Hukum Menggendong Anak Yang Menggunakan Pampers Tatkala Shalat
Menggendong anak yang menggunakan pampers tatkala shalat tidak keluar dari beberapa keadaan:
Pertama: Diketahui bahwa anak ini dalam keadaan suci (tidak buang air di pampers tatkala kita shalat). Maka sepakat para ulama bahwa tidak mengapa menggendongnya dan shalat tetap sah, hanya saja sebagian ulama memandang hukumnya makruh karena takut menyibukannya dalam shalat([1])
Kedua : Tidak diketahui, apakah dalam keadaan suci ataukah tidak. Maka ini hukum asalnya tidak mengapa menggendongnya karena asalnya tidak ada najis([2])
Ketiga : Diketahui bahwa sedang ada najis di dalam pampers anak tersebut. Dan najis tersebut tidak keluar mengenai baju orang yang shalat karena terhalangi oleh pampers.
Najis di dalam pampers lebih tepat kita analogikan dengan najis yang diletakan di dalam botol. Permasalahan ini persis dengan hukum seseorang yang ingin pergi ke dokter sambil membawa sample air seninya di botol, lalu ia letakan di kantongnya. Maka apabila ia shalat sambil membawa botol tersebut yang tertutup rapat di kantung bajunya, apakah shalatnya sah atau tidak?. Maka ada dua pendapat di kalangan para ulama :
Pendapat pertama (jumhur Ulama):
Tidak sah shalat orang yang membawa najis yang tidak mengenainya apabila najis tersebut bukan pada tempat asalnya. Apabila najis tersebut berada di tempat asalnya (dalam hal bayi/manusia, asal tempat najisnya adalah di dalam perutnya), maka tetap sah shalatnya. Ini adalah madzhab mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Malikiyyah. ([3])
Contoh yang tidak berada di tempat asalnya: najis yang diletakkan di dalam botol, lalu ia membawanya.
Dalil-dalil: Semua dalil yang dijadikan sandaran oleh ‘ulama yang memilih pendapat ini adalah dalil-dalil yang memerintahkan untuk mensucikan pakaian dan lainnya. Seperti :
- Firman Allah azza wa jalla:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu maka sucikanlah”.
- Hadits Asma’ binti Abu Bakr:
«إِذَا أَصَابَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضِ فَلْتَقْرُصْهُ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ لِتُصَلِّ»
“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah, maka gosokkanlah kemudian percikkanlah dengan air, kemudian hendaklah ia shalat (dengannya)”. ([4])
- Hadits Ibnu ‘Abbas:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمة
Suatu kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sungguh mereka berdua sedang diazab, mereka tidak diazab dengan dosa yang sangat besar, adapun yang salah satunya, dia tidak menjaga dirinya dari kencing, sedangkan yang satunya, dia diazab karena ia suka mengadu domba”. ([5])
- Najis yang ada pada benda tersebut (botol atau pampers) adalah najis yang diletakkan, maka ia menyerupai najis yang tampak (di luar). ([6])
- Orang yang membawa najis tersebut belum bisa dikatakan telah mensucikan dirinya dari najis secara total.
Pendapat Kedua : (Pendapat sebagian ulama Syafiíyah)
Shalatnya tetap sah, karena najisnya tidak mengenai baju orang yang sedang shalat, dan juga tidak mengenai tempat orang yang sedang shalat. Maka hukumnya sama dengan najis yang masih tertutup dalam perut manusia.
Berkata As-Syirozi:
وإن حمل قارورة فيها نجاسة وقد شد رأسها ففيه وجهان: أحدهما يجوز
“Jika seseorang membawa botol yang di dalamnya ada najis dan tertutup, maka di sana ada dua pendapat dari ulama Syafi’iyyah, yang pertama adalah boleh (shalatnya sah)”. ([7])
Ibnu Qudamah berkata:
وَلَوْ حَمَلَ قَارُورَةً فِيهَا نَجَاسَةٌ مَسْدُودَةً، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ: لَا تَفْسُدُ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ لَا تَخْرُجُ مِنْهَا، فَهِيَ كَالْحَيَوَانِ
“Seandainya seseorang membawa botol yang tertutup dan di dalamnya ada najis, maka tidak sah shalatnya. Menurut sebagian ulama’ Syafi’iyyah tidak batal shalatnya, karena najis tersebut tidak keluar dan tidak mengenainya, sama seperti membawa hewan (yang suci)”. ([8])
Pendapat yang lebih kuat :
Jika seseorang mengetahui bahwasanya di pampers anaknya ada najis maka hendaknya ia tidak menggendong anak/bayi tersebut agar keluar dari perselisihan ulama, karena jumhur (mayoritas) ulama menyatakan shalatnya batal, karena dalam shalat diperintahkan untuk menjauhi najis.
Akan tetapi jika ternyata dalam kondisi darurat anaknya menangis jika tidak digendong, maka tidak mengapa dan shalatnya tetap sah. Inilah yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Abdul Muhsin az-Zaamil([9]) dan asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili([10]) hafidzohumallahu.
Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Qotadah al-Anshori, ia berkata :
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash bin ‘Abdi Syams, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sujud, maka beliau meletakkan Umamah, dan apabila beliau bangkit, beliau menggendongnya kembali”. ([11])
Dan anak-anak atau bayi secara umum tidak aman untuk terbebaskan dari najis. Namun Nabi tidak mengecek terlebih dahulu dan tidak mengecek setelah shalat apakah keluar najis ketika sedang shalat atau tidak. Wallahu a’lam.
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
فَإِذَا حَمَلَ حَيَوَانًا طَاهِرًا لَا نَجَاسَةَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي صَلَاتِهِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ بِلَا خِلَافٍ
“Apabila seseorang membawa hewan yang suci di dalam shalat dan tidak ada najis di bagian luar hewan tersebut, maka shalatnya sah tanpa ada perselisihan”. (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzzab, Annawawi, 3/150)
Maka begitu juga dengan membawa anak kecil yang suci dan tidak ada najis di bagian luarnya.
Berkata imam Al Kasani:
فَأَمَّا حَمْلُ الصَّبِيِّ بِدُونِ الْإِرْضَاعِ فَلَا يُوجِبُ فَسَادَ الصَّلَاةِ…وَمِثْلُ هَذَا فِي زَمَانِنَا أَيْضًا لَا يُكْرَهُ لِوَاحِدٍ مِنَّا لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا بِدُونِ الْحَاجَةِ فَمَكْرُوهٌ.
“Adapun membawa anak kecil dan tidak sambil menyusuinya, maka tidak menyebabkan shalat tersebut batal … dan yang demikian itu di zaman sekarang juga tidak dibenci jika ada seseorang yang melakukannya karena kebutuhan, adapun jika tidak ada kebutuhan, maka yang demikian itu makruh”. (Badai’ Shanai’, Al Kasani, 1/241-242)
Berkata Imam ‘Abdurrahman Ibnu Qudamah Al Maqdisi:
فإن حمل حيواناً طاهراً أو صبياً لم تبطل صلاته
“Seandainya ia membawa hewan yang suci atau anak kecil, maka tidak batal shalatnya”. (As-Syarh Al Kabir, ‘Abdurrahman Ibnu Qudamah, 1/475)
Berkata Imam Burhanuuddin Mahmud Al Bukhari -madzhab Hanafi-:
وكذا يكره حمل الصبي في حالة الصلاة؛ لأنه يشغله عن الصلاة،
“dan begitu juga dibenci (makruh) untuk membawa anak kecil tatkala shalat, karena ia akan mengganggu shalatnya”. (Al Muhith Al Burhani, Burhanuddin Mahmud bin Ahmad Al Bukhari, 1/379)
([2]) Masalah ini terbagi menjadi dua kondisi:
Kondisi Pertama: Jika tidak diketahui kapan najis itu ada, apakah di tengah-tengah shalat ataukah setelah shalat, maka shalatnya sah.
Alasannya karena tidak diketahui kapan najis itu ada dan pada asalnya shalat yang ia lakukan sah dan najisnya dianggap ada setelah shalat, kemudian keraguan tidak bisa dijadikan sandaran untuk mengatakan shalatnya tidak sah.
Berkata As-Syirozi:
إذَا فَرَغَ مِنْ الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى عَلَى ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ أَوْ مَوْضِعِ صَلَاتِهِ نَجَاسَةً غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهَا نُظِرَتْ فَإِنْ جَوَّزَ أَنْ تَكُونَ حَدَثَتْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الصَّلَاةِ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ فِي حَالِ الصَّلَاةِ فَلَا تَجِبُ الْإِعَادَةُ بِالشَّكِّ
“Jika seseorang selesai dari shalat, kemudian ia melihat pada pakaian, badannya atau tempat shalatnya ada najis yang tidak bisa dimaafkan, maka dilihat terlebih dahulu, jika ada kemungkinan najis itu ada setelah shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang, karena pada dasarnya najis itu ada bukan saat shalat, sehingga ia tidak wajib untuk mengulang hanya disebabkan ragu-ragu”. (Al-Muhadzzab, Assyirozi, 1/121)
Berkata Al-Mardawi:
وَمَتَى وَجَدَ عَلَيْهِ نَجَاسَةً لَا يَعْلَمُ: هَلْ كَانَتْ فِي الصَّلَاةِ، أَوْ لَا فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ
“Kapanpun orang tersebut mendapati sesuatu yang najis, tetapi dia tidak bisa mengetahui, apakah najis itu ada di dalam shalat ataukah tidak, maka shalatnya sah”. (Al-Inshof, Al Mardawi, 1/485)
Dengan kata lain, asalnya seseorang yang memulai shalat dengan keadaan suci, dengan sepengetahuan dia, maka ia tetap dalam keadaan suci, kecuali jika ia yakin ada sesuatu yang merusak kesucian tersebut.
Dalil akan hal ini bahwasanya Nabi shalat dalam kondisi menggendong cucu beliau Umaamah bintu Zainab.
Abu Qotadah al-Anshoori berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا
“Bahwa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam shalat sambil menggendong Umaamah putri Zainab binti Rasulullah shallallahu álaih waslalam dan Abul Áash bin Robiáh bin Abdi Syams. Jika Nabi sujud maka Nabi meletakannya, dan jika Nabi berdiri maka menggendongnya” (HR Al-Bukhari no 516 dan Muslim no 543)
Dan tentu Nabi tidak mengetahui apakah Umaamah sedang mengeluarkan najis atau tidak.
Kondisi Kedua: Jika najis tersebut tidak mungkin ada kecuali saat shalat, tetapi dia tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat, maka ulama berselisih menjadi dua pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalatnya batal (Ini adalah qoul jadid dari Imam Syafi’i dan riwayat kedua dari Imam Ahmad. Al-Mawardi mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang mu’tamad. Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2/49-50). Alasan mereka adalah karena termasuk syarat sah shalat adalah suci dari hadats dan najis dan tidak ada maaf sekalipun jika ia lupa).
Akan tetapi yang benar shalatnya tetap sah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama belakangan dalam madzhab Hanbali dan qoul qodim dari Imam Syafi’.(Lihat Al Muhadzzab 1/121 dan Al Inshof 1/486)
Dalil mereka adalah riwayat:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ»، قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ: أَذًى – “
“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau melepas sandal dan meletakkannya di sebelah kiri, tatkala para sahabat melihat perbuatan beliau, mereka pun ikut melepas sandal-sandal mereka. Selesai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang menyebabkan kalian melepas sandal-sandal kalian?” para sahabat menjawab: “Kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun ikut melepas sandal” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: “Tadi Jibril datang dan mengabarkan padaku bahwa ada najis di sandalku””. (HR. Abu Dawud No. 650)
Segi pendalilan:
- Shalat adalah ibadah yang tidak terpisah-pisah, jika tidak sah pada awalnya, maka tidak sah juga akhirnya.
- Sekiranya itu membatalkan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengulang shalat dari awal lagi, dan tentunya tidak ada beda, apakah beliau tahu di tengah-tengah shalat atau setelah shalat.
Dan Allah azza wa jalla telah memaafkan hamba-hambanya karena lupa, tidak tahu dan terpaksa. Maka jika ia shalat dengan membawa najis karena tidak tahu, shalatnya tetap sah.(Lihat Al Muhadzzab 1/121 dan Al Inshof 1/486)
([3]) Berkata Ibnu ‘Abidin -madzhab Hanafi-:
لَوْ حَمَلَ قَارُورَةً مَضْمُومَةً فِيهَا بَوْلٌ فَلَا تَجُوزُ صَلَاتُهُ لِأَنَّهُ فِي غَيْرِ مَعْدِنِهِ
“Seandainya ia membawa botol yang berisi air kencing, maka shalatnya tidak sah, karena kencing tersebut bukan pada tempat asalnya”. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/403)
Berkata Nawawi -madzhab Syafi’i-:
وَلَوْ حَمَلَ قَارُورَةً مُصَمَّمَةَ الرَّأْسِ بِرَصَاصٍ أَوْ نَحْوِهِ، وَفِيهَا نَجَاسَةٌ، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ عَلَى الصَّحِيحِ.
“Seandainya seseorang membawa botol tertutup dengan sesuatu, di dalamnya terdapat sesuatu yang najis, maka tidak sah shalatnya menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab”. (Raudhoh Thalibin, Nawawi, 1/279)
Berkata Al Mawardi -madzhab Hanbali-:
لَوْ حَمَلَ قَارُورَةً فِيهَا نَجَاسَةٌ أَوْ آجُرَّةً بَاطِنُهَا نَجِسٌ: لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ.
“Seandainya seseorang membawa botol, di dalamnya terdapat sesuatu yang najis atau gumpalan tanah yang di bagian dalamnya ada najis, maka tidak sah shalatnya”. (Al-Inshaf, Al Mawardi, 1/488)
Berkata Kholil bin Ishaq -madzhab Maliki-:
وأولى من تعلقه حمله أو ركوب الصبي عليه وغلب على ظنه نجاسة ثيابه فتبطل وإن لم يماس النجاسة كحمله نعله المتنجس
“Lebih parah lagi apabila anak tersebut menempel padanya, dengan menggendongnya, atau anak itu menaikinya, sedangkan prasangka kuat baju anak itu najis menurut, maka shalatnya batal, meskipun najis tersebut tidak mengenainya, sama seperti orang yang membawa sandalnya yang terkena najis”. (Syarh Azzurqoni ‘Ala Mukhtashor Al ‘kholil, 1/71)
([4]) HR. Abu Dawud 361, Nasa’i 138.
([5]) HR. Bukhari 218, Muslim 292.
([6]) Al Hawi Al Kabir, Al Mawardi, 2/265
([7]) Al Muhadzzab, Assyirozi, 1/119
([8]) Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2/51
([9]) Lihat https://www.youtube.com/watch?v=dgWudwhLfeE
([10]) Lihat https://www.youtube.com/watch?v=Ff_eFiHcX8k