Perdebatan Antara Ahlusunah dan Qodariyah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Kisah pertama,
‘Umar bin Haitsam rahimahullah bercerita suatu hari kami pergi dengan menggunakan sebuah kapal yang ternyata di antara penumpangnya ada seorang Majusi dan Qodariyah. Mulailah keduanya berdiskusi. Qodariyah berkata kepada Majusi, “Masuklah Islam”. Majusi menjawab, “Aku akan masuk Islam sampai Allah ﷻ berkehendak.” Qodariyah berkata, “Allah ﷻ ingin kau masuk Islam tetapi setan tidak menginginkannya”. Majusi berkata, “Allah ﷻ menginginkanku Islam dan setan menginginkanku majusi, ternyata yang terjadi adalah keinginan setan yaitu aku adalah Majusi. Kalau begitu setan lebih kuat dari pada Allah ﷻ. Kalau begitu aku mengikuti setan.”([1])
Kisah kedua,
Kisah ‘Amr bin Ubaid yang merupakan salah seorang tokoh Muktazilah, dia didatangi oleh seseorang yang kehilangan untanya tatkala dia sedang berceramah. Dia meminta kepada ‘Amr bin Ubaid untuk berdoa kepada Allah ﷻ agar Allah ﷻ mengembalikan untanya yang telah dicuri. ‘Amr bin Ubaid kemudian berdoa dengan berkata,
اللَّهُمَّ إِنَّكَ لَمْ تُرِدْ أَنْ تُسْرَقَ نَاقَتُهُ فَسُرِقَتْ، فَارْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Ya Allah ﷻ sesungguhnya Engkau tidak menghendaki untanya dicuri, namun untanya dicuri, maka kembalikan untanya kepadanya.”
Setelah mendengar doa ‘Amr bin Ubaid orang yang kehilangan unta tersebut berkata,
لَا حَاجَةَ لِي فِي دُعَائِكَ، أَخَافُ كَمَا أَرَادَ أَنْ لَا تُسْرَقَ فَسُرِقَتْ أَنْ يُرِيدَ رَدَّهَا فَلَا تُرَدُّ
“Aku tidak butuh terhadap doamu itu, aku takut sebagaimana Dia berkehendak untuk untaku tidak dicuri namun dicuri, maka demikian pula jika Dia berkehendak agar untaku kembali namun dia tidak kembali.”([2])
Kisah ketiga,
Demikian pula kisah yang lain, ada seseorang berkata kepada Abu ‘Isham Al-Qasthalani, “Bagaimana pendapatmu jika Allah ﷻ menghalangiku dari hidayah dan ﷻ menjerumuskan aku ke dalam kesesatan, kemudian Allah ﷻ mengazabku di dalam neraka. Apakah Allah ﷻ adil?” Abu ‘Isham Al-Qasthalani menjawab, “Kalau hidayah adalah milik Allah ﷻ maka berhak bagi Allah ﷻ untuk memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menghalanginya kepada siapa saja yang Dia kehendaki”.([3])
Kisah keempat,
Demikian pula perdebatan antara Abdul Jabbar Al-Hamadani salah seorang tokoh Muktazilah dengan Abu Ishak Al-Isfiraini rahimahullah salah seorang ulama Ahlusunah. Suatu ketika Abdul Jabbar Al-Hamadani mendatangi Abu Ishak Al-Isfiraini untuk menyindir dengan berkata,
سُبْحَانَ مَنْ تَنَزَّهَ عَنِ الفَحْشَاءِ
“Segala puji bagi Allah ﷻ Yang Maha suci dari segala keburukan.”
Maksud diucapkannya perkataan ini adalah Allah ﷻ tidak menghendaki keburukan.
Abu Ishak Al-Isfiraini rahimahullah kemudian membantah,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَكُوْنُ فِي مُلْكِهِ إِلَّا مَا يَشَاءُ
“Maha suci Allah ﷻ, semua yang terjadi di alam semesta adalah atas kehendak Allah ﷻ.”
Maksud Abu Ishak Al-Isfiraini rahimahullah adalah bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah ﷻ.
Abdul Jabbar Al-Hamadani berkata lagi,
أَيُرِيْدُ رَبُّكَ أَنْ يُعْصَى؟
“Apakah Allah ﷻ ingin dimaksiati?”
Abu Ishak Al-Isfiraini rahimahullah menjawab,
أَيُعْصَى رَبُّكَ قَهْرًا
“Apakah Allah ﷻ terpaksa untuk dimaksiati?”
Abdul Jabbar Al-Hamadani berkata,
أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَنَعَنِي الْهُدَى وَقَضَى عَلَيَّ باِلردى أَحْسَنَ إِلَيَّ أَمْ َأسَا
“Bagaimana menurutmu jika Allah ﷻ mencegah hidayah dariku dan Allah ﷻ memutuskan aku untuk masuk neraka, apakah Allah ﷻ berbuat baik kepadaku atau keburukan kepadaku?”
Abu Ishak Al-Isfiraini menjawab,
إِن كَانَ مَنعك مَا هُوَ لَك فقد أساء وَإِن مَنعك مَا هُوَ لَهُ فَيخْتَص برحمته من يشاء
“Jika Allah ﷻ menghalangimu dari sesuatu milikmu maka Allah ﷻ berbuat buruk. Adapun jika Allah ﷻ menghalangimu dari sesuatu milik Allah ﷻ (hidayah), lalu Allah ﷻ mengkhususkan dengan memberikan kepada siapa saja yang Allah ﷻ kehendaki melalui rahmat-Nya (maka Allah ﷻ tidak zalim).
Mendengar jawaban ini maka Abdul Jabbar pun terdiam tidak mampu menjawab lagi.([4])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Lihat: Syarah Akidah Tahawiyah (1/323).
([2]) Lihat: Syarah Akidah Tahawiyah (1/323).