قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Latin : qul ʾaʿūdhu bi-rabbi l-falaqi
Arti : “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh’”
Tafsir Quran Surat Al-Falaq Ayat-1
Surat ini dan surat setelahnya yaitu surat An-Naas diturunkan secara bersamaan Oleh karena itu, kedua surat ini dinamakan الْمُعَوِّذَتَيْنِ Al-Mu’awwidzatain (dua pelindung). Surat ini merupakan surat Madaniyah yang diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam setelah berhijrah ke kota Madinah. Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa sebab turunnya surat ini adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disihir oleh orang Yahudi yang bernama Lubid bin Al-A’sham di Madinah. Akhirnya Nabi pun tersihir beberapa lama, efeknya adalah seakan-akan beliau melakukan sesuatu yang ternyata tidak dilakukannya. Bahkan dibayangkan bahwasanya beliau mendatangi (menggauli) istri-istrinya padahal tidak.Allah lantas menurunkan Al-Mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan An Naas). Lalu Nabipun membaca kedua surat tersebut dan dengan izin Allah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sembuh[1].
Sebagian orang mengingkari hadits ini dan mengatakan bahwasanya Nabi tidak mungkin tersihir, karena seandainya beliau tersihir maka Nabi bisa keliru dalam menyampaikan wahyu. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah karena sihir yang menimpa Nabi tidak berkaitan dengan pemberian wahyu. Karena Nabi tetap menyampaikan wahyu sebagaimana biasanya. Akan tetapi efek sihir tersebut hanya membuat Nabi seperti orang sakit atau dikhayalkan ia telah melakukan sesuatu padahal ia tidak melakukannya.
Bahkan sebelum beliau ada Nabi Musa juga yang pernah tersihir. Disebutkan di dalam Al-Quran, Allah berfirman:
قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ (66) فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ (67)
Berkata Musa, ‘Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” (QS Thaha : 66-67)
Nabi Musa takut melihat ular-ular yang bergerak, padahal tidak ada ular di situ melainkan hanya tongkat-tongkat dan tali-tali saja. Itu karena Nabi Musa tersihir oleh para penyihir Fir’aun. Sehingga mungkin saja seorang Nabi itu tersihir, tetapi dibalik itu ada hikmah yang Allah kehendaki. Selain itu, sihir tersebut tidak akan mempengaruhi periwayatan ayat-ayat Allah. Adapun penolakan sebagian orang terhadap hadits ini maka tidak perlu didengarkan karena argumentasi mereka hanyalah logika mereka yang lemah.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Ada beberapa pendapat tentang makna اَلْفَلَقُ. Pendapat yang pertama dan yang paling kuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yaitu shubuh. Sebagaimana firman Allah:
فالِقُ الْإِصْباحِ
“Allah yang membuka subuh.” (QS Al-An’am : 96)
Sehingga makna ayat menjadi “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh’.” Pendapat yang lain mengatakan bahwasanya اَلْفَلَقُ artinya makhluk. Ada juga yang mengatakan اَلْفَلَقُ adalah salah satu nama neraka, ada yang mengatakan bahwa اَلْفَلَقُ adalah nama penjara di neraka Jahannam. Ada pula yang mengatakan اَلْفَلَقُ artinya lembah yang ada di neraka Jahannam. Ada yang mengatakan اَلْفَلَقُ artinya sumur yang ada di neraka Jahannam. Ada yang mengatakan اَلْفَلَقُ artinya rumah yang ada di neraka Jahannam. Namun pendapat terkuat adalah pendapat pertama yang artinya adalah shubuh[2]
Keterangan:
[1] Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Jarir At-Thobari (24/745), Ibnu Katsir (8/504), dan Al-Bukhari dalam Shahihnya (6/181)
[2] Kisah disihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Lubaid bin al-A’shom al-Yahudi disebutkan dalam shahih Al-Bukhari no 3268 dan shahih Muslim no 2189 akan tetapi tanpa menyebutkan tentang turunnya kedua surat al-mu’awwaidzatain. Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa kedua surat al-mu’awwidzatain turun karena tersihirnya Nabi tersebut seluruhnya lemah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 8/507 di penghujung tafsir surat al-Falaq dan Ibnu Hajar di Fathul Baari 10/225