Sifat-Sifat Para Nabi Sebagai Rasul
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwasanya para nabi adalah manusia. Secara umum keadaan mereka sama seperti halnya manusia biasa. Tetapi para nabi adalah manusia yang istimewa. Allah ﷻ berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, tetapi aku diberi wahyu.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Hal-hal yang menjadikan para nabi adalah manusia yang istimewa adalah:
Pertama : Diberikan wahyu
Para nabi diberikan wahyu oleh Allah ﷻ, sementara manusia biasa tidak diberikan wahyu oleh Allah ﷻ. Adapun berkaitan dengan bagaimana diturunkannya wahyu kepada nabi, maka ada beberapa metode:
- Mimpi
- Didatangi malaikat. Metode ini pun ada tiga model yaitu malaikat datang dalam bentuk aslinya, menjelma sebagai manusia dan mewahyukan langsung ke jiwa nabi.
- Bertemu langsung dengan Allah ﷻ.([1])
Kedua : Maksum )Dijaga oleh Allah ﷻ(
Penjagaan Allah ﷻ terhadap para nabi pada dua sisi.
Pertama: Dijaga dari kesalahan dalam menyampaikan wahyu.
Ibnu Taimiyyah berkata :
أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ مَعْصُومُونَ فِيمَا يُخْبِرُونَ بِهِ عَنْ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَفِي تَبْلِيغِ رِسَالَاتِهِ بِاتِّفَاقِ الْأُمَّةِ وَلِهَذَا وَجَبَ الْإِيمَانُ بِكُلِّ مَا أُوتُوهُ
“Sesungguhnya para nabi maksum pada kabar yang mereka sampaikan dari Allah dan pada penyampaian risalah-risalah Allah, berdasarkan kesepakatan umat ini. Karenanya wajib untuk beriman atas semua yang diturunkan kepada para nabi” ([2])
Kedua: Dijaga dari dosa-dosa besar dan dari perkara-perkara yang menjatuhkan martabat.
Para ulama sepakat bahwa para nabi maksum dari melakukan dosa-dosa besar.
Ibnu Ábdilbarr berkata ;
فَمَعْلُومٌ أَنَّهُ (عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ) لَمْ يُكَفِّرْ عَنْهُ إِلَّا الصَّغَائِرُ لِأَنَّهُ لَا يَأْتِي كَبِيرَةً أَبَدًا لَا هُوَ وَلَا أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ لِأَنَّهُمْ مَعْصُومُونَ مِنَ الْكَبَائِرِ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ
“Dan sudah diketahui bersama bahwasanya beliau shallallahu álaihi wasallam tidaklah digugurkan dari beliau kecuali dosa-dosa kecil, karena beliau tidak pernah sama sekali melakukan dosa besar sekalipun, bukan hanya beliau bahkan seluruh para nabi. Hal ini karena mereka maksum dari melakukan dosa-dosa besar” ([3])
Al-Qudhi ‘Iyadh berkata ;
فَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى عِصْمَةِ الْأَنْبِيَاءِ مِنَ الْفَوَاحِشِ وَالْكَبَائِرِ الْمُوبِقَاتِ
“Maka kaum muslimin telah ijmak akan maksumnya para nabi dari melakukan perbuatan-perbuatan keji dan dosa-dosa besar yang membinasakan” ([4])
Mereka juga sepakat bahwa para nabi maksum (terjaga) dari melakukan perkara-perkara yang menjatuhkan martabat, sehingga akan memberikan celaan kepada mereka sebagai pembawa risalah Allah. Al-Qurthubi berkata :
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْبَابِ هَلْ وَقَعَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ- صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ- صَغَائِرُ مِنَ الذُّنُوبِ يُؤَاخَذُونَ بِهَا وَيُعَاتَبُونَ عَلَيْهَا أَمْ لَا- بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى أَنَّهُمْ مَعْصُومُونَ مِنَ الْكَبَائِرِ وَمِنْ كُلِّ رَذِيلَةٍ فِيهَا شَيْنٌ وَنَقْصٌ إِجْمَاعًا
“Dan para ulama berselisih pada pembahasan ini, apakah para nabi melakukan dosa kecil dan mereka dihukum karenanya dan dicela atasnya ataukah tidak?. Setelah mereka (para ulama) sepakat dan ijmak bahwa para nabi ma’shum (terjaga) dari melakukan dosa-dosa besar, dan juga dari semua perbuatan rendahan yang padanya ada keburukan dan kekurangan”([5]).
Adapun dosa-dosa kecil (yang bukan merupakan perbuatan rendahan), maka terjadi khilaf di kalangan para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa para nabi tidak mungkin melakukan dosa-dosa kecil([6]). Argumentasi mereka kembali kepada dua hal :
- Para nabi adalah teladan hidup bagi manusia. Jika para nabi melakukan dosa-dosa kecil maka menjadikan nabi sebagai teladan adalah kesalahan. Sebab bisa jadi di antara perbuatan nabi yang kita ikuti ternyata dosa kecil([7]).
- Terjerumusnya para nabi ke dalam dosa-dosa kecil menjadikan mereka tidak sempurna dan menjadikan mereka direndahkan dan dijauhi oleh umatnya.
Namun pendapat yang lebih tepat -wallahu a’lam- adalah pendapat sebagian ulama yang lain bahwa para nabi mungkin melakukan dosa-dosa kecil, karena banyak dalil yang menguatkan akan hal ini.
Adapun berkaitan dengan argumentasi pendapat yang menolak hal ini maka :
Pertama : Para nabi tetap saja bisa menjadi teladan karena mereka tidak akan dibiarkan menetap dalam dosa, karena begitu berdosa mereka langsung bertaubat kepada Allah. ([8])
Kedua : Dosa-dosa yang mereka lakukan bukanlah dosa-dosa yang merendahkan mereka dan menghina mereka. Selain itu dosa-dosa tersebut tidak menghalangi mereka untuk mencapai kesempurnaan, hal ini karena yang menjadi patokan adalah kesudahan mereka dan bukan permulaan mereka. Dosa yang mereka lakukan di permulaan akhirnya mengantarkan mereka menuju taubat dengan segera([9]) dan kesudahan yang sempurna.
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالْأَنْبِيَاءُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَسَلَامُهُ كَانُوا لَا يُؤَخِّرُونَ التَّوْبَةَ؛ بَلْ يُسَارِعُونَ إلَيْهَا وَيُسَابِقُونَ إلَيْهَا؛ لَا يُؤَخِّرُونَ وَلَا يُصِرُّونَ عَلَى الذَّنْبِ بَلْ هُمْ مَعْصُومُونَ مِنْ ذَلِكَ، وَمَنْ أَخَّرَ ذَلِكَ زَمَنًا قَلِيلًا كَفَّرَ اللَّهُ ذَلِكَ بِمَا يَبْتَلِيهِ بِهِ كَمَا فَعَلَ بِذِي النُّونِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا عَلَى الْمَشْهُورِ أَنَّ إلْقَاءَهُ كَانَ بَعْدَ النُّبُوَّةِ؛ وَأَمَّا مَنْ قَالَ إنَّ إلْقَاءَهُ كَانَ قَبْلَ النُّبُوَّةِ فَلَا يَحْتَاجُ إلَى هَذَا
“Dan para nabi álaihimus salam mereka tidak menunda taubat, akan tetapi mereka bersegera untuk bertaubat dan berlomba untuk bertaubat. Mereka tidak menunda taubat dan tidak terus menerus melakukan dosa, bahkan mereka maksum dari hal tersebut (terjaga dari terus menerus melakukan dosa). Siapa diantara para nabi yang menunda taubat sebentar maka Allah menggugurkan dosanya tersebut dengan ujian yang Allah timpakan kepadanya, sebagaimana yang Allah lakukan terhadap Nabi Yunus. Ini bagi pendapat yang masyhur yang menyatakan bahwa ia dilempar ke dalam mulut ikan paus setelah ia menjadi Nabi. Adapun yang berpendapat bahwa Nabi Yunus dilempar sebelum kenabian maka tidak perlu pengecualian ini”([10])
Terlebih lagi bisa jadi orang yang terjatuh ke dalam dosa lalu bertaubat kepada Allah kedudukannya lebih tinggi dari pada yang tidak terjerumus dalam dosa sama sekali([11]). Hal ini tidak lain karena orang yang terjerumus dalam dosa lalu bertaubat maka ia akan melakukan amalan-amalan hati yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak pernah terjerumus dalam kemaksiatan tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَلِهَذَا كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ إنَّمَا هُمْ مَعْصُومُونَ مِنْ الْإِقْرَارِ عَلَى الذُّنُوبِ وَأَنَّ اللَّهَ يَسْتَدْرِكُهُمْ بِالتَّوْبَةِ الَّتِي يُحِبُّهَا اللَّهُ – {يُحِبُّ التَّوَّابِينَ} – … وَأَنَّ مَا صَدَرَ مِنْهُمْ مَنْ ذَلِكَ إنَّمَا كَانَ لِكَمَالِ النِّهَايَةِ بِالتَّوْبَةِ لَا لِنَقْصِ الْبِدَايَةِ بِالذَّنْبِ.
“Karenanya pendapat para salaf dan para imam umat ini adalah bahwasanya para nabi maksum dari “dibiarkan terus di atas dosa-dosa”, dan bahwasanya Allah memperbaiki kondisi mereka (ketika melakukan dosa kecil) dengan taubat yang dicintai oleh Allah yang “mencintai orang-orang yang bertaubat” (QS Al-Baqarah : 222)… dan dosa/kesalahan yang mereka lakukan adalah untuk menuju penghujung yang sempurna yaitu dengan taubat, bukan untuk memunculkan kekurangan pada permulaan” ([12])
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para nabi pernah terjatuh pada dosa kecil di antaranya:
- Kisah nabi Adam ‘Alaihissalam memakan buah yang terlarang.
- Kisah nabi Nuh ‘Alaihissalam, ketika Beliau ‘Alaihissalam meminta kepada Allah ﷻ untuk menyelamatkan anaknya yang tenggelam. Allah ﷻ pun menegur nabi Nuh ‘Alaihissalam dengan berfirman,
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46)
- Kisah nabi Musa ‘Alaihissalam. Beliau ‘Alaihissalam ketika membela kaumnya, beliau mendorong atau memukul seseorang bukan dengan maksud membunuhnya([13]), akan tetapi kemudian jatuh dan meninggal. Setelah itu langsung nabi Musa ‘Alaihissalam meminta ampun kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَىٰ حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَٰذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَٰذَا مِنْ عَدُوِّهِ ۖ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَىٰ فَقَضَىٰ عَلَيْهِ ۖ قَالَ هَٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ. قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
“Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan setan sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). Musa mendoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Qashash: 15-16)
- Kisah Nabi Daud yang memohon ampunan kepada Allah. Allah berfirman :
وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ، فَغَفَرْنَا لَهُ ذَلِكَ وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ
“Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS Shaad : 24-25)
- Dalam banyak ayat Allah ﷻ menegur Nabi Muhammad ﷺ, seperti firman Allah ﷻ,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)
Kemudian juga firman Allah ﷻ,
عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah: 43)
Kemudian juga firman Allah ﷻ,
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (QS. Abasa: 1-4)
Di antara dalil juga yang menunjukkan bahwa nabi juga melakukan dosa adalah firman Allah ﷻ dalam surat Al-fath. Allah ﷻ katakan bahwa Allah ﷻ mengampuni dosa-dosa Nabi ﷺ yang telah lalu atau pun yang akan datang. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا، لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2)
Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ juga melakukan dosa. Akan tetapi perlu diingatkan kembali, bahwa nabi hanya melakukan dosa-dosa kecil yang tidak berkaitan dengan jatuhnya martabat seseorang. Dan setelah melakukan dosa kecil, mereka langsung bertaubat kepada Allah ﷻ. ([14]).
Adapun dosa besar, maka Nabi ﷺ tidak melakukannya dan itu mustahil. Begitu halnya juga dengan para nabi yang lain.
Lain halnya dengan yang termaktub di “Perjanjian Lama” dari Bible, dimana disebutkan bahwa para nabi melakukan dosa besar (sebagaimana telah lalu penyebutannya di pembahasan Bab sebelumnya “Iman kepada kitab-kitab suci”). Disebutkan pada perjanjian lama bahwa nabi Harun ‘Alaihissalam memerintahkan kaumnya untuk membuat berhala sapi.([15]) Nabi Daud ‘Alaihissalam berzina dengan istri prajuritnya.([16]) Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam murtad di akhir hidupnya karena menyembah dewa-dewa.([17]) Nabi Nuh ‘Alaihissalam minum khamar,([18]) dan yang lainnya. Tentu ini tidak sejalan dengan Islam, tidak mungkin para nabi melakukan hal tersebut. Sebab para nabi adalah maksum, terjaga dari menyampaikan wahyu dan juga terjaga dari melakukan kesalahan dosa-dosa besar.
Ketiga : Keistimewaan para nabi
Ada beberapa perkara yang merupakan keistimewaan para nabi, diantaranya :
Pertama : Mata mereka tertidur akan tetapi qolbu mereka tidak.
Anas bin Malik berkata
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُ، وَكَذَلِكَ الأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلاَ تَنَامُ قُلُوبُهُمْ،
“Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kedua matanya tertidur dan qolbunya tidak tidur. Dan demikianlah para nabi, mata mereka tertidur akan tetapi qolbu mereka tidak tidur” ([19])
Meskipun ini adalah perkataan Anas bin Malik, akan tetapi permasalahan seperti ini tidak mungkin hanya sekedar menggunakan ro’yu (pendapat semata), tentu Anas mengetahui hal ini dari Nabi shallallahu álaihi wasallam([20]). Bahkan telah datang riwayat secara marfu’, dimana Nabi bersabda :
إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ تَنَامُ أَعْيُنُنَا، وَلاَ تَنَامُ قُلُوْبُنَا
“Kami para nabi, mata kami tertidur akan tetapi qolbu kami tidak tidur” ([21])
Aisyah pernah bertanya kepada Nabi, أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ “Apakah engkau tidur sebelum engkau shalat witir?”. Maka Nabi menjawab, يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي “Wahai Aisyah, kedua mataku tidur akan tetapi qolbuku tidak tidur” ([22])
Ibnu Abdilbarr menjelaskan bahwa ini sebabnya bahwa mimpi para nabi adalah wahyu, karena para nabi berbeda dengan manusia lainnya dari sisi ini. Adapun dari sisi tidurnya mata maka para nabi sama saja dengan para nabi yang lain. Jika qolbu mereka juga tertidur maka jadilah mimpi mereka sama seperti mimpi manusia yang lain. Karena ini juga Rasulullah tertidur hingga mengorok lalu beliau shalat tanpa wudhu lagi, karena wajib berwudhu jika tidur telah menguasai qolbu bukan mata([23]).
Kedua : Para nabi dikuburkan dimana mereka meninggal dunia
Aisyah berkata :
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ، قَالَ: مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ، ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ
“Ketika Rasulullah shallallahu álaihi wasallam wafat maka para sahabat berselisih tentang pemakamannya. Abu Bakar pun berkata, “Aku telah mendengar dari Rasulullah sesuatu yang aku tidak melupakannya. Nabi besabda, “Tidaklah Allah mewafatkan seorang nabipun kecuali di tempat yang Allah suka agar sang nabi dikuburkan di situ”. Maka kuburkanlah Nabi di lokasi tempat tidurnya” ([24])
Dalam riwayat yang lain Abu Bakar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda, لَنْ يُقْبَرَ نَبِيٌّ إِلَّا حَيْثُ يَمُوتُ “Tidak akan dikubur seorang nabipun kecuali dimana ia meninggal” ([25])
Ketiga : Para nabi diberi pilihan sebelum diwafatkan.
Nabi bersabda :
مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Tidak seorang nabipun yang sakit (menjelang wafat) kecuali diberi pilihan antara dunia dan akhirat” ([26])
Keempat : Jasad para nabi tidak dimakan bumi.
Dari Aus bin Aus ia berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ قُبِضَ، وَفِيهِ النَّفْخَةُ، وَفِيهِ الصَّعْقَةُ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ» قَالَ: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ – يَقُولُونَ: بَلِيتَ -؟ فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ»
Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya diantara hari terbaik kalian adalah hari Jumát. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu Adam diwafatkan, pada hari itu ditiupkan sangkakala yang pertama, pada hari itu orang-orang pada binasa, maka perbanyaklah untuk bersalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian dipaparkan kepadaku”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana shalawat kami dipaparkan kepadamu sementara jasadmu telah hancur?”. Nabi berkata, “Sesungguhnya Allah mengharamkan ata bumi untuk menghancurkan jasad para nabi” ([27])
Kelima : Para nabi hidup di kuburan mereka, dan mereka shalat di situ.
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ
“Para nabi hidup di kuburan mereka dalam kondisi mereka shalat” ([28])
Nabi juga bersabda :
مَرَرْتُ – عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
“Ketika malam al-Isroo’ aku melewati Musa álaihis salam di sisi Al-Ksatib al-Ahmad, dan Musa dalam kondisi sholat di kuburannya” ([29])
Demikian juga dalil-dalil dalam al-Qurán yang menyatakan bahwa para syuhada hidup di alam barzakh di sisi Allah. Jika para syuhada hidup maka para nabi lebih utama. Allah berfirman :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS Al-Baqarah : 154)
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki (QS Ali Imron : 169)
Namun perlu diingat bahwa kehidupan para nabi dan juga para syuhada adalah kehidupan di alam barzakh, maka tidak boleh diqiaskan dengan kehidupan seperti di dunia, karena mereka tidak sedang hidup di atas tanah akan tetapi di bawah tanah di alam barzakh. Karena mereka telah meninggal, yaitu meninggal dari kehidupan dunia lalu berpindah kepada kehidupan baru yaitu kehidupan barzakh. Jika kehidupan barzakh dianggap seperti kehidupan dunia di atas bumi maka para syuhada tersebut tidak boleh diwarisi hartanya, dan tidak boleh dinikahi jandanya, karena mereka belum meninggal.
Keempat : Kekhususan-Kekhususan Nabi Muhammad ﷺ
Yang dimaksud dengan kekhususan di sini adalah keistimewaan-keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad ﷺ dan tidak dimiliki oleh nabi-nabi yang lain. Banyak keistimewaan Nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib bagi kita untuk membenarkan dan menetapkan seluruhnya selama datang dalam dalil yang valid. Dan tidak boleh kita menetapkan bagi Rasulullah ﷺ kekhususan yang tidak ada dalilnya, jangan sampai karena cinta kepada Nabi akhirnya kita malah terjerumus kepada sikap berlebih-lebihan yang telah beliau larang. Beliau ﷺ bersabda,
«لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ»
“janganlah kalian berlebih-lebihan kepadaku, sebagaimana berlebihannya orang-orang Nasrani kepada Isa bin Maryam, sesungguhnya aku adalah hamba-Nya maka katakanlah (bahwa Muhammad) hamba Allah dan Rasul-Nya.”([30])
Jika memperhatikan kekhususan-kekhususan Nabi Muhammad ﷺ yang disebutkan oleh para penulis atau yang disebutkan syaír-syaír yang memuji beliau, maka bisa kita klasifikasikan menjadi tiga macam:
Pertama : Kekhususan yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan hadis sahih
Kedua : Kekhususan yang diisyaratkan atau disimpulkan dari hadis yang sahih namun penunjukannya tidaklah tegas
Ketiga : Kekhususan yang tidak ada hadis sahih yang menyebutkannya
Berikut penjelasan ketiga model tersebut secara detail.
Pertama : Kekhususan yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan hadis sahih
- Kekhususan Rasulullah ﷺ dengan surah Al-Fatihah dan penutup surah Al-Baqarah
Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ
أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ
“Bergembiralah atas dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelummu, yaitu pembuka Al Kitab (surat Al Fatihah) dan penutup surat Al Baqarah.” ([31])
- Kekhususan Rasulullah ﷺ dengan enam perkara
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ “
“Aku diberi keutamaan atas para nabi dengan enam perkara: pertama, aku diberi Jawami’ al-Kalim([32]). Kedua, aku ditolong dengan rasa takut (yang dihunjamkan di dada-dada musuhku). Ketiga, ganimah dihalalkan untukku([33]). Keempat, bumi dijadikan suci untukku dan juga sebagai masjid. Kelima, aku diutus kepada seluruh makhluk. Keenam, para nabi ditutup dengan kerasulanku.” ([34])
- Kekhususan Rasulullah ﷺ dengan Allah ﷻ halalkan Makkah untuknya hanya sesaat di siang hari (untuk berperang), yaitu ketika peristiwa Fathu Makkah.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
حَرَّمَ اللَّهُ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَلاَ لِأَحَدٍ بَعْدِي، أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ
“Allah telah mengharamkan kota Makkah, maka tidak dihalalkan buat seorang pun sebelum dan setelahku melakukan pelanggaran di sana, dihalalkan buatku di satu waktu di siang hari.” ([35])
Kekhususan Rasulullah ﷺ dengan diberi Al-Kautsar
Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.” (QS. Al-Kautsar: 1)
- Hewan melata mengenal Rasulullah ﷺ
Pada suatu hari Rasulullah ﷺ masuk ke dalam salah satu kebun milik orang Anshar yang ternyata di dalamnya ada seekor unta yang mendatangi beliau dalam keadaan menangis dan matanya meneteskan air mata, maka Rasulullah ﷺ mengusap telinganya dan pangkal lehernya, maka unta tersebut menjadi tenang. Lalu beliau menanyakan tentang pemilik unta tersebut. Beliau bersabda,
أَمَا تَتَّقِي اللَّهَ فِي هَذِهِ الْبَهِيمَةِ الَّتِي مَلَّكَكَهَا اللَّهُ، إِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيعُهُ وَتُدْئِبُهُ
“Tidakkah kamu bertakwa kepada Allah di dalam memelihara unta yang telah Allah kuasakan kepadamu. Unta ini mengadu kepadaku, bahwasanya kamu membiarkan dia lapar dan lelah.” ([36])
- Rasulullah ﷺ bisa melihat orang-orang yang berada di belakang sebagaimana melihat yang berada di hadapannya.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللَّهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوعُكُمْ وَلاَ رُكُوعُكُمْ، إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Apakah kalian melihat kiblatku di sini. Demi Allah, tidak samar bagiku khusyuk dan rukuk kalian. Aku melihat kalian dari arah belakang punggungku.” ([37])
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah penglihatan ini, apakah hal ini umum dalam segala hal ataukah khusus dalam salat saja?
- Rasulullah ﷺ menjadi imam para nabi
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي، فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ، جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ، وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَائِمٌ يُصَلِّي، أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ، وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَائِمٌ يُصَلِّي، أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ – يَعْنِي نَفْسَهُ – فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَأَمَمْتُهُمْ
“Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan salat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting, seakan-akan dia dari bani Syanuah. Aku juga diperlihatkan Isa bin Maryam ‘alaihissalam yang juga sedang berdiri melaksanakan salat. Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi adalah orang yang paling mirip dengannya. Telah diperlihatkan pula kepadaku Nabi Ibrahim yang juga sedang berdiri melaksanakan salat, orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika waktu salat telah masuk, aku pun mengimami mereka semua.” ([38])
- Keislaman qarinnya
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ قَالُوا: وَإِيَّاكَيَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Tidaklah setiap orang daripada kalian melainkan dia telah diutuskan bersamanya qarinnya daripada kalangan jin. Para sahabat bertanya: ‘Apakah engkau juga wahai Rasulullah?’ Baginda menjawab: ‘Dan aku juga, melainkan Allah telah menolongku darinya, hingga dia pun masuk Islam, maka dan tidaklah ia memerintahku kecuali pada perkara kebaikan’.” ([39])
- Rasulullah ﷺ diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang secara mutlak
Allah ﷻ berfirman,
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 2)
Dari al-Mughirah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ، فَقِيلَ لَهُ: غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ: أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“Nabi ﷺ berdiri salat hingga kedua telapak kakinya bengkak-bengkak. Maka dikatakan kepada beliau; ‘Bukankah Allah telah mengampuni Anda terhadap dosa-dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: “Tidak bolehkah saya menjadi hamba yang bersyukur.” ([40])
- Allah ﷻ bersumpah dengan umurnya
Allah ﷻ berfirman,
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. (QS. Al-Hijr: 72)
- Keistimewaan Rasulullah ﷺ dan umatnya sebagai saksi atas seluruh manusia
Rasulullah ﷺ bersabda,
يَجِيءُ نُوحٌ وَأُمَّتُهُ، فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى، هَلْ بَلَّغْتَ؟ فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ، فَيَقُولُ لِأُمَّتِهِ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ لاَ مَا جَاءَنَا مِنْ نَبِيٍّ، فَيَقُولُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتُهُ، فَنَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ، وَهُوَ قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَالوَسَطُ العَدْلُ
- Nabi Nuh dan umatnya datang pada hari kiamat, lalu Allah ﷻ berfirman: ‘Apakah kamu telah menyampaikan?’ Nuh menjawab: ‘iya, wahai Rabbku’. Kemudian Allah bertanya kepada umatnya: ‘Apakah benar dia telah menyampaikan kepada kalian?’ Mereka menjawab; ‘Tidak. Tidak ada seorang Nabi pun yang datang kepada kami’. Lalu Allah berfirman kepada Nuh: ‘Siapa yang menjadi saksi atasmu?’ Nabi Nuh berkata; ‘Muhammad ﷺ dan umatnya’. Maka kami pun bersaksi bahwa dia telah menyampaikan. Inilah firman Allah ﷻ, {Dan demikianlah kami telah menjadikan kalian sebagai umat pertengahan untuk menjadi saksi atas manusia..}. Al-washathu artinya al-‘adl (adil).” ([41])
- Rasulullah ﷺ adalah pemimpin anak Adam
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
“Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat kelak, aku adalah orang yang muncul lebih dahulu dari kuburan, aku adalah orang yang paling dahulu memberi syafaat, dan aku adalah orang yang paling dahulu dibenarkan memberi syafaat.” ([42])
- Rasulullah ﷺ pemilik al-maqam al-mahmud dan asy-syafaat al-uzhma
Allah ﷻ berfirman,
عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79)
Dalam sebuah hadis yang panjang ketika seluruh manusia mendatangi para nabi untuk meminta syafaat namun mereka semua tidak bisa. Hingga akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad ﷺ. Beliau bersabda,
فَأَنْطَلِقُ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ عَلَى رَبِّي، فَيُؤْذَنَ لِي، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وَقَعْتُ سَاجِدًا، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ رَأْسَكَ وَسَلْ تُعْطَهْ، وَقُلْ يُسْمَعْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ، فَأَرْفَعُ رَأْسِي، فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنِيهِ، ثُمَّ أَشْفَعُ
“maka aku pun pergi sehingga aku meminta izin kepada Rabbku ﷻ, lalu aku pun diizinkan. Maka ketika aku melihat Rabbku, aku langsung jatuh sujud kepada Rabbku, kemudian Dia membiarkanku bersujud sekehendak-Nya. Setelah itu dikatakan; ‘angkatlah kepalamu, dan mintalah maka engkau akan diberikan! Dan berbicaralah maka engkau akan didengarkan! dan mintalah syafaat maka engkau akan diberi.” Maka aku mengangkat kepalaku dan memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku, kemudian aku memberikan syafaat.” ([43])
- Kekhususan beliau dengan wasilah
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Kemudian berselawatlah atasku, karena orang yang berselawat atasku dengan satu selawat, niscaya Allah akan berselawat atasnya dengannya sepuluh kali, kemudian mintalah kepada Allah wasilah untukku, karena ia adalah suatu tempat di surga, tidaklah layak tempat tersebut kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan saya berharap agar saya menjadi hamba tersebut. Dan barang siapa memintakan wasilah untukku, maka syafaat halal untuknya.” ([44])
- Rasulullah ﷺ adalah orang yang pertama melewati shirath
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
فَيُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ جَهَنَّمَ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يَجُوزُ مِنَ الرُّسُلِ بِأُمَّتِهِ
“Lalu dibentangkanlah ash-shirath di atas neraka Jahanam. Dan akulah orang yang pertama berhasil melewatinya di antara para Rasul bersama umatnya.” ([45])
- Rasulullah ﷺ adalah orang yang pertama mengetuk pintu surga
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
آتِي بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتفْتِحُ، فَيَقُولُ الْخَازِنُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُولُ: مُحَمَّدٌ، فَيَقُولُ: بِكَ أُمِرْتُ لَا أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ
Pada hari kiamat, aku mendatangi pintu surga, lalu aku minta agar dibukakan. Sang penjaga pintu bertanya, “Siapa kamu?” Aku jawab, “Muhammad.” Kemudian penjaga ini menyatakan, “Aku diperintahkan untuk membuka karenamu. Tidak akan aku buka pintu surga bagi siapa pun sebelum kamu.” ([46])
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ
“Aku adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga.” ([47])
Kedua : Kekhususan yang disebutkan di dalam hadis sahih namun tidak tegas
- Rasulullah ﷺ tidak menguap
Para ulama berdalil dalam masalah ini dengan hadis-hadis yang tegas namun mursal. Ibnu al-Mulaqqin berkata,
وَمِن الفَوائِدِ الجَليلَةِ أَنَّهُ عَلَيْهُ الصَّلاةُ والسَّلامُ كَانَ لَا يَتَثَاءَبُ، أَخْرَجَهُ البُخاريُّ فِي تاريخِهِ الكَبير، وَأَخْرَجَهُ فِي كِتابِ الأَدَبِ تَعْلِيقًا، وَقَالَ مَسْلَمَةُ بْنُ عَبْدِ المَلِكِ: مَا تَثَاءَبَ نَبيٌّ قَطُّ، وَإِنَّهَا عَلامَةُ النُّبوَّةِ
“Termasuk faedah-faedah yang agung adalah bahwasanya beliau tidak menguap. Bukhari meriwayatkannya pada kitabnya at-Tarikh al-Kabir dan al-Adab secara muallaq. Berkata Maslamah bin Abdul Malik, “nabi tidak pernah menguap sekali pun, dan ini termasuk tanda-tanda kenabian.” ([48])
Namun Maslamah bin Abdilmalik bukanlah sahabat sehingga tidak bertemu dengan Nabi shallallahu álaihi wasallam.
Al-Maqrizi berkata,
وَأَنَسُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ فِي مُصَنَّفِهِ مِنْ مُرْسَلِ يَزيدَ بْنِ الأَصَمِ قَالَ: مَا تَثَاءَبَ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ فِي الصَّلاةِ قَطُّ …، عَنْ أَبِي فَزَارَةَ عَنْ يَزيدَ ابْنِ الأَصَمِّ قَالَ: مَا رُئِيَ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ مُتَثَائِبَا فِي الصَّلاةِ قَطُّ
“Anas bin Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushannafnya dari mursal Yazid bin al-Asham. Dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ tidak pernah menguap sekali pun di dalam salatnya…dari Abu Fazarah dari Yazid bin al-Asham berkata, Rasulullah ﷺ tidak pernah terlihat menguap di dalam salatnya.” ([49])
Dan Yazid bin al-Ashom bukanlah sahabat sehingga tidak bertemu dengan Nabi.
Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain yang sahih namun tidak tegas menyebutkan Rasulullah ﷺ tidak menguap. Di antaranya hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
التَّثَاؤُبُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Menguap merupakan dari setan.” ([50])
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin, dan membenci menguap.” ([51])
Al-‘Aini berkata,
إِنَّمَا نُسِبَ التَّثاؤُبُ إِلَيْهُ لِأَنَّهُ هوَ اَلَّذِي يُزَيِّنُ لِلنَّفْسِ شَهْوَتَها وَهُوَ مِنْ امْتِلاءِ البَدَنِ وَكَثْرَةِ المَأْكَلِ، وَقِيلَ: مَا تَثَاءَبَ نَبيٌّ قَطُّ لِأَنَّهُ لَا يُضَافُ إِلَيْهُ عَمَلٌ لِلشَّيْطَانِ فِيه حَظٌّ
“Sesungguhnya disandarkan menguap kepada setan karena dialah yang menghiasi syahwat kepada jiwa, yaitu berupa mengisi penuh badan dan banyak makan. Dikatakan, ‘tidak ada seorang nabi pun yang menguap, karena tidak mungkin disandarkan sedikit pun amalan setan kepada nabi.” ([52])
- Rasulullah ﷺ tidak mimpi basah (الاِحْتِلاَمُ)
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini kepada tiga pendapat:
- Para nabi tidak mimpi basah.
Ibnu al-Mulaqqin berkata,
والْأَشْهَرُ امْتِناعُ الِاحْتِلامِ عَلَيْهمْ
“Dan yang paling masyhur adalah tercegahnya para nabi dari ihtilam (mimpi basah).” ([53])
As-Suyuthi berkata,
بَاب الْآيَة فِي حِفْظِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الِاحْتِلَام، عَن ابْن عَبَّاس قَالَ مَا احْتَلَمَ نَبِي قطّ وَإِنَّمَا الِاحْتِلَام من الشَّيْطَان
“Bab: satu tanda kebesaran terjaganya Rasulullah ﷺ dari ihtilam.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘tidak ada seorang nabi pun yang ihtilam, karena ihtilam termasuk dari setan.” ([54])
Bahkan menurut As-Suyuthi kekhususan ini juga berlaku kepada istri-istri Nabi shallallahu álaihi wasallam, As-Suyuthi juga berkata,
وَأي مَانع من أَن يكون ذَلِك خصيصة لِأَزْوَاج النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إنَّهُنَّ لَا يحتلمن كَمَا أَن من خَصَائِص الْأَنْبِيَاء عَلَيْهِم السَّلَام انهم لَا يحتلمون لِأَن الِاحْتِلَام من الشَّيْطَان فَلم يُسَلط عَلَيْهِم وَكَذَلِكَ لم يُسَلط على أَزوَاجه تكريما لَهُ
“Apa yang mencegah hal tersebut menjadi kekhususan untuk istri-istri Nabi Muhammad ﷺ? Sesungguhnya mereka tidak ihtilam sebagaimana kekhususan para nabi tidak ihtilam. Karena ihtilam dari setan, tidak mungkin setan menguasai para nabi, juga tidak mungkin bagi setan untuk menguasai istri-istri Rasulullah ﷺ sebagai bentuk pemuliaan kepada beliau.” ([55])
Secara global mereka mengambil dalil dari:
- Sabda Rasulullah ﷺ,
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ اللَّهِ، وَالحُلُمُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Mimpi yang baik berasal dari Allah sedangkan ihtilam dari setan.” ([56])
- Hadis Sulaiman bin Yasar, ia bertanya kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang lelaki yang mendapati dirinya di waktu pagi dalam keadaan junub, apakah boleh baginya untuk tetap berpuasa? Maka Ummu Salamah menjawab,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ، ثُمَّ يَصُومُ
“Rasulullah ﷺ pernah mendapati waktu Subuh dalam keadaan junub akan tetapi bukan karena ihtilam kemudian beliau tetapi berpuasa.”([57])
- Perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
مَا احْتَلَمَ نَبِيُّ قَطُّ، إِنَّمَا الِاحْتِلَامُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“tidak ada seorang nabi pun yang ihtilam, karena ihtilam termasuk dari setan” ([58])
- Mimpi basah/ihtilam mungkin terjadi pada para nabi
Dalil mereka adalah hadis Sulaiman bin Yasar di atas. Penjelasannya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar setelah menukilkan perkataan al-Qurthubi yang menyatakan tidak mungkin para nabi mimpi basah,
وَقَالَ غَيْرُهُ فِي قَوْلِهَا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ إِشَارَةٌ إِلَى جَوَازِ الِاحْتِلَامِ عَلَيْهِ وَإِلَّا لَمَا كَانَ لِلِاسْتِثْنَاءِ مَعْنًى وَرد بِأَنَّ الِاحْتِلَامَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَهُوَ مَعْصُومٌ مِنْهُ وَأُجِيبُ بِأَنَّ الِاحْتِلَامَ يُطْلَقُ عَلَى الْإِنْزَالِ وَقَدْ وَقَعَ الْإِنْزَالُ بِغَيْرِ رُؤْيَةِ شَيْءٍ فِي الْمَنَامِ
“Dan selain al-Qurthubi menjelaskan perkataan Ummu Salamah “akan tetapi bukan karena ihtilam” merupakan petunjuk bolehnya Rasulullah ﷺ untuk ihtilam. Jika tidak, maka tidak ada faedah untuk pengecualian ini. Adapun hadis yang menjelaskan bahwa ihtilam dari setan sedangkan beliau terjaga dari hal tersebut, maka jawabannya bahwa ihtilam dimutlakkan kepada keluarnya mani, dan mani terkadang keluar tanpa harus melihat sesuatu di dalam tidur.” ([59])
- Diperinci, jika yang dimaksud adalah air yang mani yang keluar dari badan tanpa dipermainkan setan, yang kemudian ada mimpi yang menyebabkannya muncul ihtilam darinya maka ini diperbolehkan. Hal ini dikarenakan tidak ada satu hadis yang melarang hal tersebut terjadi
Adapun jika yang dimaksud adalah terjadi karena dipermainkan setan maka ini tidak boleh terjadi pada diri para nabi. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
هَلْ كَانَ يَحْتَلِمُ؟ عَلَى وَجْهَيْنِ :
صَحَّحَ النَّوَويُّ المَنْعَ، وَيُشَكِّلُ عَلَيْه حَديثُ عائِشَةَ فِي الصَّحِيحَيْنِ: كَانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ جِماعٍ غِيرِ احْتِلَامْ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوم، وَالأَظْهَرُ فِي هَذَا التَّفْصِيْلِ، وَهُوَ أَنْ يُقالَ: إِنْ أُريدَ بِالِاحْتِلَامِ فَيْضٌ مِنْ البَدَنِ، فَلَا مانِعَ مِنْ هَذَا، وَإِنْ أُريدَ بِهِ مَا يَحْصُلُ مِنْ تَخَبُّطِ الشَّيْطانِ، فَهُوَ معصومٌ مِنْ ذَلِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ.
“Apakah Rasulullah ﷺ ihtilam? Ada dua sisi:
An-Nawawi menguatkan tercegahnya hal tersebut pada diri Rasulullah ﷺ. Berdasarkan hadis Aisyah di Ash-Shahihain, “Bahwa Rasulullah ﷺ di waktu pagi dalam keadaan junub tanpa jimak, dan ihtilam, kemudian beliau mandi dan berpuasa”. Yang tepat dari permasalahan ini adalah memerinci permasalahan ini. Jika yang dimaksud dengan ihtilam hanya sekedar air yang keluar dari badan maka tidak mengapa. Adapun jika yang dimaksud dengannya adalah karena terjadi dari godaan setan, maka beliau terjaga dari hal tersebut.” ([60])
Ini adalah perkara yang mendekati kebenaran karena tidak ada hadis yang dengan jelas melarang hal tersebut terjadi pada diri nabi atau tidak. Hanya sekedar cairan yang keluar dari badan tidak menyebabkan seseorang dicela. Pendapat ketiga ini menggabungkan semua dalil.
Ketiga : Kekhususan yang disebutkan hadis-hadis yang tidak sahih
- Rasulullah ﷺ dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan
Ini termasuk kekhususan yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, Rasulullah ﷺ bersabda,
مِنْ كَرَامَتِي عَلَى رَبِّي أَنِّي وُلِدْتُ مَخْتُونًا، وَلَمْ يَرَ أَحَدٌ سَوْأَتِي
“Salah satu keistimewaanku yang diberikan Allah adalah aku dilahirkan dalam keadaan terkhitan dan tidak ada seorang pun yang pernah melihat auratku.” ([61])
Al-Hakim menyatakan bahwa hadis ini sahih dan mutawatir([62]). Namun, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa dalam sanadnya banyak perawi yang majhul hingga al-Hasan bin ‘Arafah([63]). Bahkan, al-Albani menyatakan hadis ini mungkar([64]).
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan tiga pendapat dalam masalah ini. Pertama: beliau terlahir dalam keadaan telah dikhitan, kedua: bahwa Jibril yang mengkhitannya ketika dia membelah dadanya, dan ketiga: bahwa kakeknya (Abdul Mutthalib) yang mengkhitannya sesuai dengan kebiasaan Arab ketika mengkhitan anak-anak mereka([65]).
Beliau menjelaskan lahir dalam keadaan telah dikhitan bukanlah termasuk hal yang spesial/khusus. Karena banyak manusia yang juga dilahirkan tanpa membutuhkan untuk dikhitan([66]). Kemudian beliau mengatakan bahwa pendapat ketiga lebih mendekati kebenaran([67]).
Ibnu Hajar berkata,
وَقَدِ اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ فِيمَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا أَنْ يُمَرَّ بِالْمُوسَى عَلَى مَوْضِعِ الْخِتَانِ من غيرِ قطعٍ
“Para ulama Syafiiyah menyatakan mustahabnya anak yang terlahir dalam keadaan telah dikhitan untuk dilewati dengan pisau cukur tanpa memotong.” ([68])
Pembahasan permasalahan ini merupakan dalil bahwa orang (selain Rasulullah ﷺ) yang terlahir dalam keadaan telah dikhitan benar-benar ada, sehingga ini tidak terhitung sebagai kekhususan Rasulullah ﷺ.
- Rasulullah ﷺ tidak memiliki bayangan
Ini merupakan perkara yang banyak disebutkan oleh orang-orang Sufi. Mereka bersandar dengan dua perkara:
Pertama: Rasulullah ﷺ adalah cahaya. Mereka menamakannya dengan cahaya yang bersinar (النُّوْرُ الضِّيَائِيُّ). Menurut mereka ini adalah cahaya asli yang Allah ﷻ menciptakan alam semesta dengannya.
Kedua: Rasulullah ﷺ senantiasa dinaungi awan
Namun kenyataannya tidak ada dalil sahih sama sekali yang menetapkan kedua sandaran ini. Bantahan terhadap mereka:
- Rasulullah ﷺ adalah manusia biasa. Termasuk tabiat manusia adalah memiliki bayangan sebagaimana manusia lainnya. Rasulullah ﷺ tidak keluar dari sunah penciptaan kecuali dengan dalil khusus. Juga, pada asalnya Rasulullah ﷺ diberlakukan sebagaimana diberlakukannya seluruh manusia. Allah ﷻ berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian.” (QS. Al-Kahfi: 110)
- Lemahnya cara pengambilan dalil mereka. Di antara dalil yang mereka jadikan landasan adalah doa Rasulullah ﷺ ,
اللهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ شِمَالِي نُورًا، وَأَمَامِي نُورًا، وَخَلْفِي نُورًا، وَفَوْقِي نُورًا، وَتَحْتِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا»، أَوْ قَالَ: «وَاجْعَلْنِي نُورًا»
“Ya Allah, berilah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam pendengaranku, cahaya dalam penglihatanku, cahaya dari sebelah kananku, cahaya dari sebelah kiriku, cahaya dari depanku, cahaya dari belakangku, cahaya dari atasku, cahaya dari bawahku, dan berilah untukku cahaya/jadikanlah aku cahaya.”([69])
Jika hadis ini dipahami bahwasanya Rasulullah ﷺ adalah cahaya secara zatnya, maka berdasarkan hadis ini juga mengharuskan memahami cahaya yang ada di depannya, di belakangnya, di atasnya, dan di bawahnya adalah cahaya secara dzatnya. Bahkan, yang keluar dari matanya adalah dzat cahaya. Ketika faktanya tidak demikian, maka kita tahu bahwa yang dimaksud bukanlah cahaya secara dzat. Berpendapat bahwa Rasulullah ﷺ adalah cahaya yang tidak memiliki bayangan berdasarkan hadis ini termasuk perbuatan mengada-ada yang nyata dan pengambilan dalil yang aneh.
Di antar dalil yang dijadikan sandaran adalah hadis Dzakwan bahwa Rasulullah ﷺ tidak terlihat bayangannya baik di bawah siar matahari ataupun rembulan.
Hadis ini sanadnya tidak sahih. Karena Dzakwan adalah seorang tabiin yang belum pernah melihat Rasulullah ﷺ . hadis ini adalah hadis mursal. Begitu juga di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abdurrahman bin Qais az-Za’farani, yang riwayat hadisnya tidak diterima karena kedustaannya. Ibnu Hajar berkata, para ulama sepakat dalam melemahkan hadisnya([70]). Maka bagaimana mungkin membangun sebuah hukum dari hadis yang seperti ini.
Di antara yang dijadikan dalil oleh mereka adalah sabda Rasulullah ﷺ,
أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ نُورٌ نَبيِّكَ يَا جابِرُ
“Wahai Jabir, yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu.”
Hadis ini tidak ada sanadnya sama sekali yang tertulis di dalam kitab-kitab hadis. bahkan al-Albani menyatakan hadis ini adalah hadis yang batil([71]). As-Suyuthi juga menyatakan bahwa hadis ini tidak memiliki sanad sama sekali ([72]).
Syaikh Muhammad Ziyad berkata, “Para ulama seluruhnya sepakat bahwa hadis ini adalah palsu yang tidak ada landasannya sama sekali. Orang yang pertama kali mendatangkannya adalah Muhyiddin bin ‘Arabi tanpa sanad. Selama tujuh abad hadis ini tidak dikenal di kitab-kitab kaum muslimin. kemudian hadis ini datang yang di dalamnya terdapat istilah-istilah filsafat dan tasawuf yang datang belakangan. Hadis ini yang semisal ini hanya diketahui dari kitab-kitab Ismailiyah yang dipelajari oleh Ibnu ‘Arabi. Dan yang mengambilnya kebanyakan dari filsafat Yunani dengan menggantikan beberapa istilah saja. Kemudian mereka membuat kerancuan pada kaum muslimin dengan menisbahkannya kepada Abdurrazaq pada abad kesepuluh, namun mereka tidak menyebutkan nama lengkapnya, nama kitabnya, dan tidak menyebutkan sanadnya. Kemudian datang orang setelahnya (yang mereka tidak meneliti terlebih dahulu) mereka menyangkanya Abdurrazzaq yang disebutkan ini adalah yang masyhur di kalangan para ulama hadis. Yaitu, Imam Abdurrazzaq bin Hamam ash-Shan’ani (wafat 211 H). Kitab-kitabnya telah dicetak, namun hadis ini dapat dipastikan tidak ada di dalamnya”. ([73])
- Hadis-hadis yang sahih justru memberikan faedah bahwa Rasulullah ﷺ memiliki bayangan.
Sebelumnya mereka menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ senantiasa dinaungi oleh awan, dan tidak ada hadis yang menjelaskan hal tersebut. Bahkan, ternyata banyak hadis yang bertentangan dengan ini, di antaranya:
- Hadis Anas radhiallahu ‘anhu,
وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ، قَالَ: – وَكَانَتْ حَدِيقَةً كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا، وَيَسْتَظِلُّ بِهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا
“dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’. Dia adalah sebuah kebun yang dahulu Rasulullah ﷺ pernah memasukinya, bernaung di bawahnya, dan meminum air darinya.” ([74])
Maka, dari apa Rasulullah ﷺ bernaung jika pada asalnya beliau dinaungi oleh awan?
- Hadis Khabbab bin al-Arats,
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ برْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الكَعْبَةِ
“kami pernah mengadu kepada Rasulullah ﷺ yang ketika itu beliau dalam keadaan beralaskan kain panjangnya di naungan Kakbah.” ([75])
- Hadis Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menaungi Rasulullah ﷺ ,
حَتَّى أَصَابَتِ الشَّمْسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى ظَلَّلَ عَلَيْهِ بِرِدَائِهِ
“Hingga panas matahari mengenai Rasulullah ﷺ, maka Abu Bakar datang dan menaunginya dengan selendangnya.” ([76])
- Jika Rasulullah ﷺ tidak memiliki bayangan, tentunya dia akan berdalil dengan ini akan kebenaran kenabiannya. Juga hal ini tentunya akan disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagaimana disebutkan kebanyakan mukjizatnya. Hal ini dikarenakan tidak adanya bayangan termasuk dalil yang paling kuat dari kejadian yang di luar kebiasaan manusia. Juga ini termasuk sesuatu yang dapat disaksikan oleh semua manusia. Bahkan, ini adalah kejadian langka yang seharusnya dinukilkan. Namun, ternyata hal tersebut tidak dinukilkan sama sekali.
Juga terdapat fatwa dari al-Lajnah ad-Daimah yang berkaitan dengan permasalahan ini,
هَذَا القَوْلُ باطِلٌ مُناف لِنُصُوصِ القُرْآنِ والسُّنَّةِ الصَّريحَةِ الدّالَّةِ عَلَى أَنَّهُ صَلَواتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهُ بَشَرٌ لَا يَخْتَلِفُ فِي تَكْوِينِهِ البَشَريِّ عَنْ النّاسِ وَأَنَّ لَهُ ظِلًّا كَمَا لِأَيِّ إِنْسانٍ ، وَمَا أَكْرَمهُ اللَّهُ بِهِ مِنْ الرِّسالَةِ لَا يُخْرِجُهُ عَنْ وَصْفِهِ البَشَريِّ اَلَّذِي خَلَقَهُ اللَّهُ عَلَيْهُ مِنْ أَمْ وَأَبٍ ، قَالَ تَعَالَى : { قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ } وَقَالَ تَعَالَى : { قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلَكُمْ }
“Perkataan ini adalah perkataan yang batil yang menafikan nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang jelas yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah manusia yang penciptaannya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Beliau juga memiliki bayangan sebagaimana manusia lainnya. Apa yang Allah ﷻ muliakan beliau dengan kerasulan tidak menyebabkannya keluar dari sifat kemanusiaannya yang Allah ﷻ ciptakan beliau dari ibu dan bapak. Allah ﷻ berfirman, “katakanlah, aku hanyalah manusia seperti kalian yang kemudian aku diberikan wahyu”. Allah ﷻ berfirman, “para rasul berkata, ;tidaklah kami kecuali manusia seperti kalian”. ([77])
- Bumi menelan apa yang keluar dari Rasulullah ﷺ
Tidak ada hadis sahih dalam masalah ini. Yang paling kuat dijadikan sandaran mereka adalah hadis ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
يَا عائِشَةُ، أَمَّا علمتِ أَنَّ اللَّهَ أَمَرَ الأَرْضَ أَنْ تَبْتَلِعَ مَا خَرَجَ مِنْ الأَنْبياءِ؟
“Wahai Aisyah! Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah ﷻ memerintahkan bumi untuk menelan apa yang keluar dari para nabi?”([78])
Hal serupa juga disebutkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Khashaish Al-Kubra. Namun, al-Baihaqi mengatakan bahwa hadis ini termasuk hadis maudhu’ karena ia berasal dari Ibnu ‘Alwan. As-Suyuthi membantah hal ini, beliau mengatakan bahwa hadis ini memiliki jalur lain dari Aisyah. Kemudian beliau menyebutkan jalur-jalur tersebut:
- Dari Ibnu Sa’ad, dari Isma’il bin Aban al-Waraq, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman al-Qurasyi, dari Muhammad bin Zadzan, dari Ummu Sa’ad, dari Aisyah.
- Dari Abu Nu’aim, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Ali bin Ahmad bin Sulaiman al-Misri, dari Zakariya bin Yahya al-Balkhi, dari Syihab bin Ma’mar al’Aufi, dari Abdul Karim al-Khazzaz, dari Abu Abdullah al-Madini, dari Laila Maulah Aisyah, dari Aisyah.
- Diriwayatkan oleh Hakim dalam mustadraknya, dari Makhlad bin Ja’far, dari Muhammad bin Jarir, dari Musa bin Abdurrahman al-Masruqi, dari Ibrahim bin Sa’ad, dari al-Minhal bin Ubaidillah, dari Laila maulah Aisyah, dari Aisyah.
- Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dalam kitabnya al-Ifrad, dari Muhammad bin Sulaiman al-Bahili, dari Muhammadh Hassan al-Umawi, dari Abdah bin Sulaiman, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah.([79])
Setelah diteliti ternyata didapati bahwa semua hadis-hadis ini tidak sahih.
- Hadis dari Husain bin Alwan maka cukup penjelasannya dari al-Baihaqi di atas.
- Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, maka di dalam sanadnya terdapat dari ‘Anbasah bin Abdurrahman al-Qurasyi. Dan dia perawi yang sangat lemah, bahkan dituduh memalsukan hadis. Bukhari mengatakan bahwa dia ditinggalkan oleh para ulama (تَرَكُوْهُ)([80]). Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dia ditinggalkan hadisnya, dan dia memalsukan hadis (مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ، كَانَ يَضَعُ الْحَدِيْثِ)([81]).
Gurunya yang bernama Muhammad bin Zadzan juga sangat lemah. Bukhari mengatakan tentangnya, “mungkar hadis, dan hadisnya tidak ditulis (مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ، لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثِهِ)”([82]). Ibnu Abu Hatim berkata, “hadisnya ditinggalkan, dan hadisnya tidak ditulis (مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ وَلاَ يُكْتَبُ عَنْهُ)”([83]).
- Adapun riwayat Abu Nu’aim, maka di dalamnya terdapat perawi bernama Abdul Karim al-Khazzaz. Dikatakan oleh al-Azdi “sangat lemah hadisnya (وَاهِي الحَدِيث جِدًّا)”([84]).
- Adapun riwayat Hakim dalam mustadraknya terdapat perawi yang mubham (tidak jelas) sebagaimana tertulis dengan jelas dalam sanadnya.
- Adapun riwayat ad-Daruquthni, maka sungguh telah dituliskan oleh Ibnul Jauzi. Beliau membawakan perkataan ad-Daruquthni tentang Muhammad bin Hassan, bahwa dia menyendiri dalam periwayatannya. Beliau juga membawakan pernyataan dari Abu Hatim ar-Razi bahwa Muhammad bin Hassan banyak berdusta([85]).
- Lalat tidak menghinggapi Rasulullah ﷺ
Ibn al-Mulaqqin menukilkan,
وَرَأَيْت فِي ( أعذب المَوارِدِ وَأَطْيَبِ المَوالِدِ ) لِلْعَزفِي السَّبْتِي أَنَّ مِنْ خَصائِصِ سَيِّدِنا رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَنْزِلُ عَلَيْهُ الذُّبابُ
“Aku membaca di kitab “A’dzab al-Mawarid Wa Athyab al-Mawalid” karya al-Azafi as-Sabti bahwa termasuk kekhususan Rasulullah ﷺ adalah beliau tidak dihinggapi lalat.” ([86])
As-Suyuthi berkata,
ذكر القَاضِي عِيَاض فِي الشِّفَاء والعزفي فِي مولده أَنَّ مِنْ خَصَائِصِهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم انه كَانَ لَا ينزل عَلَيْهِ الذُّبَاب
“Al-Qadhi menyebutkan dalam kitab “asy-Syifa” dan al-Azafi dalam kitabnya “al-Mawlid” bahwa termasuk kekhususan Rasulullah ﷺ adalah beliau tidak dihinggapi lalat.” ([87])
Kita dapati keduanya menukilkan hal tersebut namun tidak menyebutkan satu hadis pun yang menjelaskannya. Al-Qadhi Iyadh juga tidak menyebutkan satu dalil tentang ini.
- Rasulullah ﷺ adalah manusia tertinggi/terpanjang di antara orang yang berjalan atau duduk bersamanya.
Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan hal ini. Yang dijadikan dalil oleh mereka adalah hadis Aisyah ketika menyifati Rasulullah ﷺ,
كَانَ مِنْ صِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا الْمُشَذَّبِ الذَّاهِبِ
“Bahwa termasuk sifat Rasulullah ﷺ adalah beliau tidaklah berbadan tinggi dan juga tidak begitu pendek.” ([88])
Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Shubaih bin Abdullah al-Qurasyi Abu Muhammad. Abdul Ghani al-Mishri berkata bahwa dia mungkar hadis([89]).
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Lihat, Kitab Al-Muharror fi ‘Ulumil Quran, 62.
([4]) Asy-Syifaa bi ta’riif Huquuq al-Mushthofa, Al-Qodhi Íyadh 2/327
([5]) Tafsir al-Qurthubi 1/308
([6]) Diantaranya adalah Ibnu Hazm (Lihat : Al-Fishol fi Al-Milal wa An-Nihal wa al-Ahwa 4/23), Ar-Razi (Lihat : al-Isyaaroh fi ílmi al-Kalaam, Ar-Raazi hal 368), dan Ibnu Hajar (Lihat : Fathul Baari 11/101)
وَلَو كَانَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِم السَّلَام شَيْء مِنَ الْمَعَاصِي وَقد نُدِبْنَا إِلَى الاِيْتِسَاءِ بِهِمْ وَبِأَفْعَالِهِمْ لَكُنَّا قَدْ أُبِيْحَتْ لَنَا الْمَعَاصِي وَكُنَّا لَا نَدْرِي لَعَلَّ جَمِيْعَ دِيْنِنَا ضَلاَلٌ وَكُفْرٌ وَلَعَلَّ كُلَّ مَا عَمِلَهُ عَلَيْهِ السَّلَام مَعَاصٍ
“Kalau seandainya para nabi melakukan sesuatu dosa, sementara kita telah diperintahkan untuk berteladan kepada mereka dan mengikuti perbuatan mereka, maka tentu melazimkan dibolehkan bagi kita melakukan maksiat-maksiat. Sementara kita tidak tahu, bisa jadi seluruh agama kita adalah kesesatan dan kekufuran, dan bisa jadi semua yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam adalah maksiat” (Lihat : Al-Fishol fi Al-Milal wa An-Nihal wa al-Ahwa 4/23)
([8]) Diantara sebab para nabi mungkin melakukan kesalahan adalah karena selain mendapat wahyu dari Allah, para nabi juga boleh bagi mereka untuk berijtihad. Ketika mereka berijtihad bisa jadi benar dan bisa jadi salah, namun bedanya jika ijtihad mereka salah maka akan langsung ditegur oleh Allah. Ini merupakan pendapat para ulama yang terkuat.
Al-Qurthubi berkata :
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ يَجُوزُ مِنْهُمُ الِاجْتِهَادُ، وَالْقِيَاسُ عَلَى الْمَنْصُوصِ، وَالْقِيَاسُ أَحَدُ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ
“Dan yang benar bahwasanya para nabi boleh bagi mereka berijtihad dan qiyas terhadap nash-nash yang ada, dan qiyas merupakah salah satu dalil-dalil syariát” (Tafsir al-Qurthubi 6/430)
Hanya saja bedanya para nabi dengan selain mereka adalah mereka selalu bersungguh-sungguh dalam berijtihan dan jika ijtihad mereka salah maka tidak akan dibiarkan, akan tetapi langsung ditegur oleh Allah.
Dari Abu Qotadah : Ada seseorang datang kepada Nabi lalu bertanya kepada Nabi tentang jihad, ia berkata :
يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ، تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ، إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَيْفَ قُلْتَ؟» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ، إِلَّا الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِي ذَلِكَ»
“Wahai Rasulullah bagaimana menurutmu jika aku meninggal fi sabilillah, apakah dihapuskan seluruh dosa-dosaku?”. Maka Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata kepadanya, “Iya, jika engkau terbunuh di jalan Allah dan engkau dalam kondisi bersabar, mengharapkan pahala, maju dan tidak balik belakang”. Lalu Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata, “Apa tadi katamu?”. Lelaki itu berkata, “Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh fi sabilillah apakah seluruh dosa-dosaku digugurkan?”. Maka Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata, “Iya, jika engkau dalam kondisi bersabar dan mengharap pahala, maju dan tidak balik belakang. Kecuali hutang, sesungguhnya Jibril álaihis salam mengabarkan kepadaku tentang hal itu” (HR Muslim no 1885)
Demikian juga dalam suatu hadits ada seorang wanita bertanya kepada Nabi tentang íddah dimana wanita ini suaminya meninggal lalu ia minta izin kepada Nabi untuk menunggu masa íddahnya di keluarganya dan bukan di rumah suaminya, lalu nabi mengizinkannya. Setelah wanita itu pergi lalu Nabi memanggilnya kembali dan bertanya kembali tentang kejadiannya lalu Nabi merubah jawabannya dengan berkata, امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ “Tinggalah di rumah (suami)mu hingga habis masa íddahnya”. Akhirnya wanita tersebut menunggu di rumah suaminya hingga 4 bulan sepuluh hari. (HR Abu Daud no 2300 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Lihatlah pada kedua hadits di atas menunjukan Nabi berijtihad lalu beliau salah berijtihad dan segera beliau perbaiki karena diberi tahu oleh Jibril. (Lihat penjelasan Al-Qurthubi di Tafsirnya 11/309 pada tafsir QS Al-Anbiya’ ayat 79)
([9]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 1/308.
([10]) Majmu’ al-Fatawa 10/309
([11]) Majmu’ al-Fatawa 10/310
([12]) Majmu’ al-Fatawa 11/415
([13]) Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Ishaq :
{فَوَكَزَهُ مُوسَى} وَكْزَةً قَتَلَهُ مِنْهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ قَتْلَهُ
(Maka Musapun memukulnya) dengan satu pukulan maka iapun membunuhnya karena satu pukulan tersebut, padahal ia tidak bermaksud membunuhnya” (Lihat Tafsir at-Thobari 18/188)
Qotadah juga berkata :
{فَوَكَزَهُ مُوسَى} نَبِيُّ اللَّهِ، وَلَمْ يَتَعَمَّدْ قَتْلَهُ
(Maka Musapun memukulnya) yaitu Musa Nabi, dan ia tidak bermaksud sengaja untuk membunuhnya” (Lihat Tafsir At-Thobari 18/189)
([14]) Ayat-ayat diatas yang menyebutkan bahwa para nabi berdosa disikapi oleh Ar-Razi dengan dibawakan pada salah satu dari 4 kemungkinan : (1) Mereka melakukannya sebelum diangkat menjadi nabi, (2) Atau itu bukanlah dosa tapi meninggalkan sesuatu yang lebih utama (كَانَ تَرْكًا لِلأَوْلَى) (3) Karena lupa, dan (4) dibawakan kepada dosa umatnya dan bukan dosa nabi tersebut. (Lihat Al-Isyaaroh fi ílmi al-Kalaam hal 370).
Namun sangat nampak bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut sebagiannya sangat dipaksa-paksakan (takalluf). Terlebih lagi Ar-Razi setelah itu berkata, “Adapun yang diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam shalat dzuhur lalu baru dua rakaat beliau sudah salam karena lupa, maka ini adalah khobar ahad maka tidak memberikan faedah ilmu” (Al-Isyaaroh fi ‘ilmi al-Kalaam hal 370-371)
Ar-Razi tidak hanya menolah khobar ahad dalam permasalahan aqidah, akan tetapi hadits tersebut juga ditolak padahal berkaitan dengan fikih shalat. Hanya saja ketika hal berkaitan dengan ilmu aqidah (tentang kemaksuman Nabi) maka Ar-Razipun menolaknya. Menurutnya hadis ini bertentangan dengan akal yang menunjukan bahwa para nabi harus maksum. Hal ini sesuai dengan الْقَانُوْنُ الْكُلِّيُّ kaedah universal yang ditetapkan oleh Ar-Razi “Jika dalil bertentangan dengan akal maka akal yang dimenangkan”. Wallahul mustaáan.
Ibnu Qutaibah telah menyebutkan bahwa sebagian orang berusaha mentakwil ayat-ayat yang jelas-jelas menunjukan bahwa para nabi melakukan dosa dengan takwil-takwil yang jauh dari kebenaran. Bahkan beliau menyebut takwil-takwil tersebut dengan الِحِيَلُ “hilah-hilah” yang dipaksakan. (Lihat : Takwil Musykil al-Qurán, Ibnu Qutaibah)
Ar-Razi dalam hal ini menyelisih para ulama Asyaíroh yang lain yang menyatakan bahwa para nabi mungkin melakukan dosa-dosa kecil, diantaranya al-Baaqillani (sebagaimana dinukil oleh Ar-Razi dalam Al-Isyaaroh fi ílmi al-Kalaam 368-369), Al-Juwaini (Lihat : Al-Irsyaad hal 357), dan juga al-Aaamidi (Lihat Abkaar al-Afkaar 4/145-150).
Namun perlu diingat khilaf antara Ar-Razi dengan para ulama Asyaíroh yang lainnya bukan pada dalil akan tetapi pada “Apakah akal bisa menerima atau tidak jika para nabi terjerumus dalam dosa kecil?”. Menurut Ar-Razi hal tersebut tidak masuk akal, namun menurut yang lainnya bahwa hal itu mungkin saja terjadi.
Lain halnya dengan Ahlus Sunnah ketika menetapkan “bahwa para nabi mungkin melakukan dosa kecil’, mereka murni berargumentasi dengan dalil-dalil syarí.
([16]) Lihat, Samuel 2 11:2-5.
([17]) Lihat, Raja-raja 1 11:9-11.
([18]) Lihat, Kejadian 9:21-29.
([20]) Lihat Fathul Baari 6/579
([21]) Dinilai shahih oleh Al-Albani (Lihat as-Shahihah 4/281 no 1705)
([22]) HR Al-Bukhari no 1147 dan Muslim no 738
([23]) Lihat : Al-Istidzkaar 2/101
([24]) HR At-Tirmidzi no 1018 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Ahkaam al-Janaaiz hal 137
([27]) HR Abu Daud no 1047 dan dinilai shahih oleh Al-Albani.
([28]) HR Abu Ya’la di musnadnya no 3425 dan dinilai shahih oleh Al-Albani (lihat As-Shahihah 2/187 no 621)
([32]) Yaitu hadis-hadis yang lafalnya singkat akan tetapi mengandung makna yang sangat dalam dan luas.
([33]) Adapun nabi-nabi terdahulu jika mereka menang dalam sesuatu peperangan maka seluruh ghanimah dikumpulkan lalu akan datang api dari langit membakar ghanimah tersebut sebagai tanda bahwa Allah telah menerimanya.
Nabi bersabda ;
غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ…فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الغَنَائِمَ، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا، فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ، فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا، وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا
“Ada seorang Nabi berperang… maka ia pun berperang lalu sudah dekat dengan lokasi musuh ketika tiba waktu shalat ashar atau menjelang waktu shalat ashar. Iapun berkata kepada matahari, “Sesungguhnya engkau diperintahkan, dan aku diperintahkan. Ya Allah tahanlah matahari untuk kami”. Maka mataharipun ditahan (tidak terbenam) hingga Allah memenangkannya. Lalu iapun mengumpulkan ghanimah, lalu datanglah api untuk memakan ghanimah tersebut, akan tetapi api tersebut tidak jadi memakannya. Maka Sang Nabi berkata, “Ada ghulul (harta ghanimah yang diambil diam-diam) pada kalian (-sehingga api tidak jadi memakan ghanimah tersebut-). Maka hendaknya setiap kabilah mewakilkan satu orang untuk membaiátku !”. Maka ada seseorang yang tangannya melengket ke tangan Nabi tersebut. Lalu Nabi itu berkata lagi, “Ada ghulul pada kalian, maka hendaknya kabilahmu membaiátku”. Maka tangan dua orang (dari mereka) atau tiga orang menempel ke tangan Nabi tersebut. Maka beliau berkata, “Ada ghulul pada kalian”. Maka mereka pun menghadirkan kepala -seperti kepala sapi- dari emas, lalu mereka letakan di kumpulan ghanimah. Maka datanglah api memakannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah bagi kita . Allah melihat kelemahan kita dan ketidak mampuan kita, maka Allah halalkan bagi kita” (HR Al-Bukhari 3124)
([35]) HR. Bukhari No. 1349 dan Muslim No. 1353.
([36]) HR. Ahmad No. 1745, dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([43]) HR. Bukhari No. 4476 dan Muslim No. 193.
([48]) Ghayah as-Sul Fi Khashaish ar-Rasul hlm. 301.
([49]) Iqna’ al-Asma’ (10/ 319).
([52]) Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari (22/227).
([53]) Ghayah as-Sul Fi Khashaish ar-Rasul hlm. 290.
([54]) Al-Khashaish al-Kubra (1/120).
([55]) Tanwir al-Hawalik Syarh Muwattha’ Malik (1/55).
([56]) HR. Bukhari No. 3292 dan Muslim No. 2261.
([58]) HR. Ath-Thabrani No. 8062.
([60]) Al-Fushul Fi as-Sirah (1/302-303).
([61]) HR. Ath-Thabrani No.. 6148.
([63]) Tuhfah al-Maudud Biahkam al-Maulud (1/202).
([64]) Lihat: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa al-Maudhu’ah No. 6270.
([65]) Tuhfah al-Maudud Biahkam al-Maulud (1/201).
([66]) Tuhfah al-Maudud Biahkam al-Maulud (1/204).
([67]) Tuhfah al-Maudud Biahkam al-Maulud (1/206).
([69]) HR. Bukhari No. 6361 dan Muslim No. 763.
([70]) Lihat: Lisan al-Mizan (7/283)
([71]) Lihat: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa al-Maudhu’ah (1/820).
([72]) Lihat: al-Hawi Lil-Fatawi (1/386)
([73]) http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=98923
([77]) Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (1/464).
([78]) Imta’ al-Asma’ (5/302).
([79]) Al-Khashaish al-Kubra (1/120-121)
([80]) At-Tarikh al-Kabir (7/39).
([81]) Al-Jarh Wa at-Ta’dil (6/403).
([82]) At-Tarikh al-Kabir (1/88).
([83]) Al-Jarh Wa at-Ta’dil (7/260).
([84]) Al-Mughni Fi ad-Dhu’afa (2/402).
([85]) Lihat: al-‘Ilal al-Mutanahiyah Fi al-Ahadits adh-Dha’ifah (1/183).
([86]) Ghayah as-Sul Fi Khashaish ar-Rasul hlm. 301-302.
([87]) Al-Khashaish al-Kubra (1/117).
([88]) HR. Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwat (1/306).
([89]) Lihat: Mizan al-I’tidal (2/307). Sumber: https://salafcenter.org/3849/