Gapai Husnul Khotimah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Husnul khotimah atau kesudahan yang baik adalah impian setiap orang yang beriman. Menurut sebagian orang husnul khotimah merupakan kesimpulan dari seluruh aktivitas setiap manusia selama hidup di dunia. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amalan bergantung kepada penutupnya.”([1])
Ini menunjukkan bahwasanya kesimpulan dari kegiatan dan akifitas manusia yang telah dilakukannya, baik berupa kebaikan maupun keburukan, akan disimpulkan dengan amalannya yang terakhir.
Oleh karenanya, memikirkan husnul khotimah adalah kesibukan orang-orang yang saleh. Semua orang saleh memikirkan hal ini. Mereka merasa khawatir dengan kesudahan mereka, karena tidak ada yang mengetahui tentang takdir mereka. Tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui apa saja yang tercatat di Lauh Al-Mahfuz tentang kesudahan mereka kelak. Oleh karenanya, lihatlah bagaimana orang-orang saleh merasa gelisah dengan hal ini. Di antaranya adalah imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abi Al-Mulaikah berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah ﷺ, dan seluruhnya khawatir ada kemunafikan di dalam dirinya.”([2])
Tidak ada seorang pun dari sahabat yang merasa percaya diri bahwasanya kelak mereka akan masuk ke dalam surga. Bahkan, dijumpai banyak dari para sahabat yang sudah di jamin untuk masuk surga oleh Rasulullah ﷺ pun masih merasa tidak percaya diri dengan hal itu. Sebagaimana ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu yang sudah disabdakan oleh Nabi ﷺ,
وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ
“Umar di surga.”([3])
Selain itu, Nabi ﷺ bersabda mengabarkan bahwa beliau ﷺ melihat istana ‘Umar di dalam surga. Berdasarkan riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ عُمَرَ فِي الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا فِي الْجَنَّةِ رَأَيْتُ فِيهَا دَارًا، فَقُلْتُ لِمَنْ هَذِهِ؟ فَقِيلَ: لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
“Sesungguhnya ‘Umar di surga. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ketika aku berada di surga, aku melihat sebuah istana di dalamnya, lalu aku bertanya, milik siapa ini?’, setelah itu dikatakan, ‘Milik ‘Umar bin Al-Khaththab’.”([4])
Di mana Nabi ﷺ bersabda tentang ‘Umar radhiallahu ‘anhu,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطُّ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah setan melihat engkau melewati suatu jalan, kecuali setan akan mencari jalan selain jalan yang kau lewati.”([5])
Artinya kabar gembira yang Nabi ﷺ kabarkan kepada ‘Umar radhiallahu ‘anhu sangat banyak. Akan tetapi, apakah lantas hal itu menjadikan ‘Umar radhiallahu ‘anhu menjadi percaya diri dan yakin bahwa dia akan masuk ke dalam surga? Tidak. Bahkan, ‘Umar radhiallahu ‘anhu tetap memiliki rasa takut kepada Allah ﷻ. Sampai-sampai ketika ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat Huzaifah radhiallahu ‘anhu tidak menshalati seseorang, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu menghampirinya dan bertanya kepadanya,
هَلْ سَمَّانِيْ لَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ مَنْ سُمِّيَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ
“Apakah Rasulullah ﷺ menyebut namaku termasuk orang-orang munafik yang telah disebutkan?”([6])
Huzaifah bin Yaman disebut dengan صَاحِبُ السِّرّ ‘orang yang memegang rahasia Nabi ﷺ’, karena Nabi ﷺ pernah menyebutkan nama-nama orang munafik kepadanya. Namun begitu, ‘Umar radhiallahu ‘anhu masih bertanya apakah dia termasuk di antara orang-orang munafik yang telah disebutkan oleh Rasulullah ﷺ. Setelah itu Huzaifah radhiallahu ‘anhu menjawab,
لَا. وَلَا أُزَكِّيْ بَعْدَكَ أَحَداً
“Tentu tidak, sedangkan aku tidak mensucikan seorang pun setelahmu.” ([7])
Ketika ‘Umar radhiallahu ‘anhu meninggal dunia di Madinah dalam kondisi memimpin salat kaum muslimin, dia ditikam oleh Abu Lu’lu’ah Al-Majusi. Doanya dikabulkan oleh Allah ﷺ dengan meraih mati syahid di kota Madinah. Itu pun ketika ada seseorang yang memujinya, lalu dia berkata,
كَفَافًا، لاَ لِي وَلاَ عَلَيَّ
“Cukup, (aku hanya berharap pupus semuanya) tidak kepadaku dan tidak atasku.”([8])
Artinya beliau hanya berharap keselamatan pada dirinya ketika bertemu dengan Allah ﷻ kelak. Itulah di antara gambaran salah satu sahabat yang dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺ. Bagaimana lagi dengan orang yang tidak dijanjikan masuk surga oleh Nabi ﷺ?
Lihatlah bagaimana Sufyan Ats-Tsauri -rahimahullah-, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Rajab -rahimahullah-,
وَكَانَ سُفْيَانُ يَشْتَدُّ قَلَقُهُ مِنَ السَّوَابِقِ وَالْخَوَاتِمِ، فَكَانَ يَبْكِيْ وَيَقُوْلُ أَخَافُ أَنْ أَكُوْنَ فِيْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيّاً وَيَبْكِيْ وَيَقُوْلُ أَخَافُ أنْ أُسلبَ الإيمانَ عند الموت
“Sufyan sangat gelisah dengan amalannya yang telah lalu dan bagaimana kesudahannya, dia menangis dan berkata, ‘Aku khawatir apabila aku tercatat di Lauh Al-Mahfuz termasuk orang-orang yang celaka’. Dia menangis dan berkata, ‘Aku khawatir imanku dicabut ketika meninggal dunia.”([9])
Inilah gambaran bagaimana kehidupan orang-orang saleh dahulu, mereka memikirkan tentang bagaimana kesudahan mereka, sehingga hal itu menggelisahkan mereka dan membuat mereka bersungguh-sungguh untuk bisa beribadah kepada Allah ﷻ.
Apabila seorang sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu , para sahabat yang lainnya dan para ulama merasa gelisah tentang bagaimana kesudahan mereka. Tentunya, kita lebih utama untuk merasa gelisah dengan mengetahui kondisi kita sebagaimana sekarang ini. Bagaimana kurangnya amal saleh kita dan bagaimana banyaknya pelanggaran yang kita lakukan di zaman yang serba modern seperti sekarang ini. Zaman yang penuh dengan media informasi dan sosial yang memuat banyak godaan setan.
Mereka berdoa kepada Allah ﷻ untuk mendapatkan husnul khotimah. Di antara doa yang Allah ﷻ abadikan adalah doa nabi Yusuf u. Ketika beliau telah menghadapi berbagai macam ujian, hingga beliau dibuang oleh saudara-saudaranya, lalu menjadi budak dan dipenjara, sampai akhirnya beliau menjadi seorang pembesar Mesir dan bertemu lagi dengan ayah beliau, yaitu nabi Ya’qub u beserta keluarganya. Di antara doa beliau saat itu adalah,
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (QS. Yusuf : 101)
Nabi Yusuf u memanjatkan doa tersebut setelah melewati berbagai macam ujian dan beliau menghadapinya dengan penuh kesabaran, sehingga diberikan kemuliaan oleh Allah ﷻ. Saat itu pun beliau tidak merasa percaya diri, apalagi berbangga diri. Namun, beliau tetap berdoa dan permohonan yang beliau panjatkan adalah,
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (QS. Yusuf : 101)
Karena doa ini merupakan kesimpulan dari kehidupan beliau u. Doa nabi Yusuf u ini memberikan gambaran, agar Allah ﷻ memberikan kesimpulan dari akhir kehidupannya selama itu dengan akhir yang baik. Oleh karenanya, Allah ﷻ memuji Ulil Albab, sebagaimana di dalam surat Ali Imran,
رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran: 193)
Demikian juga tentang kisah orang-orang yang bertobat, seperti para penyihir Fir’aun yang diancam agar beriman kepadanya,
رَبَّنا أَفْرِغْ عَلَيْنا صَبْراً وَتَوَفَّنا مُسْلِمِينَ
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu).” (QS. Al-A’raf: 126)
Mereka sedang diuji dan diancam oleh Fir’aun untuk disalib, lalu mereka berdoa,
وَتَوَفَّنا مُسْلِمِينَ
“Matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu).”
Ini semua adalah doa untuk meraih husnul khotimah. Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran: 102)
Artinya janganlah kalian meninggal dunia, kecuali dalam keadaan husnul khotimah. Maka, hendaknya seseorang dalam menjalani kesehariannya, dia mengiringinya dengan amal saleh yang dimilikinya, jangan sampai teperdaya dengan amalannya yang telah dilakukannya tersebut. Bagi mereka yang berilmu, Jangan teperdaya dengan ilmunya. Bagi mereka yang sering bersedekah, janganlah teperdaya dengan amal sedekahnya. Bagi mereka yang sering bangun di waktu malam untuk mendirikan salat malam, janganlah teperdaya dengan salat malamnya. Bagi mereka yang memiliki hafalan Al-Quran, janganlah teperdaya dengan hafalannya. Jangan juga teperdaya dengan pujian banyak manusia maupun pengikut baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Semua amalan ini tidak melazimkan seseorang untuk meninggal dalam keadaan kondisi husnul khotimah. Karena, sejatinya dia tidak mengetahui amalan-amalan yang dilakukannya tersebut murni ikhlas karena Allah ﷻ atau tidak, selamat dari ‘ujub atau tidak, diterima oleh Allah ﷻ atau tidak. Seseorang hanya mampu untuk berusaha dan berdoa agar Allah menerima amalan yang sudah dilakukannya sekaligus mengampuni dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Tetapi, semua amalan yang dilakukan oleh setiap hamba, hendaknya tidak membuatnya menjadi ‘ujub dan percaya diri telah diterima amalannya oleh Allah ﷻ, karena sejatinya dia sendiri tidak mengetahui kesudahan baginya.
Pengertian
Husnul khotimah adalah kesudahan yang indah. Sederhananya adalah seseorang yang meninggal dunia dalam kondisi bertakwa kepada Allah, dalam keadaan Islam dan imannya yang bagus, bukan dalam kondisi bermaksiat kepada-Nya dan melanggar perintah-perintah-Nya. Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ
“‘Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan menggunakannya (membuat dia bekerja)’. Dikatakan, ‘Bagaimana Allah akan menggunakannya, wahai Rasulullah?’, beliau bersabda, ‘Allah memberi hidayah kepadanya untuk beramal saleh, sebelum dia meninggal dunia.” ([10])
Inilah yang dimaksud husnul khotimah menurut para ulama, yaitu meninggal dunia dalam kondisi beramal saleh.
Orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah akan merasakan kebahagiaan menjelang ruh mereka dicabut oleh Allah ﷻ. Maka dari itu, Allah ﷻ berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. Ibrahim: 27)
Di antaranya adalah ketika tiba waktu sakratulmaut, mereka dimudahkan untuk mengucapkan kata-kata yang menunjukkan keimanan. Begitu juga, ketika berada di alam barzakh, mereka ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir, maka Allah ﷻ mengokohkannya untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, di akhirat kelak Allah ﷻ akan mengokohkan orang-orang yang beriman tatkala dihisab. Alllah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. Fussilat: 30)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ أَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ؟ فَكُلُّنَا نَكْرَهُ الْمَوْتَ، فَقَالَ: لَيْسَ كَذَلِكِ، وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ، أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، فَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَسَخَطِهِ، كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ
“‘Barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah, maka Allah juga ingin bertemu dengannya dan barang siapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah juga tidak suka bertemu dengannya’, lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (tidak suka bertemu dengan Allah, maksudnya) takut dengan kematian? setiap dari kita tidak suka dengan kematian’, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidak begitu, tetapi seorang mukmin ketika diberikan kabar gembira berupa rahmat Allah, ridha dan surga-Nya, maka dia ingin bertemu dengan Allah, lalu Allah juga ingin bertemu dengannya. Sesungguhnya orang kafir jika diberikan kabar gembira tentang azab Allah dan murka-Nya, maka dia pun benci bertemu dengan Allah dan Allah pun benci bertemu dengannya’.” ([11])
Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya adalah ketika tiba waktu menjelang meninggal dunia, dia diberikan kabar gembira oleh malaikat tentang surga sehingga dia ingin bertemu Allah ﷻ. Ini dalil bahwasanya tatkala seorang mukmin menjelang wafat, maka dia akan diberikan kabar gembira oleh malaikat, lalu dia pun ingin bertemu dengan Allah dan ingin segera dicabut nyawanya agar segera bertemu dengan Allah ﷻ. Meskipun kita tidak tahu bagaimana kesudahan kita, tetapi Allah ﷻ melalui Al-Quran maupun lisan Rasulullah ﷺ menjelaskan kepada kita sebab-sebab untuk meraih husnul khotimah.
Footnote:
_____
([1]) H.R. Bukhari no. 6607
([3]) H.R. Ahmad no. 1675, Abu Dawud no. 4649, At-Tirmidzi no. 3747, Ibnu Majah no. 133 dan disahihkan oleh Al-Albani
([4]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 31990 6/355
([6]) Syarh Riyadhusshalihin 2/472
([7]) Syarh Riyadhusshalihin 2/472
([9]) Jami’ul ‘Ulum wal Hikam Li Ibnu Rajab Al-Hanbali 1/181
([10]) H.R. Ahmad no. 13408 dan At-Tirmidzi no. 2142 dan disahihkan oleh Al-Albani