Sejarah Kesyirikan
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Di antara kebiasaan jahiliah yang masih dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah bersikap ghuluw (berlebihan) dan pengultusan terhadap orang-orang saleh. Kebiasaan ini sebagaimana perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Masa’il al-Jahiliyah, di mana beliau menyebutkan,
الْغُلُو فِيْ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، كَقَوْلِهِ: يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ إِلَّا الْحَقَّ
“(di antara perkara jahiliah) adalah ghuluw terhadap para ulama dan orang-orang saleh. Sebagaimana firman Allah, ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar’ (QS. An-Nisa’: 177).”([1])
Ketika kita mau melihat sejarah kesyirikan, maka kita akan melihat bahwasanya sebab utamanya adalah pengultusan terhadap orang-orang saleh.
Sejarah kesyirikan
Manusia pertama yang Allah ﷻ utus di atas muka bumi ini adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Setelah itu, manusia kemudian beranak pinak hingga akhirnya Allah ﷻ mengutus Nabi Nuh ‘alaihissalam. Masa antara Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah sepuluh generasi, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
كَانَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ عَشَرَةُ قُرُونٍ، كُلُّهُمْ عَلَى الْإِسْلَامِ
“Sesungguhnya antara nabi Adam dan nabi Nuh terdapat sepuluh generasi, semuanya di atas Islam.”([2])
Jika kita mengestimasi satu generasi itu 1000 tahun([3]), maka masa antara Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi Nuh ‘alaihissalam kurang lebih 10.000 tahun, hanya saja kita tidak memiliki dalil yang kuat akan hal tersebut. Namun, yang menjadi fokus pembahasan kita adalah masa antara Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam tidak pernah terjadi kesyirikan, karena pada masa itu manusia seluruhnya berada di atas Tauhid yang benar. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ﴾
“Manusia itu (dahulu) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلَّا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِن رَّبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ﴾
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS. Yunus: 19)
Kesyirikan pada masa antara Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi Nuh ‘alaihissalam belum terjadi, akan tetapi kemaksiatan telah terjadi ketika itu. Di antara contohnya adalah Qabil yang membunuh saudaranya Habil. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ، لَئِن بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ، إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ، فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, ‘Sungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim’. Maka hawa nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 27-30)
Kemaksiatan berupa pembunuhan telah terjadi di masa tersebut, dan maksiat-maksiat yang lain pun mungkin saja terjadi. Akan tetapi, kesyirikan belum terjadi ketika itu.
Kesyirikan pertama kali terjadi di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam, sehingga Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus sebagai rasul yang pertama di atas muka bumi ini. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwasanya kelak orang-orang di padang Mahsyar akan datang kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam meminta syafaat dengan berkata,
يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ
“Wahai Nuh, kamulah Rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi ini.”([4])
Kesyirikan yang terjadi di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam sebabnya adalah pengultusan terhadap orang-orang saleh. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾
“Dan mereka melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian, dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’.” (QS. Nuh: 22-23)
Siapakah lima orang yang disebutkan oleh kaum Nabi Nuh dalam ayat di atas tersebut? Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Al-Bukhari berkata,
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ، أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ
“Itulah nama-nama orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.”([5])
Dalam hadits ini, Ibnu ‘Abbas menyebutkan tahapan-tahapan setan menggoda manusia dalam berbuat syirik,
Pertama: Ketika lima orang saleh tersebut wafat, setan memerintahkan untuk membangun patung-patung di tempat mereka biasa bermajelis. Di sini, setan belum memerintahkan untuk langsung berbuat syirik, namun setan menjebak manusia terlebih dahulu, bahwasanya adanya patung-patung tersebut bertujuan untuk mengenang orang saleh tersebut dan memotivasi orang-orang yang masih hidup untuk beribadah.
Kedua: Setan menunggu hingga generasi yang membangun patung tersebut meninggal dunia.
Ketiga: Setan menunggu hingga ilmu dilupakan oleh orang-orang, yaitu ilmu tentang tauhid dan kesyirikan.
Keempat: Setelah ilmu itu dilupakan, maka barulah setan menggoda manusia untuk menyembah patung-patung tersebut.
Dari tahapan-tahapan yang kita telah sebutkan di atas, memberikan pemahaman bahwa sebab terjadinya kesyirikan pertama kali di bumi adalah karena ghuluw terhadap orang-orang saleh. Demikianlah yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar, bahwasanya kesyirikan banyak terjadi karena pengultusan terhadap orang-orang saleh.([6])
Asal kesyirikan disebabkan pengultusan terhadap orang-orang saleh
Untuk membuktikan bahwasanya asal kesyirikan adalah karena pengultusan terhadap orang-orang saleh, maka kita bisa melihat perbandingan antara kesyirikan terdahulu dan di zaman sekarang.
- Kesyirikan terdahulu
Ada beberapa contoh penyembahan terhadap orang-orang saleh terdahulu di antaranya:
- Sidharta Gautama
Jika kita membaca literatur-literatur yang ada, maka kita tentu tidak akan menemukan bahwasanya Sidharta Gautama mengaku sebagai Tuhan, tidak! Sidharta Gautama hanyalah seorang yang tidak setuju dengan kasta-kasta yang tersebar di agama Hindu. Sebab ketidaksepakatannya tersebut, akhirnya Sidharta Gautama meninggalkan perkara dunia dan mengasingkan diri, hingga akhirnya ia menyucikan dirinya hingga pada akhirnya ia sampai pada derajat yang orang-orang menyebutnya derajat nirwana.
Ketika ia masih hidup, ia tidak pernah menciptakan makhluk. Ia hanyalah orang bijak yang menyampaikan pendapat-pendapatnya, dan ia juga orang baik lagi berakhlak. Akan tetapi, ketika dia telah meninggal dunia, orang-orang kemudian mulai mengultuskannya hingga menyembahnya sampai saat ini.
- Konghucu
Konghucu atau Konfusius juga asalnya hanyalah manusia biasa yang bijak dan terkenal sebagai filsuf Tiongkok. Namun, karena orang-orang bersikap berlebihan kepadanya, hingga akhirnya mereka pun menyembah konghucu.
- Uzair
Uzair dikultuskan secara berlebihan oleh kaum Yahudi. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ﴾
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah’.” (QS. At-Taubah: 30)
Disembah atau tidaknya Uzair oleh orang-orang Yahudi, tetap saja mereka telah berlebih-lebihan terhadap Uzair, karena perkataan mereka tersebut sudah seperti mengangkat Uzair kepada derajat Tuhan, padahal kita sama-sama paham bahwasanya hal tersebut tidaklah diperbolehkan.
- Nabi Isa ‘alaihissalam dan Maryam
Nabi Isa ‘alaihissalam beserta ibunya Maryam dikultuskan berlebih-lebihan oleh orang-orang Nasrani. Oleh karenanya, ketika pada hari kiamat kelak, Allah ﷻ akan kumpulkan Nabi Isa ‘alaihissalam bersama pengikutnya dan berfirman kepada mereka,
﴿وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِن دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib’.” (QS. Al-Maidah: 116)
Nabi Isa ‘alaihissalam dan Maryam hanyalah manusia biasa. Bahkan, Allah ﷻ memberikan bantahan telak bagi orang-orang Nasrani hanya dengan memberikan perumpamaan,
﴿مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ﴾
“Isa putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (QS. Al-Maidah: 75)
Ayat ini jelas menggambarkan bahwasanya Nabi Isa ‘alaihissalam dan Maryam makan, sedangkan kita tahu bahwa makan karena lapar adalah sifat manusia. Adapun Tuhan tidak makan, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam ayat yang lain,
﴿قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ﴾
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’.” (QS. Al-An’am: 14)
Intinya, Nabi Isa ‘alaihissalam dikultuskan oleh orang-orang Nasrani sampai pada derajat Tuhan ketika ia telah diangkat oleh Allah ﷻ, dan Maryam pun juga dikultuskan oleh sebagian orang-orang Nasrani sepeninggalnya.
- Rahib-rahib dan para pendeta
Allah ﷻ telah berfirman,
﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَّا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ﴾
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. At-Taubah: 31)
Di antara sikap berlebihan orang-orang Nasrani terhadap para pendeta dan rahib-rahib adalah dalam masalah penghalalan dan pengharaman suatu perkara. Mereka mungkin tidak menganggap rahib-rahib dan pendeta sebagai anak Tuhan, akan tetapi mereka tunduk pada apa yang dikatakan oleh para rahib-rahib dan pendeta mereka. Oleh karenanya, ketika ayat ini turun, Adi bin Hatim berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya mereka tidak menyembah rahib-rahib dan pendeta. Maka Rasulullah ﷺ mengatakan,
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ، وَيحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتُحِلُّونَهُ؟ قال: قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
“Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kalian ikut mengharamkannya? Dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan lalu kalian menghalalkannya?” Adi bin Hatim menjawab: ‘Benar’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Yang demikian itulah kalian beribadah kepadanya’.”([7])
- Latta
Allah ﷻ berfirman tentang Latta,
﴿أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى، وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى﴾
“Maka apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap Latta dan Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (QS. An-Najm: 19-20)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata tentang Latta,
كَانَ رَجُلًا يَلِتُّ السَّوِيْقَ لِلْحَاجِّ; فَلَمَّا مَاتَ عَكْفُوْا عَلَى قَبْرِهِ فَعْبُدُوهُ
“Latta adalah seseorang yang suka membagi makanan kepada jemaah haji. Ketika ia telah meninggal dunia, maka orang-orang membangun patung di atas kuburannya, hingga orang-orang menyembahnya.”([8])
- Kesyirikan di zaman sekarang
Kesyirikan dan sebab-sebab munculnya di zaman sekarang pun tidak jauh berbeda dari kesyirikan dan sebab-sebab terjadinya di zaman dahulu, yaitu sama-sama disebabkan karena pengultusan terhadap orang-orang saleh. Di antara contohnya sebagai berikut:
- Pengultusan Ali bin Abi Thalib dan Husain radhiallahu ‘anhuma
Pengultusan Ali bin Abi Thalib dan Husain radhiallahu ‘anhuma dilakukan oleh orang-orang Syiah rafidhah. Telah sering didapati orang-orang Syiah ketika di Ka’bah, mereka mengatakan “Labbaik ya Husain”. Demikian pula digambarkan dalam sebuah video, tatkala seorang Syiah sedang dalam kondisi sulit di dalam pesawat, ia pun berdoa dengan mengatakan “Ya Ali ya Ali”, ia tidak berdoa kepada Allah ﷻ.
- Pengultusan terhadap wali-wali yang sudah meninggal dunia
Di antara kaidah yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Qawa’id al-Arba’ adalah sebagian orang musyrikin zaman sekarang lebih parah daripada kaum musyrikin di zaman Nabi Muhammad ﷺ.([9]) Mengapa demikian? Karena orang-orang musyrikin dahulu ketika dalam kondisi genting, mereka meminta kepada Allah ﷻ, sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ﴾
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-‘Ankabut: 65)
Lihat pula Abu Jahal, dia berdoa kepada Allah ﷻ di saat genting, yaitu ketika perang Badar, dia berdoa,
اللَّهُمَّ أَيُّنَا كَانَ أَقْطَعَ لِلرَّحِمِ، وَآتَانَا بِمَا لَا نَعْرِفُ، فَاحْنِهِ الْغَدَاةَ
“Ya Allah, siapa di antara kami (Muhammad atau saya) yang memutuskan silaturahmi, dan membawa sesuatu yang kami tidak ketahui, binasakanlah dia hari ini.”([10])
Adapun orang-orang di zaman sekarang, mereka justru melakukan kesyirikan dalam kondisi genting. Ada empat ulama berbeda dan dari negeri yang berbeda-beda pula menyebutkan hal ini.
Pertama: Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, dari Najd. Jika kita melihat bagaimana sejarah beliau berdakwah, beliau dahulu mendakwahi orang-orang yang mengagungkan kuburan yang mereka sangka adalah kuburan Zaid bin Khattab, saudara dari Umar bin Khattab. Mereka membangun kubah di sana dan berdoa kepadanya. Berbulan-bulan beliau berdakwah kepada mereka dengan datang ke kuburan tersebut dan berkata bahwa Allah ﷻ jauh lebih baik daripada Zaid, agar mereka kembali hanya meminta kepada Allah ﷻ. Namun, mereka sama sekali tidak menghiraukan seruan beliau.([11])
Kedua: Al-Alusi, seorang ulama Tafsir yang memiliki buku berjudul Ruh al-Ma’ani, dari Irak. Dalam kitabnya tersebut, al-Alusi menceritakan bagaimana masa kecilnya, di mana ia bertemu dengan seorang syekh yang mengajarkannya untuk tidak berdoa kepada Allah, melainkan berdoa kepada wali-wali. Syekh tersebut beralasan bahwa berdoa kepada Allah ﷻ tidak akan langsung dikabulkan dan Allah ﷻ tidak peduli padanya. Adapun jika ia berdoa kepada wali-walilah, maka ia akan ditolong dan diperhatikan. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan bahwasanya wasiat yang dia dengar tersebut merupakan perkara yang mengerikan lagi sangat menyedihkan, dan sungguh banyak dai-dai dan syekh-syekh di zamannya memiliki pemikiran seperti itu.([12])
Subhanallah, bagaimana mungkin ada seorang syekh yang menyuruh untuk tidak meminta kepada Allah dan menyuruh untuk meminta kepada wali-wali? Bukankah ini bentuk suuzhan kepada Allah ﷻ yang sampai pada derajat syirik?
Ketiga: Asy-Syaukani, seorang ahli tafsir dari Yaman. Dalam kitabnya Fath al-Qadir, beliau juga menyebutkan tentang bagaimana orang-orang musyrikin saat ini malah bergantung kepada mayat-mayat dalam kondisi genting, dan tidak memurnikan doa hanya kepada Allah ﷻ sebagaimana orang musyrikin terdahulu. Beliau bahkan mengatakan bahwa telah sampai kepadanya kabar secara mutawatir tentang orang-orang di Yaman yang bergantung kepada mayat-mayat.([13])
Keempat: Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, pengarang bukut tafsir Adwa’ al-Bayan, dari Mauritania. Beliau pun dalam tafsirnya mengatakan hal yang sama, bahwasanya ada sebagian orang yang ketika mereka ditimpa suatu kondisi yang genting, mereka ternyata bersandar kepada selain Allah ﷻ, sementara orang-orang musyrikin dahulu dalam kondisi seperti itu bergantung hanya kepada Allah ﷻ.([14])
Keempat ulama ini berasal dari daerah yang berbeda-beda, namun mereka semuanya sepakat bahwasanya telah ada sebagian orang yang bahkan dalam kondisi genting tetap meminta kepada orang-orang saleh yang sudah meninggal dunia, dan menganggap mereka adalah tempat pertolongan mereka. Oleh karenanya, orang-orang yang kemudian mengultuskan wali-wali yang sudah meninggal dengan meminta-minta kepadanya, maka mereka telah melakukan kesyirikan. Ini juga menunjukkan bahwasanya sebab terjadinya kesyirikan adalah karena pengultusan terhadap orang-orang saleh.
- Penyembahan yang dilakukan oleh orang-orang non muslim terhadap tokoh-tokoh populer di zaman sekarang
Telah beredar sebuah video yang menunjukkan bagaimana sebagian orang kemudian menyembah tokoh-tokoh populer di zaman sekarang. Di antaranya adalah Mahatma Gandhi, bunda Teresa, Jose Rizal, Donald Trump, Diego Maradona, sampai Amitabh Bachchan. Mereka-mereka ini disembah oleh sebagian orang, di mana kebanyakan mereka asalnya hanyalah penggemar biasa. Akan tetapi, karena terlalu fanatik dan terlalu mengultuskan idola mereka, akhirnya mereka pun kemudian menyembah idola-idola mereka, sampai-sampai mereka membuat patung dan kuil-kuil ibadah.
Meskipun mereka adalah orang-orang muslim, namun asal mereka menyembah idola-idola dari kalangan mereka tersebut karena tentu sikap berlebihan dan menganggap bahwa idola mereka tersebut memiliki kelebihan yang menurut mereka tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.
Ini semua membuktikan bahwasanya asal dari kesyirikan yang banyak terjadi dari dulu hingga sekarang adalah sikap berlebihan terhadap seseorang. Adapun orang-orang muslim, sebagian mereka ghuluw terhadap orang-orang saleh dan ulama-ulama terdahulu mereka.
Usaha Nabi Muhammad ﷺ untuk mencegah pengultusan terhadap dirinya
Nabi Muhammad ﷺ adalah pemimpin para wali, karena beliaulah adalah pemimpin para nabi, makhluk paling bertakwa yang pernah Allah ﷻ ciptakan di atas muka bumi ini. Karena hal tersebut, tentu orang-orang yang menyimpang dalam tauhid bisa saja mengultuskan Nabi Muhammad ﷺ secara berlebihan, sehingga bisa jadi mereka terjatuh dalam kesyirikan. Akan tetapi, Nabi Muhammad ﷺ telah melakukan usaha-usaha dalam rangka mencegah terjadinya pengultusan terhadap diri beliau. Di antara usaha-usaha tersebut antara lain:
- Nabi Muhammad ﷺ melarang orang lain memujinya secara berlebihan
Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nasrani telah melampaui batas dalam memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”([15])
Sebab larangan ini, Nabi Muhammad ﷺ pernah menegur seseorang yang memujinya bahwasanya beliau mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.([16])
Di antaranya pula, Nabi Muhammad ﷺ pernah menegur orang yang mengatakan,
مَا شَاءَ اللَّهُ، وَشِئْتَ
“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”
Nabi Muhammad ﷺ mengatakan,
جَعَلْتَ لِلَّهِ نِدًّا، مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau menjadikan tandingan bagi Allah? (katakanlah) atas kehendak Allah semata.”([17])
Adapun di zaman sekarang, kita dapati banyak syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Namun, banyak dari syair-syair tersebut memuji secara berlebih-lebihan, sehingga sebaiknya kita meninggalkannya sebagai upaya terhindar dari kesyirikan. Di antara syair tersebut seperti perkataan al-Bushairi terhadap Nabi Muhammad ﷺ dalam syairnya,
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَتَهَا ***** وَمِنْ عَلُوْمِكَ عِلْمٌ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat. Dan di antara ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfuzh.”
Perkataan al-Bushairi ini dikritik oleh banyak para ulama, bahwa bagaimana mungkin di antara kedermawanan Nabi Muhammad ﷺ adalah dunia dan akhirat? Bagaimana pun seseorang ingin menakwil perkataan tersebut, secara zhahir perkataan ini sudah jelas salah, karena dunia dan akhirat adalah dari Allah ﷻ, dan yang mengetahui Lauhul Mahfuzh hanyalah Allah ﷻ, kecuali sebagian kecil dari apa yang Allah ﷻ kabarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, karena asalnya Nabi Muhammad ﷺ tidak mengetahui.
- Nabi Muhammad ﷺ tidak suka jika para sahabat berdiri menyambutnya
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah berkata,
مَا كَانَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ شَخْصًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَا يَقُومُ لَهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
“Tidak ada seorang pun manusia yang lebih dicintai para sahabat selain Rasulullah ﷺ, namun jika mereka melihat Rasulullah, tidak seorang pun dari mereka berdiri (untuk menghormatinya) karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukainya.”([18])
Nabi Muhammad ﷺ tidak senang apabila seseorang berdiri untuk menyambutnya. Beliau ﷺ bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa senang melihat orang lain berdiri karenanya, maka hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”([19])
Oleh karenanya, kesalahan di zaman sekarang adalah ketika seseorang melakukan praktik maulid, di mana mereka meyakini Nabi Muhammad ﷺ hadir dalam acara mereka, kemudian mereka berdiri karena kedatangan Nabi Muhammad ﷺ tersebut dan melantunkan selawat badar. Kalau masih hidup saja Nabi Muhammad ﷺ tidak suka seseorang berdiri menyambutnya, maka bagaimana lagi ketika beliau telah meninggal dunia dan dikatakan hadir ke majelis mereka? Oleh karenanya, hal ini pun peringatkan oleh asy-Syaukani dalam kitabnya Risalah fi al-Maulid.
Kecintaan kita kepada Nabi Muhammad ﷺ tidaklah salah, akan tetapi kecintaan tersebut seharusnya membuat kita rela untuk mengikuti aturan Nabi Muhammad ﷺ. Kita tidak boleh mengekspresikan kecintaan kita kepada beliau sekehendak kita. Para sahabat dahulu sangat cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan bisa jadi cinta mereka jauh lebih besar daripada kita, akan tetapi mereka menimbang dan melihat mana yang Nabi Muhammad ﷺ suka dan tidak sukai, sehingga mereka bisa mengukur bahwa sikap seperti apa yang pantas mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
- Nabi Muhammad ﷺ menegur sebagian sahabat yang memujinya di hadapannya
Ada sebagian sahabat yang menjadi utusan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan mereka berkata di hadapan Nabi Muhammad ﷺ,
أَنْتَ سَيِّدُنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا
“Engkau adalah sayyid kami, engkau adalah yang paling utama di antara kami dan memiliki kemuliaan yang besar.”
Mendengar hal tersebut Nabi Muhammad ﷺ mengatakan,
السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
“Sayyid itu hanya milik Allah. Berkatalah kalian dengan perkataan kalian, atau sebagian dari perkataan kalian (tidak perlu banyak pujian), dan jangan sekali-kali kalian terpengaruh oleh setan.”([20])
Lihatlah bagaimana Nabi Muhammad ﷺ tidak suka dipuji di hadapan beliau, padahal beliau benar-benar adalah sayyid sebagaimana perkataan beliau dalam sabda yang lain,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ
“Aku adalah pemimpin anak Adam (pada hari kiamat kelak) dan tidak ada kesombongan bagiku.”([21])
Akan tetapi, ketika ada indikasi seseorang memuji Nabi Muhammad ﷺ secara berlebih-lebihan, maka Nabi Muhammad ﷺ pun kemudian menegurnya.
- Nabi Muhammad ﷺ berwasiat tentang kuburan beliau
Sampai sini kita tentu sudah paham bahwasanya banyak kesyirikan terjadi orang-orang saleh terutama ketika mereka telah meninggal dunia, dan Nabi Muhammad ﷺ juga telah mengkhawatirkan hal tersebut. Sebab kekhawatiran tersebut, maka Nabi Muhammad ﷺ berwasiat tentang kuburan-kuburan beliau. Di antara wasiat-wasiat tersebut antara lain:
- Nabi Muhammad ﷺ mengisyaratkan agar tidak dikubur di kuburan umum, dan ini telah dipahami oleh Aisyah radhiallahu ‘anha. Sebelum meninggal dunia, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
Maka Aisyah berkata,
لَوْلاَ ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ خَشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Kalau bukan karena sabda beliau, tentu aku akan menampakkan kuburan beliau, namun aku takut (kuburan beliau) dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah).”([22])
Dari sini kita paham bahwa selain karena sebab para nabi dikuburkan di tempat di mana mereka meninggal, ternyata juga karena khawatir terjadi pengultusan sepeninggal beliau ﷺ.
- Nabi Muhammad ﷺ melarang kuburannya dijadikan Id. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai Id. Berselawatlah kepadaku, sesungguhnya selawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”([23])
Id maksudnya adalah sesuatu yang berulang-ulang setiap tahunnya, sehingga membuat acara khusus pada tanggal dan waktu tertentu. Maka, Nabi Muhammad ﷺ mewasiatkan agar tidak menjadikan kuburannya sebagai Id tersebut, karena Nabi Muhammad ﷺ khawatir akan dikultuskan. Oleh karenanya, setelahnya Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwasanya selawat yang dikirimkan kepada beliau tetap akan sampai di mana pun seseorang mengirimkannya, tidak harus datang ke kuburan beliau.
Oleh karena itu, kita melihat praktik sahabat, mereka tidak setiap hari pergi ke kuburan Nabi Muhammad ﷺ, padahal mereka tinggal di Madinah. Biasanya mereka baru ke kuburan Nabi Muhammad ﷺ ketika hendak pergi atau telah pulang dari bersafar.
- Nabi Muhammad ﷺ berdoa agar kuburannya tidak menjadi berhala yang disembah. Nabi Muhammad ﷺ pernah berdoa,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, jangan jadikan kuburanku berhala yang disembah.”([24])
Doa Nabi Muhammad ﷺ ini tentunya dikabulkan oleh Allah ﷻ, sehingga kita bisa melihat bagaimana kuburan beliau saat ini dijaga dan dipagari berlapis-lapis, hingga tidak ada yang bisa beribadah di kuburan beliau ﷺ.
Beberapa wasiat Nabi Muhammad ﷺ ini mengisyaratkan bahwasanya beliau ﷺ telah berusaha menutup celah-celah agar jangan sampai beliau disembah.
Sikap kehati-hatian Nabi Muhammad ﷺ terhadap kuburan
Ada beberapa sikap Nabi Muhammad ﷺ terhadap kuburan, di antaranya:
- Nabi Muhammad ﷺ pernah melarang berziarah kubur di awal Islam.
Sikap ini tentu merupakan kekhawatiran Nabi Muhammad ﷺ jangan sampai ada orang yang menyembah kuburan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا
“Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.”([25])
Ketika Nabi Muhammad ﷺ pernah melarang berziarah kubur, tentunya memberikan isyarat bahwa alasannya bukanlah sesuatu yang sepele, yaitu beliau khawatir orang-orang yang baru masuk Islam akan kembali pada pengultusan terhadap orang yang sudah meninggal.
- Nabi Muhammad ﷺ melarang shalat di kuburan atau ke arah kubur
Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ، وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan jangan pula kalian duduk di atasnya.”([26])
- Nabi Muhammad ﷺ melarang kuburan ditinggikan
Dalam sebuah hadits yang masyhur, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan,
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah ﷺ telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan patung-patung kecuali kamu hancurkan, dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.”([27])
Demikianlah yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi ketika memiliki kekuasaan, mereka meratakan kuburan di Baqi’ yang tinggi-tinggi, meskipun sebagian orang tidak suka, karena itulah yang diperintahkan Nabi Muhammad ﷺ kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan kepada kita kaum muslimin secara umum.
- Nabi Muhammad ﷺ melarang kuburan disemen dan ditulisi([28])
- Nabi Muhammad ﷺ melarang kuburan diberi penerangan([29])
Beberapa sikap Nabi Muhammad ﷺ terkait kuburan ini sangat jelas menunjukkan bahwa hal tersebut juga merupakan di antara langkah beliau sebagai bentuk pencegahan terhadap pengultusan. Akan tetapi, semua yang dilarang dan diwasiatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dilanggar oleh sebagian orang. Sebagian orang sudah mulai shalat di kuburan, menganggap adanya shalat tahiyatul qubur, bahkan mereka membangun kuburan dengan besar dan megah.
Ketahuilah, ketika kuburan di bangun dengan megah dan tampak mewah, orang-orang kemudian bisa menyangka bahwa yang ada di dalam kubur bisa melakukan hal-hal tertentu. Akhirnya, setan yang mulai membisikinya untuk meminta kepada penghuni kubur tersebut, dan didukung dengan apa yang ia lihat di kuburan, keyakinan itu pun muncul. Kita pun bisa melihat di zaman sekarang ini, betapa banyak orang yang kemudian meminta-minta di kuburan, bahkan sampai menangis-nangis. Lebih parahnya lagi, kuburan bisa menjadi lebih ramai daripada masjid, sampai-sampai ada orang yang pernah mengatakan kepada orang yang membangun masjid agar dia menghadirkan kuburan seorang habib di masjidnya agar masjidnya bisa ramai dikunjungi orang. Subhanallah!
Kini, kuburan menjadi saingan masjid-masjid. Sebagian orang lebih cenderung ingin pergi ke kuburan daripada ke masjid. Tentunya ini salah! Kita boleh mengagungkan orang-orang mulia dan orang-orang saleh, akan tetapi tidak dengan meminta-minta di kuburannya, tidak mengultuskannya, dan yang lainnya.
Inilah mengapa dikatakan bahwa sebab utama kesyirikan adalah karena ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang saleh.
Footnote:
———
([1]) Masa’il al-Jahiliyah (hlm. 10).
([2]) HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6190. Dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa hadits ini shahih.
([3]) Sebagaimana Nabi Adam ‘alaihissalam asal usianya 1000 tahun, hanya saja ia menghadiahkan usianya tersebut kepada Nabi Daud ‘alaihissalam sebanyak 40 tahun. (Lihat: HR. Tirmidzi No. 3067). Sebagaimana pula Nabi Nuh ‘alaihissalam usianya sekitar 1000 tahun, sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka (untuk berdakwah) seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut: 14)
Jika masa berdakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam saja sudah 950 tahun, maka jika ditambah dengan usia beliau sebelum dan sesudah berdakwah, maka bisa jadi usia beliau bisa lebih dari 1000 tahun.
([6]) Lihat: Fath al-Bari (8/669).
([7]) Tafsir ath-Thabari (14/210).
([8]) Tafsir ath-Thabari (22/523).
([9]) Lihat: Qawa’id al-Arba’ (hlm. 202).
([10]) HR. Al-Hakim No. 3264 dalam al-Mustadrak (2/357), dia mengatakan bahwa hadis ini sahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lalu kemudian Allah ﷻ mengabulkan doanya, sehingga Allah ﷻ membinasakannya pada saat perang Badar, karena dialah pemutus silaturahmi yang sebenarnya.
([11]) Lihat: Ad-Durar as-Saniyyah Fi al-Ajwibah an-Najdiyah (2/221).
([12]) Lihat: Ruh al-Ma’ani (7/4050.
([13]) Lihat: Fath al-Qadir (2/493)
([14]) Lihat: Adhwa’ al-Bayan (3/174).
([16]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 4001 (5/82)
([17]) HR. Bukhari No. 783 dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani.
([18]) HR. Ahmad No. 12370, Syu’aib al-Arnauth mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim.
([19]) HR. Abu Daud No. 5229, dinyatakan shahih oleh syekh al-Albani.
([21]) HR. Ibnu Majah No. 4308, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani.
([23]) HR. Abu Daud No. 2042, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani.
([26]) HR. Muslim No. 972. Tentunya ada pengecualian bagi shalat jenazah yang boleh dilakukan di kuburan, karena pada shalat jenazah tidak ada sujud dan rukuk.
([28]) Lihat: Shahih Muslim No. 970
([29]) Lihat: Musnad Imam Ahmad No. 2030, dinyatakan oleh Syu’aib al-Arnauth sebagai hasan lighairih.