protes, mengeluh atau mengangkat suara kepada beliau.
Disebutkan di dalam riwayat bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha pernah menemani Nabi Muhammad ﷺ untuk menyendiri di gua Hira. Dengan itu Khadijah radhiallahu ‘anha juga bersabar dengan apa yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Sampai akhirnya datang malaikat Jibril n kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang masyhur yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، فَكَانَ يَأْتِي حِرَاءً فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ، وَهُوَ التَّعَبُّدُ، اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ العَدَدِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَتُزَوِّدُهُ لِمِثْلِهَا، حَتَّى فَجِئَهُ الحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ، فَجَاءَهُ المَلَكُ فِيهِ، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ} [العلق: 1]- حَتَّى بَلَغَ – {عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 5] فَرَجَعَ بِهَا تَرْجُفُ بَوَادِرُهُ، حَتَّى دَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ، فَقَالَ: زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ، فَقَالَ: يَا خَدِيجَةُ، مَا لِي وَأَخْبَرَهَا الخَبَرَ، وَقَالَ: قَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ لَهُ: كَلَّا، أَبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لاَ يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ، ثُمَّ انْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ العُزَّى بْنِ قُصَيٍّ وَهُوَ ابْنُ عَمِّ خَدِيجَةَ أَخُو أَبِيهَا، وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ يَكْتُبُ الكِتَابَ العَرَبِيَّ، فَيَكْتُبُ بِالعَرَبِيَّةِ مِنَ الإِنْجِيلِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ، فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ: أَيِ ابْنَ عَمِّ، اسْمَعْ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ، فَقَالَ وَرَقَةُ: ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى؟ فَأَخْبَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَى، فَقَالَ وَرَقَةُ: هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى مُوسَى، يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا، أَكُونُ حَيًّا حِينَ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ فَقَالَ وَرَقَةُ: نَعَمْ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ، وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا، ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ، وَفَتَرَ الوَحْيُ فَتْرَةً حَتَّى حَزِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Awal turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ dimulai dengan mimpi yang benar ketika tidur. Beliau tidaklah bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts, yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Beliau mempersiapkan bekal untuk itu, kemudian beliau menemui Khadijah untuk mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al-Haq saat beliau berada di gua Hira. Malaikat Jibril datang kepadanya dan berkata, ‘Bacalah!’, beliau menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca’, maka malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat hingga hampir tidak bisa bernafas, kemudian melepaskanku, dan berkata lagi, ‘Bacalah!’, beliau menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca’, maka malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat yang kedua kalinya sampai hampir tidak bisa bernafas, kemudian melepaskanku dan berkata lagi, ‘Bacalah!’, beliau menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca”, tiba-tiba malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi, (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Beliau pun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah, lalu beliau berkata, ‘Selimuti aku, selimuti aku’, maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu Nabi bertanya, ‘Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’, lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alami dan mengatakan, ‘Aku sangat khawatir terhadap diriku’, lalu Khadijah mengatakan, ‘Sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, selalu berkata jujur, pemikul beban orang lain yang susah, memuliakan tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab, maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya, ‘Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini’. Waraqah berkata, ‘Wahai anak saudaraku, apa yang terjadi atas dirimu?’, Nabi ﷺ menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, ‘Ini adalah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu’. Nabi bertanya, ‘Apakah mereka akan mengusirku?’, Waraqah menjawab, ‘Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya’. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan wahyu terputus beberapa saat sehingga Nabi ﷺ bersedih’.” ([17])
Para ulama menyebutkan bahwa di antara perangai baik Khadijah radhiallahu ‘anha adalah dia tidak banyak bertanya kepada suaminya([18]). Ketika Nabi Muhammad ﷺ ingin segera diselimuti, maka dia pun segera menuruti perintahnya, tidak menunggu-nunggu maupun bertanya. Ketika Nabi mulai tenang dan berkata bahwa beliau khawatir dengan dirinya, maka Khadijah radhiallahu ‘anha berucap,
فَوَاللَّهِ لاَ يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ
“Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, selalu berkata jujur, pemikul beban orang lain yang susah, memuliakan tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Ketika Khadijah radhiallahu ‘anha mengucapkan kata-kata indah yang menenangkan suaminya, bukanlah wahyu, karena Nabi Muhammad ﷺ baru saja diangkat menjadi nabi dan tidak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi, Khadijah radhiallahu ‘anha adalah wanita yang cerdas, dia melihat pengalaman. Pengalaman yang terjadi, sunatullah yang berlaku adalah jika orang berbuat baik kepada orang lain, maka dia tidak akan dihinakan oleh Allah ﷻ. Khadijah radhiallahu ‘anha mengatakan itu dalam rangka menenangkan hati Nabi Muhammad ﷺ.
Demikian kata-kata yang diucapkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sehingga beliau menjadi tenang. Inilah peran seorang istri yang salihah. Ketika suaminya dalam kondisi gelisah dan bimbang, maka dia menenangkannya. Dia melakukan hal-hal yang menenangkan hati suaminya, agar mentalnya tidak kacau dan terganggu.
Tidak sampai di sini saja, di antara cerdasnya Khadijah radhiallahu ‘anha, dia memiliki sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang Arab yang beragama Nasrani dan mentauhidkan Allah ﷻ. Dia adalah orang yang menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab dan mengetahui kabar-kabar tentang Rasulullah ﷺ, sebagai nabi yang terakhir.
Khadijah radhiallahu ‘anha membawa Rasulullah ﷺ kepada Waraqah bin Naufal dan dia pun menenangkan Nabi Muhammad ﷺ.
Peran Khadijah radhiallahu ‘anha
- Orang pertama yang masuk Islam.
Ibnu Hajar n mengatakan bahwa semua wanita yang masuk Islam setelah Khadijah radhiallahu ‘anha, pahalanya juga mengalir kepada Khadijah radhiallahu ‘anha([19]). Kenapa? Karena Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
“Barang siapa yang memberikan contoh yang baik di dalam agama Islam, maka baginya pahalanya dan pahala seluruh orang yang mengikutinya.”([20])
- Menenangkan hati Nabi Muhammad ﷺ ketika ada masalah.
Inilah yang perlu diperhatikan bagi para wanita agar selalu menenangkan hati suami, bukan menambah kegelisahan baginya. Karena suami telah menghadapi berbagai macam masalah, baik masalah kantor, perdagangan, kerja keras, dimarahi pimpinan, permusuhan dengan kawan dan lain sebagainya. Maka, tugas para wanita adalah menenangkan hati suami, sebagaimana Khadijah radhiallahu ‘anha meringankan beban Nabi Muhammad ﷺ.
- Memberikan seluruh hartanya untuk berdakwah.
Nabi Muhammad ﷺ tetap merasa tenang ketika dikabarkan bahwa kelak beliau akan diusir dari Makkah, karena kecerdasan Khadijah yang selalu menghibur dan menerangkan agar beliau tidak suuzan kepada Allah ﷻ. Setelah itu, Rasulullah ﷺ berdakwah dan tidak lama kemudian Waraqah bin Naufal meninggal dunia. Khadijah radhiallahu ‘anha memberikan semua yang dimilikinya dan semua hartanya kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk membantunya berdakwah.
- Bersusah payah di dalam mengurus anak-anak Nabi Muhammad ﷺ.
Seluruh anak Nabi Muhammad ﷺ dari Khadijah radhiallahu ‘anha, kecuali Ibrahim dari Mariah Al-Qibthiyah.
- Ikut menemani Nabi Muhammad ﷺ ketika bani Hasyim diboikot.
Pada saat tahun ke-5 kenabian, orang-orang kafir Quraisy sudah sangat terganggu dengan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Mereka mulai membuat perjanjian yang telah mereka sepakati, lalu ditempel di dinding Ka’bah, kemudian mereka memboikot bani Hasyim. Karena boikot tersebut, mengakibatkan bani Hasyim harus tinggal di lembah Abu Thalib. Seluruh kabilah Quraisy dilarang untuk bermuamalah dengan bani Hasyim. Khadijah radhiallahu ‘anha bukan dari bani Hasyim, tetapi dia ikut menemani Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga ketika itu, selama tiga tahun diboikot, tidak ada makanan di antara mereka, ketika mereka berjualan tidak ada yang mau membeli dagangan mereka, ketika mereka hendak membeli, orang-orang Quraisy tidak menjual barang kepada mereka, sehingga semuanya itu mengakibatkan mereka kelaparan, banyak anak-anak yang meninggal dunia. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anha berkata,
حُصِرْنَا فِيْ الشِّعْبِ ثَلَاثَ سِنِيْنَ وَقَطَعُوْا عَنَّا الْمِيْرَةَ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَخْرُجُ بِالنَّفَقَةِ فَمَا يُبَايِعُ حَتَى يَرْجِعَ، حَتَّى هَلَكَ مَنْ هَلَكَ
“Kami ditahan di lembah selama tiga tahun, mereka menahan makanan kepada kami, sampai-sampai seorang lelaki keluar untuk mencari nafkah, tidak bisa berjual-beli hingga pulang (dengan tangan kosong -pen), hingga banyak orang yang meninggal dunia.” ([21])
Sampai suatu ketika Sa’d bin Abu Waqqash radhiallahu ‘anhu berkisah ketika orang-orang kafir menyiksa dan memboikot Rasulullah ﷺ bersama kaum muslimin, dia berkata,
خَرَجْتُ مِنَ اللَّيْلِ أَبُولُ، وَإِذَا أَنَا أَسْمَعُ بِقَعْقَعَةِ شَيْءٍ تَحْتَ بَوْلِي، فَإِذَا قِطْعَةُ جِلْدِ بَعِيرٍ، فَأَخَذْتُهَا فَغَسَلْتُهَا ثُمَّ أَحْرَقْتُهَا فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ حَجَرَيْنِ، ثُمَّ اسْتَفَفْتُهَا وَشَرِبْتُ عَلَيْهَا مِنَ الْمَاءِ، فَقَوِيتُ عَلَيْهَا ثَلَاثًا
“Pada suatu malam aku pergi keluar hendak kencing, tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang berderik di bawah air kencingku, ternyata itu adalah potongan kulit unta yang kering, lalu aku mengambilnya dan membersihkannya, kemudian aku membakarnya dan aku letakkan di antara dua batu, kemudian aku mengangkatnya dan menghancurkannya, lalu minum dengannya, sehingga aku merasa kuat selama 3 hari.”([22])
Khadijah radhiallahu ‘anha ikut menemani Nabi Muhammad ﷺ pada masa pemboikotan tersebut. Ketika itu Khadijah radhiallahu ‘anha dibantu oleh keponakannya, yaitu Hakim bin Hizam yang selalu membawa makanan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Meskipun Hakim bin Hizam adalah seorang musyrik dari suku Quraisy, tapi dia sayang kepada Khadijah radhiallahu ‘anha dan dia tahu bahwa Khadijah radhiallahu ‘anha bersama Nabi Muhammad ﷺ sedang diboikot oleh orang-orang kafir. Hakim bin Hizam selalu mengirimkan makanan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Suatu ketika Abu Jahal mengetahui gelagatnya, sehingga membuatnya marah kepadanya. Ketika keduanya sedang bertikai, tiba-tiba muncullah Abu Al-Bakhtari dan berkata kepada Abu Jahal, ‘Wahai Abu Jahal, biarkanlah dia, karena hanya ingin memberikan makanan kepada bibinya’, lalu memukul unta Hakim bin Hizam dan bergerak menuju tempat Khadijah radhiallahu ‘anha. Intinya, Khadijah radhiallahu ‘anha dalam pemboikotan bersama Nabi Muhammad ﷺ dibantu oleh keponakannya yang mengirim makanan kepada Khadijah radhiallahu ‘anha([23]).
Kecemburuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha kepada Khadijah radhiallahu ‘anha
Di dalam satu hadits disebutkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ memuji Khadijah radhiallahu ‘anha, maka ‘Aisyah radhiallahu ‘anha merasa cemburu, karena beliau ﷺ sering menyebut-nyebut tentang Khadijah radhiallahu ‘anha, padahal dia telah meninggal dunia. Inilah di antara kecemburuannya kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Di antaranya adalah tatkala Nabi Muhammad ﷺ terlalu sering menyebutkan kebaikan Khadijah radhiallahu ‘anha, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ، وَمَا رَأَيْتُهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang wanita dari istri-istri Nabi ﷺ seperti kecemburuanku kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, padahal aku tidak pernah melihatnya.”([24])
Secara logika, orang yang telah meninggal dunia tidak perlu dicemburui. Jika masih hidup mungkin saja dicemburui, tetapi berbeda keadaannya bagi Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah wafat, namun masih dicemburui oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Padahal, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ketika ‘Amr bin Al-Ash bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ عَائِشَةُ
“‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?’, beliau bersabda, ‘’Aisyah’.”([25])
Sampai-sampai ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menjadi orang tercintanya Rasulullah ﷺ, diketahui oleh para sahabat. Jika para sahabat hendak memberikan hadiah, maka mereka memilih ketika Nabi Muhammad ﷺ bermalam di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, agar beliau ﷺ merasa senang.
Pada saat Nabi Muhammad ﷺ wafat, beliau meminta izin kepada istri-istri beliau agar menginap di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan akhirnya beliau meninggal dunia di rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Meskipun demikian, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tetap merasa cemburu kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, padahal dia sendiri tidak pernah melihatnya. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا، وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً، ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيجَةَ، فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ: كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلَّا خَدِيجَةُ
“Akan tetapi Nabi ﷺ sering kali menyebutnya, terkadang beliau menyembelih kambing, kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian, kemudian mengirimkannya kepada teman-teman Khadijah. Terkadang aku berkata kepada beliau, ‘Seakan-akan di dunia tidak ada wanita, kecuali Khadijah’, ”([26])
Bayangkan, Nabi Muhammad ﷺ menyembelih kambing, memotongnya, lalu membagi-bagikannya kepada teman-teman Khadijah radhiallahu ‘anha. Hal ini menunjukkan cinta sejati Nabi Muhammad ﷺ kepada Khadijah radhiallahu ‘anha. Meskipun telah meninggal dunia, tetapi Nabi Muhammad ﷺ masih mengingatnya([27]). Inilah yang menyebabkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha merasa cemburu.
Suatu ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ, ‘Khadijah, Khadijah’, maka beliau ﷺ bersabda,
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sesungguhnya aku telah dikaruniai kecintaan kepadanya.”([28])
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah cemburu ketika Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah radhiallahu ‘anha datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
اسْتَأْذَنَتْ هَالَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، أُخْتُ خَدِيجَةَ، عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ اسْتِئْذَانَ خَدِيجَةَ فَارْتَاعَ لِذَلِكَ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ هَالَةَ»
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau tahu seperti izinnya Khadijah, beliau pun terkejut([29]) karenanya, maka beliaupun berkata, ‘Ya Allah, itu pasti Halah’.”([30])
Halah binti Khuwailid adalah saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Nabi ﷺ senang ketika kedatangan Halah binti Khuwailid. Kenapa? Karena suaranya mirip dengan Khadijah radhiallahu ‘anha. Setiap kali Halah binti Khuwailid datang dan meminta izin kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau ﷺ langsung teringat dengan Khadijah radhiallahu ‘anha dan merasa bahagia. Kebahagiaan Nabi Muhammad ﷺ ketika teringat dengan Khadijah radhiallahu ‘anha membuat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha cemburu, sehingga membuat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
مَا تَذْكُرُ مِنْ عَجُوزٍ مِنْ عَجَائِزِ قُرَيْشٍ، حَمْرَاءِ الشِّدْقَيْنِ([31])، هَلَكَتْ فِي الدَّهْرِ، قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Mengapa Engkau masih mengingat-ingat perempuan Quraisy yang tua renta itu, yang kedua rahangnya telah memerah, sudah tidak ada lagi, sedangkan Allah telah memberikan gantinya yang lebih baik darinya kepadamu.” ([32])
Meskipun demikian, Nabi Muhammad ﷺ tidak membela ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau bersabda,
مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا، قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ، وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ، وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ، وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Allah ﷻ tidak pernah menggantikan kepadaku yang lebih baik darinya, dia telah beriman kepadaku tatkala semua orang kafir kepadaku, dia membenarkanku tatkala semua orang mendustakanku, dia membantuku dengan hartanya ketika semua orang pelit kepadaku dan Allah ﷻ memberikanku anak ketika istri-istri yang lain tidak bisa memberikan anak kepadaku.”([33])
Setelah itu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَذْكُرُهَا بَعْدَ هَذَا إِلَّا بِخَيْرٍ
“Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menyebutkan tentangnya setelah ini kecuali kebaikannya.”([34])
- Kesabaran Khadijah radhiallahu ‘anha ketika putri-putrinya diceraikan.
Sebelum Muhammad ﷺ diangkat menjadi nabi, beliau memiliki tiga putri yang telah menikah, di antaranya adalah Zainab menikah dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ yang merupakan keponakan Khadijah radhiallahu ‘anha. Ruqayyah menikah dengan ‘Utbah bin Abu Lahab dan Ummu Kultsum menikah dengan ‘Utaibah bin Abu Lahab, di mana keduanya adalah keponakan Nabi Muhammad ﷺ. Para ulama menyebutkan bahwa pernikahan antara Zainab dengan Abu Al-‘Ash adalah atas isyarat dari Khadijah radhiallahu ‘anha([35]).
Ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai berdakwah, orang-orang Quraisy datang kepada semua menantu Nabi Muhammad ﷺ dan menyuruh mereka untuk menceraikan semua putri Nabi Muhammad ﷺ. Tujuan mereka adalah agar Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah radhiallahu ‘anha merasa gelisah, karena semua putrinya menjadi janda, sehingga Nabi Muhammad ﷺ berhenti dari dakwahnya.
Mereka datang kepada ‘Utbah bin Abu Lahab dan menyuruhnya agar menceraikan istrinya, Ruqayyah bin Muhammad ﷺ. Tidak hanya itu, mereka juga menawarkan wanita mana saja yang dikehendaki setelah dia menceraikannya. Akhirnya ‘Utbah bin Abu Lahab menceraikannya. Mereka juga datang kepada ‘Utaibah bin Abu Lahab dan menyuruhnya agar menceraikan Ummu Kultsum, sekaligus menawarkan wanita yang cantik jelita sebagai penggantinya jika dia mau menceraikannya. Akhirnya dia pun menceraikan istrinya. Akan tetapi, ketika mereka mendatangi Abu Al-‘Ash dan menyuruhnya untuk menceraikan Zainab, maka Abu Al-‘Ash tidak menuruti permintaan mereka.
Jadilah Ruqayyah dan Ummu Kultsum wanita janda. Para ulama menyebutkan bahwa setelah itu Allah ﷻ menyelamatkan mereka semua. Ruqayyah dinikahi oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu, namun setelah Ruqayyah meninggal dunia, maka ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum([36]). Tentu saja, ketika Ruqayyah dan Ummu Kultsum diceraikan dan menjadi bahan pembicaraan negeri Makkah, maka yang paling bersedih adalah ibu mereka, yaitu Khadijah radhiallahu ‘anha. Akan tetapi, dia tetap bersabar menghadapinya.
Oleh karenanya, disebutkan di dalam hadits yang sekaligus menunjukkan bagaimana Allah ﷻ membalas kebaikan Khadijah radhiallahu ‘anha adalah ketika Jibril n datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ، أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ، فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لاَ صَخَبَ فِيهِ، وَلاَ نَصَبَ
“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah telah datang menemuimu dengan membawa sebuah tempat yang berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Jika dia datang kepadamu, maka sampaikanlah bahwa Rabb-nya telah memberikan salam kepadanya dan dariku (Jibril) dan berikanlah berita gembira kepadanya bahwa dia akan mendapatkan rumah di surga yang terbuat dari mutiara, tidak ada hiruk pikuk dan keletihan di dalamnya.”([37])
Ketika Khadijah radhiallahu ‘anha diberi salam, maka dia menjawab salam tersebut. Berdasarkan hadits Anas radhiallahu ‘anhu berkata,
جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعِنْدَهُ خَدِيجَةُ قَالَ: إِنَّ اللهَ يُقْرِئُ خَدِيجَةَ السَّلَامَ فَقَالَتْ: إِنَّ اللهَ هُوَ السَّلَامُ، وَعَلَى جِبْرِيلَ السَّلَامُ، وَعَلَيْكَ السَّلَامُ
“Jibril n datang kepada Nabi ﷺ, sedangkan Khadijah berada di sisinya, beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah memberikan salam kepada Khadijah’, maka Khadijah berkata, ‘Sesungguhnya Allah ﷻ, dari-Nya keselamatan, keselamatan bagi Jibril dan keselamatan bagimu’.”([38])
Ini menunjukkan kecerdasan Khadijah radhiallahu ‘anha, di mana dia tidak berkata, ‘Salam untuk Allah’, karena salam tidak diucapkan kepada-Nya dan salam adalah doa untuk keselamatan, sementara Allah ﷻ yang telah memberikan keselamatan dan tidak butuh kepada keselamatan([39]).
Allah ﷻ memerintahkan malaikat Jibril n agar memberikan kabar gembira kepada Khadijah radhiallahu ‘anha berupa rumah di surga, karena Khadijah radhiallahu ‘anha memiliki jasa yang besar berupa mengurus rumah tangga Nabi Muhammad ﷺ. Khadijah radhiallahu ‘anha mengurus anak-anak di saat banyak ujian, kesulitan dan berbagai macam gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Namun, Allah ﷻ memberikan balasan dan ganti kepadanya berupa rumah di surga.
Rumah yang terbuat dari mutiara yang tidak ada teriakan suara dan keletihan sama sekali. Para ulama menjelaskan bahwa tidak adanya teriakan suara dan keletihan itu dikarenakan Khadijah radhiallahu ‘anha ketika ditawarkan Islam baginya, dia tidak pernah menolaknya sama sekali. Dia tidak pernah membantah Nabi Muhammad ﷺ ataupun mengangkat suaranya di hadapan beliau. Tidak ada keletihan, karena Khadijah radhiallahu ‘anha telah berletih-letih mengurus anak-anak Nabi Muhammad ﷺ agar beliau bisa berdakwah dengan tenteram. Khadijah radhiallahu ‘anha memberikan ketenangan agar Nabi Muhammad ﷺ bisa berdakwah dengan tenang([40]).
Footnote:
________
([1]) Lihat: Dalail An-Nubuwah, karya Al-Baihaqi, (2/68).
([3]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (3/161).
([4]) Lihat: As-Sirah An-Nabawiyyah wa Ad-Da’wah Fii Al-‘Ahdi Al-Makkiy, (1/233).
([5]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/171).
([6]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/171).
([7]) HR. Ibnu Majah No. 2149 dan disahihkan oleh Al-Baihaqi.
([8]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/188).
([9]) As-Sunan Al-Kubra, karya Al-Baihaqi, (10/213) dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-Ghalil.
([10]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/189).
([11]) Lihat: Ath-Thabaqat Al-Kubra, (8/13).
([12]) Lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, (1/113).
([15]) Fath Al-Baari, karya Ibnu Hajar, (7/137).
([17]) HR. Bukhari 6982 dan Muslim 328 dengan lafal Bukhari.
([18]) Lihat: Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, (2/202).
([21]) Lihat: Subul Al-Huda wa Ar-Rasyad fii Siirati Khairil ‘Ibad, (2/377).
([22]) Hilyah Al-Auliya’, (1/93) dan Sirah Ibnu Ishaq, (1/194)
([23]) Lihat: Sirah Ibnu Ishaq, (1/161).
([25]) HR. At-Tirmidzi No. 3886.
([27]) Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (15/202).
([29]) Di dalam suatu riwayat disebutkan فَارْتَاحَ لِذَلِكَ ‘Maka beliau pun senang karenanya’. HR. Muslim No. 2437.
([31]) Wanita tua yang telah tanggal giginya. [Lihat: Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, 915/202)]
([33]) HR. Ahmad No. 24864, hadits sahih.
([34]) HR. Ath-Thabrani No. 23/14
([35]) Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, (1/651)
([36]) Lihat: Mirqah Al-Mafatih, karya Mulla Al-Qari, (9/3926).
([38]) HR. An-Nasai No. 8301 di dalam As-Sunan Al-Kubra.
([39]) Lihat: Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (7/139).
([40]) Lihat: Ar-Raudh Al-Unuf, karya As-Suhaili, (2/277) dan Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (7/138).