Sakaratul Maut
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
سَكْرَةُ الْمَوْتِ adalah kondisi yang dialami oleh seseorang ketika akan meninggal dunia, berupa kepayahan dan kesulitan. Secara bahasa berasal dari kata السُّكْر ‘tertutup’. Oleh karenanya khamar disebut dengan الْمُسْكِرُ ‘yang menutup otak’, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhaberkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap (makanan/minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.”([1])
Otak manusia tertutup dalam beberapa kondisi, sebagaimana dikatakan oleh Ar-Raghib,
السُّكْرُ حَالَةٌ تَعْرِضُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَعَقْلِهِ، وَأَكْثَرُ مَا يُسْتَعْمَلُ ذَلِكَ فِيْ الشَّرَابِ (الْمُسْكِرِ)، وَقَدْ يَعْتَرِيْ مِنَ الْغَضَبِ وَالْعِشْقِ
“As-Sukr adalah keadaan yang dialami oleh seseorang antara dirinya dan akalnya. Kata ini kebanyakan digunakan pada minuman yang memabukkan. Kata ini terkadang digunakan ketika seseorang dalam kondisi marah dan rindu yang dalam.” ([2])
Adapun sakaratul maut adalah kondisi setengah sadar bagi seseorang, akibat rasa sakit yang dirasakan menjelang kematiannya.
Hal ini pun dialami pula oleh Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ ketika hendak meninggal dunia mengalami panas yang sangat tinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud t berkata,
دَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ قَالَ أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ
“Aku masuk menemui Rasulullah ﷺ dalam keadaan demam yang sangat tinggi, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau mengalami demam sangat berat?’ Beliau ﷺ bersabda, ‘Benar, sesungguhnya aku mengalami demam sebagaimana demam yang dialami oleh dua orang dari kalian.” ([3])
Rasulullah ﷺ mengalami demam dengan panas yang tinggi seperti demamnya dua orang. Bahkan, seorang sahabat memegang selimut Nabi ﷺ dan panasnya terasa sampai selimut beliau ﷺ. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhaberkata,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي المَاءِ، فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ، وَيَقُولُ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ: فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى
“Sesungguhnya di hadapan Rasulullah ﷺ ada bejana kecil berisi air. Beliau memasukkan kedua tangannya ke dalam air, lalu mengusapkannya ke wajah beliau, seraya bersabda, ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya, kemudian beliau menunjuk ke atas, seraya bersabda, ‘bersama Ar-Rafiiq Al-A’la’([4]).” ([5])
Ketika Rasulullah ﷺ hendak meninggal dunia, beliau diberikan pilihan oleh Allah ﷻ antara tetap berada dunia atau di sisi Allah ﷻ. Demikian juga nabi-nabi yang lain, setiap nabi diberikan oleh Allah ﷻ antara kenikmatan dunia atau apa yang telah Allah janjikan di sisi Allah ﷻ. Rasulullah pernah bersabda,
إِنَّ عَبْدًا خَيَّرَهُ اللَّهُ بَيْنَ أَنْ يُؤْتِيَهُ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا مَا شَاءَ، وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ، فَاخْتَارَ مَا عِنْدَهُ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang Allah berikan pilihan kepadanya, antara diberikan keindahan dunia yang dia inginkan atau apa yang disisi-Nya, maka dia memilih apa yang ada di sisi-Nya.”([6])
Ketika ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhamelihat nabi ﷺ menunjuk ke atas, dia tahu bahwa inilah pilihan dari Allah ﷻ yang telah dikabarkan oleh Nabi ﷺ. Beliau menunjuk ke atas bermaksud memilih apa yang ada di sisi Allah ﷻ bersama para nabi dan orang-orang saleh, sehingga tangan beliau yang mulia jatuh, pertanda bahwa nyawanya telah dicabut oleh malaikat pencabut nyawa.
Sebelum wafat, beliau ﷺ mengalami sakaratul maut, sedangkan beliau ﷺ bersabar menghadapi hal itu. Sakaratul maut adalah kondisi yang berat dialami oleh setiap orang. Perkara ini tidak menunjukkan akan rendahnya seseorang. Orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah pun mengalami hal yang demikian. Diriwayatkan dari Anas t, ketika Rasulullah ﷺ dijenguk oleh Fathimah i, Anas t berkata,
لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ، فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلاَمُ: وَا كَرْبَ أَبَاهُ، فَقَالَ لَهَا: لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ اليَوْمِ، فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ: يَا أَبَتَاهُ، أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبَتَاهْ، مَنْ جَنَّةُ الفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ، يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ
“Ketika sakit nabi ﷺ semakin berat, menyebabkan beliau tidak sadarkan diri, lalu Fathimah Radhiallahu ‘anhaberkata, ‘Sungguh, penderitaan yang engkau rasakan, wahai Ayahanda’, lalu beliau ﷺ bersabda, ‘(Wahai Fathimah,) tidak ada kesulitan yang menimpa ayahmu setelah ini’. Ketika beliau hendak wafat, Fathimah berkata, ‘Wahai Ayahanda, orang telah memenuhi panggilan Rabb yang telah memanggilnya. Wahai Ayahanda, sesungguhnya surga Firdaus tempat kembalimu. Wahai Ayahanda, kepada Jibril kami kabarkan tentang wafatmu’. ([7])
Fathimah tidak berteriak-teriak ketika mengatakan itu kepada Nabi ﷺ, dia merasa kasihan dengan apa yang dirasakan oleh ayahnya. Beliau ﷺ merasakan kesakitan yang luar biasa. Nabi ﷺ menenangkan putri beliau bahwa sakit yang beliau derita merupakan ujian terakhir yang diberikan oleh Allah ﷻ kepada beliau.
Inilah kondisi nabi ﷺ, sehingga diambil kesimpulan bahwasanya sakaratul maut bisa dialami oleh siapa saja.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُونَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian orang yang semisal mereka, lalu orang-orang seperti mereka.” ([8])
Sakaratul maut seperti musibah sakit pada umumnya. Terkadang seseorang diberikan ujian yang berat, terkadang dia menghadapi ujian yang ringan. Maka demikian juga, terkadang seseorang menghadapi sakaratul maut yang berat, dan terkadang seseorang menghadapi sakartul maut yang lebih ringan. Allah lebih mengetahui mana saja dari makhluk-Nya yang perlu diberikan ujian berupa sakaratul maut dengan berat maupun ringan. Adapun Nabi ﷺ Allah memilih baginya sakaratul maut yang berat, sebagaimana beliau merasakan sakit yang berlipat dibandingkan orang biasa.
Sakaratul maut berfungsi untuk mengangkat derajat seseorang atau mengurangi dosa-dosanya. Seperti yang dialami oleh Nabi ﷺ dan dialami juga oleh umat beliau. Analoginya adalah seperti sakit. Sakit bisa dialami oleh orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Apabila seorang mukmin mengalami sakit, maka dia melewatinya dengan sabar dan ketenangan, sehingga hal itu dapat meninggikan derajatnya dan mengurangi dosa-dosanya. Sementara, apabila orang kafir sakit dan melewatinya dengan tidak sabar dan banyak mengeluh, maka sejatinya perbuatannya semakin memperburuk kondisinya di sisi Allah ﷻ.
Meskipun mengalami kondisi yang berat, Nabi ﷺ bersabar. Bahkan, ketika Fathimah Radhiallahu ‘anha melihat nabi ﷺ dengan kondisi yang demikian, beliau ﷺ tetap berusaha menenangkan Fathimah i.
Intinya orang yang meninggal dunia dalam kondisi sakaratul maut yang berat bukan berarti menunjukkan rendahnya orang tersebut. Akan tetapi, yang penting bagaimana dia menghadapi sakaratul maut tersebut. Apabila dia meronta-ronta dan mengeluh kepada Allah dan memaki-maki agama, tentunya ini adalah musibah. Namun, apabila dia sabar dan tenang menghadapi itu semua, maka itu sejatinya kondisi saat dia ditinggikan oleh Allah ﷻ dan dihapuskan dosa-dosanya.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([2]) Al-Mufradaat Fii Ghariibi Al-Qur’aan, karya Ar-Raghib Al-Ashfahani, 1/416
([4]) Yaitu para nabi yang berada di surga yang paling tinggi (lihat: Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 15/208)