Sifat-Sifat Para Rasul
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Secara umum Allah ﷻ menyifati seluruh para nabi dan rasul dengan عَبْدُ اللهِ ورَسُوْلُهُ (hamba Allah ﷻ dan rasul-Nya). Oleh karenanya dalam hadits Nabi ﷺ menyifati nabi Isa ‘Alaihissalam dengan sifat tersebut. Nabi ﷺ bersabda,
مَن شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَأنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأنَّ عِيسَى عبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الجَنَّةَ علَى مَا كَانَ مِنَ العَمَلِ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Isa adalah hamba dan utusan-Nya serta Kalimat yang ditiupkan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar. Maka Allah akan memasukkannya ke surga sesuai dengan amal yang dia lakukan.”([1])
Pada pembahasan ini penulis ingin menjelaskan sifat-sifat para nabi dan rasul berdasar dua sifat di atas, yaitu sifat-sifat sebagai hamba Allah ﷻ dan sifat-sifat sebagai rasul.
Sifat-sifat Para Nabi Sebagai Hamba
Pertama : Para nabi adalah manusia yang paling kuat dalam beribadah.
Terbukti jika kita melihat kisah-kisah para nabi, maka akan kita dapati hal yang demikian. Contohnya adalah Nabi kita Muhammad ﷺ, beliau shalat sampai kaki beliau ﷺ pecah-pecah. Ketika ditanyakan kenapa beliau ﷺ melakukan hal yang demikian, maka beliau ﷺ menjawab,
أَفَلَا أكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah sudah sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur.”([2])
Begitu juga menjelang wafat, beliau tetap semangat ke masjid untuk shalat berjamaah, meskipun dalam kondisi tertatih-tatih ketika menuju masjid, bahkan terkadang Nabi ﷺ sampai pingsan. Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, jika melakukan shalat beliau ‘Alaihissalam bisa berdiri hingga berbulan-bulan. Nabi-nabi lain pun demikian jika melakukan ibadah. Intinya, mereka para nabi adalah hamba-hamba Allah ﷻ yang paling semangat dan kuat dalam beribadah. Oleh karenanya dalam beberapa ayat, Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ dari sisi sebagai hamba. Allah ﷻ berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al-Isra: 1)
Ayat ini menjelaskan suatu peristiwa yang sangat genting yaitu peristiwa isra’ dan mi’raj. Walaupun begitu, Allah ﷻ tidak menyebut Nabi ﷺ dengan rasul atau nabi, melainkan dengan hamba Allah. Ini menunjukkan bahwa penyebutan nabi sebagai hamba Allah ﷻ adalah pujian bagi Nabi ﷺ.
Allah ﷺ juga berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS. Al-Jin: 19)
Allah ﷺ juga berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Nabi ﷺ dipuji oleh Allah ﷻ sebagai rasul dan juga sebagai hamba. Jadi, kedua sifat ini tidak boleh dibuang salah satunya atau pun dipisahkan. Tidak boleh kita melihat Nabi ﷺ sebagai rasul saja, dan juga tidak boleh kita melihat Nabi ﷺ sebagai hamba saja. Kita katakan bahwa Nabi ﷺ adalah hamba dan rasul Allah ﷻ. Nabi ﷺ bersabda,
لَا تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani telah berlebihan dalam memuji Isa putra Maryam. Sejatinya aku hanyalah hamba-Nya maka katakanlah aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya.”([3])
Konsekuensi seorang hamba adalah beribadah kepada penciptanya yaitu Allah ﷻ.
Kedua : Sifat-sifat yang membuktikan bahwa nabi adalah manusia.
Allah ﷻ berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Pada ayat ini Allah ﷻ memerintahkan Nabi ﷺ untuk berkata kepada umatnya bahwa Nabi ﷺ juga adalah seorang manusia sama seperti mereka.
Pada ayat lain Allah ﷻ menjelaskan bagaimana penolakan kaum kafir terhadap kenabian Nuh ‘Alaihissalam. Mereka menolak keputusan Allah ﷻ mengutus seorang nabi dari kalangan mereka sendiri. Allah ﷻ berfirman,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ. وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. Dan sesungguhnya jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Mu’minun: 33-34)
Contoh sifat manusiawi para nabi adalah:
- Para nabi makan dan minum.
Allah ﷻ berfirman
وَقَالُوا مَا لِهَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
“Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (QS. Al-Furqan: 7)
Allah ﷻ juga berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al-Furqan : 20)
- Para nabi lapar.
- Para nabi beristirahat.
- Para nabi menikah dan punya anak. Allah ﷻ berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’ad: 38)
Ketiga : Sifat-sifat kekurangan sebagai konsekuensi manusia.
Allah ﷻ berfirman tentang lupanya nabi Adam ‘Alaihissalam,
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَىٰ آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS. Thaha: 115)
Dalam hadits Nabi ﷺ bersabda,
ونَسِيَ آدمُ، فنَسِيَتْ ذُرِّيَّتُه
“Nabi Adam ‘Alaihissalam lupa, maka anak keturunannya pun lupa.”([4])
Begitu juga Nabi Muhammad ﷺ, beliau lupa sebagaimana manusia biasanya. Nabi ﷺ bersabda,
إنَّما أنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ
“Sesungguhnya aku ini manusia sama seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa.”([5])
- Buang hajat
Dalil yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak. Di antaranya adalah hadits yang mengisahkan bahwa Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah membawakan air kepada Nabi ﷺ untuk buang hajat.
كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَدْخُلُ الخَلاءَ فأحْمِلُ أنا، وغُلامٌ نَحْوِي، إداوَةً مِن ماءٍ، وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بالماءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk kamar kecil. Ketika itu, aku dan bocah semisalku membawa wadah kecil berisi air dan juga tombak pendek, lantas beliau beristinja’ dengan menggunakan air.” ([6])
Kemudian juga Abdullah bin Mas’ud pernah mengambil batu untuk Nabi ﷺ beristijmar.
أَتَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ الغَائِطَ فأمَرَنِي أنْ آتِيَهُ بثَلَاثَةِ أحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ، والتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أجِدْهُ، فأخَذْتُ رَوْثَةً فأتَيْتُهُ بهَا، فَأَخَذَ الحَجَرَيْنِ وأَلْقَى الرَّوْثَةَ وقالَ: هذا رِكْسٌ
“Nabi ﷺ buang air besar, maka beliau memerintahku untuk mendatangkan bagi beliau tiga buah batu. Aku pun mendapatkan dua buah batu dan aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya. Maka aku pun mengambil kotoran lalu aku berikan kepada Nabi. Maka Nabi pun mengambil kedua batu tersebut dan melempar kotoran tadi dan berkata, “Ini najis.”([7])
- Sakit
Nabi ﷺ bersabda,
إنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلَانِ مِنكُمْ
“Aku demam seperti demamnya dua orang dari kalian.”([8])
- Meninggal
Allah ﷻ berfirman tentang Nabi ﷺ,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar: 30)
Allah ﷻ juga berfirman,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (QS. Al-Imran: 144)
Oleh karenanya ketika Nabi ﷺ wafat, Umar h tidak membenarkan hal tersebut. Maka Abu Bakr h pun berkata,
مَن كانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فإنَّ مُحَمَّدًا قدْ مَاتَ، ومَن كانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فإنَّ اللَّهَ حَيٌّ لا يَمُوتُ. وقَالَ: {إنَّكَ مَيِّتٌ وإنَّهُمْ مَيِّتُونَ} وقَالَ: {وَما مُحَمَّدٌ إلَّا رَسولٌ قدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أفَإنْ مَاتَ أوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ علَى أعْقَابِكُمْ ومَن يَنْقَلِبْ علَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شيئًا وسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}
“Barangsiapa yang menyembah Muhammad ﷺ, sesungguhnya Muhammad ﷺ sekarang telah wafat, dan siapa yanng menyembah Allah ﷻ, sesungguhnya Allah adalah Zat yang Maha Hidup selamanya tidak akan wafat. Lalu dia membacakan firman Allah surat az-Zumar ayat 30 yang artinya: (“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati”) dan surat Al-Imran ayat 144 yang artinya: (“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia tidak akan dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”).([9])
Setelah mendengar perkataan Abu Bakr h ini, maka Umar h pun sadar bahwa Nabi ﷺ telah wafat.
- Takut
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi ﷺ,
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Begitu juga firman Allah ﷻ tentang nabi Musa ﷺ,
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 21)
Inilah sifat-sifat kekurangan yang dialami oleh para nabi yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah Tuhan. Tetapi para nabi adalah manusia sebagaimana manusia semestinya, hanya saja mereka adalah manusia-manusia pilihan yang diberikan wahyu oleh Allah ﷻ.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([4]) HR. Tirmidzi no. 3076 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5208.
([5]) HR. Bukhari no. 404 dan Muslim no. 572.