Canda dan Tawa Nabi Muhammad ﷺ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pembahasan kita pada kesempatan kali ini adalah tentang canda dan tawa Nabi Muhammad ﷺ. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya membuat bab at-Tabassum wa adh-Dhahhik (senyum dan tawa) dalam Kitab al-Adab.([1]) Imam al-Bukhari dalam bab tersebut menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ tertawa dan juga senyum.
Pembahasan ini kita angkat dalam rangka menjelaskan bahwasanya Islam, Nabi Muhammad ﷺ, dan para sahabat beliau tidak seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang. Sebagian orang menyangka bahwa Islam itu kaku, keras, dan bahkan kasar. Tentunya tidak demikian, karena dalam praktiknya Nabi Muhammad bukanlah orang yang keras, bukan orang yang ditakuti oleh istri dan kawan-kawannya, bahkan beliau serta para sahabat-sahabatnya adalah orang yang ramah, murah senyum, dan mudah untuk bergaul.
Bagi penulis, topik ini diangkat untuk menjelaskan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang sangat ramah dan selalu tersenyum. Oleh karenanya, salah seorang sahabat pernah berkata,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ تَبَسُّمًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling banyak tersenyum seperti Nabi Muhammad ﷺ.”([2])
Dalam riwayat yang lain, Aisyah i juga berkata,
كَانَ رَجُلًا مِنْ رِجَالِكُمْ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ ضَحَّاكًا بَسَّامًا
“Rasulullah adalah seorang lelaki seperti seorang laki-laki yang lain di antara kalian, akan tetapi beliau senang tertawa dan selalu tersenyum.”([3])
Sebelum kita menyebutkan hadits-hadits tentang bagaimana canda dan tawa Nabi Muhammad ﷺ, maka ada beberapa adab yang harus kita ketahui tentang permasalahan canda dan tawa. Di antara adab-adab tersebut antara lain:
- Seseorang tidak boleh bercanda dengan kedustaan
Ada ancaman khusus dari Nabi Muhammad ﷺ bagi orang yang beranda dengan dusta. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah ia, celakalah ia.”([4])
Kecelakaan bagi orang yang bercanda, lalu dalam bercandanya tersebut disertai dengan cerita dusta yang tidak benar adanya agar seseorang tertawa.
Berdusta yang di dalamnya terdapat canda ini dilarang dalam Islam. Oleh karenanya, Rasulullah ﷺ memuji seseorang yang meninggalkan dusta meski dalam kondisi bercanda. Dalam sebuah sabdanya beliau ﷺ bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ في وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ في أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku memberikan jaminan istana di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan istana di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun ia sedang bercanda. Aku memberikan jaminan istana di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.”([5])
Ini merupakan jaminan dari Nabi Muhammad ﷺ bagi orang yang meninggalkan kedustaan meskipun dalam hal candaan.
Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, dalam sebagian candaan beliau, beliau tetap jujur dan tidak berdusta. Oleh karenanya, dalam sebagian riwayat disebutkan ketika para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Beliau bersabda, “(Benar), tapi aku tidak berkata kecuali kebenaran (tidak ada dusta -red).”([6])
Hal ini menunjukkan bahwasanya candaan tidak boleh dihiasi dengan kedustaan.
Sebagai contoh, disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ada seorang wanita tua yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan minta didoakan untuk masuk surga. Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
ياَ أُمَّ فُلاَن! إِنَّ الجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوْزٌ
“Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.”
Maka wanita tua tersebut pun kemudian pergi sambil menangis. Maka Nabi Muhammad ﷺ kepada sahabat yang ada,
أَخْبِرُوْهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوْزٌ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْل: إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً، فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا، عُرُبًا أَتْرَابًا
“Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin ia masuki sedangkan ia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya’ (QS. Al-Waqi’ah: 35-37).”([7])
Di sini, Nabi Muhammad ﷺ jujur, namun beliau mengungkapkannya dalam bentuk candaan.
Selain kisah tersebut, dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwasanya ada seseorang yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ meminta untuk diberi tunggangan, yang kemungkinan akan dipakainya untuk berjihad. Anas bin Malik h meriwayatkan,
أَنَّ رَجُلًا اسْتَحْمَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ النَّاقَةِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ؟
“Ada seorang laki-laki meminta tunggangan kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau pun bersabda, ‘Aku akan memberimu tunggangan anak unta’. Kemudian laki-laki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dapat saya lakukan dengan anak unta?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bukankah semua unta (baik anak unta atau dewasa) itu terlahir dari seekor unta betina?’.”([8])
Di sini, maksud Nabi Muhammad ﷺ adalah ingin mencandai laki-laki tersebut bahwasanya setiap unta baik yang tua maupun yang muda, semuanya tetap menjadi anak unta, karena ia adalah unta yang dilahirkan oleh ibunya. Demikian canda Nabi Muhammad ﷺ, namun dalam candaan beliau tersebut tidak ada kedustaan.
Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai seorang muslim tidak berdusta, bahkan dalam candaan pun hendaknya kita meninggalkan kedustaan. Ini merupakan adab dan kaidah pertama yang paling penting untuk seseorang ketahui, agar jangan sampai kita terjerumus dalam dusta meskipun sedang bercanda, bahwasanya canda diperbolehkan selama tidak mengandung kedustaan.
- Tidak berlebih-lebihan dalam bercanda
Secara umum, semua perkara yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ sering bercanda, tertawa, dan tersenyum, namun tidak berlebih-lebihan.
Perlu untuk kita ketahui terlebih dahulu perbedaan antara tabassum, dhahhak, dan qahqahah. Tabassum adalah tersenyum yang sampai memperlihatkan gigi seri atau gigi taring seseorang, namun tidak ada suara. Dhahhak artinya tertawa dengan suara yang pelan, dan hanya didengar orang terdekatnya. Adapun qahqahah adalah tertawa terbahak-bahak yang orang jauh pun dengar suara tawanya.([9])
Di antara ketiga jenis ini, yang tidak pernah Nabi Muhammad ﷺ lakukan adalah qahqahah (tertawa terbahak-bahak). Paling maksimal Nabi Muhammad ﷺ tertawa kecil yang hanya terlihat gigi geraham beliau, yang menunjukkan bahwasanya beliau tidak tertawa terbahak-bahak.
Selain itu, seseorang juga dilarang dalam hidupnya selalu tertawa dan tertawa, karena Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah kalian banyak tertawa, sesungguhnya banyak tertawa itu mematikan hati.”([10])
Seseorang dalam kehidupannya tidak boleh semuanya dihiasi dengan tawa. Kita boleh menghiasi keseriusan hidup kita dengan tawa sesekali, namun jangan terlalu berlebihan karena hal tersebut dapat mematikan hati. Apabila hati sudah mati, maka seseorang akan sulit untuk menangis tatkala membaca ayat-ayat Al-Qur’an, sulit bagi hatinya untuk tersentuh ketika mendengar nasihat-nasihat.
Para sahabat j juga tertawa. Diriwayatkan dari Simak bin Harb, ia berkata,
قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ: أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ كَثِيرًا، كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتْ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ، فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, ‘Pernahkah kamu duduk bersama Rasulullah ﷺ?’ Jawab Jabir, ‘Bahkan sering. Beliau biasanya belum berdiri dari tempat shalat (di mana beliau shalat) Subuh, sebelum terbit matahari. Apabila matahari telah terbit barulah beliau berdiri. Selama duduk-duduk itu, para sahabat ada yang bercakap-cakap membicarakan masa jahiliah mereka, lalu mereka tertawa, sedangkan beliau ﷺ hanya tersenyum.”([11])
Dalam Syarh as-Sunnah Li al-Baghwi diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata,
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ، هَلْ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْحَكُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَالإِيمَانُ فِي قُلُوبِهِمْ أَعْظَمُ مِنَ الْجَبَلِ
“Ditanyakan kepada Ibnu Umar k, ‘Apakah para sahabat Rasulullah ﷺ dahulu tertawa?’ Ibnu Umar menjawab, ‘Iya, mereka tertawa, dan iman di dalam hati-hati mereka lebih besar daripada gunung’.”([12])
Artinya, seorang yang tertawa bukan berarti tidak ada iman di dalam hatinya, dan bahkan bukan berarti bukti bahwa imannya lemah. Lihatlah para sahabat, mereka juga tertawa, namun di malam hari mereka menangis dalam shalat-shalat mereka.
Di antara hal yang menakjubkan adalah Allah ﷻ, dalam hadits-hadits yang shahih diriwayatkan juga tertawa. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah h, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
يَضْحَكُ اللهُ إِلَى رَجُلَيْنِ، يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ كِلَاهُمَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، فَقَالُوا: كَيْفَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ، فَيُسْلِمُ، فَيُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ
“Allah tertawa terhadap dua orang yang salah satunya membunuh yang lain, namun kedua-duanya masuk surga.” Maka para sahabat bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Salah seorang darinya berperang di jalan Allah ‘azza wajalla lalu dia mati syahid, kemudian Allah menerima tobat si pembunuh, lalu ia masuk Islam dan berperang di jalan Allah ‘azza wajalla hingga mati syahid.”([13])
Yang semisal kisah di dalam hadits ini banyak terjadi di zaman Nabi Muhammad ﷺ. Tatkala perang Uhud, Nabi Muhammad ﷺ sampai berkata,
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ، وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
“Bagaimana mungkin suatu kaum akan beruntung, sedangkan mereka melukai nabinya dan mematahkan gigi gerahamnya. Padahal Nabi mereka mengajak mereka kepada Allah”. Maka Allah U menurunkan ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka apakah Allah menerima tobat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim’ (QS. Ali-‘Imran: 128).”([14])
Ternyata benar saja, banyak orang-orang yang ikut perang Uhud untuk menyerang kaum muslim, malah ternyata mereka masuk Islam, dan banyak dari mereka mati syahid setelah itu.
Dalam riwayat yang lain, Abu Razin h bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوَ يَضْحَكُ الرَّبُّ، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: لَنْ نَعْدَمَ مِنْ رَبٍّ يَضْحَكُ خَيْرًا
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb tertawa?” Beliau menjawab, “Ya benar”. Maka aku berkata, “Selamanya kita akan mendapat kebaikan dari Rabb kita tertawa.”([15])
Artinya, kalau Rabb kita marah terus maka tentu kita semua akan binasa. Namun, kenyataannya Rabb kita juga bisa marah dan bisa tertawa, bisa ridha dan bisa murka. Maka jika Rabb kita masih tertawa, masih ridha, maka kita tidak akan kehilangan kebaikan dari-Nya.
Di antara dalil lain yang menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ tertawa adalah hadits panjang yang disebutkan oleh Imam Muslim, dari Ibnu Mas’ud h, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
آخِرُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ، فَهْوَ يَمْشِي مَرَّةً، وَيَكْبُو مَرَّةً، وَتَسْفَعُهُ النَّارُ مَرَّةً، فَإِذَا مَا جَاوَزَهَا الْتَفَتَ إِلَيْهَا، فَقَالَ: تَبَارَكَ الَّذِي نَجَّانِي مِنْكِ، لَقَدْ أَعْطَانِي اللهُ شَيْئًا مَا أَعْطَاهُ أَحَدًا مِنَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ
“Orang yang terakhir kali masuk surga adalah seorang laki-laki, terkadang ia (keluar dari neraka dengan -red) berjalan, dan terkadang dengan tersungkur, dan terkadang api neraka masih mengenainya. Ketika dia telah melewatinya, maka dia menoleh kepada ke api tersebut seraya berkata, ‘Maha Suci Allah yang telah menyelamatkanku darimu. Allah telah memberikan sesuatu kepadaku yang mana Dia tidak pernah memberikannya kepada orang yang awal dan akhir’.”
Subhanallah, ungkapan orang tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya neraka itu adalah siksaan yang luar biasa, sampai-sampai orang yang disebutkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sangat bersyukur kepada Allah ﷻ, sampai-sampai ia mengatakan bahwa kenikmatan yang ia rasakan adalah kenikmatan yang tidak pernah Allah ﷻ berikan kepada orang lain mana pun.
Kemudian, Nabi Muhammad ﷺ melanjutkan sabdanya,
فَتُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ، أَدْنِنِي مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ فَلِأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا، وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا ابْنَ آدَمَ، لَعَلِّي إِنَّ أَعْطَيْتُكَهَا سَأَلْتَنِي غَيْرَهَا، فَيَقُولُ: لَا، يَا رَبِّ، وَيُعَاهِدُهُ أَنْ لَا يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا، وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لِأَنَّهُ يَرَى مَا لَا صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ، فَيُدْنِيهِ مِنْهَا، فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا، وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا
“Lalu sebuah pohon ditampakkan padanya, lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah kepadaku pohon ini agar aku dapat bernaung dengan naungannya dan minum darinya.’ Lalu Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, boleh jadi jika Aku memberikannya kepadamu, niscaya kamu akan meminta yang lain kepada-Ku.’ Maka dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Lalu dia berjanji kepada Allah untuk tidak minta selain itu. Sedangkan Rabbnya memberikan uzur kepadanya karena Dia melihat sesuatu yang dia pasti tidak dapat menahan (kenikmatan pohon tersebut). Lalu pohon tersebut didekatkan kepadanya, lalu dia berlindung pada naungannya dan minum dari airnya.”
ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ هِيَ أَحْسَنُ مِنَ الْأُولَى، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ، أَدْنِنِي مِنْ هَذِهِ لِأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا، وَأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا، لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا، فَيَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ، أَلَمْ تُعَاهِدْنِي أَنْ لَا تَسْأَلَنِي غَيْرَهَا، فَيَقُولُ: لَعَلِّي إِنْ أَدْنَيْتُكَ مِنْهَا تَسْأَلُنِي غَيْرَهَا، فَيُعَاهِدُهُ أَنْ لَا يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا، وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لِأَنَّهُ يَرَى مَا لَا صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ، فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا، وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا
“Kemudian diangkatlah sebuah pohon lain yang lebih bagus daripada yang pertama. Maka dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah pohon ini kepadaku agar aku dapat minum dari airnya dan berlindung dengan naungannya, aku tidak akan meminta kepada-Mu selainnya’. Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, bukankah kamu telah berjanji kepada-Ku untuk tidak meminta selainnya’. Lalu Allah berkata lagi, ‘Boleh jadi jika Aku mendekatkannya kepadamu niscaya kamu meminta hal lainnya’. Lalu dia berjanji untuk tidak meminta kepada Allah selain itu. Sedangkan Rabbnya memberikan uzur kepadanya karena Dia melihat sesuatu yang mana dia tidak akan mampu menahan diri atasnya. Lalu Allah mendekatkan pohon tersebut untuknya, sehingga dia dapat berlindung dengan naungannya, dan minum dari airnya.”
ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ هِيَ أَحْسَنُ مِنَ الْأُولَيَيْنِ، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ، أَدْنِنِي مِنْ هَذِهِ لِأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا، وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا، لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا، فَيَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ، أَلَمْ تُعَاهِدْنِي أَنْ لَا تَسْأَلَنِي غَيْرَهَا، قَالَ: بَلَى يَا رَبِّ، هَذِهِ لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا، وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لِأَنَّهُ يَرَى مَا لَا صَبْرَ لَهُ عَلَيْهَا، فَيُدْنِيهِ مِنْهَا
“Kemudian pohon lainnya diangkat untuknya di sisi pintu surga. Pohon itu lebih indah daripada keduanya. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah kepadaku pohon ini agar aku dapat berlindung dengan naungannya dan minum dari airnya, aku tidak akan meminta kepadamu hal lainnya’. Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, bukankah kamu berjanji kepada-Ku untuk tidak memintaku selainnya’. Dia menjawab, ‘Ya, memang benar wahai Rabbku. Kali ini aku tidak akan memintanya kepadamu selainnya’. Sedangkan Rabbnya memberikan uzur kepadanya karena dia melihat pada dirinya sesuatu yang mana dia tidak bisa menahan diri darinya. Lalu Allah mendekatkannya darinya.”
فَإِذَا أَدْنَاهُ مِنْهَا فَيَسْمَعُ أَصْوَاتَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ، أَدْخِلْنِيهَا، فَيَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِي مِنْكَ؟ أَيُرْضِيكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا؟ قَالَ: يَا رَبِّ، أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّي وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟
“Ketika Allah mendekatkannya darinya, maka dia mendengar suara penduduk surga. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, masukkanlah aku kepadanya’. Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, apa yang bisa membuatmu tidak meminta lagi kepada-Ku? Apakah kamu rela bila Aku memberikanmu dunia dan semisalnya bersamanya?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rabbku, apakah kamu memperolok-olokku, padahal Engkau adalah Rabb alam semesta’.”
Jadi, orang tersebut tidak membayangkan Allah ﷻ akan memberikannya dunia dan yang semisalnya (dua kali dunia), sehingga ia ragu dan bertanya bahwa apakah Allah ﷻ sedang mengejeknya?
فَضَحِكَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَقَالَ: أَلَا تَسْأَلُونِي مِمَّ أَضْحَكُ فَقَالُوا: مِمَّ تَضْحَكُ، قَالَ: هَكَذَا ضَحِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: مِمَّ تَضْحَكُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: ” مِنْ ضَحِكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ قَالَ: أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّي وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ فَيَقُولُ: إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ، وَلَكِنِّي عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ
“Lalu Ibnu Mas’ud tertawa, seraya berkata, ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu yang membuatku tertawa?’ Mereka bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa?’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Demikianlah Rasulullah ﷺ tertawa. Para sahabat bertanya: Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: (Aku tertawa) karena sesuatu yang membuat tertawa Rabb alam semesta, yaitu ketika hamba tersebut berkata: Apakah Engkau memperolok-olokku, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam? Allah menjawab: Sesungguhnya Aku tidak memperolok-olokmu, akan tetapi Aku mampu untuk melakukan segala sesuatu’.”([16])
Hadits yang panjang ini menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ tertawa, Nabi Muhammad ﷺ tertawa, dan bahkan Ibnu Mas’ud h pun tertawa.
Para nabi yang lain juga tertawa. Dalam Al-Qur’an Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya Nabi Sulaiman juga tertawa. Allah ﷻ berfirman,
﴿حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَاأَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ، فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ﴾
“Hingga apabila mereka (Sulaiman dan pasukannya) sampai di lembah semut berkatalah seekor semut, ‘Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari’. Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh’.” (QS. An-Naml: 18-19)
Ini menunjukkan bahwa para nabi pun tertawa ketika melihat sesuatu yang mereka anggap lucu.
Jadi, asal dari tawa dan canda adalah boleh selama tidak berlebih-lebihan, karena sesungguhnya tawa dan tangisan itu dari Allah ﷻ, sebagaimana firman-Nya,
﴿وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ﴾
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)
Selama tertawa itu adalah perkara yang baik dan sebabnya pun juga baik, maka tidak mengapa.
Dalil-dalil yang menunjukkan Nabi Muhammad ﷺ tertawa
Selain dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas, selanjutnya kita juga akan menyebutkan secara spesifik dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ tersenyum dan tertawa, baik dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan yang lainnya. Namun, perlu untuk kita ingatkan bahwasanya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut sangatlah banyak, sehingga kita tentu tidak bisa membahasnya secara lengkap pada kesempatan ini.
Nabi Muhammad ﷺ tertawa
Di antara dalil yang menunjukkan Nabi Muhammad ﷺ tertawa adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dari Muhammad bin Sa’ad, dari ayahnya, ia berkata,
اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعِنْدَهُ نِسْوَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَسْأَلْنَهُ وَيَسْتَكْثِرْنَهُ، عَالِيَةً أَصْوَاتُهُنَّ عَلَى صَوْتِهِ، فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ تَبَادَرْنَ الحِجَابَ، فَأَذِنَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْحَكُ، فَقَالَ: أَضْحَكَ اللَّهُ سِنَّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي؟ فَقَالَ: عَجِبْتُ مِنْ هَؤُلاَءِ اللَّاتِي كُنَّ عِنْدِي، لَمَّا سَمِعْنَ صَوْتَكَ تَبَادَرْنَ الحِجَابَ، فَقَالَ: أَنْتَ أَحَقُّ أَنْ يَهَبْنَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِنَّ، فَقَالَ: يَا عَدُوَّاتِ أَنْفُسِهِنَّ، أَتَهَبْنَنِي وَلَمْ تَهَبْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقُلْنَ: إِنَّكَ أَفَظُّ وَأَغْلَظُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيهٍ يَا ابْنَ الخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Umar bin Khatthab h pernah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ, (saat itu) di dekat beliau ada beberapa wanita Quraisy (istri-istri Nabi ﷺ) yang sedang meminta banyak permintaan kepada beliau dengan suara yang lebih keras daripada suara beliau ﷺ. Ketika Umar meminta izin kepada beliau, mereka segera berhijab (bersembunyi untuk menghijab diri mereka), lalu Nabi ﷺ mempersilahkan Umar untuk masuk. Ketika Umar masuk Rasulullah ﷺ tertawa sehingga Umar berkata, ‘Semoga Allah menjadikan Anda senantiasa tertawa (bahagia) Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Aku heran dengan mereka yang ada di sisiku (istri-istri beliau), ketika mendengar suaramu mereka segera sembunyi untuk berhijab’. Umar berkata, ‘Anda adalah orang yang lebih patut untuk disegani wahai Rasulullah!’ Kemudian Umar menghadapkan ke arah wanita-wanita tersebut dan berkata, ‘Wahai para wanita yang menjadi musuh bagi hawa nafsunya sendiri, apakah kalian segan denganku sementara kalian tidak segan kepada Rasulullah ﷺ?’ Kami pun menjawab, ‘Karena kamu adalah orang yang lebih keras dan lebih kaku dari Rasulullah ﷺ’. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Benar wahai Ibnul Khatthab, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah syaithan bertemu dengan engkau di satu jalan yang kamu lewati melainkan syaithan akan melewati jalan yang lain’.”([17])
Di sini, Nabi Muhammad ﷺ tertawa karena melihat sikap-sikap para istri-istri beliau terhadap Umar bin Khattab h. Selain itu, hadits ini juga menjadi dalil tentang keutamaan Umar bin Khattab h, karena Nabi Muhammad ﷺ sampai bersumpah tentang keutamaannya. Maka sungguh celaka orang-orang Syiah rafidhah yang memandang bahwa Umar bin Khattab h adalah Firaunnya umat ini.
Dalam riwayat Imam al-Bukhari pula, dari Abu Hurairah h, ia berkata,
أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً، قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا، قَالَ: لاَ أَجِدُ، فَأُتِيَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ – قَالَ إِبْرَاهِيمُ: العَرَقُ المِكْتَلُ – فَقَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ تَصَدَّقْ بِهَا! قَالَ: عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي، وَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، قَالَ: فَأَنْتُمْ إِذًا
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ sambil berkata, ‘Celaka aku, aku telah menyetubuhi istriku di siang hari bulan Ramadan’. Beliau lalu bersabda, ‘Merdekakanlah seorang budak’. Laki-laki itu berkata, ‘Aku tidak punya budak yang bisa dimerdekakakan’. Beliau bersabda, ‘Kalau begitu berpuasalah dua bulan berturut-turut’. Ia berkata, ‘Aku tidak sanggup’. Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, berilah makan enam puluh orang miskin’. Ia berkata, ‘Aku tidak mampu’. Kemudian didatangkan untuk Nabi ﷺ sekeranjang besar di dalamnya terdapat kurma. Beliau lalu bersabda, Di manakah laki-laki yang bertanya tadi? Pergi dan bersedekahlah dengan ini’. Ia menjawab, ‘Kepada orang yang lebih fakir dariku? Demi Allah, antara dua lembah ini tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada kami’. Lalu Nabi ﷺ tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya, beliau lalu bersabda, ‘Kalau begitu, berilah makan kepada keluargamu’.”([18])
Nabi Muhammmad r tertawa melihat kondisi orang tersebut. Kita pun melihat bahwa orang tersebut menakjubkan, karena ia telah melakukan dosa namun ternyata malah mendapatkan manfaat dari dosanya. Tentunya, ini bukan dalil bagi kita untuk melakukan seperti orang tersebut.
Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Shahihnya. Dari Abu Dzar h, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، وَآخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا، رَجُلٌ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُقَالُ: اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا، فَتُعْرَضُ عَلَيْهِ صِغَارُ ذُنُوبِهِ، فَيُقَالُ: عَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، وَعَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ، لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَ وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ كِبَارِ ذُنُوبِهِ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْهِ، فَيُقَالُ لَهُ: فَإِنَّ لَكَ مَكَانَ كُلِّ سَيِّئَةٍ حَسَنَةً، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ عَمِلْتُ أَشْيَاءَ لَا أَرَاهَا هَا هُنَا ” فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ
“Sesungguhnya aku mengetahui penduduk surga yang terakhir kali masuk dan penduduk neraka yang terakhir keluar darinya, yaitu seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat (ke hadapan Rabb), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan dosa-dosa besarnya angkat (disimpan terlebih dahulu)’. Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada hari ini?’. Lalu dia menjawab, ‘Ya’. Dia tidak bisa mengingkari, dan dia khawatir dosa-dosa besarnya ditampakkan padanya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya setiap dosa yang kau lakukan menempati timbangan kebaikanmu’. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah melakukan banyak kemaksiatan (dosa besar) yang aku tidak melihatnya di sini’. Sungguh aku melihat Rasulullah ﷺ tertawa hingga tampak gigi geraham beliau.”([19])
Nabi Muhammad ﷺ tertawa dengan orang tersebut, yang tadinya ia sangat khawatir dosa-dosa besarnya ditampakkan padanya, namun ketika dikatakan bahwa dosa-dosanya diubah menjadi kebaikan, maka dia pun menanyakan dosa-dosa besarnya tersebut yang tidak ia jumpai telah diubah menjadi kebaikan.
Dalam riwayat Imam al-Bukhari, disebutkan juga bahwa Nabi Muhammad ﷺ tertawa. Dari Abu Hurairah h, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَوْمًا يُحَدِّثُ وَعِنْدَهُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ البَادِيَةِ: أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ اسْتَأْذَنَ رَبَّهُ فِي الزَّرْعِ، فَقَالَ لَهُ: أَوَلَسْتَ فِيمَا شِئْتَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَزْرَعَ، فَأَسْرَعَ وَبَذَرَ، فَتَبَادَرَ الطَّرْفَ نَبَاتُهُ وَاسْتِوَاؤُهُ وَاسْتِحْصَادُهُ وَتَكْوِيرُهُ أَمْثَالَ الجِبَالِ، فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: دُونَكَ يَا ابْنَ آدَمَ، فَإِنَّهُ لاَ يُشْبِعُكَ شَيْءٌ “، فَقَالَ الأَعْرَابِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لاَ تَجِدُ هَذَا إِلَّا قُرَشِيًّا أَوْ أَنْصَارِيًّا، فَإِنَّهُمْ أَصْحَابُ زَرْعٍ، فَأَمَّا نَحْنُ فَلَسْنَا بِأَصْحَابِ زَرْعٍ، فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ
“Suatu hari Nabi ﷺ menyampaikan hadits sedang di sisinya ada seorang arab badui, “Ada seorang penduduk surga meminta ijin Tuhannya untuk menanam. Allah berkata ‘Bukankah segala permintaanmu dikabulkan?’ Orang tersebut menjawab, ‘Tentu, namun aku ingin menanam!’ Orang itu kemudian bergegas menabur benih. Tak lama kemudian tunas benih itu pun tumbuh dengan cepatnya (melebihi cepatnya kedipan mata, pent). Juga masa panennya. Sehingga ia dapat mendapatkan panenan sebesar gunung. Allah berfirman kepadanya, ‘Silakan ambil wahai anak Adam. Kamu ini memang tak pernah puas’. Orang arab badui tadi berkata, ‘Ya Rasulullah, kalau demikian, tidak akan Anda temui orang seperti itu kecuali orang Quraisy atau kaum Anshar, sebab merekalah yang berkebun. Adapun kami tidak berkebun’. Rasulullah pun tertawa.”([20])
Hadits yang lain dalam Sunan Abu Daud, dari Aisyah i, ia berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ، أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَنَاتِي، وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ؟ قَالَتْ: فَرَسٌ، قَالَ: «وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟» قَالَتْ: جَنَاحَانِ، قَالَ: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ
“Suatu hari Rasulullah ﷺ tiba dari perang Tabuk atau Khaibar, sementara kamar Aisyah ditutup dengan satir. Ketika ada angin yang bertiup, satir itu tersingkap hingga boneka Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, ‘Wahai Aisyah, ini apa?’ Aisyah menjawab, ‘Anak-anakku’. Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, ‘Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka Kuda’. Beliau bertanya lagi, ‘Lalu apa yang ada di bagian atasnya?’ Aisyah menjawab, ‘Dua sayap’. Beliau bertanya lagi, ‘Kuda mempunyai dua sayap?’ Aisyah menjawab, ‘Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?’ Maka Beliau pun tertawa hingga aku dapat melihat giginya.”([21])
Selain dalil ini menjadi dalil bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ tertawa, hadits ini juga menjadi dalil bahwa hukum asal anak-anak boleh bermain-main bermain boneka atau patung-patung yang menyerupai makhluk hidup, karena Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak mengingkari mainan Aisyah i.
Hadits yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang hasan, dari Aisyah i, ia berkata,
أَتَتْ سَلْمَى مَوْلَاةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ امْرَأَةُ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْتَأْذِنُهُ عَلَى أَبِي رَافِعٍ قَدْ ضَرَبَهَا. قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي رَافِعٍ: مَا لَكَ وَلَهَا يَا أَبَا رَافِعٍ؟ قَالَ: تُؤْذِينِي يَا رَسُولَ اللهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِمَ آذَيْتِيهِ يَا سَلْمَى؟ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا آذَيْتُهُ بِشَيْءٍ، وَلَكِنَّهُ أَحْدَثَ وَهُوَ يُصَلِّي، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا خَرَجَ مِنْ أَحَدِهِمُ الرِّيحُ أَنْ يَتَوَضَّأَ، فَقَامَ فَضَرَبَنِي، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْحَكُ وَيَقُولُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّهَا لَمْ تَأْمُرْكَ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Salma, bekas budak Rasulullah ﷺ atau istri Abu Rafi’ datang menemui Rasulullah ﷺ meminta izin untuk mengadukan perihal Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah ﷺ bertanya kepada Abu Rafi’, ‘Ada apa engkau dengannya wahai Abu Rafi’?’ Ia menjawab, ‘Ia telah menggangguku wahai Rasulullah’. Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Dengan apa engkau mengganggunya wahai Salma?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! aku tidak mengganggunya sedikit pun, hanya saja ia pernah kentut ketika shalat, lalu aku berkata kepadanya: Wahai Abu Rofi’, sesungguhnya Rasulullah ﷺ memerintahkan kaum muslimin jika di antara mereka ada yang kentut maka hendaknya ia berwudu. Lalu ia berdiri dan memukulku’. Beliau pun tertawa dan bersabda, ‘Wahai Abu Rafi’, sesungguhnya ia tidak menyuruhmu kecuali untuk kebaikan’.”([22])
Dalam riwayat yang lain, dari Aisyah i, ia berkata,
جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَرَى فِي وَجْهِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُولِ سَالِمٍ وَهُوَ حَلِيفُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرْضِعِيهِ، قَالَتْ: وَكَيْفَ أُرْضِعُهُ؟ وَهُوَ رَجُلٌ كَبِيرٌ، فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيرٌ، زَادَ عَمْرٌو فِي حَدِيثِهِ: وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي عُمَرَ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sahlah binti Suhail datang menemui Nabi ﷺ, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat di wajah Abu Hudzaifah cemberut karena keluar masuknya Salim([23]) ke rumah, padahal dia adalah pelayannya’. Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘Susui dia’. Ia (Sahlah) berkata, ‘Bagaimana mungkin saya menyusuinya, padahal dia telah dewasa?’ Maka Rasulullah ﷺ tersenyum sambil bersabda, ‘Sungguh saya telah mengetahuinya kalau dia telah dewasa’. Dalam haditsnya, ‘Amr (perawi) menambahkan ‘Bahwa dia telah ikut serta dalam perang Badr’. Dan dalam riwayatnya Ibnu Abi Umar, ‘Lantas Rasulullah ﷺ tertawa’.”([24])
Nabi Muhammad ﷺ tersenyum
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang senyum Nabi Muhammad ﷺ disebutkan dalam banyak riwayat pula. Di antaranya seperti yang dialami oleh Abu Hurairah h dalam sebuah hadits yang cukup panjang, ia berkata,
أَللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ، إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الأَرْضِ مِنَ الجُوعِ، وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنَ الجُوعِ، وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمُ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ، فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ، مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي، فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ، ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ، مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي، فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ
“Demi Allah, yang tidak ada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, aku benar-benar pernah menyandarkan hatiku di atas tanah (terbaring) karena kelaparan. Aku juga pernah mengikat perutku dengan batu karena kelaparan.([25]) Suatu hari aku pun kelaparan, dan aku pun duduk di suatu jalan yang para sahabat biasa lewat di situ. Maka lewatlah Abu Bakar, lalu aku bertanya kepadanya tentang satu ayat dari Al-Qur’an. Tidaklah saya bertanya kecuali agar ia menjamuku, namun ia tidak melakukannya dan hanya lewat saja. Setelah itu lewatlah Umar, kemudian aku bertanya kepadanya tentang suatu ayat dari Al-Qur’an, dan tidaklah aku bertanya kepadanya kecuali hanya agar ia menjamuku, namun ia tidak melakukannya dan hanya lewat saja.”
ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي، وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الحَقْ، وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ، فَدَخَلَ، فَاسْتَأْذَنَ، فَأَذِنَ لِي، فَدَخَلَ، فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ، فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ؟ قَالُوا: أَهْدَاهُ لَكَ فُلاَنٌ أَوْ فُلاَنَةُ، قَالَ: أَبَا هِرٍّ، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي، قَالَ: وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الإِسْلاَمِ، لاَ يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلاَ مَالٍ وَلاَ عَلَى أَحَدٍ، إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا، وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا
“Setelah itu lewatlah Abul Qasim ﷺ, ketika melihatku beliau tersenyum dan mengetahui apa yang tergambar dari wajah dan hatiku, beliau lalu bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Ikutlah!’ Lalu aku mengikuti beliau, beliau pun masuk, lalu aku minta izin untuk masuk dan beliau mengizinkanku, maka aku pun masuk dan mendapati susu di dalam cangkir, beliau bertanya (kepada istrinya), ‘Dari mana kalian mendapatkan susu ini?’ Dijawab kepada beliau, ‘Fulan atau fulanah menghadiahkannya kepada Anda’. Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Temuilah ahli suffah (para sahabat yang tinggal di pelataran masjid) dan ajaklah mereka kemari!’ (Abu Hurairah berakta) Ahli Suffah adalah para tamu kaum muslimin, mereka tidak tinggal bersama keluarga dan tidak memiliki harta, jika Nabi mendapatkan hasil dari sedekah, maka beliau tidak akan memakannya dan akan mengirimnya kepada ahli suffah, dan apabila beliau diberi hadiah, maka mereka akan mendapatkan bagian dan kadang beliau mengirim sebagiannya untuk mereka.”
فَسَاءَنِي ذَلِكَ، فَقُلْتُ: وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ، كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا، فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي، فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ، وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ، فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا، فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ، وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنَ البَيْتِ، قَالَ: يَا أَبَا هِرٍّ، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: خُذْ فَأَعْطِهِمْ، قَالَ: فَأَخَذْتُ القَدَحَ، فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى، ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ القَدَحَ، فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى، ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ القَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى، ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ القَدَحَ، حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ القَوْمُ كُلُّهُمْ، فَأَخَذَ القَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ، فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ، فَقَالَ: أَبَا هِرٍّ، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ، قُلْتُ: صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: اقْعُدْ فَاشْرَبْ، فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ، فَقَالَ: اشْرَبْ، فَشَرِبْتُ، فَمَا زَالَ يَقُولُ: اشْرَبْ، حَتَّى قُلْتُ: لاَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ، مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا، قَالَ: فَأَرِنِي، فَأَعْطَيْتُهُ القَدَحَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الفَضْلَةَ
Lalu aku berkata; Hal itu membuatku sedih, lalu aku berkata (dalam hati), ‘Apa perlunya ahli suffah dengan susu tersebut, karena akulah yang berhak daripada mereka, aku berharap dapat minum seteguk susu agar sekadar bisa bertahan dari sisa waktuku, apabila ada kaum yang datang maka akulah yang menyuguhi mereka. Namun bagaimana pun saya tidak bisa untuk tidak taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya ﷺ. Maka aku pun pergi dan mengundang mereka, mereka akhirnya datang dan meminta izin, beliau kemudian mengizinkan, sehingga mereka pun mengambil posisi tempat duduk mereka masing-masing, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Ambil dan berikanlah kepada mereka’. Aku pun mengambil cangkir tersebut dan memberikannya kepada seorang laki-laki, maka laki-laki itu minum hingga kenyang, setelah itu ia mengembalikannya kepadaku, kemudian aku berikan kepada yang lain, dan ia pun minum hingga kenyang, kemudian aku berikan kepada yang lain hingga cangkir tersebut kembali kepada Nabi ﷺ, sementara mereka semua sudah merasa kenyang. Beliau kemudian mengambil cangkir itu dan menaruhnya di tangannya, lalu beliau melihatku sembari tersenyum, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah!’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Sekarang tinggal aku dan kamu’. Aku menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Duduk dan minumlah!’ Lalu aku duduk dan meminumnya. beliau bersabda kepadaku, ‘Minumlah!’ Lalu aku minum lagi dan beliau terus menyuruhku untuk minum, hingga aku berkata, ‘Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku sudah tidak sanggup lagi’. Beliau bersabda, ‘Berikan bejana itu’. Aku lalu memberikannya kepada beliau, setelah memuji Allah dan menyebut nama-Nya beliau akhirnya meminum sisanya.”([26])
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini. Di antaranya para ulama menyebutkan bahwasanya hadits ini menjadi dalil bahwasanya sesekali kita boleh makan hingga kenyang. Di antaranya, hadits ini menunjukkan bagaimana eratnya persaudaraan para sahabat zaman dahulu, sampai-sampai minum dari gelas yang sama dan dipergilirkan kepada beberapa orang tidak menjadi permasalahan bagi mereka. Di antaranya, hadits ini juga menunjukkan senyum Nabi Muhammad ﷺ kepada Abu Hurairah serta perhatian Nabi Muhammad ﷺ kepada para sahabat-sahabat beliau, sampai-sampai beliau menjadi orang yang terakhir meminum susu.
Tentunya, masih ada banyak hadits lain yang menunjukkan tentang senyum Nabi Muhammad ﷺ. Namun, karena keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga kita tidak bisa menyebutkan semuanya. Penulis berharap, pembahasan dan pemaparan yang sedikit ini bisa memberikan gambaran tentang canda, tawa, serta senyum Nabi Muhammad ﷺ.
Footnote:
______
([1]) Lihat: Shahih al-Bukhari (8/22).
([2]) HR. At-Tirmidzi No. 3641, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([3]) Musnah Ishaq bin Rahawaih, tahqiq Abdul Ghafur al-Bulusyi No. 1750 (3/1008).
([4]) HR. Abu Daud No. 4990, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([5]) HR. Abu Daud No. 4800, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shahihah No. 273.
([6]) HR. Bukhari No. 265 dalam al-Adab al-Mufrad (1/102), dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([7]) HR. At-Tirmidzi dalam asy-Syamail al-Muhammadiyah (1/144), hadits hasan menurut Syekh al-Albani [Lihat: Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 2987).
([8]) HR. At-Trimdzi No. 1991, dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah No. 4886.
([9]) Lihat: Fath al-Bari (10/504).
([10]) HR. Ibnu Majah No. 4193, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani ash-Shahihah No. 506.
([12]) Syarh as-Sunnah Li al-Baghawi No. 3351 (12/318).
([15]) HR. Ibnu Majah No. 181.
([22]) HR. Ahmad No. 26339, Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dan Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 3070 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid.
([23]) Salim ini telah lama tinggal dengan Abu Hudzaidah bersama istrinya. Salim yang dahulunya anak kecil pun kemudian tumbuh dewasa. Tumbuhnya Salim dan keluar masuknya ia dalam rumah Hudzaifah tersebut membuat Hudzaifah cemburu, karena Salim pasti melihat istrinya Hudzaifah yaitu Sahlah binti Suhail.
([25]) Hal ini sering dilakukan oleh para sahabat dan bahkan Nabi Muhammad ﷺ. Sebagaimana dalam perang Khandaq, Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat kelaparan beberapa hari, dan mereka mengikat batu ke perut-perut mereka agar bisa menahan lapar. [Lihat: Shahih al-Bukhari No. 4101 (5/108)].