Telaga Nabi (حَوْضُ النَّبِيِّ )
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Melanjutkan pembahasan kita tentang perkara-perkara yang terjadi di padang mahsyar, maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang telaga Nabi ﷺ.
Ketika manusia dalam kondisi sulit, tidak ada sesuatu pun yang mereka bawa, tidak ada bekal yang mereka bawa, tidak ada air minum yang mereka bawa. Nabi ﷺ bersabda,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ – أَوْ قَالَ: الْعِبَادُ – عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا، قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ
“Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat –atau bersabda dengan redaksi para hamba- dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak buhman”. Lalu kami bertanya, ‘Apakah buhman itu?’ Beliau bersabda, ‘Tidak memakai pakaian sehelai benang pun’.”([1])
Pada hari itu, seluruh apa yang mereka usahakan di dunia, tidak ada yang mereka bawa. Jangankan harta, pakaian dan alas kaki pun mereka tidak bawa. Pada hari itu, mereka dikumpulkan dalam suatu padang yang sangat luas, di mana matahari diturunkan kepada mereka dengan jarak satu mil dari ubun-ubun, yang membuat mereka bercucuran air keringat yang banyak dan sedikitnya ditentukan oleh kadar amalan seseorang. Nabi ﷺ pernah bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ، حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ، فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا
“Pada hari kiamat, matahari di dekatkan ke manusia hingga sebatas satu mil. Lalu mereka bercucuran keringat sesuai amal perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang berkeringat hingga tumitnya, ada yang berkeringat hingga lututnya, ada yang berkeringat hingga pinggang dan ada yang benar-benar tenggelam oleh keringat.”([2])
Maka semakin sedikit amalan seseorang, maka akan semakin banyak keringat yang bercucuran dari tubuhnya. Maka kondisi tersebut menjadikan manusia benar-benar dalam kondisi sangat haus dan membutuhkan air minum. Maka pada saat itu, Nabi ﷺ telah menanti umatnya di telaga beliau, sebagaimana dalam sabdanya,
إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ، مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
“Sesungguhnya aku menunggu kalian di telagaku, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya.”([3])
Makna dari الفَرَطُ adalah Nabi ﷺ lebih dahulu berada di telaganya untuk menjamu umatnya agar segera minum dari telaga tersebut.
Intinya, dengan kondisi-kondisi yang seperti itu di padang mahsyar, maka seseorang benar-benar membutuhkan air minum. Oleh karenanya disebutkan bahwa barang siapa yang bisa mampir ke telaga Nabi ﷺ, kemudian dia minum dari telaga tersebut, maka akan hilang rasa hausnya, dan tidak akan pernah haus lagi setelah itu([4]). Oleh karenanya para salaf terdahulu sangat perhatian untuk berdoa agar bisa minum dari telaga Nabi ﷺ. Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu berkata,
وَلَقَدْ أَدْرَكْتُ عَجَائِزَ بِالْمَدِينَةِ لَا يُصَلِّينَ صَلَاةً إِلَّا سَأَلْنَ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يُورِدَهُنَّ حَوْضَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku mendapati wanita-wanita tua di kota Madinah. Tidaklah mereka shalat dengan satu shalat pun kecuali mereka meminta (berdoa) kepada Allah agar membuat mereka bisa mendatangi telaga Nabi ﷺ.”([5])
Ini menunjukkan bahwa mereka sangat perhatian terhadap telaga Nabi ﷺ, sampai-sampai mereka berdoa meminta hal tersebut setelah mereka shalat. Oleh karenanya juga kita sering mendengar orang-orang yang thowaf mereka sering berdoa,
للَّهُمَّ اسْقِنَا مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ شَرْبَةً لَا نَظْمَأُ بَعْدَهَا اَبَدًا
“Ya Allah minumkanlah kami dari telaga nabi-Mu, dengan tegukan (minuman) yang kami tidak akan haus setelah itu selama-lamanya.”
Maka dari itu, hendaknya seseorang menyempatkan dirinya untuk berdoa memohon telaga Nabi ﷺ, agar kelak bisa mendatangi telaga Nabi ﷺ.
Makna الحَوْضُ
الحَوْضُ maknanya adalah tempat berkumpulnya air yang banyak, yang dalam bahasa kita (Indonesia) seperti danau atau telaga.
Dalil adanya الحَوْضُ
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya setiap nabi memiliki telaga karena masing-masing nabi punya umat yang butuh minum pada waktu tersebut. Nabi bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً، وَإِنِّي أَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً
“Sesungguhnya setiap nabi memiliki telaga, dan sesungguhnya mereka berbangga-bangga siapa di antara mereka yang paling banyak mendatangi telaganya. Sungguh aku berharap akulah yang telaganya terbanyak yang mendatanginya.”([6])
Akan tetapi telaga Nabi ﷺ adalah telaga yang spesial di antara telaga-telaga nabi yang lainnya. Di antara kelebihannya dari telaga yang lain adalah telaga Nabi ﷺ lebih luas, lebih besar dan lebih indah, dan semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa masuk ke telaga Nabi ﷺ.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang telaga Nabi ﷺ sangatlah banyak sehingga mencapai derajat hadits Mutawatir. Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh orang sahabat Nabi ﷺ. Adapun hadits yang diriwayatkan kurang dari sepuluh orang sahabat, maka hadits tersebut disebut hadits Ahad. Oleh karenanya, semakin banyak sahabat yang meriwayatkan suatu hadits, maka akan semakin menguatkan hadits tersebut. Maka tatkala hadits tersebut dikatakan Mutawatir, maka tidak diragukan lagi kevaliditasnya. Oleh karenanya Al-Imam At-Tawudi ﷺ mengatakan,
مِمَّا تَوَاتَرَ حَدِيْثُ مَنْ كَذَبَ … وَمَنْ بَنَى للهِ بَيْتاً وَاحْتَسَبَ
وَرُؤْيَةٌ شَفَاعَةٌ وَالْحَوْضُ … وَمَسْحُ خُفَّيْنِ وَهَاذِي بَعْضٌ
“Di antara hadits yang mutawatir adalah hadits tentang barang siapa yang berdusta atas nama Nabi ﷺ.. ..Dan hadits tentang Barangsiapa membangun masjid karena Allah..
Dan hadits tentang melihat Nabi, syafaat dan telaga Nabi ﷺ.. Dan hadits tentang bolehnya mengusap khuf.”([7])
Oleh karenanya tatkala Al-Imam Ibnu Hajar ﷺ mengumpulkan nama-nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tentang telaga Nabi ﷺ, beliau mendapatkan bahwa jumlah para sahabat yang meriwayatkan lebih dari 50 orang.([8]) Dan beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar ada sebagian ulama di zaman beliau yang mengumpulkan sampai 80 orang sahabat yang meriwayatkan hadits tentang telaga Nabi ﷺ.([9]) Maka ini adalah bukti bahwa Nabi ﷺ sering mengulang-ulang kabar tentang telaganya dalam berbagai majelisnya sebagai kabar gembira bagi umatnya. Kalau satu orang sahabat saja yang meriwayatkan suatu hadits kita harus membenarkan, apalagi kalau diriwayatkan lebih dari 50 orang sahabat. Maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tentang telaga Nabi ﷺ adalah benar.
Dalam Shahihain, yaitu kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, para sahabat yang meriwayatkan hadits telaga Nabi ﷺ jumlahnya kurang lebih 15 orang. Di antaranya adalah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abdullah bin ‘Amr, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Khudzaifah, Usaid bin Hudair, ‘Uqbah bin Amir, Abdullah bin Zaid, Salman bin Sa’ad, Said Al-Khudri, Jundub, Haritsah bin Wahab, Mustaurat, dan Asma’ binti Abi Bakar j. Adapun para sahabat lain yang meriwayatkan hadits tersebut tersebar pada kitab-kitab hadits yang lain seperti Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Nasa’i, Musnad Imam Ahmad, dan kitab hadits lainnya. Oleh karenanya tidak mungkin kita meragukan hadits tentang telaga Nabi ﷺ, karena sangat banyak sahabat yang meriwayatkannya.
Banyaknya para sahabat yang meriwayatkan tentang telaga Nabi ﷺ ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ sering mengulang-ulang dalam menyampaikan tentang telaga beliau. Oleh karenanya ketika Ubadillah bin Ziyad mendatangi Abu Barzah Al-Aslamy dan bertanya,
إِنَّمَا بَعَثْتُ إِلَيْكَ لِأَسْأَلَكَ عَنِ الْحَوْضِ، سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ فِيهِ شَيْئًا؟ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَرْزَةَ: نَعَمْ، لَا مَرَّةً، وَلَا ثِنْتَيْنِ، وَلَا ثَلَاثًا، وَلَا أَرْبَعًا، وَلَا خَمْسًا، فَمَنْ كَذَّبَ بِهِ فَلَا سَقَاهُ اللَّهُ مِنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ مُغْضَبًا
“Sesungguhnya aku datang kepadamu untuk bertanya perihal telaga, aku pernah mendengar Muhammad ﷺ menyebut-nyebut tentang itu.” Abu Barzah menjawab, ‘Benar, tidak hanya satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali atau lima kali. Maka siapa saja yang mendustainya, Allah tidak akan memberinya minum’. Lalu ia (Abu Barzah) keluar dengan marah.”([10])
Seringnya Nabi ﷺ meriwayatkan tentang telaga beliau menunjukkan bahwasanya sangat wajar jika dikatakan bahwa yang meriwayat hadits tentang telaga itu sampai lima puluh sahabat.
Letak Telaga Nabi ﷺ
Disebutkan dalam Fathul Baari bahwasanya ada khilaf di kalangan para ulama tentang hal ini, dan secara umum terbagi menjadi dua pendapat.([11])
- Pendapat pertama
Sebagian berpendapat bahwasanya letak telaga Nabi ﷺ adalah di padang mahsyar namun sebelum sirath, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Diantara sebab mereka memilih pendapat adalah :
- Hikmah dari telaga adalah menghilangkan haus, sementara rasa haus tersebut terjadi di padang mahsyar.
- Dalam hadits disebutkan bahwa ada yang diusir dari telaga. Ini menunjukkan bahwa peristiwa telaga itu sebelum sirath, karena jika setelah sirath maka semua yang bisa melewatinya pasti masuk surga, dan tidak mungkin lagi ada yang diusir. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
تَرِدُ عَلَيَّ أُمَّتِي الْحَوْضَ، وَأَنَا أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَذُودُ الرَّجُلُ إِبِلَ الرَّجُلِ عَنْ إِبِلِهِ، قَالُوا يَا نَبِيَّ اللهِ أَتَعْرِفُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ غَيْرِكُمْ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ، وَلَيُصَدَّنَّ عَنِّي طَائِفَةٌ مِنْكُمْ فَلَا يَصِلُونَ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ هَؤُلَاءِ مِنْ أَصْحَابِي. فَيُجِيبُنِي مَلَكٌ، فَيَقُولُ: وَهَلْ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ؟
“Umatku menemuiku di telaga, dan aku menghalau mereka darinya sebagaimana seseorang menghalau unta orang lain dari untanya.” Mereka bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah engkau mengenal kami?’ Beliau menjawab: ‘Ya. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat yang lain. Kalian menemuiku dalam keadaan putih bersinar karena bekas air wudhu. Dan sungguh sekelompok dari kalian akan dihalau dariku, sehingga kalian tidak sampai kepadaku. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rabbku, mereka adalah para sahabatku’. Allah menjawab; ‘Apakah kamu tahu apa yang terjadi setelah kepergianmu?’.”([12])
Maka tentu peristiwa ini tidak mungkin terjadi setelah sirath, akan tetapi peristiwa tersebut terjadi sebelum sirath.
- Pendapat kedua
Sebagian ulama berpendapat bahwasanya letak telaga Nabi ﷺ adalah setelah sirath. Dan pendapat ini diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari adalah pendapat Imam Al-Bukhari, sebagaimana yang dipahami oleh Ibnu Hajar dari bab-bab yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari, dan seakan-akan Ibnu Hajar condong kepada pendapat ini.([13]) Di antara dalil yang paling kuat akan pendapat ini adalah mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ,
إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ، مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
“Sesungguhnya aku menunggu kalian di telagaku, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya.”([14])
Sehingga mereka mengatakan bahwasanya jika letak telaga di padang mahsyar, bisa jadi yang datang adalah para pelaku maksiat, sementara setelah itu ketika mereka melalui sirath ternyata mereka terjungkal dan masuk neraka, lantas apakah mereka akan kehausan di neraka? Dalil ini tentu juga merupakan dalil yang cukup kuat. Akan tetapi pendapat ini dibantah dengan pendapat pertama bahwasanya kalaupun mereka masuk neraka, maka mereka akan diazab selain dari rasa haus. Namun jawaban ini juga kurang tepat karena telah datang dalam sebagian lafal hadits : وَمَنْ لَمْ يَشْرَبْ مِنْهُ لَمْ يُرْوَ أَبَدًا “Siapa yang tidak minum dari telaga Nabi maka dia tidak akan pernah hilang dahaganya selamanya” ([15]). Kacuali jika kita mengatakan bahwa siapapun dari umat Nabi yang tercatat masuk neraka maka dia akan diusir dari telaga Nabi shallallahu álaihi wasallam. Wallahu a’lam.
Demikian juga jika kita mengatakan bahwa telaga Nabi terletak setelah shiroth maka seharusnya yang datang kepadanya tidak ada yang tertolak, karena semua yang telah melewati shiroth berarti telah selamat dari neraka. Sementara telah datang dalam banyak riwayat bahwasanya sebagian umat Nabi shallallahu álaihi wasallam tertolak dan diusir dari telaga. Karenanya pendapat bahwa telaga terletak setelah shiroth kurang kuat.
Sifat telaga Nabi
1, Bentuk dan luas telaga Nabi ﷺ
Nabi ﷺ memberikan dua model pendekatan ketika menyebutkan tentang luas dari telaga beliau. Terkadang beliau memberikan pendekatan dengan waktu tempuh, dan terkadang dengan pendekatan jarak tempuh.
- Model pendekatan waktu tempuh
Di antara sabda Nabi ﷺ yang menjelaskan tentang sifat telaga beliau dengan model pendekatan waktu tempuh adalah sabda Nabi ﷺ tentang bentuk telaga beliau,
حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ، وَزَوَايَاهُ سَوَاءٌ
“Luas telagaku sejauh sebulan perjalanan. Setiap sisinya sama panjangnya.”([16])
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
عَرْضُهُ مِثْلُ طُولِهِ
“Lebarnya sama dengan panjangnya.”([17])
Dari sini mayoritas ulama sepakat bahwa bentuk telaga Nabi ﷺ adalah persegi. Adapun Syaikh Muhammad bin Soleh Al-‘Utsaimin ﷺ berpendapat bahwa maksud dari setiap sisinya sama panjang adalah bentuknya bulat([18]). Beliau memahami maksud panjang dan lebar sama adalah panjang jari-jarinya yang sama. Intinya tidak masalah bagaimana bentuk telaga Nabi ﷺ, yang terpenting adalah bagaimana agar kita bisa sampai ke sana.
Selain itu, Nabi ﷺ menggambarkan luasnya telaga beliau juga dengan ukuran waktu. Nabi ﷺ bersabda,
حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ
“Luas telagaku sejauh sebulan perjalanan.”([19])
Maksudnya adalah permisalan luas telaga Nabi ﷺ adalah seperti seseorang yang melakukan perjalanan dengan kuda selama sebulan.
- Model pendekatan jarak tempuh
Dalam riwayat-riwayat yang lain Nabi ﷺ menggambarkan luas telaganya dengan jarak suatu tempat. Nabi ﷺ bersabda,
عَرْضُهُ مِثْلُ طُولِهِ، مَا بَيْنَ عَمَّانَ إِلَى أَيْلَةَ
“Lebarnya sama dengan panjangnya, yaitu seukuran antara Amman dan Ailah.”([20])
Dalam hadits di atas, permisalannya adalah jarak antara Yordania dan Syam. Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
قَدْرُ حَوْضِي كَمَا بَيْنَ أَيْلَةَ وَصَنْعَاءَ مِنَ الْيَمَنِ
“Luas telagaku bagaikan antara Ailah dan Shan’a di Yaman.”([21])
Tentunya perbandingan ini menunjukkan bahwa jaraknya sangat jauh. Karena Ailah adalah daerah bagian utara Madinah, sedangkan Shan’a adalah negeri bagian selatan Jazirah. Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
كَمَا بَيْنَ المَدِينَةِ وَصَنْعَاءَ
“Jaraknya sebagaimana jarak antara Madinah dan Shan’a.”([22])
Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan,
إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَإِنَّ عَرْضَهُ كَمَا بَيْنَ أَيْلَةَ إِلَى الْجُحْفَةِ
“Aku mendahului kalian ke telagaku. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah.”([23])
Dari penjelasan Rasulullah ﷺ tentang jarak telaganya yang berbeda-beda, timbul perbedaan persepsi di antara para ulama tentang jarak sebenarnya, dan dalam hal ini menjadi dua pendapat di kalangan para ulama,
Pendapat pertama mengatakan bahwa Nabi ﷺ mengabarkan dengan berbagai ukuran hanya sekedar untuk pendekatan kepada masing-masing orang. Terkadang tatkala Nabi bertemu dengan orang Yaman, maka Nabi ﷺ mengabarkan jaraknya antara Yaman dan Ailah. Adapun ketika Nabi mengabarkan kepada orang Syam, maka Nabi memberikan perumpamaan antara Ailah ke Shan’a. Intinya, perbedaan ukuran yang dikabarkan Nabi ﷺ ditentukan dari mana orang itu berasal, untuk memudahkan penggambaran telaganya. Sedangkan aslinya telaga Rasulullah ﷺ sangatlah luas.
Pendapat kedua mengatakan bahwa jarak-jarak yang disebutkan Nabi ﷺ adalah jarak yang sesungguhnya. Akan tetapi kemudian Nabi ﷺ mengabarkan jarak yang berbeda karena mendapat kabar bahwa telaganya di perluas oleh Allah ﷻ beberapa kali hingga jarak yang paling jauh yaitu seperti jarak dari Ailah hingga ke Shan’a. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ,
كَمَا بَيْنَ عَدَنَ إِلَى عُمَانَ وَأَوْسَعَ وَأَوْسَعَ
“Seperti jarak antara Aden ke Oman dan lebih luas lagi dan lebih luas lagi.”([24])
Hadits ini menggambarkan bahwa telaga Nabi di perluas, sehingga terkadang Nabi ﷺ mengabarkan luas telaganya dengan perumpamaan yang berbeda-beda. Dan ini sebagaimana dengan surga yang luasnya tidak seperti semula karena ditambah dan ditambah oleh Allah.
- Cangkir-cangkir di telaga Nabi ﷺ
Dari sisi cangkir, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa jumlahnya sangat banyak. Nabi ﷺ bersabda,
آنِيَتُهُ كَعَدَدِ النُّجُومِ
“Dan cangkir-cangkirnya sebanyak bilangan bintang di langit.”([25])
Allah menyediakan cangkir yang begitu banyak agar manusia kelak tidak berdesak-desakan. Karena pada waktu itu manusia pasti akan berbondong-bondong untuk minum dari telaga Nabi ﷺ karena kehausan.
- Sifat air di telaga Nabi ﷺ
Adapun warna air dari telaga Nabi ﷺ, beliau menyifatinya sebagaimana dalam sabdanya,
وَمَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ الْوَرِقِ
“Dan airnya lebih putih dari perak.”([26])
Dalam hadits yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ
“Airnya lebih putih dari pada susu.”([27])
إِنَّ حَوْضِي أَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ لَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ
“Sesungguhnya telagaku lebih jauh daripada jarak Ailah ke Adan. Sungguh airnya lebih putih daripada es (salju).”([28])
Kemudian Nabi ﷺ juga menjelaskan tentang rasa dan bau air dari telaganya. Nabi ﷺ bersabda,
وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ بِاللَّبَنِ
“Dan (airnya) lebih manis daripada madu yang dicampur susu.”([29])
وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ المِسْكِ
“Dan baunya lebih wangi daripada minyak misk (kasturi).”([30])
Ini menunjukkan bahwa airnya warnanya sangat putih dan rasanya pun sangat lezat.
Kemudian sifat air dari telaga Nabi ﷺ sangatlah deras karena bersumber dari air sungai di surga. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa sungai di surga tersebut bernama sungai Al-Kautsar.([31]) Oleh karenanya terkadang telaga Nabi ﷺ disebut dengan telaga Al-Kautsar karena bersumber dari sungai Al-Kautsar. Nabi ﷺ mengatakan,
يَشْخَبُ فِيهِ مِيزَابَانِ مِنَ الْجَنَّةِ
“Di telaga tersebut ada dua saluran air yang tersambung ke surga.”([32])
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
يَغُتُّ فِيهِ مِيزَابَانِ يَمُدَّانِهِ مِنَ الْجَنَّةِ، أَحَدُهُمَا مِنْ ذَهَبٍ، وَالْآخَرُ مِنْ وَرِقٍ
“Di dalamnya ada dua saluran yang memancarkan air dari surga dengan deras. Satu saluran terbuat dari emas dan yang satu lagi terbuat dari perak.”([33])
Orang yang pertama kali minum dari telaga Nabi ﷺ
Setelah kita menyebutkan di antara sifat-sifat telaga Nabi ﷺ, maka timbul pertanyaan, siapakah yang akan singgah pada telaga tersebut? Maka tentu jawabannya adalah umat Nabi Muhammad ﷺ. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang yang murtad tidak akan menghampiri telaga tersebut. Kemudian juga para pelaku bid’ah tidak akan bisa minum dari telaga Nabi ﷺ.
Nabi ﷺ telah menyebutkan tentang siapa yang pertama kali mendatangi telaga beliau ﷺ. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
أَوَّلُ النَّاسِ وُرُودًا عَلَيْهِ فُقَرَاءُ المُهَاجِرِينَ، الشُّعْثُ رُءُوسًا، الدُّنْسُ ثِيَابًا الَّذِينَ لَا يَنْكِحُونَ المُتَنَعِّمَاتِ وَلَا تُفْتَحُ لَهُمُ أَبْوَابُ السُّدَدِ
“Orang yang pertama kali akan mengunjunginya (telagaku) adalah orang orang fakir dari sahabat Muhajirin, yang rambut kepalanya acak-acakan, pakaiannya kumal dan mereka-mereka yang tidak menikahi wanita-wanita yang hidup dalam kemewahan, dan orang yang tidak dibukakan pintu (apabila bertamu atau mengetuk pintu rumah orang).”([34])
Dalam hadits ini Nabi ﷺ menyebutkan ciri-ciri mereka. Yang pertama disebutkan adalah rambut mereka yang semrawut, pakaian yang kumal, yang tidak menikah wanita yang kaya, dan yang tidak dibukakan pintu ketika bertamu. Semua ciri-ciri mereka itu karena saking miskinnya, sampai-sampai para ulama membahas bagaimana seseorang yang shalat dengan satu bilah kain, karena ada di antara para sahabat yang keluarganya shalat dengan satu kain yang sama, mereka saling bergantian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang miskin lebih dahulu mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa masuk surga lebih dahulu daripada orang kaya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِخَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ
“Orang-orang fakir dari kalangan muhajirin mereka lima ratus tahun lebih dahulu masuk surga sebelum orang-orang kaya mereka.”([35])
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa penyebab orang-orang miskin lebih dahulu masuk surga adalah karena hisab yang dilalui bagi orang kaya sangatlah panjang.([36]) Orang-orang miskin juga didahulukan karena merekalah yang lebih utama merasakan kenikmatan, karena di dunia dahulu mereka tidak merasakan kenikmatan. Adapun orang-orang kaya, mereka telah merasakan berbagai macam kenikmatan, bahkan ada yang mengatakan bahwa ada orang yang lahir sampai matinya statusnya adalah orang kaya.
Akan tetapi kondisi tersebut (orang miskin lebih dahulu masuk surga dan merasakan kenikmatan) tidak serta merta menjadikan orang-orang kaya hina. Karena dalam Islam, ada banyak ayat yang memerintahkan untuk bersedekah, berinfak dan bahkan berjihad dengan harta yang kebanyakan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya. Bahkan Allah ﷻ lebih mendahulukan berjihad dengan harta daripada jiwa. Hal ini dikarenakan karena seseorang akan lebih mudah untuk berjihad dengan harta daripada berjihad dengan jiwa. Dan juga tidak semua orang berkesempatan untuk berjihad dengan jiwa. Sedangkan berjihad dengan harta terkadang seseorang memiliki banyak kesempatan.
Oleh karenanya tidak boleh seseorang merendahkan orang kaya, karena terkadang dakwah tidak dapat berjalan kecuali dengan dua orang yaitu orang berilmu dan orang kaya. Sebagaimana Nabi ﷺ menikahi seorang janda kaya yaitu Khadijah, lalu kemudian harta yang dimiliki Khadijah diserahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk digunakan berdakwah. Kemudian juga sebagaimana Allah menakdirkan Nabi ﷺ bersahabat dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu, seorang saudagar kaya raya. Beliaulah yang banyak membeli budak untuk dibebaskan seperti Bilal Radhiallahu ‘anhu yang sering disiksa, yang pada saat itu Nabi ﷺ tidak mampu untuk membebaskannya. Oleh karenanya tidak boleh kita menghina orang kaya, melainkan kita memberikan semangat kepada mereka agar mereka bisa istiqamah dalam berjihad di jalan Allah dengan harta mereka. Karena Nabi ﷺ bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.”([37])
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ
“Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang; Pertama, seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu, dengan ilmu ia bertakwa kepada Allah dan dengan harta ia menyambung silaturahmi dan ia mengetahui Allah memiliki hak padanya dan ini adalah tingkatan yang paling baik.”([38])
نِعْمًا بِالْمَالِ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta adalah harta yang baik yang dimiliki oleh hamba yang saleh.”([39])
Maka kita memerlukan orang berilmu dan orang yang memiliki harta agar dapat menggerakkan dakwah. Ini semua membuktikan bahwa orang kaya terlambat masuk surga bukan karena derajat mereka rendah, akan tetapi karena hisab bagi mereka sangatlah panjang. Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa bisa jadi derajat orang kaya setelah dihisab menjadi lebih tinggi daripada orang miskin, meskipun terlambat masuk surga. Adapun orang miskin lebih dahulu masuk surga karena di dunia mereka kurang mendapatkan kenikmatan. Oleh karena itu orang yang pertama minum dari telaga Nabi ﷺ adalah orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin.
Orang-orang yang terhalang dan terusir dari telaga Nabi ﷺ
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan tentang orang-orang yang diusir dari telaga Nabi ﷺ. Di antaranya seperti hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
تَرِدُ عَلَيَّ أُمَّتِي الْحَوْضَ، وَأَنَا أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَذُودُ الرَّجُلُ إِبِلَ الرَّجُلِ عَنْ إِبِلِهِ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ أَتَعْرِفُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ غَيْرِكُمْ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ، وَلَيُصَدَّنَّ عَنِّي طَائِفَةٌ مِنْكُمْ فَلَا يَصِلُونَ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ هَؤُلَاءِ مِنْ أَصْحَابِي. فَيُجِيبُنِي مَلَكٌ، فَيَقُولُ: وَهَلْ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ؟
“Umatku menemuiku di telaga, dan aku menghalau mereka darinya sebagaimana seseorang menghalau unta orang lain dari untanya.” Mereka bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah engkau mengenal kami?’ Beliau menjawab: ‘Ya. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat yang lain. Kalian menemuiku dalam keadaan putih bersinar karena bekas air wudhu. Dan sungguh sekelompok dari kalian akan dihalau dariku, sehingga kalian tidak sampai kepadaku. Lalu aku berkata: ‘Wahai Rabbku, mereka adalah para sahabatku’. Allah menjawab; ‘Apakah kamu tahu apa yang terjadi setelah kepergianmu?’.”([40])
Dalam riwayat Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ، وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أَصْحَابِي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Akulah menanti kalian di telaga, dan diperlihatkan bersamaku beberapa orang di antara kalian, kemudian dicabut dari pandanganku, maka aku pun berkata, ‘Ya Rabbku, itu sahabatku’. Maka ada suara, ‘Engkau tidak tahu yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’.”([41])
Demikian pula riwayat Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ الْحَوْضَ رِجَالٌ مِمَّنْ صَاحَبَنِي، حَتَّى إِذَا رَأَيْتُهُمْ وَرُفِعُوا إِلَيَّ اخْتُلِجُوا دُونِي، فَلَأَقُولَنَّ: أَيْ رَبِّ أُصَيْحَابِي، أُصَيْحَابِي، فَلَيُقَالَنَّ لِي: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Beberapa orang dari para sahabatku dahulu akan datang ke telagaku, hingga ketika aku melihat mereka dan mereka memang diperlihatkan kepadaku, mereka dicabut (dihalangi) dariku. Maka aku akan mengatakan,’Ya Rabbku mereka adalah para sahabatku, mereka para sahabatku’. Kemudian akan dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu’.”([42])
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ bersabda,
يَرِدُ عَلَيَّ يَوْمَ القِيَامَةِ رَهْطٌ مِنْ أَصْحَابِي، فَيُحَلَّئُونَ عَنِ الحَوْضِ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أَصْحَابِي، فَيَقُولُ: إِنَّكَ لاَ عِلْمَ لَكَ بِمَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، إِنَّهُمُ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ القَهْقَرَى
“Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan, ‘Ya Rabbku, mereka sahabatku’. Allah menjawab, ‘Kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang.”([43])
Demikian juga sabda Nabi ﷺ dalam riwayat yang lain,
بَيْنَا أَنَا قَائِمٌ إِذَا زُمْرَةٌ، حَتَّى إِذَا عَرَفْتُهُمْ خَرَجَ رَجُلٌ مِنْ بَيْنِي وَبَيْنِهِمْ، فَقَالَ: هَلُمَّ، فَقُلْتُ: أَيْنَ؟ قَالَ: إِلَى النَّارِ وَاللَّهِ، قُلْتُ: وَمَا شَأْنُهُمْ؟ قَالَ: إِنَّهُمُ ارْتَدُّوا بَعْدَكَ عَلَى أَدْبَارِهِمْ القَهْقَرَى
“Ketika aku sedang berdiri (di telaga), tiba-tiba ada sekelompok orang, hingga ketika aku telah mengenal mereka, ada seseorang muncul di antara aku dan mereka dan mengatakan, ‘Ayo kemari!’ Saya bertanya, ‘Kemana?’ Dia menjawab, ‘Ke neraka, demi Allah’. Saya bertanya, ‘Ada apa dengan mereka?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang mereka sepeninggalmu.”([44])
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ حَوْضِي لَأَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَذُودُ عَنْهُ الرِّجَالَ كَمَا يَذُودُ الرَّجُلُ الْإِبِلَ الْغَرِيبَةَ عَنْ حَوْضِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَتَعْرِفُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ لَيْسَتْ لِأَحَدٍ غَيْرِكُمْ
“Sesungguhnya telagaku sejauh jarak antara Ailah dengan Adan. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku menghalau beberapa orang darinya sebagaimana seseorang menghalau unta lain dari telaganya.” Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mengenal kami?’ Beliau menjawab: ‘Ya. Kalian menemuiku dalam keadaan putih bersinar disebabkan bekas air wudhu yang tidak dimiliki umat lainnya selain kalian.”([45])
Inilah beberapa hadits yang menyebutkan tentang orang-orang yang dihalangi dari telaga Nabi ﷺ. Sebelumnya, maksud Nabi ﷺ mendahului umatnya di telaganya agar menjaga telaga tersebut dari orang-orang yang tidak dibolehkan minum dari telaga tersebut.
Adapun orang yang tidak bisa minum dari telaga Nabi ﷺ berdasarkan dalil-dalil yang ada, maka secara umum kita bisa membaginya dalam tiga kelompok.
- Orang-orang kafir (Munafik maupun Murtad)
Orang kafir adalah golongan orang yang tidak dapat minum di telaga Nabi ﷺ karena Nabi ﷺ telah bersabda,
إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الحَوْضِ، مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
“Sesungguhnya aku menunggu kalian di telagaku, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya.”([46])
Sedangkan kita ketahui bahwa orang kafir akan masuk neraka dan pasti kehausan. Maka kesimpulannya adalah orang kafir tidak akan minum dari telaga Nabi ﷺ.
Orang-orang kafir yang terusir tersebut bisa jadi adalah orang-orang munafik yang hidup di zaman Nabi ﷺ, karena orang-orang munafik sebagian Nabi ﷺ tahu dan sebagian lagi Nabi ﷺ tidak tahu sehingga Nabi menyangka bahwa mereka sahabat Nabi. Di antara yang Nabi ﷺ tahu adalah Abdullah Ubay bin Salul, dan ada pula yang Nabi ﷺ tidak ketahui. Allah ﷻ berfirman :
وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
“Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (QS. At-Taubah: 101)
Bisa jadi juga mereka yang terusir adalah orang-orang yang murtad setelah wafatnya Nabi ﷺ, karena kita tahu bahwa banyak orang yang murtad setelah wafatnya Nabi ﷺ. Oleh karenanya kesibukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu setelah wafatnya Nabi ﷺ adalah memerangi orang-orang yang murtad. Terutama orang yang baru masuk Islam dari kalangan orang Arab badui, dan di antara mereka ada yang tidak mau membayar zakat dan mengingkari wajibnya membayar zakat. Di antaranya Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu juga memerangi Musailimah Al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi dan para pengikutnya. Intinya, ada orang-orang yang murtad setelah wafatnya Nabi ﷺ, dan di antaranya ada yang dikenal oleh Nabi ﷺ dan mereka juga mengenal Nabi ﷺ.
Jika kita melihat dari lafal-lafal yang datang mengenai orang-orang yang dihalangi dari telaga Nabi ﷺ, ada beberapa lafal yang Nabi ﷺ sebutkan di antaranya, رِجَالٌ, أُصَيْحَابِي, الرَّهْط, dan زُمْرَةٌ. Lafal-lafal ini menunjukkan bahwa hanya sedikit yang Nabi ﷺ kenal dari orang-orang yang diusir dari telaga beliau. Hal ini perlu untuk kita jelaskan karena orang-orang Syiah menjadikan hadits di atas sebagai dalil untuk mengafirkan para sahabat seluruhnya kecuali empat orang, atau sebagian mengatakan hanya sembilan belas orang yang tidak murtad.
Namun bantahan untuk mereka pun sangat mudah, yaitu:
Pertama, hadits tentang telaga Nabi ﷺ adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh para sahabat. Maka kalau mereka mengkafirkan para sahabat, mengapa mereka mengambil hadits dari orang yang mereka kafirkan?
Kedua, lafal dari hadits tentang telaga berbeda-beda. Dalam hadits di atas, Nabi ﷺ menyebutkan bahwa yang terhalangi hanyalah sebagian orang. Dan dalam riwayat yang lain menyebutkan sebagian kecil orang. Dan memang benar bahwa ada sebagian sahabat dari orang-orang badui yang murtad setelah sepeninggal Nabi ﷺ di zaman Abu Bakar yang memang dikenal dan pernah bertemu dengan Nabi ﷺ. Tentunya mereka dikenal sebagai sahabat Nabi ﷺ karena bertemu dengan Nabi ﷺ. Akan tetapi mereka bukan dari kalangan kaum muhajirin ataupun kaum Anshar. Sedangkan orang-orang Syiah ingin membawa hadits ini seolah-seolah yang dimaksud adalah kaum Muhajirin dan Anshar, dan hanya sedikit yang tidak dikafirkan oleh mereka.
- Ahli Bid’ah
Ahli bid’ah digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak akan minum dari telaga Nabi ﷺ karena merekalah yang dimaksud telah melakukan perubahan dalam agama, mereka telah mengganti ajaran-ajaran Nabi ﷺ. Ahli bid’ah di sini terbagi menjadi dua, yaitu pelaku bid’ah amal dan pelaku bid’ah akidah. Dan para ulama menjelaskan bahwa yang paling terancam tidak akan minum dari telaga Nabi ﷺ adalah pelaku bid’ah akidah, contohnya adalah Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah rafidhah, mereka adalah para pelaku bid’ah besar dalam hal akidah. Oleh karenanya Al-Qurthubi dalam kitabnya At-Tadzkirah menyebutkan bahwa pelaku bid’ah akidah lebih terancam daripada hanya sekadar bid’ah amaliah. Al-Qurthubi mengatakan,
ثُمَّ اَلْبُعْدُ قَدْ يَكونُ فِي حَالِ وَيُقَرَّبُونَ بَعْدَ الْمَغْفِرَةِ إِنْ كَانَ التَّبْديلُ فِي الأَعْمالِ وَلَمْ يَكُنْ فِي العَقائِدِ
“Kemudian bisa jadi sekelompok orang dijauhkan dari telaga bisa dalam suatu kondisi lalu didekatkan (ke telaga) setelah Allah berikan ampunan jika ternyata perubahan tersebut hanya dalam masalah amal (bid’ah amaliah), dan bukan dalam bid’ah-bid’ah akidah.”([47])
- Orang-orang yang zalim secara berlebihan
Para ulama menyebutkan bahwa di antara golongan orang yang tidak akan minum dari telaga Nabi ﷺ adalah orang yang melakukan kezaliman yang amat besar. Seperti para penguasa yang telah menzalimi ratusan ribu hingga ratusan juta rakyatnya. Adapun pelaku maksiat yang lebih kecil dari itu tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang melakukan kezaliman yang besar.
Oleh karenanya para ulama menggolongkan orang Islam yang tidak akan minum di telaga Nabi ﷺ adalah para pelaku dosa besar yaitu pelaku bid’ah dan penguasa yang zalim yang mereka semua sering merubah hukum-hukum Allah ﷻ. Disebutkan dalam hadits bahwa tatkala Nabi ﷺ hendak menyambut mereka, ternyata mereka terhalangi untuk sampai ke telaga Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ mengatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ
“Mereka itu adalah dari golongan umatku”, lalu dikatakan kepada beliau; ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu’.”([48])
Dalam riwayat yang lain yang Nabi ﷺ mengatakan,
أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
“Ketahuilah! Ada beberapa orang akan dihalang-halangi mendatangi telagaku sebagaimana unta hilang yang dihalang-halangi. Aku berseru kepada mereka: ‘Kemarilah!’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya mereka telah mengganti (ajaranmu) setelahmu’, maka aku berkata, ‘Menjauhlah, menjauhlah’.”([49])
Para ulama menafsirkan bahwa maksud dari mengganti dalam hadits ini dengan dua penafsiran yaitu orang mengganti hukum-hukum Allah, atau mengganti sunnah-sunnah Nabi ﷺ dengan bid’ah yang mereka lakukan.
Dan ini juga menjadi dalil bahwa Nabi ﷺ tidak tahu apa yang terjadi setelah beliau meninggal dunia. Sebagaimana dalam hadits telaga dikatakan kepada Nabi bahwa beliau tidak tahu tentang perkara yang diperbuat sahabat atau umatnya setelah beliau meninggal dunia. Dan ini adalah dalil yang sangat jelas. Maka tidak benar perkataan sebagian orang bahwa pada zaman ini Nabi ﷺ keluar dari kuburnya dan berjalan mengunjungi salah seorang Habib sebagaimana yang tersebar di Youtube. Jangankan setelah beliau meninggal dunia, tatkala Nabi ﷺ masih hidup pun, beliau tidak tahu apa yang terjadi jika hal tersebut di luar jangkauannya. Buktinya adalah tatkala kalung ‘Aisyah i hilang beliau tidak tahu keberadaan kalung tersebut. Sampai-sampai Nabi ﷺ meminta bantuan para sahabat untuk mencarinya semalam suntuk, akan tetapi belum juga ketemu. Tatkala Nabi ﷺ sudah memerintahkan untuk pergi, barulah ketahuan bahwa Kalung tersebut ditindihi oleh unta. Kemudian juga tatkala ‘Aisyah dituduh berzina dengan Sofwan bin Al Mu’aththol as-Sulamiy oleh orang-orang munafik yang karena mereka terlambat masuk ke kota Madinah. Waktu itu Nabi ﷺ tidak tahu dan tidak mengerti apa yang terjadi. Sampai akhirnya Allah turunkan sekitar sepuluh ayat lebih yang menjelaskan bahwa tuduhan terhadap ‘Aisyah itu tidak benar. Kalau saja Allah tidak memberitahukan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, maka pasti beliau tidak akan tahu selama-lamanya. Oleh karenanya Asy-Syaukani dalam kitabnya Risalah fii hukmi Al-Maulid menyebutkan bahwa sungguh aneh orang-orang yang meyakini bahwa Nabi ﷺ keluar dari kuburnya dan hadir dalam acara maulid-maulid mereka.
Jangankan Nabi Muhammad ﷺ, Nabi Isa u yang masih hidup dan diangkat oleh Allah ﷻ ke langit, tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani sejak diangkatnya beliau hingga hari kiamat kelak. Sebagaimana firman Allah ﷻ tatkala berkata kepada Nabi Isa u pada hari kiamat,
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’. Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (mengangkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu’.” (QS. Al-Maidah 116-117)
Ketahuilah bahwa Nabi Isa u sendiri tidak mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani setelah beliau diangkat ke langit oleh Allah ﷻ, padahal beliau belum meninggal. Maka bagaimana mungkin Nabi ﷺ bisa mengetahui hal-hal yang terjadi setelah beliau meninggal? Maka ini dalil bahwa Nabi ﷺ tidak mengetahui perbuatan kaumnya setelah sepeninggal beliau.
Kelompok yang menyimpang dalam hal ini
Meskipun dalil tentang haud (telaga) adalah mutawatir akan tetapi tetap diingkari oleh Khawarij dan Muktazilah.
Ibnu Abdilbarr berkata :
الْأَحَادِيثُ فِي حَوْضِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَاتِرَةٌ صَحِيحَةٌ ثَابِتَةٌ كَثِيرَةٌ وَالْإِيمَانُ بِالْحَوْضِ عِنْدَ جماعة علماء المسلمين واجب والاقرار به عند الجماعة لَازِمٌ وَقَدْ نَفَاهُ أَهْلُ الْبِدَعِ مِنَ الْخَوَارِجِ والمعتزلة
“Hadits-hadits tentang telaga Nabi shallallahu álaihi wasallam mutawatir, shahih, dan valid, dan beriman tentang telaga Nabi adalah wajib menurut mayoritas ulama kaum muslimin. Menetapkannya adalah kerharusan menurut menurut al-Jamaáh. Telaga Nabi telah diingkari oleh Ahlul bidáh dari kalangan Khawarij dan Muktazilah” ([50])
Ibnu Hajar berkata :
أَنْكَرَهُ الْخَوَارِجُ وَبَعْضُ الْمُعْتَزِلَةِ
“Al-Haudh (telaga Nabi ﷺ) diingkari oleh Khawarij dan sebagian Muktazilah” ([51])
Sebagian mereka menetapkan hadits-hadits tentang al-Haudh hanya saja menurut mereka isinya tidak masuk akal sehingga harus ditakwil.
Abul Ábbas al-Qurthubi berkata :
وَقَدْ أَنْكَرَتْهُ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُبْتَدِعَةِ، وَأَحَالُوْهُ عَنْ ظَاهِرِه، وَغَلَوْا فِي تَأْوِيْلِهِ مِنْ غَيْرِ إِحَالَةٍ عَقْلِيَّةٍ، وَلاَ عَادِيَّةٍ، تَلْزَمُ مِنْ إِقْرَارِهِ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَلاَ مُنَازَعَةٌ سَمْعِيَّةٌ، وَلاَ نَقْلِيَّةٌ تَدْعُو إِلَى تَأْوِيْلِهِ، فَتَأْوِيْلُهُ تَحْرِيْفٌ صَدَرَ عَنْ عَقْلٍ سَخِيْفٍ خَرَقَ بِهِ إِجْمَاعَ السَّلَفِ
“Al-Haud (telaga Nabi) telah diingkari oleh sekelompok ahlul bidáh, menurut mereka mustahil jika diterima dzahirnya. Merekapun ekstrim dalam mentakwil hadits-hadits al-Haudl tanpa ada kelaziman suatu kemustahilan -secara akal maupun tradisi- jika menetapka dzhohirnya. Demikian juga tidak ada dalil syaríy atau penukilan yang menyebabkan harus ditakwil. Maka pentakwilannya merupakan penyimpangan yang muncul dari akal yang rendah yang menyelisihi ijmak para salaf” ([52])
Diantara yang pertama dikenal mengingkari al-Haudl (telaga Nabi) adalah Ubaidillah bin Ziyad. Ia mendatangi Abu Barzah radhiallahu ánhu dan berkata,
إِنَّمَا بَعَثْتُ إِلَيْكَ لِأَسْأَلَكَ عَنِ الْحَوْضِ، سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ فِيهِ شَيْئًا؟ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَرْزَةَ: نَعَمْ، لَا مَرَّةً، وَلَا ثِنْتَيْنِ، وَلَا ثَلَاثًا، وَلَا أَرْبَعًا، وَلَا خَمْسًا، فَمَنْ كَذَّبَ بِهِ فَلَا سَقَاهُ اللَّهُ مِنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ مُغْضَبًا
“Sesungguhnya aku datang kepadamu untuk bertanya perihal telaga, aku pernah mendengar Muhammad ﷺ menyebut-nyebut tentang itu.” Abu Barzah menjawab, ‘Benar, tidak hanya satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali atau lima kali. Maka siapa saja yang mendustainya, Allah tidak akan memberinya minum’. Lalu ia (Abu Barzah) keluar dengan marah.”([53])
Demikian juga Ubaidillah bin Ziad pernah bertanya hal serupa kepada Zaid bin Arqom radhiallahu ánhu. Zaid bin Arqom berkata :
بَعَثَ إِلَيَّ عُبَيْدُ اللهِ بْنُ زِيَادٍ، فَأَتَيْتُهُ فَقَالَ: مَا أَحَادِيثُ تُحَدِّثُهَا وَتَرْوِيهَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَجِدُهَا فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ تُحَدِّثُ أَنَّ لَهُ حَوْضًا فِي الْجَنَّةِ قَالَ: قَدْ حَدَّثَنَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَعَدَنَاهُ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ شَيْخٌ قَدْ خَرِفْتَ. قَالَ: إِنِّي قَدْ سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ، وَوَعَاهُ قَلْبِي مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ جَهَنَّمَ ” وَمَا كَذَبْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “
“Ubaidillah bin Ziyad memanggilku, maka akupun mendatnginya, lalu ia berkata, “Apa itu hadits-hadits yang engkau menyampaikannya dan meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kami tidak mendapatinya di al-Qur’an?. Engkau mengabarkan bahwasanya ada telaga di surga !”. Zaid bin Arqom berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikannya kepada kami dan menjanjikannya kepada kami”. Ia berkata, “ Engkau dusta, akan tetapi engkau kakek tua yang sudah ngelantur”. Zaid bin Arqom berkata, “Sesungguhnya kedua telingaku telah mendengarnya, dan hatiku telah memahaminya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka siapkan tempatnya di neraka”. Dan aku tidak berdusta atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” ([54])
Akan tetapi Ubaidillah bin Zaid setelah itu akhirnya mengakui kebenaran al-Haudl (telaga Nabi). Ia berkata,أَشْهَدُ أَنَّ الْحَوْضَ حَقٌّ “Aku bersaksi bahwa telaga Nabi benar adanya” ([55])
Amalan-amalan yang memudahkan seseorang untuk minum di telaga Nabi ﷺ
Di antara hal-hal yang bisa kita lakukan agar kita bisa lebih mudah untuk menghampiri telaga Nabi ﷺ sebagaimana perkataan para ulama adalah,
- Hendaknya menjaga shalat yang konsekuensinya adalah menjaga wudhu
Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ tatkala beliau ditanya oleh para sahabat bahwa apakah mereka dikenali pada saat itu, maka Nabi ﷺ berkata,
نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ غَيْرِكُمْ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ
“Ya, aku mengenali kalian. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat yang lain. Kalian menemuiku dalam keadaan putih bersinar karena bekas air wudhu.”([56])
Oleh karena itu hendaknya seseorang melatih diri untuk menjaga wudhunya. Setiap kali wudhunya batal, dia berusaha untuk memperbaharuinya kembali.
- Sabar terhadap sikap pemerintah yang zalim yang mengambil harta untuk mereka sendiri
Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً شَدِيدَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الحَوْضِ
“Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan melihat banyak perkara yang sangat berat. Maka dari itu bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul-Nya ﷺ di telaga al-Haudh.”([57])
Kataأَثَرَةً artinya adalah sifat sebagian pemimpin yang mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri dan tidak memedulikan rakyatnya.
Maka di antara akidah Ahlussunnah adalah tidak boleh memberontak kepada pemerintah selama mereka masih seorang muslim, meskipun mereka berbuat zalim. Karena Islam lebih memandang kepada kemaslahatan. Sedangkan pemberontakan hanya akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dan bahkan sampai pada pertumpahan darah. Oleh karenanya Nabi ﷺ memerintahkan untuk kita bersabar. Adapun jika kita ingin mengadakan perubahan, maka lakukanlah dengan cara yang baik dan sesuai syariat, dan bukan dengan cara pemberontakan. Jangan sampai gara-gara seseorang terlalu emosional, sehingga menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Akhirnya orang-orang kafir senang melihat kerusakan yang terjadi. Maka jika seseorang ingin merubah sesuatu, maka dibolehkan dengan syarat sikanya harus sesuai syariat dan cara yang benar.
- Tidak menolong kezaliman yang dilakukan oleh penguasa
Jika sebelumnya disebutkan bahwa cara agar seseorang bisa minum dari telaga Nabi ﷺ adalah bersabar, maka kita katakan bahwasanya bersabar bukan berarti kita membenarkan semua kesalahan yang dilakukan oleh penguasa. Kalau kita tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, maka jangan kemudian kita ikut-ikutan dalam hal tersebut. Sebagaimana kaidah menyebutkan,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada sang Khaliq (Allah).”
Meskipun demikian, bukan berarti tidak taat membolehkan kita untuk memberontak kepada penguasa, karena jika kita melakukan demikian maka kita telah terjatuh dalam syubhatnya orang-orang Khawarij. Maka sebagaimana kita tidak boleh memberontak, maka tidak boleh seseorang untuk mendukung. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi ﷺ kepada Ka’ab bin ‘Ujrah,
أَعَاذَكَ اللهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ، قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟، قَالَ: أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي، لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh.” (Ka’b bin ‘Ujroh Radhiallahu ‘anhu) bertanya, apa itu pemerintahan orang bodoh? (Rasulullah ﷺ) bersabda: ‘Yaitu para pemimpin negara setelahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kezaliman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kezaliman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku’.”([58])
Maka ketika pemerintah memerintahkan kepada maksiat, maka wajib bagi seseorang untuk tidak taat. Karena Nabi ﷺ mengatakan,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya boleh pada perkara yang baik.”([59])
Namun bukan berarti ketika pemerintah melakukan kemungkaran, kita boleh melakukan pemberontakan. Akan tetapi yang kita lakukan adalah memberikan nasihat. Karena Nabi ﷺ mengatakan,
إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ، قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: لِلَّهِ وَكِتَابِهِ وَرَسُولِهِ، وَأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِينَ، وَعَامَّتِهِمْ
“Sesungguhnya agama itu adalah nasihat, Sesungguhnya agama itu adalag nasihat, Sesungguhnya agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagi siapa?’ Beliau menjawab, ‘Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum mukminin dan orang-orang awan (rakyat) mereka’.”([60])
- Jangan berbuat bid’ah
Sebagaimana perkataan Ibnu Abdil Barr (wafat 467 H) seorang ulama besar dari mazhab Maliki,
وَكُلُّ مَنْ أَحْدَثَ فِي الدِّينِ مَا لَا يَرْضَاهُ اللَّهُ وَلَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ فَهُوَ مِنَ الْمَطْرُودِينَ عَنِ الْحَوْضِ الْمُبْعَدِينَ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَأَشَدُّهُمْ طَرْدًا مَنْ خَالَفَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَفَارَقَ سَبِيلَهُمْ مِثْلُ الْخَوَارِجِ عَلَى اخْتِلَافِ فِرَقِهَا وَالرَّوَافِضِ عَلَى تَبَايُنِ ضَلَالِهَا وَالْمُعْتَزِلَةِ عَلَى أَصْنَافِ أَهْوَائِهَا فَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ يُبَدِّلُونَ وَكَذَلِكَ الظَّلَمَةُ الْمُسْرِفُونَ فِي الْجَوْرِ وَالظُّلْمِ وَتَطْمِيسِ الْحَقِّ وَقَتْلِ أَهْلِهِ وَإِذْلَالِهِمْ وَالْمُعْلِنُونَ بِالْكَبَائِرِ الْمُسْتَخِفُّونَ بِالْمَعَاصِي وَجَمِيعُ أَهْلِ الزَّيْغِ وَالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ كُلُّ هَؤُلَاءِ يُخَافُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَكُونُوا عُنُوا بِهَذَا الْخَبَرِ
“Setiap orang yang melakukan perkara bid’ah dalam agama yang tidak diridai oleh Allah dan tidak diizinkan oleh Allah maka dia termasuk orang yang terusir dari telaga Nabi ﷺ, dijauhkan dari telaga, wallahu a’lam. Yang paling parah terusir adalah mereka yang menyelisihi jamaah kaum muslimin dan meninggalkan jalan mereka, seperti orang-orang khawarij -dengan berbagai model mereka-, dan rafidhah -dengan berbagai model kesesatan mereka-, demikian juga muktazilah -dengan berbagai hawa nafsu mereka-, maka mereka semuanya telah melakukan tabdil (perubahan). Demikian pula orang-orang zalim yang berlebih-lebihan dalam kezalimannya dan kelalimannya, serta memudarkan kebenaran dan membunuhi orang-orang yang menyeru kepada kebenaran. Demikian juga orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, yang meremehkan dosa-dosa. Demikian juga seluruh ahlul bid’ah, mereka itu semua dikawatirkan adalah yang dimaksud dalam hadits ini.”([61])
Beliau juga berkata :
وَكَذَلِكَ الظَّلَمَةُ الْمُسْرِفُونَ فِي الْجَوْرِ وَالظُّلْمِ وَتَطْمِيسِ الْحَقِّ وَقَتْلِ أَهْلِهِ وَإِذْلَالِهِمْ كُلُّهُمْ مُبَدِّلٌ يَظْهَرُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ تَغْيِيرِ سُنَنِ الْإِسْلَامِ أَمْرٌ عَظِيمٌ فالناس على دين الملوك. ورحم الله بن الْمُبَارَكِ فَإِنَّهُ الْقَائِلُ: (وَهَلْ بَدَّلَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا)
“Demikian pula orang-orang yang zalim yang melampaui batas dalam kezaliman mereka …..mereka itu semua adalah pengubah, yang melalui tangan mereka muncullah perkara dahsyat karena merubah ajaran-ajaran Islam. Dan masyarakat (rakyat) mengikuti agama para raja (penguasa). Dan semoga Allah merahmati Ibnul Mubarak, beliaulah yang berkata, ‘Dan bukankah yang merubah agama melainkan para raja (penguasa) dan para ulama suu’ dan para ahli ibadah yang buruk’.”([62])
Dan kita bersyukur bahwa banyak dari kaum muslim tidak seperti demikian. Memang benar bahwa kita masih bermaksiat, akan tetapi kita masih malu menampakkannya di hadapan orang-orang. Semoga Allah memaafkan dosa-dosa kita dan menjadikan kita orang-orang yang termasuk minum dari telaga Nabi ﷺ.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Ahmad 3/459 no. 16085, dengan sanad yang hasan.
([2]) HR. Muslim 4/2196 no. 2864
([3]) HR. Bukhari 8/120 no. 6583
([4]) Lihat HR. Bukhari No. 6583
([5]) As-Sunnah lii Ibnu Abi ‘Ashim No. 698
([6]) HR At-Tirmidzi no 2443, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam As-Shahihah no 1589
([7]) Hasyiat At-Tawudi Ibn Suadah ála Shahih al-Bukhari 1/186
([8]) Lihat Fathul Baari 11/469
([9]) Lihat Fathul Baari 11/469
([10]) HR. Abu Daud No. 4749, dan hadits ini sahih.
([11]) Lihat Fathul Baari 11/466
([13]) Lihat Fathul Baari 11/466
([14]) HR. Bukhari 8/120 no. 6583
([15]) Lihat Fathul Baari 11/466
([18]) Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, al-Útsaimin hal 400
([24]) HR. Ahmad No. 22156, hadits ini sahih.
([31]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/498-499
([34]) HR. At-Tirmidzi No. 2444, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No. 3162.
([35]) HR. At-Tirmidzi No. 2351, hadits ini sahih.
([36]) Lihat Majmu’ Fataawa 11/121
([38]) HR. At-Tirmidzi No. 2325
([39]) HR. Ahmad No. 17763, sanadnya sahih dengan syarat Imam Muslim.
([52]) Al-Mufhim 6/90, dan juga dinukil oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 11/467
([53]) HR. Abu Daud No. 4749, dan hadits ini sahih.
([54]) HR. Ahmad no 19266, dan hadits dinilai sahih oleh para pentahqiq al-Musnad.
([55]) Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 11/468
([58]) HR. Ahmad No. 14441, sanadnya kuat berdasarkan syarat Imam Muslim.