KEMATIAN
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Prolog :
Sebelum kematian tentunya ada kehidupan di dunia. Adapun kehidupan seseorang di dunia hanya sebentar antara 60 hingga 70 tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur umatku berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit di antara mereka yang melebihi itu.” ([1])
Rata-rata seseorang ketika berumur enam puluh tahun dan belum mencapai tujuh puluh tahun, mereka telah dipanggil oleh Allah Subhanahu wa ta ‘ala. Ini menjelaskan kepada kita bahwasanya kehidupan kita di dunia ini sangat sebentar dibandingkan dengan perjalanan kita menuju surga atau neraka. Karena untuk masa yang akan dilalui di padang mahsyar saja sudah sangat lama. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij : 4)
Kalau padang mahsyar yang satu harinya sebanding dengan lima puluh ribu tahun, maka apa bandingannya dengan umur seseorang di dunia yang walaupun sampai sembilan puluh tahun? Maka sekali lagi ini menunjukkan bahwa kehidupan kita di dunia ini hanya sebentar. Yang perlu untuk kita renungkan adalah kehidupan kita yang panjang setelah kematian, yang tak berujung dan merupakan kehidupan yang abadi.
Bagaimanapun juga seseorang yang hidup pasti akan meninggal dunia. Terlebih lagi Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
“(Dikatakan kepada mereka) Bukankah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (bukankah) telah datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir : 37)
Al-Imam Al-Bukhari menafsirkan النَّذِيرُ “peringatan” dengan الشَّيْبَ “Uban”([2]). Karenanya jika telah ada uban pada diri seseorang, ketahuilah bahwa itu adalah peringatan dari Allah Subhanahu wa ta’ala agar dia serius dalam beramal karena dia akan dipanggil menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala.
Seseorang tatkala semakin tua, maka dia pasti akan merasakan kelemahan, baik dari segi penglihatannya, pendengarannya, kekuatan fisiknya, dan yang lainnya. Ketahuilah bahwa ini adalah bagian dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala agar seseorang sadar bahwasanya dia akan kembali ke titik nol yaitu meninggal dunia. Seandainya seseorang dalam kehidupannya tetap merasa kuat, maka dia akan sombong dan lupa akan kematian. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’ : 78)
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan“. (QS. Al-Jum’ah : 8)
Oleh karenanya seseorang harus memikirkan tentang kehidupannya setelah kematian. Dan ingatlah bahwa kematian akan datang dengan berbagai macam cara yang Allah kehendaki. Kematian bisa datang melalui gempa, sunami, sakit, kecelakaan, dan yang lainnya. Dan kematian lebih sering datang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Maka inilah kehidupan kita yang hanya sedikit, yaitu sekitar enam puluh hingga tujuh puluh tahun, kemudian kita akan masuk pada fase kehidupan berikutnya yaitu fase al-Yaum al-Akhir yang diawali dengan kematian. Akan tetapi waktu yang sangat sedikit ini (60 hingga 70) tahun adalah penentu nasib kita di alam barzakh, di padang Mahsyar, di surga atau di neraka.
Siapakah yang suka dengan kematian?
Secara umum semua orang tidak suka dengan yang namanya kematian. Ini adalah sesuatu yang manusiawi. Setiap orang menginginkan untuk selalu di samping orang yang dicintainya di dunia ini. Secara manusiawi seseorang suka dengan kehidupan. Oleh karenanya, terdapat hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit t, dari Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ أَوْ بَعْضُ أَزْوَاجِهِ: إِنَّا لَنَكْرَهُ المَوْتَ، قَالَ: لَيْسَ ذَاكِ، وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ المَوْتُ بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّهِ وَكَرَامَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ وَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الكَافِرَ إِذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَعُقُوبَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَهَ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
“Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun suka bertemu dengannya. Barang siapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya. ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhaatau sebagian istri nabi ﷺ berkata, ‘Sesungguhnya kami benci dengan kematian’. Beliau ﷺ bersabda, ‘Bukan demikian, akan tetapi seorang mukmin jika kematian telah hadir di hadapannya, maka dia akan diberikan kabar gembira tentang keridaan Allah dan kemuliaan-Nya. Tidak ada yang paling dia sukai ketika itu, kecuali apa yang ada di hadapannya (kematian), maka dia pun suka bertemu dengan Allah dan Allah pun suka bertemu kepadanya. Sesungguhnya orang kafir jika hendak meninggal dunia, maka dia akan diberikan kabar gembira tentang azab dan hukuman Allah yang disiapkan kepadanya. Tidak ada sesuatu pun yang lebih dia benci dari apa yang di hadapannya, maka dia pun benci untuk bertemu dengan Allah dan Allah pun benci bertemu dengannya.” ([3])
Tidak ada yang suka dengan kematian. Tidak ada yang suka meninggalkan dunia ini dengan menghadapi kondisi yang kesakitan, lantaran nyawanya dicabut oleh malaikat pencabut nyawa.
Ketika mendengar hadits ini, ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhamemahami bahwa barang siapa yang suka bertemu dengan Allah maksudnya adalah kematian. Oleh karenanya, dia bertanya kepada Rasulullah ﷺ apakah yang dimaksud adalah senang atau benci terhadap kematian?. Namun, sejatinya yang dimaksud Rasulullah ﷺ bukanlah itu. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh Nabi ﷺ bahwa jika kematian hadir kepada seorang mukmin, maka dia akan diberikan kabar gembira tentang keridaan Allah ﷻ, surga dan kebahagiaan yang kelak akan diraihnya.
Hadits ini menjelaskan bahwasanya orang yang tidak suka dengan kematian merupakan sesuatu yang wajar, karena saat-saat menjelang kematian adalah kondisi yang mengenaskan dan sulit, semua kekuatan sirna hingga nyawa dicabut. Melihat kondisi yang demikian ini, semua orang tidak ada yang menyukainya. Akan tetapi, jika orang tersebut beriman kepada Allah ﷻ, pada saat menjelang kematiannya, maka Allah ﷻ memberikan kabar gembira kepadanya, sehingga hal itu membuatnya rindu untuk bertemu dengan-Nya.
Tiga Kondisi
Ada 3 kondisi yang berkaitan dengan kematian :
Pertama : Kepayahan (rasa berat) yang dialami menjelang kematian, yang disebut dengan سَكَرَاتُ الْمَوْتِ Sakaratul Maut. Sakaratul Maut akan dialami oleh semua manusia baik yang beriman maupun tidak. Adapun keras atau tidaknya sakaratul maut tidaklah menunjukan apapun, karena ia seperti sakit yang menimpa seseorang, jika dihadapi dengan sabar maka bisa menggugurkan dosa-dosa dan mengangkat derajat. Karenanya Nabi juga mengalami sakaratul maut yang berat.
Kedua : Kondisi proses dicabutnya nyawa dari jasad yang disebut dengan الاِحْتِضَارُ “al-Ihtidhoor”. Kondisi ini adalah kondisi yang ghaib tidak diketahui secara hakikatnya karena malaikat yang mencabut nyawa tidaklah terlihat, demikian juga ruh juga tidak terlihat. Namun seorang mukmin akan dimudahkan dicabut nyawanya, sementara orang kafir akan tersiska ketika ruhnya dicabut dengan keras. Akan tetapi kondisi inipun (mudah atau tersiksa ketika dicabut nyawa) adalah hal yang ghaib yang tidak bisa kita lihat.
Ketiga : Kematian : Kondisi terlepasnya ruh/nyawa dari jasad.
Firasat Menjelang Kematian :
Hukum asalnya tidak ada seorangpun yang tahu dengan pasti kapan dia akan meninggal. Allah ﷻ berfirman,
وَما تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Tidak ada satu pun manusia yang tahu, di mana dia akan meninggal dunia. Akan tetapi, bagaimanapun seseorang berusaha menghindar dari kematian, dia pasti akan tetap mendatanginya.
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu.” (QS. Al-Jumuah: 8)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh.” (QS. An-Nisa’: 78)
Siapa pun orangnya, baik raja, panglima perang atau orang yang memiliki keistimewaan lengkap dengan penjagaan sekalipun, bahkan di dalam rumah yang besar dan dinding yang kokoh, jika kematian datang kepadanya, maka dia akan mendapatinya dan tidak bisa lari darinya.
Bahkan para nabi pun tidak tahu dengan pasti kapan tiba kematiannya. Seperti Nabi Adam álaihis salam ketika datang malaikat maut beliau menyangka bahwa umur beliau masih tersisa 40 tahun.
Rasulullahﷺ bersabda,
لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ، فَرَأَى رَجُلًا مِنْهُمْ فَأَعْجَبَهُ وَبِيصُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ آخِرِ الأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ فَقَالَ: رَبِّ كَمْ جَعَلْتَ عُمْرَهُ؟ قَالَ: سِتِّينَ سَنَةً، قَالَ: أَيْ رَبِّ، زِدْهُ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَلَمَّا قُضِيَ عُمْرُ آدَمَ جَاءَهُ مَلَكُ المَوْتِ، فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ قَالَ: فَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَخَطِئَ آدَمُ فَخَطِئَتْ ذُرِّيَّتُهُ
“Saat Allah menciptakan Adam, Ia mengusap punggungnya lalu dari punggungnya berjatuhan setiap jiwa yang diciptakan Allah dari keturunan Adam hingga hari kiamat dan Ia menjadikan kilatan cahaya diantara kedua mata setiap orang dari mereka, kemudian mereka dihadapkan kepada Adam, ia bertanya: ‘Wahai Rabb, siapa mereka?’ Allah menjawab: ‘Mereka keturunanmu’. Adam melihat seseorang dari mereka dan kilatan cahaya diantara kedua matanya membuatnya kagum, Adam bertanya: ‘Wahai Rabb siapa dia?’ Allah menjawab: ‘Ia orang akhir zaman dari keturunanmu bernama Daud’. Adam bertanya: ‘Wahai Rabb, berapa lama Engkau menciptakan umurnya?’ Allah menjawab: ‘Enam puluh tahun’. Adam bertanya: ‘Wahai Rabb, tambahilah empat puluh tahun dari umurku’. Saat usia Adam ditentukan, Malaikat maut mendatanginya lalu berkata: ‘Bukankah usiaku masih tersisa empat puluh tahun’. Malaikat maut berkata: ‘Bukankah kau telah memberikannya kepada anakmu, Daud’. Adam membantah lalu keturunannya juga membantah. Adam dibuat lupa dan keturunannya juga dibuat lupa. Adam salah dan keturunannya juga salah.” ([4])
Demikian juga Nabi Musa AS ketika malaikat maut datang beliau tidak tahu bahwa malaikat tersebut hendak mencabut nyawa beliau. Rasulullahﷺ bersabda,
جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ. فَقَالَ لَهُ: أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا، قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ: الْحَيَاةَ تُرِيدُ؟ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ، فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً، قَالَ: ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ تَمُوتُ، قَالَ: فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ، رَبِّ أَمِتْنِي مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ، رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاللهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ، عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ
“Malaikat maut datang menemui Musa ‘alaihissalam, lalu ia berkata kepadanya; ‘Penuhilah panggilan Rabbmu, ‘ Rasulullah Bersabda: “Lalu Musa menampar mata malaikat maut dan mencukilnya, ” Rasulullah Bersabda: “Lalu malaikat maut kembali menemui Allah ‘azza wajalla seraya berkata; ‘Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak menginginkan kematian, dan sungguh ia telah mencukil mataku.'” Rasulullah Bersabda: “Lalu Allah mengembalikan matanya, dan Allah berfirman: ‘Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan kepadanya; ‘Apakah kehidupan yang engkau inginkan? Jika engkau menginginkan kehidupan maka letakkanlah tanganmu di atas bulu sapi, maka setiap bulu yang tertutup oleh tanganmu, dengannya engkau akan mendapatkan tambahan satu tahun.’ Musa berkata; ‘Lalu apa setelah itu? ‘ malaikat maut berkata; ‘Kematian.’ Musa berkata; ‘Maka segerakanlah, ‘ lalu ia berdoa; ‘Ya Allah, dekatkanlah kuburku dengan tanah suci sejauh lemparan batu.'” Abu Hurairah berkata; dan Rasulullahﷺ Bersabda: “Jika aku ada di sana sungguh akan aku tunjukkan kepada kalian, yaitu di sisi jalan dekat pasir merah.” ([5])
Para ulama menjelaskan bahwa ketika nabi Musa ‘alaihissalam hendak dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Maka, beliau menampar malaikat tersebut hingga bisa mencukil matanya dikarenakan malaikat saat itu menjelma sebagai manusia maka sebagian sifat manusia ada pada malaikat.([6])
Demikian juga Nabi Daud álaihis salam. Berdasarkan riwayat di atas (tentang Adam menghadiahkan umurnya kepada Nabi Daud), Nabi Daud ‘alaihissalam meninggal dalam usia 100 tahun. Nabiﷺ bersabda,
كَانَ دَاوُدُ النَّبِيُّ فِيهِ غَيْرَةٌ شَدِيدَةٌ، وَكَانَ إِذَا خَرَجَ أُغْلِقَتِ الْأَبْوَابُ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَى أَهْلِهِ أَحَدٌ حَتَّى يَرْجِعَ، قَالَ: فَخَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ، وَأغُلِّقَتِ الدَّارُ، فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ تَطَّلِعُ إِلَى الدَّارِ، فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ وَسَطَ الدَّارِ، فَقَالَتْ لِمَنْ فِي الْبَيْتِ: مِنْ أَيْنَ دَخَلَ هَذَا الرَّجُلُ الدَّارَ، وَالدَّارُ مُغْلَقَةٌ، وَاللَّهِ لَتُفْتَضَحَنَّ بِدَاوُدَ، فَجَاءَ دَاوُدُ فَإِذَا الرَّجُلُ قَائِمٌ وَسَطَ الدَّارِ، فَقَالَ لَهُ دَاوُدُ: مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ: أَنَا الَّذِي لَا أَهَابُ الْمُلُوكَ، وَلَا يَمْتَنِعُ مِنِّي الْحُجَّابُ، فَقَالَ دَاوُدُ: أَنْتَ وَاللَّهِ إِذَنْ مَلَكُ الْمَوْتِ، مَرْحَبًا بِأَمْرِ اللَّهِ، فَرَمَلَ دَاوُدُ مَكَانَهُ حَيْثُ قُبِضَتْ رُوحُهُ حَتَّى فَرَغَ مِنْ شَأْنِهِ، وَطَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ، فَقَالَ سُلَيْمَانُ لِلطَّيْرِ: أَظِلِّي عَلَى دَاوُدَ، فَأَظَلَّتْ عَلَيْهِ الطَّيْرُ حَتَّى أَظْلَمَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ، فَقَالَ لَهَا سُلَيْمَانُ: اقْبِضِي جَنَاحًا جَنَاحًا
“Sesungguhnya Nabi Daud memiliki kecemburuan yang besar, jika keluar ia menutup seluruh pintu sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menemui keluarganya (istri) sampai ia pulang,” Beliau bersabda: “Maka pada suatu hari, Nabi Daud pergi, istrinya lalu mengamat-ngamati ruangan rumah, maka tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri ditengah-tengah rumah, ia kemudian bertanya kepada orang yang ada di dalam rumah tersebut; “Dari mana lelaki ini masuk rumah, padahal pintu rumah telah tertutup? Demi Allah Daud pasti akan marah.” Setelah itu Nabi Daud datang dan menemukan lelaki tersebut berdiri di tengah-tengah rumahnya, maka Daud bertanya kepadanya; ‘Siapa kamu?’ laki-laki itu menjawab; ‘Aku adalah orang yang tak pernah takut pada para raja, dan tidak ada yang bisa menghalangiku’. Maka Daud berkata; “Demi Allah, engkau adalah Malaikat pencabut nyawa, selamat datang dengan perintah Allah”. Lalu Daud berjalan dengan cepat ke tempat dimana ia meninggal, ketika Daud telah meninggal matahari pun terbit, Sulaiman berkata kepada burung-burung; ‘Naungilah Daud’. Lalu, burung-burung itu pun menaunginya sehingga bumi menjadi gelap. Sulaiman berkata pada burung-burung itu, ‘Genggamlah sayap demi sayap’.” ([7])
Adapun firasat bahwa seseorang akan meninggal maka itu dialami oleh banyak orang. Nabi shallallahu álaihi wasallam sendiri ketika menjelang wafat telah diberi tanda-tanda oleh Allah dengan banyak tanda.
Pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari. Dimana pada (tahun-tahun) sebelumnya beliau tidak pernah beri’tikaf kecuali sepuluh hari saja
Abu Huroiroh berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا»
“Nabi shallallahu álaihi wasallam biasanya i’tikaf setiap bulan Ramadhan 10 hari. Tatkala di tahun dimana beliau meninggal maka beliau i’tikaf 20 hari” ([8])
Malaikat jibril bertadarus al-Qur’an dengan beliau pada tahun itu sebanyak dua kali.
Nabi pernah berkata kepada putrinya Fathimah sehingga Fathimah-pun menangis:
إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِي القُرْآنَ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً، وَإِنَّهُ عَارَضَنِي العَامَ مَرَّتَيْنِ، وَلاَ أُرَاهُ إِلَّا حَضَرَ أَجَلِي، وَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِ بَيْتِي لَحَاقًا بِي
“Sesungguhnya Jibril biasanya mengajariku al-Qurán setahun sekali, namun pada tahun ini ia mengajariku dua kali. Menurutku ini tanda bahwa ajalku sudah dekat. Dan engkau (Fathimah) adalah orang dari ahli bait-ku yang pertama menyusulku” ([9])
Pada haji wada’ (haji perpisahan) beliau bersabda pada saat melempar Jumrah Aqabah,
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku, karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku akan berhaji lagi setelah hajiku ini” ([10])
Dan telah diturunkan kepada beliau di pertengahan hari tasyriq surat an-Nashr, sehingga beliau mengetahui bahwa hal itu adalah perpisahan, dan merupakan isyarat akan (dekatnya) kepergian beliau untuk selama-lamanya. Ibnu Ábbas berkata tentang surat an-Nashr :
أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَهُ إِيَّاهُ
“(surat itu) adalah (pertanda) ajal Rasulullah shallallahu álahi wasallam yang Allah beritahukan kepada beliau” ([11])
Di tengah perjalanan pulang dari haji wadaa’([12]) dan di suatu tempat mata air yang disebut Khumm Nabi berkhotbah di hadapan para sahabat mengisyaratkan bahwa beliau akan meninggal.
Zaid bin Arqom berkata :
قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا، بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ وَذَكَّرَ، ثُمَّ قَالَ: ” أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ
“Rasulullah shallallahu álaihi wasallam suatu hari berdiri di hadapan kami berkhutbah di suatu mata air yang disebut dengan “Khumm” antara Mekah dan Madinah. Maka beliau memuji Allah serta menyanjungNya, beliau memberi nasihat dan wejangan, lalu beliau berkata, “Kemudian dari pada itu, ketahuilah manusia sekalian, sesungguhnya aku ini hanyalah manusia, sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (yaitu malaikat maut-pent) maka aku memenuhi panggilan utusan tersebut” ([13])
Demikian juga firasat ini dialami oleh sebagian sahabat. Anas bin Malik t berkata,
أَنَّ أَنَسَ بْنَ النَّضْرِ تَغَيَّبَ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ، فَقَالَ: تَغَيَّبْتُ عَنْ أَوَّلِ مَشْهَدٍ شَهِدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَئِنْ رَأَيْتُ قِتَالًا لَيَرَيَنَّ اللهُ مَا أَصْنَعُ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ انْهَزَمَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَقْبَلَ أَنَسٌ، فَرَأَى سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ مُنْهَزِمًا، فَقَالَ: يَا أَبَا عَمْروٍ، أَيْنَ؟ أَيْنَ؟ قُمْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ الْجَنَّةِ دُونَ أُحُدٍ
“Sesungguhnya Anas bin An-Nadhr tidak ikut di dalam perang Badar, dia berkata, ‘Aku tidak turut serta perang pertama dengan Rasulullah ﷺ, seandainya aku melihat ada peperangan, sungguh Allah akan melihat apa yang aku perbuat’. Ketika tiba perang Uhud, para sahabat Nabi ﷺ menyerang musuh. Anas bersiap dan melihat Sa’d bin Mu’adz maju berperang, lalu berkata, ‘Wahai Abu Amr dimana? Dimana? Berdirilah, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku mencium bau surga dari arah gunung Uhud’.” ([14])
Jabir bin Abdillah berkata :
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ: مَا أُرَانِي إِلَّا مَقْتُولًا فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، …. «فَأَصْبَحْنَا، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ …»
“Ketika tiba perang Uhud, ayahku memanggilku di malam harinya, lalu ia berkata, “Menurutku besok aku termasuk orang-orang yang pertama kali akan terbunuh dari para shabat Nabi SAW…”….maka di pagi hari ayahku benar yang pertama kali terbunuh…” ([15])
Penulis mengenali seseorang yang merupakan ketua DKM sebuah masjid di Jakarta. Ketika di malam harinya sebelum ia meninggal ia sempat mengumpulkan anak-anaknya lalu mengatakan kepada mereka untuk lebih hidup bersabar karena ayah akan melakukan perjalanan jauh. Ternyata keesokan harinya iapun meninggal.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Tirmidzi 5/553 no. 3550
([4]) H.R. Tirmidzi. 5/267 no. 3076
([6]) Lihat: Mirqootul Mafaatiih Syarhu Misykaatul Mashoobiih 9/3648
([7]) H.R. Ahmad 2/419 no. 9422
([9]) HR Al-Bukhari no 3624 dan Muslim no 2450
([12]) lihat HR Al-Haakim no 4576 dan An-Nasaai di as-Sunan al-Kubro no 8092