Padang Mahsyar
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Di antara peristiwa dahsyat yang terjadi di padang mahsyar adalah di didekatkannya matahari sejauh satu mil. Rasulullah ﷺ bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ، قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ : فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيْلِ أَمَسَافَةَ اْلأَرْضِ أَمْ الْمِيْلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ، قَالَ : فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا، وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى فِيْهِ
“Pada hari kiamat, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.” –Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata?” Nabi ﷺ bersabda, “Sehingga manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya). Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang tenggelam dalam keringatnya.” Rasulullah ﷺ memberikan isyarat dengan meletakkan tangan ke mulut beliau.”([1])
Saat itu manusia hanya memiliki tempat sebatas tempat berdirinya saja karena saking rapatnya, sehingga panas yang dirasakan pun semakin terasa([2]). Hari itu adalah hari yang sangat panas namun di sana ada orang-orang yang berbahagia karena mendapatkan naungan dari Allah ﷻ . Hal ini disabdakan oleh Nabi ﷺ dalam haditsnya,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dari Abu Harairah h dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata;
“Imam (pemimpin) yang adil, Pemuda yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Allah, Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, dan seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan, “Sungguh aku takut kepada Allah.” Seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan orang yang berzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.”([3])
Syarah Hadits
Hadits ini adalah hadist yang mulia yang menjelaskan tentang orang-orang yang mulia. Banyak kalangan ulama yang menulis buku-buku khusus tentang syarah dari hadits ini, di antaranya; kitab Makrifatu Al-Khisal Al-Muushilah ila Adz-Dzilaal karya Ibnu Hajar Al-Asqalani ﷺ , kitab Tamhid Al-Farsy fi Al-Khisal Al-Mujibah li Adz-Dzil Al-Arsy karya As-Suyuthi ﷺ .
Apakah yang dimaksud dengan Adz-Dzil (Naungan) ? secara umum para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat dalam memaknai Adz-Dzil :
- ظِلّ عَرشِهِ yaitu naungan Arsy Allah ﷻ.
- ظِلِّهِ yaitu naungan yang Allah ﷻ Bukan naungannya dzat Allah ﷻ. Adapun Idhafah-nya (penyandarannya) kepada Allah dimaksudkan untuk At-Tasyrif (pemuliaan) dan bukan penyandaran sifat kepada dzat Allah ﷻ.([4])
Pertama : اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ (Pemimpin yang Adil)
Yaitu seseorang yang diberi kekuasaan kemudian dia gunakan kekuasaannya untuk mengayomi dan bersikap adil kepada orang-orang yang berada dalam kekuasaannya. Adapun makna adil sendiri adalah وَضعُ الشَّيءِ فِي مَحَلِّهِ yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Imam yang Adil disebutkan yang paling pertama akan mendapatkan naungan dari Allah ﷻ karena dia yang paling bermanfaat bagi banyak orang([5]). Ibnu Taimiyah ﷺ mengatakan,
فَإِذَا اجْتَهَدَ الرَّاعِي فِي إصْلَاحِ دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Maka jika pemimpin bersungguh-sungguh dalam memperbaiki agama rakyat dan dunia mereka semaksimal mungkin maka ia adalah orang yang terbaik di zamannya, dan ia adalah mujahid terbaik di jalan Allah” ([6])
Sebaliknya jika seorang Imam tersebut adalah Imam yang tidak adil maka musibah bagi dirinya karena akan banyak yang menuntutnya kelak di hari kiamat.
Ibnu Hajar ﷺ menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Imam atau penguasa di sini bukan hanya penguasa dalam lingkup kenegaraan saja. Makna penguasa dalam hadits tersebut lebih umum termasuk di dalamnya orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam lingkup yang kecil([7]). Contoh, menteri misalnya atau gubernur, bupati, wali kota, lurah dan selainnya bahkan seorang suami juga termasuk di dalamnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits yang lain,
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِندَ اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِن نورٍ… الذِّينَ يَعدِلُونَ فِي حُكمِهِم وَأَهلِيهِم وَمَا وُلُّو
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil disisi Allah akan berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya… mereka-mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam hukum mereka, berbuat adil dalam keluarga mereka dan apa saja yang ada di bawah urusan mereka”.([8])
Maka siapa saja yang memiliki kekuasaan, berusahalah berhukum dengan seadil-adilnya karena jika mampu berbuat adil maka ia akan menjadi golongan pertama yang akan mendapatkan naungan dari Allah ﷻ.
Kedua : شَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ (Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah)
Tentu saja masa muda adalah masa yang penuh dengan godaan. Terlebih di zaman sekarang di mana internet mudah di akses. Seorang pemuda bisa dengan mudahnya menghabiskan waktunya untuk game online, nonton film dan kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak bermanfaat dan tidak produktif. Bahkan seorang pemuda bisa dengan mudahnya berkomunikasi dengan lawan jenisnya kapan saja dan di mana saja.
Oleh kerenanya pemuda yang mampu tumbuh dalam peribadatan kepada Allah ﷻ adalah pemuda yang istimewa. Tumbuh dalam peribadatan di waktu muda akan menjadikannya terbiasa untuk selalu beribadah ketika memasuki usia senja, pernah dikatakan bahwa,
مَن شَبَّ عَلَى شَيءٍ شَابَ عَلَيهِ
“Barang siapa membiasakan dirinya di atas sesuatu ketika muda, maka ia akan tua dengan membawa kebiasaan tersebut”
Hal ini juga merupakan isyarat kepada para orang tua agar mendidik anaknya sejak dini dengan pendidikan agama.
Ketiga : وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، (Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid).
Di sini terdapat isyarat bahwa orang tersebut jasadnya berada di luar masjid, namun hatinya tetap terpaut dengan masjid. Tentu saja ini bukanlah amalan yang ringan, orang tersebut selalu rindu dengan berkumandangnya azan, rindu untuk pergi ke masjid, rindu untuk membaca Al-Quran di masjid, rindu untuk mendengarkan kajian di masjid. Di saat banyak orang yang melangkahkan kakinya menuju masjid dengan berat orang ini justru bersemangat menuju masjid karena hatinya yang selalu terpaut dengan masjid.
keempat : وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ (Dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah).
Para ulama menjelaskan bahwa poin ini merupakan di antara tujuh perkara yang paling ringan untuk diamalkan jika dibandingkan dengan yang lain sebagaimana disebutkan dalam hadits. Hal ini karena belum tentu setiap dari kita akan menjadi imam (penguasa), atau orang yang terlanjur tua dan tidak menghabiskan masa mudanya untuk ketaatan dan peribadatan kepada Allah ﷻ. Berbeda dengan amalan pada poin ini cukup hanya dengan menjalin kecintaan karena Allah ﷻ.
Di antara ciri saling mencintai karena Allah ﷻ adalah kesalahan-kesalahan yang sifatnya duniawi tidak menjadikan mereka berpisah. Lihatlah bagaimana Abu bakar dan Umar k, pernah terjadi masalah antara keduanya sampai-sampai keduanya saling meninggikan suaranya. Akan tetapi yang demikian itu tidak menjadikan mereka berpisah, karena selama ini mereka menjalin pertemanan mereka di atas kecintaan karena Allah ﷻ.
Di antara contoh berkumpul karena Allah ﷻ seperti kumpul-kumpul karena ada pengajian, rapat untuk dakwah, baksos dan lain sebagainya yang sifatnya bukanlah perkara duniawi semata.
Adapun makna berpisah karena Allah maka ada beberapa tafsiran,
Pertama : Yaitu mereka bertemu karena Allah dalam majelis mereka, dan ketika mereka berpisah dari majelis mereka masih dalam kondisi saling mencintai karena Allah([9]).
Kedua : Mereka terus bersahabat karena Allah dan tidak memisahkan mereka kecuali kematian di dunia([10]).
Ketiga : Apabila salah satu di antara mereka ada yang berubah dari kondisi yang membuatnya dicintai karena Allah (seperti ia berubah menjadi bermaksiat) maka teman yang lainnya akan meninggalkannya karena Allah([11]). Bisa jadi temannya mengingatkannya bahkan jika harus meng-hajr (memboikot) maka dia juga akan melakukannya. Sebagaimana yang terjadi pada sahabat Ka’ab bin Malik h ketika beliau tidak mengikuti perang Tabuk Nabi ﷺ dan para sahabatnya memboikotnya. Tentu saja boikot yang dilandasi kecintaan karena Allah ﷻ. Pertemanan sejati bukan berarti membenarkan apa saja yang dilakukan oleh temannya yang berbuat kesalahan, karena yang demikian ini merupakan ciri pertemanan yang tidak didasari kecintaan kepada Allah ﷻ.
Keempat : Bahwa mereka berpisah agar masing-masing bisa melanjutkan ibadah yang dikerjakan sendiri-sendiri([12]).
Kelima : وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ (Seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan: “Sungguh aku takut kepada Allah).
Yang dimaksud dengan kedudukan menurut penjelasan para ulama adalah wanita tersebut berasal dari keluarga yang nasabnya tinggi atau maksudnya adalah wanita yang memiliki harta.
Para ulama menjelaskan bahwa di antara tujuh golongan yang paling sulit adalah yang ini, karena kelemahan dasar seorang lelaki terletak pada wanita. Seorang lelaki mungkin bisa tegar menghadapi ujian harta, mungkin dia tidak korupsi dan tidak menzalimi orang namun ketika dihadapkan dengan fitnah berupa wanita maka dia pun terjatuh dalam fitnah tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.”([13])
Di zaman ini para lelaki sering terjatuh pada rayuan wanita meskipun tidak cantik maka bagaimana dengan seorang lelaki yang dirayu oleh seorang perempuan yang sifatnya seperti yang disebutkan dalam hadits? Maka lelaki yang mampu menahan dirinya dari fitnah tersebut adalah lelaki yang hebat, kejadian ini juga pernah dialami oleh nabi Yusuf u. Adapun perkataannya, إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ “Sesungguhnya aku takut kepada Allah” ada yang berpendapat bahwa lelaki tersebut mengatakannya di dalam hati, ada pula yang berpendapat bahwa ia mengatakan itu dengan jelas agar wanita tersebut berhenti merayunya.
Keenam : وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ (Seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya).
Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan betapa ikhlasnya orang tersebut sampai-sampai tangan kanan yang selalu menemani tangan kiri dalam banyak kegiatan namun ketika tangan kanan bersedekah tangan kiri tidak mengetahuinya. Disebutkan bahwa sebagian salaf, di antara mereka ketika beramal dengan suatu amalan saleh ia gemar menyembunyikan amalannya sampai-sampai istrinya tidak mengetahui amalan tersebut. Di antara mereka ada yang berpuasa dan ketika pagi hari ia meminta sarapan kepada istrinya, kemudian dia pergi ke pasar dan ia sedekahkan makanan tersebut kepada orang yang membutuhkannya. Ketika ia pulang di sore hari dia berbuka di rumah namun seakan-akan dia sedang makan malam.
Maka hendaknya seseorang melatih dirinya agar berpuas diri dan merasa cukup ketika beramal hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Terlebih di zaman media saat ini seseorang diuji dengan mengekspos segala kegiatan yang ia lakukan ke publik, seperti berbakti dengan orang tua, berbuat baik kepada istri, sedekah, umrah, haji dan berbagai macam bentuk ibadah lainnya tidak pernah sungkan untuk di-share ke publik. Kita sedang tidak menuduh orang yang melakukan hal tersebut telah berbuat riya’, namun hendaknya masalah ini menjadi perhatian setiap dari kita, kenapa hal-hal tersebut harus kita share dan kita ceritakan kepada orang lain? Kenapa kita senang bercerita tentang ibadah-ibadah kita, sholat kita, umrah kita, haji kita? Hendaknya kita tanyakan kepada lubuk hati kita yang paling dalam, seandainya saja ada riya’ yang kita inginkan maka Allah ﷻ maha mengetahui apa yang ada dalam isi hati hamba-hamba-Nya.
Latihlah diri untuk bahagia ketika berhasil melakukan suatu amal saleh sedangkan tidak ada orang yang tahu akan amalnya tersebut. Temannya dekatnya, ustaznya, muridnya, bahkan pasangannya tidak harus tahu dengan amalannya, sehingga diri kita dapat termasuk golongan yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sedekah wajib (zakat), apakah lebih afdhol ditampakkan atau disembunyikan?
Pendapat yang menyatakan lebih afdhol ditampakkan mereka berhujah bahwasanya menampakkan sedekah wajib merupakan syiar dan agar seseorang tidak tertuduh bahwa dia tidak mengeluarkan zakat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa lebih afdhol untuk tidak ditampakkan mereka berhujah dengan keumuman firman Allah ﷻ ,
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:271)
Pada ayat tersebut tidak dibedakan antara sedekah wajib dan yang sunah. Akan tetapi apabila ada maslahat ketika di tampakkan seperti sedekah wajib misalnya, karena di antara tujuannya adalah menghibur hati-hati orang-orang miskin dan agar mereka merasa diperhatikan oleh orang-orang kaya sehingga tidak muncul hasad (kedengkian) dalam hati-hati mereka, maka tidak mengapa untuk ditampakkan. Bisa jadi ketika kita meminta orang lain untuk memberikan zakat tersebut kepada tetangga kita yang kurang mampu dia akan berprasangka buruk bahkan muncul kedengkian darinya meskipun sebenarnya sedekah tersebut berasal dari kita.
Di antara maslahat bolehnya menampakkan sedekah adalah agar orang lain mengikuti amalan tersebut. Misalkan ketika di buka donasi untuk pembangunan masjid seseorang berkata, “Saya sumbang satu juta”, ia sengaja menampakkannya agar ditiru oleh orang lain maka tidak mengapa. Terlebih lagi jika ternyata setelah itu dia memberikan sumbangan sembilan juta secara sembunyi-sembunyi maka ini merupakan amalan yang sangat baik.
Di antara bentuk sedekah yang disembunyikan adalah seseorang membeli barang tanpa menawar barang tersebut. Intinya jika seseorang berniat untuk menyembunyikan amalannya maka insya Allah ia akan dimudahkan oleh Allah ﷻ untuk mengamalkannya, namun jika kita tidak ada keinginan untuk berbuat demikian malah ingin agar orang selalu tahu amalan-amalan kita maka akan berat baginya untuk meraih keikhlasan. Jangan sampai kita ridha ketika amalan-amalan kita diekspos oleh orang lain di media sosial karena sungguh kita adalah hamba yang lemah, sulit untuk ikhlas dan kita sangat membutuhkan naungan Allah ﷻ di hari kiamat kelak.
Ketujuh : وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ Seseorang yang berzikir (mengingat) Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.
Ibnu hajar ﷺ mengatakan bahwa maksud dari خَالِيًا “di waktu sunyi atau dalam kesendirian” adalah لاَ يَلْتَفِتُ إِلَى النَّاسِ dia tidak peduli dengan orang lain([14]). Misalnya seseorang yang terbiasa membaca Al-Quran dan berzikir di mana pun dia berada semisal berada di Bandara atau di pesawat, jika suatu saat ia menangis dan hatinya tetap fokus kepada Allah serta tidak peduli dengan keadaan sekitarnya maka dia juga termasuk dalam hadits ini.
Sabda Nabi ﷺ, فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ jika di artikan “Maka berlinanglah matanya” padahal yang dimaksudkan adalah air matanya, ini menunjukkan betapa derasnya air mata orang tersebut bahkan salah satu riwayat menyebutkan sampai-sampai air matanya jatuh ke tanah.([15])
Adapun sebab tangisannya maka para ulama menjelaskan bahwa terdapat dua penyebab tangisan tersebut; pertama: karena dia takut kepada Allah dan kedua : karena dia rindu kepada Allah.([16])
Catatan :
- Penyebutan رَجُلٌ “laki-laki” tidak terdapat padanya mafhum sehingga wanita pun juga termasuk dalam hadits ini. Imam yang adil misalnya maka dapat dipahami bahwa seorang wanita ketika bersikap adil di hadapan anak-anaknya maka dia termasuk kategori pemimpin yang adil, atau seorang wanita yang menjadi pemimpin bagi kaum wanita lainnya seperti seorang mudirah (direktur wanita) ketika ia mampu bersikap adil maka dia termasuk kategori pemimpin yang adil. Begitu pula pemudi yang tumbuh di atas peribadatan kepada Allah, dua pemudi yang saling mencintai karena Allah ﷻ maka termasuk dalam kategori orang-orang yang akan mendapatkan naungan dari Allah ﷻ. Adapun pemudi yang hatinya terpaut dengan masjid maka sebagian ulama seperti syaikh Ibnu Utsaimin ﷺ menjelaskan bahwa jika maknanya dapat diperluas sehingga yang dimaksud dengan masjid adalah tempat sujud, maka wanita bisa masuk dalam golongan ini yaitu wanita yang hatinya senantiasa rindu untuk menegakkan shalat([17]). Begitu pula seorang wanita yang digoda seorang pria yang memiliki ketampanan dan nasab yang baik untuk berzina dengannya maka ia mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seorang wanita yang bersedekah sembunyi-sembunyi dan wanita yang senantiasa mengingat Allah dalam kesendiriannya kemudian berlinangan air matanya maka semua ini termasuk golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah ﷻ di hari tidak ada naungan selain naungan-Nya.
- Lafal سَبْعَةٌ “tujuh” tidak terdapat padanya mafhum sehingga tidak dapat dipahami bahwa “tujuh” tersebut untuk pembatasan([18]). Bahkan sebagian ulama menyusun sampai tujuh puluh amalan, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut banyak datang dari riwayat yang dhaif. Adapun amalan-amalan yang datang dalam sanad-sanad yang hasan dan jayid maka para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat amalan-amalan tersebut adalah amalan tersendiri ada pula yang berpendapat bahwa tujuh amalan yang disebukan oleh Nabi ﷺ dalam hadits ini termasuk kedalam amalan-amalan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut. Ibnu hajar ﷺ dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa terdapat amalan lain yang beliau himpun dalam suatu bait syair,
وَزِدْ سَبْعَةً إِظْلَالَ غَازٍ وَعَوْنَهُ… وَإِنْظَارَ ذِي عُسْرٍ وَتَخْفِيفَ حِمْلِهِ
وَإِرْفَادَ ذِي غُرْمٍ وَعَوْنَ مُكَاتَبٍ… وَتَاجِرَ صِدْقٍ فِي الْمَقَالِ وَفِعْلِهِ
“Dan tambahkan (amalan lain) dari ketujuh itu yaitu, menaungi dan menolong seorang mujahid…Memberikan tempo tambahan bagi orang yang terlilit hutang atau meringankan hutangnya
Membantu orang yang memiliki hutang dengan membayarkan hutangnya dan juga membantu seorang budak (mukatab) yang ingin memerdekakan dirinya
Seorang pedagang yang jujur dalam perkataannya dan perbuatannya” ([19])
Intinya terdapat banyak riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa amalan-amalan ini tidak terbatas pada tujuh golongan saja.
- Telah lalu bahwasanya terdapat amalan-amalan lain (selain yang 7) yang mendatangkan naungan pada hari kiamat, di antaranya;
Sedekah, Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِي ظلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَاسِ
“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya (pada hari Kiamat) hingga diputuskan di antara manusia”([20])
Membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah Al-Quran, karena ia akan datang memberi syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti. Bacalah Zahrawain, yakni surat Al Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya akan datang pada hari kiamat nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi pembacanya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al- Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir.”([21])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([2]) Lihat: Fathul Bari 11/376
([3]) HR. Al-Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031
([4]) Lihat: Fathul Bari 2/144
([5]) Lihat: Fathul Bari 2/145
([6]) Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 28/262
([7]) Lihat: Fathul Bari 2/144-145
([9]) Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 7/121 dan Fathul Baari, Ibnu Hajar 2/145
([10]) Lihat Fathul Baari, Ibnu Rojab al-Hanbali 6/48
([11]) Lihat Fathul Baari, Ibnu Rojab al-Hanbali 6/48
Sebagian salaf ada yang berkata :
إِذَا كَانَ لَكَ أَخٌ تُحِبُّهُ فِي اللهِ، فَأَحْدَثَ حَدَثاً فَلَمْ تُبْغِضْهُ فِي اللهِ لَمْ تَكُنْ مَحَبَّتُكَ للهِ
“Jika engkau memiliki kawan yang engkau mencintainya karena Allah, lalu ia berbuat kemungkaran lantas engkau tidak membencinya karena Allah maka berarti cintamu sebelumnya bukan karena Allah” (Fathul Baari, Ibnu Rojab al-Hanbali 6/48)
([12]) Lihat Ikmal al-Mu’lim Bi Fawaid Muslim, al-Qodhi Íyaadh 3/563
([13]) HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740
([14]) Lihat: Fathul Bari 2/147
([15]) HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7668 4/289
([16]) Lihat: Fathul Bari 2/147
([17]) Lihat : Fatawa Nur ‘Ala Darb 6/2
([18]) Lihat: Fathul Bari 2/144; Syarah Riyadhus Salihin karya Ibnu Al-Utsaimin 3/543
([19]) Lihat : fathul Bari 2/144
([20]) HR. Ahmad 4/147 dan Thabrani 17/280, Hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih At-Targhib no. 872