Menggapai Keluarga Samawa (Sakinah, Mawaddah, Warrohmah)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Topik yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah tentang menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pembahasan ini mungkin terlihat sederhana oleh sebagian besar kita, namun sebenarnya ini adalah pembahasan yang cukup penting, karena darinya seseorang bisa meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kita tentu harus sadar bahwasanya ladang pahala yang Allah ﷻ siapkan ada banyak. Di antara ladang tersebut adalah dari interaksi kita terhadap keluarga kita, karena di situ ada ladang pahala yang sangat besar. Oleh karena itu, jangan mengira bahwa pahala hanya pada membaca Al-Qur’an, hanya pada shalat, hanya pada puasa, hanya pada zikir, atau hanya pada haji dan umrah, tidak! Justru di antara amalan yang pahalanya tidak berhenti adalah ketika seseorang bisa bermuamalah dengan pasangan hidupnya dengan cara yang terbaik. Nabi Muhammad ﷺ telah menjelaskan hal ini dalam banyak hadits. Di antaranya seperti sabda beliau,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi keluarganya (istrinya), dan aku adalah yang terbaik bagi keluargaku (istriku).”([1])
Sabda Nabi Muhammad ﷺ di atas memberikan isyarat bahwasanya apabila seseorang ingin menjadi suami yang terbaik di sisi Allah ﷻ, maka di antaranya dengan cara menjadi suami yang terbaik bagi istrinya. Jika seorang suami telah menjadi suami yang terbaik bagi istrinya, sampai-sampai sang istri karena bahagianya menceritakan kebaikan suaminya kepada orang lain, maka bisa saja ini menjadi indikasi bahwa sang suami telah mencapai derajat yang Nabi Muhammad ﷺ sabdakan.
Sebaliknya, Nabi Muhammad ﷺ juga mengingatkan kepada para istri untuk bersikap yang terbaik kepada suaminya. Hal ini sebagaimana riwayat yang datang, di mana Nabi Muhammad ﷺ bertanya kepada seorang wanita tentang kedudukannya di hadapan suaminya. Wanita tersebut berkata bahwa ia berusaha melakukan yang terbaik kepada suaminya selama ia mampu. Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ؟ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Di manakah posisimu darinya? Sesungguhnya dia adalah surga dan nerakamu.”([2])
Oleh karenanya, para ulama menjelaskan bahwasanya apabila seorang wanita telah menikah, maka orang yang paling utama bagi ia untuk berbakti adalah suaminya melebihi orang tuanya, meskipun ia sebelumnya dirawat oleh orang tuanya selama puluhan tahun. Demikianlah syariat menetapkan hal tersebut. Tentunya, ketika Allah ﷻ menetapkan syariat tersebut, maka tentu syariat memandang bahwa padanya ada maslahat yang sangat besar, karena keutuhan suatu keluarga sangatlah penting, dan ketaatan kepada suami akan menumbuhkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Setelah mengetahui bahwa para suami maupun istri diperintahkan untuk saling berbuat baik kepada pasangannya masing-masing, maka kita menjadi paham bahwasanya pernikahan itu adalah ibadah. Oleh karena pernikahan adalah ibadah, maka di antara nikmat yang Allah ﷻ berikan kepada para nabi dan rasul adalah mereka menikah. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38)
Jadi, di antara nikmat yang Allah ﷻ berikan kepada para rasul adalah Allah ﷻ menjadikan mereka secara umum menikah.
Lihatlah bagaimana agungnya pernikahan itu, Allah ﷻ menamakan akad nikah dengan مِّيثَاقًا غَلِيظًا ‘perjanjian yang berat’. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا﴾
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang berat.” (QS. An-Nisa’: 21)
Ini menunjukkan bahwasanya pernikahan itu adalah amanah, yang di mana seseorang harus menjalankannya dengan baik, karena itu bisa menjadi jalan baginya ke surga dan bisa juga menjadi jalan baginya ke neraka jika tidak menjalankannya dengan baik.
Lihatlah Nabi Musa n ketika menikah dengan seorang wanita salihah dari negeri Madyan, mahar yang harus dibayarkannya adalah dengan menggembala kambing selama sepuluh tahun.
﴿قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ﴾
“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anakku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, maka aku tidak hendak memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashsash: 27)
Jika sekiranya pernikahan hanyalah perkara yang sepele, maka untuk apa Nabi Musa n menghabiskan waktunya sepuluh tahun hanya untuk membayar mahar? Tidak lain karena Nabi Musa n tahu bahwasanya pernikahan adalah perkara yang besar di sisi Allah ﷻ.
Lihat pula kisah ketika Nabi Muhammad ﷺ mengetahui ada seorang sahabat yang ingin meninggalkan pernikahan karena ingin fokus ibadah. Sebelumnya, memang benar bahwa meninggalkan pernikahan memang bisa membuat seseorang fokus dalam beribadah, karena dengan menikah seseorang tentu akan disibukkan dengan usaha untuk bisa memenuhi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Salah seorang sahabat ini berniat baik dengan meninggalkan menikah untuk fokus ibadah. Akan tetapi, mendengar hal tersebut Nabi Muhammad ﷺ pun marah dan berkata,
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku maka bukan dari golonganku.”([3])
Dari sini, mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang menikah dan disibukkan dengan urusan rumah tangganya sehingga ibadah mahdhahnya kurang itu jauh lebih utama daripada seorang yang tidak menikah dalam rangka memperbanyak ibadah. Hal ini dikarenakan pernikahan adalah sunnahnya para nabi, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat banyak maslahat yang diinginkan oleh syariat. Oleh karenanya, di dalam suatu riwayat Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahkanlah wanita-wanita yang penyayang dan subur (banyak keturunan), karena aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya (jumlah) kalian.”([4])
Bagi kita yang telah menikah tentu akan paham bagaimana pernak pernik yang ada di dalam rumah tangga. Maka, ketika kita menjalani rumah tangga kita tersebut dengan baik, maka hal itu akan menjadi sarana ibadah yang luar biasa bagi kita. Hal ini perlu untuk kita ingat selalu agar kita bisa menjadikan kehidupan berumah tangga kita menjadi sarana untuk kita masuk surga, baik bagi kita sebagai suami ataupun bagi istri kita.
Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah
Kita semua tentu menginginkan untuk bisa menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana yang Allah ﷻ isyaratkan dalam firman-Nya,
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Menggapai sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam sebuah rumah tangga, maka para ulama mensyaratkan agar seseorang terlebih dahulu mengetahui maqashid az-zawwaj ‘tujuan pernikahan’. Setelah mengetahui tujuan-tujuan pernikahan tersebut, lalu seseorang mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan hal tersebut, maka seorang suami maupun istri akan bisa mendapatkan sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam rumah tangganya.
Mengenali tujuan pernikahan menurut syariat ini dimaksudkan agar seseorang yang hendak atau yang telah menikah memiliki arah untuk menuju tujuan tersebut, karena segala kegiatan kita yang mengarah kepada tujuan pernikahan tersebut akan berpahala di sisi Allah ﷻ. Ada sebuah kaidah,
مَا لَا يَتِمُّ الْواجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ واجِبٌ، مَا لَا يَتِمُّ الْمُسْتَحَبُّ إِلَّا بِهِ فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ
“Suatu perkara yang wajib tidak bisa sempurna (dikerjakan) kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya wajib. Suatu perkara yang sunnah tidak bisa sempurna (dikerjakan) kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga sunnah.”
Misalnya pada perkara yang wajib, shalat Jumat adalah perkara yang wajib bagi seorang laki-laki. Kalau seorang laki-laki hanya bisa shalat Jumat di masjid, maka pergi ke masjid untuk shalat Jumat menjadi wajib bagi laki-laki tersebut. Demikian pula pada perkara yang sunnah, jika seseorang tahu memakai minyak wangi hukumnya sunnah, kemudian ia tidak bisa memakai minyak wangi kecuali dengan membeli, maka membeli minyak wangi hukumnya juga sunnah. Dari sini, kaidah di atas dibawakah kepada satu kaidah umum yaitu,
الْوَسَائِلَةُ لَهَا أَحْكَامَ الْمَقَاصِدُ
“Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan.”
Oleh karena itu, apa saja yang kita kerjakan untuk menuju kepada tujuan pernikahan, maka semuanya dianjurkan dan semuanya merupakan ibadah.
Apakah tujuan pernikahan menurut syariat dan bagaimana langkah-langkah kita untuk mencapai tujuan tersebut? Setelah dibahas panjang lebar oleh para ulama, maka tujuan pernikahan itu ada tiga:
- Untuk menjaga kehormatan diri
Pernikahan bertujuan untuk menjaga kehormatan diri seseorang, seperti agar seseorang tidak terjerumus dalam perbuatan zina dan yang lainnya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ berkata kepada para pemuda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.”([5])
Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya di antara tujuan pernikahan adalah untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, yang itu berarti menjaga kehormatan diri.
Di antara usaha yang paling utama agar seseorang bisa menjaga kehormatan dirinya adalah kedua belah pihak (suami dan istri) berusaha untuk memenuhi kebutuhan biologis pasangannya. Pembahasan ini mungkin merupakan hal yang tabu untuk sebagian kita, namun ternyata pembahasan ini dibahas serius oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Di zaman banyaknya fitnah, pembahasan ini menjadi sangat penting. Di zaman sekarang, seseorang dengan mudahnya bisa melihat wanita lain atau sebaliknya, sehingga godaan-godaan syahwat itu sangat mungkin untuk timbul. Maka, baik bagi laki-laki maupun wanita butuh untuk menyalurkan syahwatnya di tempat yang halal. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ pernah mewasiatkan agar seorang istri tidak menunda permintaan suaminya untuk berjimak. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami meminta istrinya untuk melayaninya di tempat tidur dan sang istri menolak lantas sang suami bermalam dalam keadaan marah maka malaikat akan melaknat sang istri hingga pagi hari.”([6])
Hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang istri akan mendapatkan dosa besar apabila ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, sementara tidak alasan yang syar’i baginya untuk menolak ajakan tersebut.
Saking pentingnya seorang istri untuk memenuhi ajakan suaminya, sampa-sampai dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Jika seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi hasratnya, maka hendaknya dia mendatanginya, walau dia sedang di atas at-tannur (sedang memanggang roti).”([7])
Lihatlah, Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan seorang istri meninggalkan panggangannya jika suami memintanya untuk berhubungan biologis. Para ulama menyebutkan jika sekiranya panggangannya hangus karena memenuhi hasrat suaminya, maka hal tersebut tidak masalah, karena ada maslahat lebih besar yang harus dia tunaikan yaitu memenuhi ajakan suaminya.
Demikian pula sabda Nabi Muhammad ﷺ,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَلْتُجِبْ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidur, hendaknya ia memenuhi panggilannya, bahkan meskipun sedang berada di atas pelana unta.”([8])
Ini semua menunjukkan bahwasanya pemenuhan hasrat biologis seorang dengan cara yang halal adalah perkara yang sangat serius, sampai-sampai Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa wanita yang menolak ajakan suaminya tanpa alasan yang syar’i maka ia akan dilaknat oleh malaikat.
Tentunya, pihak yang harus paling bisa bersabar untuk menjalakan hal ini adalah sang istri. Jika sekiranya Anda wahai para wanita bisa melayani suami Anda kapan saja, sehingga menjadikan suami Anda bisa menundukkan pandangan, maka tentu Anda juga mendapat pahala yang tidak sedikit. Ketika seorang suami mendapati istrinya perhatian dalam berpenampilan di hadapannya, berhias di depannya, tidak ada tercium dari dirinya bau yang tidak sedap, sehingga suami merasa nyaman dan tidak lagi mencari pelampiasan syahwat yang lain, maka hal tersebut menjadi ladang pahala yang besar bagi Anda wahai para wanita. Oleh karena itu, tidak mengapa seorang istri pergi ke salon sebagai untuk mempercantik diri di hadapan suaminya, karena dengan senantiasa berpenampilan terbaik di hadapan suami itu akan mendatangkan pahala yang besar, karena ia telah membantu suaminya untuk menundukkan pandangan. Tentunya, seorang suami juga harus bersikap demikian terhadap istrinya. Seorang suami juga harus berusaha untuk bisa menundukkan pandangan istrinya dan hasrat istrinya.
Intinya, dalam perkara ini seorang suami dan istri saling membutuhkan satu sama lain. Terlebih lagi bagi seorang laki-laki, mereka mungkin bisa menahan perihnya rasa lapar, namun untuk menahan syahwat adalah suatu hal yang sangat berat. Maka ketika seorang suami sedang berada di puncak syahwat sementara istrinya enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, tentu akan repot. Belum lagi ditambah kondisi zaman sekarang di mana banyak sebab-sebab yang sangat mudah menjadikan syahwat seorang laki-laki tergerak. Oleh karenanya, dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Apabila kamu melihat seorang wanita, datangilah istrimu, karena yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatimu (syahwat).”([9])
Kalau di zaman Nabi Muhammad ﷺ yang para wanita masih banyak menutup tubuhnya saja sudah ada peringatan seperti ini, maka bagaimana lagi dengan di zaman sekarang yang hampir-hampir tidak ada wanita keluar rumah tanpa berhias? Oleh karenanya, para istri hendaknya bisa lebih memahami hal ini.
Namun, penulis juga mengingatkan kepada para suami untuk berusaha menundukkan pandangan dari memandang wanita yang haram baginya untuk dipandang. Ketahuilah, semakin Anda sering mengumbar pandangan kepada wanita lain, maka istri Anda di mata Anda akan menjadi hambar dan tidak ada istimewanya sama sekali, meskipun istri Anda adalah orang yang cantik. Akan tetapi, ketika seorang suami selalu menundukkan pandangan, maka Allah ﷻ pasti akan menjadikan kelezatan pada pandangannya ketika melihat istrinya. Semoga kita semua termasuk orang yang bisa menundukkan pandangan.
Dari sini, sebagaimana kaidah yang telah kita sebutkan, bahwasanya segala usaha yang seorang suami atau istri lakukan untuk tujuan ini (menjaga kehormatan), maka akan berpahala di sisi Allah ﷻ. Jika seorang istri ternyata berolah raga untuk menjaga tubuhnya, dan seorang suami juga berolah raga untuk menjaga tubuhnya untuk menjaga penampilannya di hadapan istrinya, ini akan berpahala. Bahkan Ibnu ‘Abbas k pernah berkata,
إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya aku senang untuk berhias untuk istri sebagaimana aku suka ia berhias untukku, karena Allah berfirman ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’.”([10])
Oleh karena itu, hendaknya kita menghilangkan kebiasaan berhias untuk orang lain, tapi utamakan berhias untuk pasangan kita, baik bagi suami maupun bagi sang istri.
- Untuk meraih sakinah, mawaddah, dan rahmah
Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, Allah ﷻ berfirman tentang tujuan pernikahan,
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Sakinah artinya adalah ketenangan, mawaddah artinya cinta, adapun rahmah adalah kasih sayang. Seorang suami yang bahagia adalah seorang suami yang terkumpul pada dirinya tiga perkara ini, yaitu dia tenteram bersama istrinya, ia cinta kepada istrinya, dan ia sayang kepada istrinya.
Oleh karenanya, penulis sering sampaikan bahwa kebahagiaan seorang lelaki adalah ketika ia bisa berbahagia dengan istrinya. Ketika seorang suami belum bisa berbahagia dengan istrinya, kemudian ia mencari kebahagiaan di luar rumahnya dengan cara bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawannya, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang lain di luar rumahnya, sementara ia tidak betah untuk berlama-lama dengan istrinya, sesungguhnya dia bukanlah seorang yang bahagia, bahkan kebahagiaan yang ia rasakan ketika di luar rumahnya itu adalah kebahagiaan yang palsu dan semu. Hal ini dikarenakan Allah ﷻ sendiri berfirman,
﴿هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا﴾
“Dialah (Allah) Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raf: 189)
Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa kebahagiaan laki-laki sebenarnya ada pada istrinya. Maka, jika seseorang laki-laki bisa menciptakan dalam rumah tangganya rasa rindu dan betah untuk kembali kepada istrinya, maka itu pertanda bahwa ia telah bahagia. Sebaliknya, jika ketika ia berbicara sebentar saja bersama istrinya sudah mulai bosan, tidak bisa menghadirkan suasana yang menyenangkan dengan istrinya, maka kita bisa katakan bahwa ia adalah laki-laki yang menyedihkan.
Sebagaimana kaidah yang telah kita sebutkan, maka kesimpulannya adalah segala hal yang bisa mengantar seseorang kepada tujuan ini, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah, semuanya disyariatkan. Oleh karena itu wahai saudaraku pembaca, lakukanlah hal-hal yang romantis kepada pasangan kalian.
Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, beliau mencium istrinya setiap kali hendak pergi ke masjid([11]). Bukan hanya itu, Nabi Muhammad bahkan mandi bersama dengan istrinya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah i,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَاحِدٍ، فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُولَ: دَعْ لِي، دَعْ لِي. قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ
“Aku mandi bersama Rasulullah ﷺ dari satu tempayan (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah ﷺ mendahuluiku (dalam mengambil air dari tempayan) hingga aku berkata, ‘Sisakan air buatku, sisakan air buatku’.”([12])
Selain itu, di antara sunnah Nabi Muhammad ﷺ adalah berbicara dengan istri sebelum tidur. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas k,
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ، فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً، ثُمَّ رَقَدَ
“Suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, aku mendengar Rasulullah ﷺ berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur.”([13])
Di antara sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang lain adalah berkhidmah kepada istrinya, beliau senantiasa membantu kegiatan-kegiatan istrinya di rumahnya.([14]) Tidak hanya itu, Nabi Muhammad ﷺ bahkan menegakkan lututnya dan menjadikan pahanya sebagai pijakan kaki bagi istrinya Shafiyah i yang hendak naik ke untanya.([15]) Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ juga bersikap lembut dengan istri, seperti memanggilnya dengan nama yang terindah dan yang menyenangkan hati istrinya yaitu ‘Aisy([16]) dan Humaira([17]).
Di antara sikap Nabi Muhammad ﷺ yang lain adalah beliau bersabar dengan sikap istrinya. Dalam banyak hadits disebutkan bagaimana istri-istri beliau terkadang mengangkat suara di hadapan beliau, namun beliau sabar menghadapi istrinya. Beliau ﷺ tidak dengan arogan menghadapi istri-istrinya, tapi beliau bersikap yang terbaik. Oleh karenanya Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ
“Berwasiatlah untuk (berbuat baik kepada) para wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita.”([18])
Ini adalah isyarat dari Nabi Muhammad ﷺ agar para suami hendaknya memberi uzur kepada istri jika mereka melakukan kesalahan, karena yang namanya wanita memang seperti itu, tidak bisa sempurna, pasti akan ada kesalahan-kesalahan.
Jadi, banyak hal yang bisa kita lakukan agar menciptakan keharmonisan dan keromantisan dalam hubungan kita dengan pasangan kita. Kita bisa meniru segala apa yang Nabi Muhammad ﷺ contohkan kepada kita, bahkan kita bisa berkreasi dengan berbagai sikap kepada pasangan kita untuk menciptakan keharmonisan tersebut, selama hal tersebut tidak melanggar syariat. Maka, segala hal yang bisa menumbuhkan cinta kasih antara seorang suami dan istri, maka hal itu disyariatkan dan akan berpahala di sisi Allah ﷻ.
- Untuk mendapatkan keturunan yang saleh dan salihah
Di antara tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang saleh dan salihah. Hal ini sebagaimana yang telah Allah ﷻ isyaratkan dalam firman-Nya,
﴿وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38)
Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahkanlah wanita-wanita yang penyayang dan subur (banyak keturunan), karena aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya (jumlah) kalian (pada hari kiamat-red).”([19])
Sebagaimana sebelumnya, maka segala hal yang bisa membantu seseorang dalam mewujudkan anak-anak yang saleh dan salihah, maka semuanya perkara tersebut menjadi berpahala. Seorang suami yang mencari nafkah untuk menyekolahkan anak-anak ke pesantren-pesantren atau sekolah yang terbaik, maka dia akan dapat pahala. Seorang istri yang bersusah payah untuk membangunkan anaknya untuk shalat, bersusah payah membantu sang anak dalam menjaga hafalan Al-Qur’annya, maka ia pun akan dapat pahala meskipun berjam-jam waktu telah ia habiskan.
Mewujudkan anak yang saleh dan salihah adalah tujuan yang membutuhkan perjuangan yang besar antara seorang suami dan istri, terlebih lagi jika anaknya banyak. Mewujudkan anak yang saleh dan salihah membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, maka seorang suami dan istri harus saling bersinergi dan saling bersabar dalam segala upaya yang mereka lakukan dalam mewujudkan salah satu tujuan pernikahan ini, yaitu meraih anak yang saleh dan salihah.
Inilah tiga tujuan pernikahan dan upaya-upaya yang bisa kita lakukan dalam mewujudkannya, yang seharusnya tujuan-tujuan tersebut selalu ada di dalam benak kita, agar kita senantiasa termotivasi dan berusaha untuk mewujudkannya, karena kita tidak tahu selama apa kita akan berumah tangga. Jika dari awal kita tidak me-manage dari sekarang, maka dikhawatirkan kita hanya membuang-buang waktu dan menjadikan pernikahan kita tidak bernilai ibadah.
Ingatlah, setiap waktu yang kita habiskan dalam berumah tangga, selama hal itu kita niatkan ibadah, maka akan berpahala. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Dan tidaklah engkau memberi nafkah dengan mengharapkan wajah Allah kecuali engkau mendapatkan pahala, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.”([20])
Bahkan dalam kesempatan yang lain Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan seseorang di antara kalian menjimak istrinya maka hal itu merupakan sedekah”. Mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita melepaskan syahwatnya lantas ia mendapatkan pahala?’ Rasulullah berkata, ‘Bagaimana menurut kalian jika ia melepaskan syahwatnya pada tempat yang haram (zina) bukankah ia berdosa? Maka demikianlah jika ia melepaskan syahwatnya di tempat yang halal maka ia mendapatkan pahala’.”([21])
Jadi, segala urusan yang kita lakukan karena pernikahan dan keluarga kita, maka kita akan mendapatkan pahala, selama segala perkara tersebut kita niatkan sebagai ibadah. Oleh karena itu, janganlah kita meremehkan segala perkara yang kita lakukan dalam urusan keluarga kita.
Footnote:
________
([1]) HR. Ibnu Majah No. 1977, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 285.
([2]) HR. Hakim No. 2769 dan beliau mengatakan hadits ini shahih dan diikuti oleh adz-Dzahabi yang mengatakan hadits ini shahih.
([4]) HR. Abu Daud No. 2050, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([6]) HR. Bukhari No. 3065 dan HR. Muslim No. 1436.
([7]) HR. At-Tirmidzi No. 1160, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykah al-Mashabih No. 3257.
([8]) HR. Al-Bazzar No. 4317, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah No. 1203.
([10]) Atsar riwayat Ath-Thabari dalam tafsirnya (2/453), Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (7/295) No. 14505, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (6/196) No. 19263.
([11]) Lihat: Sunan Abu Daud No. 179, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([14]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 676.
([15]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 2893.
([16]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 3768
([17]) Lihat: Sunan al-Kubra Li an-Nasai No. 8902.
([19]) HR. Abu Daud No. 2050, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.