Hisab (الْحِسَابُ)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Kaidah-kaidah berkaitan dengan hisab
Hisab (الْحِسَابُ) artinya adalah perhitungan, atau dalam bahasa yang biasa kita gunakan adalah audit, yaitu Allah mengaudit manusia untuk mengklasifikasikan mana amalan kebaikan dan mana amalan yang haram (maksiat yang dilakukan manusia). Sebelumnya, ada beberapa kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hisab yang perlu kita ketahui.
- Keadilan yang sempurna
Hisab pada hari itu dibangun di atas keadilan, tidak ada kezaliman sama sekali. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
“Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarah.” (QS. An-Nisa’: 40)
Allah ﷻ juga berfirman,
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Rabbmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Demikian juga perkataan Luqman kepada putranya yang Allah abadikan dalam firman-Nya,
يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Lukman berkata), ‘Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha halus, Maha teliti.” (QS. Luqman: 16)
Demikian juga Allah ﷻ berfirman,
ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 281)
Artinya, Allah ﷻ akan menghisab dengan sempurna, tidak ada satu pun yang terluput sedikit pun, apa yang seseorang lakukan, baik dari kebaikan maupun keburukan akan dihadirkan dalam catatan. Inilah kaidah pertama yang berkaitan dengan hisab. Oleh karenanya Nabi ﷺ mengatakan,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu menganggap remeh sedikit pun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka (tersenyum) kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.”([1])
Kata Nabi ﷺ juga dalam hadits yang lain,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Takutlah kalian kepada neraka walau (bersedekah) dengan sepenggal kurma.”([2])
Senyum seseorang di hadapan saudaranya yang lain, dan sepenggal kurma yang disedekahkan dan ikhlas karena Allah, itu semua memiliki hisab di hari kiamat kelak, tidak ada yang luput dari catatan para malaikat.
- Tidak ada yang menanggung dosa orang lain
Jangan sampai ada seseorang yang berkata “Nanti saya yang akan menanggung hisabmu”, tidak ada yang demikian, masing-masing seseorang akan dihisab berdasarkan apa yang dia lakukan. Allah ﷻ berfirman,
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15)
Maka jangan khawatir, kalau Anda tidak memiliki andil dalam dosa yang orang lain lakukan, maka Anda tidak akan menanggung dosa orang lain tersebut. Demikian juga dalam surah An-Najm, bahwasanya kaidah ini diakui oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ. Dalam surah An-Najm Allah ﷻ berfirman,
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى، وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى، أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab Suci yang diturunkan kepada) Musa? Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. An-Najm: 36-38)
Jangankan antara seseorang dengan orang lain, bahkan antara orang tua dengan anaknya pun juga tidak. Allah ﷻ,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21)
Yaitu maksudnya ayah atau pun anak masing-masing bertanggungjawab atas dosanya sendiri. Akan tetapi lain halnya kalau kita punya andil dalam suatu dosa, maka jelas bahwa kita ikut menanggung dosa tersebut. Allah ﷻ berfirman,
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
“Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan.” (QS. Al-‘Ankabut: 13)
Dan juga firman Allah ﷻ,
وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“Dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25)
Ini menunjukkan bahwa jika kita punya andil atau campur tangan dalam dosa yang dilakukan oleh orang lain, maka kita akan menanggung dosa mereka. Oleh karenanya Nabi ﷺ juga menyebutkan,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”([3])
Maka siapa pun yang tidak memiliki andil dalam dosa seseorang, maka tidak perlu khawatir, karena seberapa besar pun dosa yang dilakukan oleh orang lain, maka kita tidak akan dihisab karena dosa orang lain.
- Para hamba diperintahkan untuk melihat catatan amalnya
Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Isra’:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا، اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. ‘Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu’.” (QS. Al-Isra’: 13)
Jadi, catatan amal seseorang akan diperlihatkan oleh Allah ﷻ kepada masing-masing hamba. Catatan tersebut diberikan dalam keadaan terbuka, dan sebagaimana kata para ulama bahwa mereka bisa melihat dan membaca catatan atas apa yang mereka kerjakan dahulu di dunia.
Allah ﷻ juga berfirman dalam ayat yang lain,
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali-‘Imran: 30)
Allah ﷻ juga berfirman,
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
“(maka) setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.” (QS. Al-Infithar: 5)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Betapa celaka kami, kitab apakah ini? Tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya’, dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Demikianlah metode hisab pada hari kiamat kelak, yaitu masing-masing catatan seseorang dihadirkan di hadapan masing-masing hamba untuk mereka baca sebelum disidang oleh Allah ﷻ.
- Dihadirkan para saksi
Para saksi di sini banyak, di antaranya adalah,
- Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman tentang hal ini,
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 33)
- Para rasul. Nabi ﷺ ketika dibacakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu firman Allah ﷻ,
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
“Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka?” (QS. An-Nisa’: 41)
Mendengar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu membacakan ayat itu, maka Nabi ﷺ mengucapkan,
حَسْبُكَ الآنَ، فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
“Cukuplah.” Lalu aku (Ibnu Mas’ud) menoleh ke arah beliau dan ternyata kedua matanya meneteskan air.”([4])
Maksudnya adalah pada setiap umat akan ada rasul yang menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan mereka. Jika sekiranya suatu umat menolak ajaran dari nabi atau rasul di masa itu, maka nabi atau rasul itu akan menjadi saksi bagi umat tersebut pada hari kiamat kelak. Bahkan bagi orang-orang Quraisy, Nabi Muhammad ﷺ akan menjadi saksi bagi mereka kelak.
- Umat Nabi Muhammad ﷺ. Umat Islam akan menjadi saksi bagi umat-umat yang lain. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Dalam hadits disebutkan bahwa ketika umat-umat dihadirkan bersama nabi-nabi mereka. Nabi ﷺ bersabda,
يَجِيءُ النَّبِيُّ وَمَعَهُ الرَّجُلَانِ، وَيَجِيءُ النَّبِيُّ وَمَعَهُ الثَّلَاثَةُ، وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، وَأَقَلُّ، فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بَلَّغْتَ قَوْمَكَ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيُدْعَى قَوْمُهُ، فَيُقَالُ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: لَا، فَيُقَالُ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ، فَتُدْعَى أُمَّةُ مُحَمَّدٍ، فَيُقَالُ: هَلْ بَلَّغَ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: وَمَا عِلْمُكُمْ بِذَلِكَ؟ فَيَقُولُونَ: أَخْبَرَنَا نَبِيُّنَا بِذَلِكَ أَنَّ الرُّسُلَ قَدْ بَلَّغُوا فَصَدَّقْنَاهُ
“Seorang Nabi akan datang bersama dengan dua orang laki-laki, dan Nabi yang lain akan datang pula bersama dengan tiga orang, dan ada juga yang lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. Kemudian di katakan kepadanya, ‘Apakah kamu telah menyampaikan (ajaran Allah) kepada kaummu?’ Ia menjawab, ‘Ya’. Maka kaumnya di panggil, ‘Apakah ia telah menyampaikannya kepada kalian?’ mereka menjawab; ‘Tidak’. Maka di tanyakan (kepada Nabi tersebut), ‘Siapakah yang menjadi saksi atas pernyataan itu?’ Ia menjawab, ‘Muhammad dan umatnya’. Kemudian umat Muhammad dipanggil dan ditanya, ‘Apakah ia (nabi tersebut) telah menyampaikan?’ Mereka (umat Muhammad) menjawab, ‘Ya’. Maka ditanyakan kepada umat Muhammad, ‘Dari mana ilmu kalian tentang hal itu?’ Mereka menjawab, ‘Nabi kami telah memberitahukan kepada kami bahwa para Rasul telah menyampaikan (risalah Allah), dan kami pun membenarkannya’.”([5])
Di sinilah bukti mulianya umat Nabi Muhammad ﷺ, karena mereka menjadi saksi untuk membela para nabi-nabi yang didustakan oleh umatnya pada hari kiamat kelak.
- Para malaikat. Di antara yang menjadi para saksi adalah para malaikat. Allah ﷻ berfirman,
وَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan para saksi akan berkata, ‘Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka’. Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.” (QS. Hud: 18)
Para saksi yang dimaksud dalam ayat ini adalah para malaikat([6]).
- Bumi. Di antara yang menjadi saksi adalah bumi, sebagaimana firman Allah ﷻ,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah: 4)
- Tangan, kaki, dan bahkan kulit. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ,
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin: 65)
Bahkan kulit-kulit pun akan menjadi saksi. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka, ‘Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?’ (Kulit) mereka menjawab, ‘Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan’.” (QS. Fushshilat: 21)
Inilah semua saksi-saksi yang dihadirkan oleh Allah ﷻ pada saat hari persidangan (hisab) tersebut.
- Cara perhitungan pahala dan dosa
Pahala kebaikan pada hari itu akan dilipat gandakan minimal sepuluh kali lipat, adapun dosa hanya dikali satu saja. Allah ﷻ berfirman,
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” (QS. Al-An’am: 160)
Dalam kondisi hisab pada hari yang sangat dahsyat pun Allah ﷻ sangat baik, karena perhitungan Allah ﷻ sangat tidak berimbang. Masalah kebaikan Allah minimal lipat gandakan sepuluh kali lipat, bahkan bisa sampai 700 kali lipat, dan bisa lebih daripada itu, adapun dosa hanya satu kali lipat saja. Oleh karenanya jika seseorang kelak akhirnya binasa pada saat hisab, maka sesungguhnya dosa yang dia lakukan sangatlah parah, waliya’udzubillah.
- Sebagian orang ada yang dosanya dihitung sebagai kebaikan
Di antara rahmat Allah ﷻ, ada sebagian orang yang berbuat dosa, namun dosa-dosanya Allah ﷻ jadikan sebagai kebaikan. Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Furqan tentang orang-orang yang bertaubat,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 70)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Allah ﷻ menyidang (menghisab) seseorang, maka Allah ﷻ berkata kepada para malaikat,
اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا، فَتُعْرَضُ عَلَيْهِ صِغَارُ ذُنُوبِهِ، فَيُقَالُ: عَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، وَعَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ، لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَ وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ كِبَارِ ذُنُوبِهِ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْهِ، فَيُقَالُ لَهُ: فَإِنَّ لَكَ مَكَانَ كُلِّ سَيِّئَةٍ حَسَنَةً، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ عَمِلْتُ أَشْيَاءَ لَا أَرَاهَا هَا هُنَا
“Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan hapuskan dosa-dosanya yang besar.” Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada suatu hari’. Lalu dia menjawab, ‘Ya’. Dia tidak bisa mengingkari, dan dia meminta belas kasihan dari dosa-dosa besarnya yang diungkapkan atasnya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu mendapatkan tempat di mana kejelekan menjadi kebaikan’. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah melakukan sesuatu (dosa) yang mana aku tidak melihatnya dalam catatan amal di sini’.”([7])
Dia sangat gembira dengan kabar yang Allah berikan kepadanya bahwa dosa-dosa besarnya diganti dengan kebaikan. Dan bahkan saking gembiranya, dia juga meminta dosa-dosanya yang lain untuk diubah menjadi kebaikan. Inilah kegembiraan yang akan dirasakan oleh sebagian orang, sampai-sampai Nabi ﷺ ketika mengabarkan hal ini beliau tertawa([8]).
Apakah orang-orang kafir dihisab?
Terdapat khilaf di kalangan para ulama tentang apakah orang-orang kafir dihisab? Para ulama sebenarnya sepakat bahwasanya orang kafir tidak ada kebaikan (pahalanya) di akhirat, dan semua yang dia lakukan di dunia akan sirna pada hari kiamat kelak. Kata Allah ﷻ,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi’.” (QS. Az-Zumar: 65)
Intinya, pada ulama sepakat bahwasanya orang-orang kafir tidak memiliki kebaikan. Lantas untuk apa dihisab? Akhirnya timbullah khilaf di kalangan para ulama.
Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama tentang apakah orang-orang kafir juga dihisab pada hari kiamat:
Pendapat pertama: Orang kafir juga dihisab.
Pendapat kedua: Orang kafir tidak dihisab. Yaitu maksudnya adalah orang-orang kafir langsung dimasukkan ke dalam neraka.
Pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat di atas adalah pendapat bahwasanya orang-orang kafir juga dihisab. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang datang yang menunjukkan bahwa mereka juga ditanya dan disidang oleh Allah ﷻ. Contoh seperti firman Allah ﷻ,
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka (orang-orang kafir) dan berfirman, ‘Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu sangka?’.” (QS. Al-Qashash: 62)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
“Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka, dan berfirman, ‘Apakah jawabanmu terhadap para rasul?’.” (QS. Al-Qashash: 65)
Ini menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ bertanya kepada orang-orang kafir. Demikian pula ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwasanya amal mereka ditimbang, dan timbangan itu adalah proses setelah hisab. Seperti firman Allah ﷻ,
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
“Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (QS. Al-Qari’ah: 8-9)
Tentu yang dimaksud tentang orang yang ringan timbangan kebaikannya adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak memiliki kebaikan. Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
“Dan barang siapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam.” (QS. Al-Mu’minun: 103)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga dihisab pada hari kiamat kelak.
Adapun hikmah dari dihisabnya orang-orang kafir? Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya,
Pertama: Allah ﷻ menegakkan hujah di antara mereka. Ini menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ Maha Adil, karena Allah tidak langsung mengazab mereka, akan tetapi Allah menegakkan hujah bagi mereka, sehingga mereka tahu bahwasanya mereka diazab karena apa yang telah mereka lakukan.
Kedua: Untuk menghinakan mereka. Hal ini seperti firman Allah ﷻ,
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى رَبِّهِمْ قَالَ أَلَيْسَ هَذَا بِالْحَقِّ قَالُوا بَلَى وَرَبِّنَا قَالَ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah engkau melihat peristiwa yang mengharukan). Dia berfirman, ‘Bukankah (kebangkitan) ini benar?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh benar, demi Tuhan kami’. Dia berfirman, ‘Rasakanlah azab ini, karena dahulu kamu mengingkarinya’.” (QS. Al-An’am: 30)
Ini menunjukkan bahwa mereka ditanya untuk dihinakan, karena mereka tahu suatu kebenaran namun tidak mengikutinya. Demikian juga firman Allah ﷻ,
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ
“Wahai golongan jin dan manusia! Bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, mereka menyampaikan ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? Mereka menjawab, ‘(Ya), kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Tetapi mereka tertipu oleh kehidupan dunia dan mereka telah menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-An’am: 130)
Ketiga: Orang kafir bertingkat-tingkat. Di antara hikmah dari dihisabnya orang-orang kafir adalah untuk menunjukkan bahwasanya orang-orang kafir juga bertingkat-tingkat. Semakin banyak dosa seseorang maka neraka tempat kembalinya adalah semakin yang paling bawah, dan ini menunjukkan bahwasanya orang-orang kafir juga dihisab. Allah ﷻ berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)
Dan juga firman Allah ﷻ,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)
Oleh karenanya semakin banyak keburukan seseorang maka neraka tempat kembalinya semakin yang paling bawah. Ini tentunya menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ Maha Adil. Oleh karenanya Abu Thalib yang sangat baik kepada Nabi Muhammad ﷺ dan Islam berada di neraka paling atas dan azab yang paling ringan. Nabi ﷺ bersabda,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
“Dia berada di percikan api neraka yang hanya mengenai bawah kakinya. Seandainya bukan karena aku, dia tentu sudah berada di dasar neraka.”([9])
Dan juga sabda Nabi ﷺ,
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
“Penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib, dia memakai kedua sandal sementara otaknya mendidih karena panasnya.”([10])
Adapun orang-orang kafir yang tidak menjalankan syariat Islam([11]) maka telah jelas bahwasanya mereka berdosa. Oleh karenanya dalam Al-Quran Allah ﷻ berfirman,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ، وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ، حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, ‘Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian’.” (QS. Al-Muddatstsir: 42-46)
Allah ﷻ juga berfirman,
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
“Dan celakalah orang-orang yang mempersekutukan-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat, dan mereka ingkar terhadap kehidupan akhirat.” (QS. Fushshilat: 6-7)
Dua ayat ini menunjukkan bahwasanya sebenarnya mereka orang-orang kafir juga dibebankan dengan syariat Islam, karena sebab yang Allah sebutkan dalam dua ayat ini berkaitan dengan syariat Islam seperti shalat, memberi makan, zakat, dan yang lainnya. Oleh karenanya orang-orang kafir itu bukan hanya diazab karena kekafiran mereka, akan tetapi mereka juga diazab karena sebab meninggalkan syariat yang juga dibebankan kepada mereka. Inilah mengapa dikatakan bahwa orang-orang kafir di neraka juga bertingkat-tingkat.
Apa saja yang ditanyakan (dihisab) dari seorang hamba?
Secara umum, yang dihisab dari seorang hamba ada dua perkara, yaitu amal-amal perbuatan dan tentang nikmat-nikmat yang didapatkan.
- Ditanya tentang amal perbuatan
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran tentang seorang hamba akan ditanya tentang amal perbuatannya,
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ، عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr: 92-93)
Datang dalam sebagian dalil tentang sebagian perincian yang akan ditanyakan dari amal perbuatan. Di antaranya:
Pertama: Tentang kesyirikan. Allah ﷻ berfirman,
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka dan berfirman, ‘Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu sangka?’.” (QS. Al-Qashash: 62)
Demikian juga dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
وَقِيلَ لَهُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ، مِنْ دُونِ اللَّهِ هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ أَوْ يَنْتَصِرُونَ
“Dan dikatakan kepada mereka, ‘Di mana berhala-berhala yang dahulu kamu sembah selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri?’.” (QS. Asy-Syu’ara: 92-93)
Kedua: Tentang janji (العَهْدُ). Seperti firman Allah ﷻ,
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya (akan ditanya).” (QS. Al-Isra’: 34)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّونَ الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُولًا
“Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, tidak akan berbalik mundur. Dan perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya (akan ditanya).” (QS. Al-Ahzab: 15)
Oleh karenanya seseorang yang berjanji, baik dia berjanji kepada Allah ﷻ atau kepada sesama manusia, maka dia pasti akan ditanya oleh Allah ﷻ tentang janjinya tersebut. Seseorang hendaknya berhati-hati dalam membuat janji, itu semua akan ditanya oleh Allah ﷻ pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, janganlah seseorang bermudah-mudahan atau menggampangkan dalam berjanji, akad dan semisalnya, apalagi sampai berkhianat terhadap janji tersebut.
Ketiga: Tentang penglihatan, pendengaran, dan amalan hati. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya (akan ditanya).” (QS. Al-Isra’: 36)
Kita tentu tahu dengan pasti bahwasanya sudah sangat banyak yang kita lihat, sudah sangat banyak yang kita dengar, dan sudah begitu banyak yang kita pikirkan, ketahuilah bahwa itu semua akan ditanya oleh Allah ﷻ. Belum lagi ketika kita berbicara tentang amalan hati, cakupannya sangat luas. Di antaranya seperti riya’, suuzan, tawakal, ikhlas, dan yang lainnya. Maka hendaknya kita berhati-hati, jangan sampai kita melihat apa yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya, jangan kita mendengar apa yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya, dan jangan kita meyakini sesuatu yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat kelak.
Intinya, kita semua akan ditanya tentang amal-amal kita. Adapun tiga bentuk amalan di atas hanyalah sebatas perincian yang datang dalam dalil-dalil.
- Ditanya tentang nikmat
Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ yang sudah sangat kita hafal, yaitu firman Allah ﷻ,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (dunia).” (QS. At-Takatsur: 8)
Semua nikmat tentunya akan ditanya oleh Allah ﷻ, akan tetapi datang dalam beberapa riwayat tentang perincian sebagian nikmat yang akan ditanyakan. Di antaranya seperti dalam hadits Nabi ﷺ tentang empat perkara,
لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ، عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Kaki anak Adam tidaklah bergeser pada hari Kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal([12]); tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia pergunakan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan dan tentang apa yang telah dia lakukan dengan ilmunya.”([13])
Dari hadits ini, ada empat nikmat yang akan ditanyakan oleh Allah ﷻ,
Pertama: Nikmat waktu. Nabi ﷺ menyebutkan dalam hadits di atas bahwa di antara yang ditanya adalah umur, dan ini menunjukkan nikmat waktu akan ditanya oleh Allah ﷻ. Dan ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang lain,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.”([14])
Kedua: Nikmat masa muda. Secara umum umur ditanya oleh Allah ﷻ, akan tetapi masa muda ditanya lebih khusus lagi oleh Allah ﷻ.
Ketiga: Nikmat ilmu. Seseorang kelak akan ditanya oleh Allah ﷻ tentang ilmu yang dia miliki, yaitu apa yang dia telah amalkan dari ilmu yang dia miliki tersebut. Maka ingatlah bahwasanya ilmu itu memiliki tanggung jawab, tidak hanya sekadar menjadi wawasan seseorang. Oleh karenanya seseorang yang menuntut ilmu, hendaknya berniat agar ilmu yang dia dapatkan adalah untuk diamalkan, hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin mengamalkan apa yang dia miliki ilmunya. Adapun jika tidak mampu, maka tentu seorang hamba tidak akan dibebani di luar kemampuannya, hendaknya seseorang bertakwa semampu dia. Oleh karenanya seseorang yang menuntut ilmu namun tidak dia amalkan, maka ini akan menjadi musibah, dan kita berlindung kepada Allah ﷻ dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Keempat: Nikmat harta. Seseorang akan ditanya oleh Allah ﷻ tentang dari mana harta dia peroleh dan ke mana dia belanjakan (habiskan) harta tersebut. Sumber harta yang dimiliki seseorang hanya ada dua, sumber yang halal atau haram. Sesungguhnya pertanyaan ini saja sudah banyak membinasakan banyak orang. Betapa banyak orang yang mengambil harta dengan sembarangan, dengan cara-cara yang curang, cara-cara yang zalim, dan yang lainnya. Kalaupun seseorang mendapatkan harta dengan cara yang halal, maka dia kembali akan ditanya tentang ke mana dia menghabiskan hartanya, apakah ke jalan yang haram atau yang halal? Berfoya-foya atau sudah pada tempatnya? Jika dihabiskan untuk perkara yang haram tentunya ini adalah malapetaka baginya. Maka yang terparah adalah jika seseorang mendapatkan harta dari sumber yang haram, kemudian dihabiskan pada perkara yang haram. Oleh karenanya seseorang harus lolos dari dua pertanyaan ini dengan cara harta yang dia peroleh dari cara yang halal, dan dia belanjakan pula di jalan yang halal, bukan membuang-buang harta tidak pada tempatnya, bukan mubazir, dan bukan pula disimpan-simpan saja. Ingatlah bahwa jika demikian maka hanya akan menambah bebannya pada hari kiamat kelak. Dalam sebuah hadits disebutkan,
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الْأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ، خَمْسِمِائَةِ عَامٍ
“Orang-orang fakir dari kaum mukminin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan jarak setengah hari yang setara dengan lima ratus tahun.”([15])
Orang-orang yang memiliki harta yang banyak tentu hisabnya akan banyak. Semakin banyak hartanya semakin banyak pula hisabnya. Akan tetapi jika seseorang memiliki harta yang banyak, namun ternyata dia gunakan untuk kebaikan dan di jalan yang benar, maka dia akan semakin mulia meskipun hisabnya banyak.
Intinya, kita semua akan ditanya oleh Allah ﷻ tentang nikmat-nikmat ini. Dan tentu bukan hanya nikmat ini saja, akan tetapi semua nikmat yang kita dapatkan akan ditanyakan oleh Allah ﷻ.
Model-model Hisab
Secara umum, model hisab ada dua:
- Al-‘Ardhu (الْعَرْضُ)
Al-‘Ardhu artinya adalah pemaparan. Jenis hisab ini hanya dikhususkan untuk orang-orang beriman. Al-‘Ardhu inilah yang disebut dengan حِسَابًا يَسِيْرًا (hisab yang mudah), sebagaimana dalam firman Allah ﷻ,
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ، فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
“Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah.” (QS. Al-Insyiqaq: 7-8)
Apa maksud pemaparan di sini? pemaparan maksudnya adalah sebagaimana yang datang dalam sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ، فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ، فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ، حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ، وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ اليَوْمَ، فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah (pada hari kiamat) akan mendekatkan orang beriman, lalu bagian sisi badannya diletakkan kemudian ditutup([16]), kemudian Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengenal dosamu yang begini? Apakah kamu mengenal dosamu yang begini?’ Orang beriman itu berkata, ‘Ya, Tuhanku’. Hingga ketika sudah diakui dosa-dosanya dan dia melihat bahwa dirinya akan binasa, Allah berfirman kepadanya, ‘Aku telah merahasiakannya bagimu di dunia (dosa-dosamu) dan Aku mengampuninya buatmu hari ini’. Maka orang beriman itu diberikan kitab catatan kebaikannya.”([17])
Inilah maksud dari Al-‘Ardhu, yaitu Allah paparkan catatan amal seseorang namun tidak secara keseluruhan.
Yang paling beruntung daripada yang dihisab dengan model hisab Al-‘Ardhu adalah orang yang masuk surga tanpa hisab. Namun kita katakan bahwa tidak banyak orang yang bisa seperti atau mendapatkan keistimewaan tersebut. Nabi ﷺ bersabda,
هَؤُلاَءِ أُمَّتُكَ، وَهَؤُلاَءِ سَبْعُونَ أَلْفًا قُدَّامَهُمْ لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلاَ عَذَابَ
“(Kata Jibril), ‘Itulah umatmu, dan itu ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga dengan tanpa hisab dan tanpa azab’.”([18])
Hanya tujuh puluh ribu orang dari sekian miliaran kaum muslimin dari awal sampai hari kiamat. Tentu ini bukan bilangan yang banyak. Dalam sebagian riwayat Nabi ﷺ meminta tambahan kepada Allah ﷻ dengan berkata,
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَوَعَدَنِي أَنْ يُدْخِلَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعِينَ أَلْفًا عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةِ الْبَدْرِ، فَاسْتَزَدْتُ، فَزَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِينَ أَلْفًا
“Aku memohon kepada Rabbku U, lalu Allah memberiku janji untuk memasukkan dari umatku sebanyak tujuh puluh ribu semisal bulan di malam purnama, lalu aku meminta tambahan, dan Dia memberiku tambahan bahwa setiap seribu orang akan membawa tujuh puluh ribu orang.”([19])
Maka kita berharap semoga Allah memberikan kepada kita anugerah dari Allah agar bisa termasuk dari orang-orang tersebut.
- Al-Munaqasyah (الْمُنَاقَشَةُ)
Al-Munaqasyah artinya adalah sidang, yaitu hisab yang detail, tidak ada yang tersisa, semua ditanyakan.
Ibnu Hajar berkata :
وَالْمُرَادُ بِالْمُنَاقَشَةِ الِاسْتِقْصَاءُ فِي الْمُحَاسَبَةِ وَالْمُطَالَبَةُ بِالْجَلِيلِ وَالْحَقِيرِ وَتَرْكِ الْمُسَامَحَةِ
“Yang dimaksud dengan munaqosyah adalah detail dan rinci dalam pengauditan, dan penuntutan segala dosa baik yang besar maupun yang kecil, disertai tanpa pemaafan”([20])
Yang dihisab dengan munaqosyah adalah orang-orang kafir dan juga para pelaku maksiat dari kaum muslimin.
Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ نُوقِشَ الحِسَابَ عُذِّبَ
“Barang siapa yang dihisab (secara detail) maka ia diazab.”([21])
Para ulama menyebutkan bahwasanya maksud dari diazab ada dua sisi; sisi pertama yaitu sidang itu sendiri merupakan azab, sisi kedua yaitu ujungnya (akhir dari hisab) dia akan diazab. Oleh karenanya ketika Nabi ﷺ membacakan hadits ini, ‘Aisyah i bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
قُلْتُ: أَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا} قَالَ: ذَلِكِ العَرْضُ
“Saya bertanya, ‘Bukankah Allah ta’ala berfirman: Maka ia dihisab dengan hisab yang mudah? (QS. Al-Insyiqaq: 8)’. Nabi menjawab, ‘Ayat itu maksudnya hanyalah Al-‘Ardhu (pemaparan)’.”([22])
Orang-orang yang mendapatkan hisab dengan model Munaqasyah, maka mereka akan ditanya secara detail, namun mereka tidak dimaafkan. Contoh yang datang dalam dalil adalah tentang kisah orang-orang yang riya’, di mana ketiga-tiganya masing-masing seorang mujahid, seorang ulama, dan seorang yang dermawan. Ketiga-tiganya ini asalnya adalah orang-orang hebat yang diperlukan oleh agama, akan tetapi karena niat mereka salah, maka mereka kemudian disidang oleh Allah ﷻ dan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam. Dalam sebuah hadits, Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Quran demi Engkau’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca (qari’), dan kini kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan seorang laki-laki yang di beri keluasan rezeki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka’.”([23])
Ketiga jenis orang yang disebutkan Nabi ﷺ di atas ditanya tentang nikmat-nikmat yang Allah ﷻ berikan kepadanya. Seorang mujahid, dia diberi kenikmatan selama di dunia berupa keberanian, jago bermain pedang, jago dalam berkuda, dan nikmat-nikmat lainnya, maka dia pun mengingat nikmat tersebut dan ditanya tentang nikmat tersebut. Ternyata, dia menggunakan nikmat tersebut hanya untuk dikatakan sebagai seorang yang pemberani, seorang mujahid, dan dia benar-benar mendapatkannya di dunia, akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa di akhirat dan dimasukkan ke dalam neraka. Bayangkanlah, seharusnya mungkin dia mendapatkan surga yang paling tinggi, namun ternyata masuk neraka lebih dahulu.
Kemudian disebutkan seorang ulama atau seorang qari’. Maka dia juga ditanya tentang nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya. Mungkin nikmat tersebut berupa kecerdasan, pandai berorasi, suara yang indah, tajwid yang bagus, atau bahkan hafalan yang kuat, dan nikmat lainnya. Ketika ditanyakan tentang apa yang dia lakukan, dia mengatakan bahwa dia belajar dan mengajarkannya karena Allah. dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ mengatakan bahwa orang itu berkata,
كُنْتُ أَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“Dengannya, dulu aku bangun shalat di malam hari dan di siang hari (untuk membacanya).”([24])
Namun ternyata dia dusta, dia menggunakan nikmat tersebut hanya untuk dikatakan seorang qari’ atau seorang ulama, dia mengulang-ulang hafalannya di malam hari untuk pamer di siang harinya, dan dia telah mendapatkan gelar tersebut. Oleh karenanya hendaknya seorang ulama, ustaz, seorang qari’ untuk berhati-hati dalam masalah ini, karena jika niat mereka hanya untuk mencari popularitas maka siap-siaplah binasa pada hari kiamat kelak.
Selanjutnya Nabi ﷺ menyebutkan tentang seseorang yang dermawan. Dia diberikan segala model harta, baik itu rumah mewah, kendaraan mewah, sawah ladang ada, emas dan perak pun dia miliki. Maka ketika dihadirkan pada hari kiamat, lalu ditanya tentang nikmat-nikmat tersebut, dia menjawab bahwasanya harta-harta tersebut dia infakkan di jalan Allah ﷻ. Ternyata Allah mengatakan bahwa dia berdusta, karena ternyata dia melakukan itu semua karena ingin dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Maka lagi-lagi diperintahkanlah malaikat untuk menggeretnya ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
Inilah di antara bentuk munaqasyah yang ujungnya adalah neraka Jahanam.
([5]) HR. Ibnu Majah No. 4284, dan Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih.
([6]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi 9/18
([8]) Lihat Shahih Muslim 1/177, hadits No. 190.s
([11]) Asalnya orang-orang kafir diperintahkan untuk menjalankan syariat Islam, hanya saja sebelum menjalankan syariat tersebut mereka harus masuk Islam terlebih dahulu. Adapun jika mereka tidak melakukannya maka mereka juga berdosa.
([12]) Asalnya hanya ada empat perkara saja, namun disebut lima karena dalam hadits ini dibedakan antara asal memperoleh harta dan tujuan dibelanjakannya. Adapun dalam riwayat-riwayat yang lain keduanya digabungkan menjadi satu perkara.
([13]) HR. At-Tirmidzi No. 2416, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.
([15]) HR. Ibnu Majah No. 4122
([16]) Yaitu seperti burung yang melebarkan (membuka) sayapnya untuk menutup anak-anaknya dari gangguan. Artinya adalah perkara tersebut antara Allah dan sang hamba, Allah tidak mempermalukan sang hamba tersebut di hadapan yang lainnya.