Hakikat Kenabian
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada pembahasan ini penulis ingin menjabarkan bagaimana hakikat kenabian. Tidak terbatas pada apa yang dipahami Ahlusunah saja, tetapi penulis juga akan menjelaskan hakikat kenabian menurut kelompok-kelompok Islam lainnya seperti Muktazilah, Asya’irah, Falasifah dan Bathiniah.
- Ahlusunah
Menurut Ahlusunah, kenabian adalah anugerah dari Allah ﷻ kepada siapa yang Allah ﷻ pilih. Akan tetapi, Allah ﷻ tentunya memilih orang yang berhak dan pantas menjadi nabi.([1]) Perealisasiannya adalah Allah ﷻ siapkan dan kondisikan orang-orang tersebut dengan sifat-sifat mulia.
Dalil-dalil yang menjelaskan hal ini di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”([2])
Kemudian juga firman Allah ﷻ,
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”([3])
Kemudian juga firman Allah ﷻ tentang perkataan orang-orang musyrik Quraisy sebagai bentuk protes kepada Allah ﷻ terhadap kenabian,
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ، أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ
“Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”([4])
- Muktazilah
Hakikat kenabian yang diyakini oleh Muktazilah mirip dengan apa yang diyakini oleh Ahlusunah, yaitu para nabi dipilih oleh Allah karena kemuliaan mereka. Hanya saja mereka meyakini bahwa mengutus nabi adalah suatu kewajiban bagi Allah ﷻ,([5]) sebagaimana perkataan mereka,
يَجِبُ عَلَى الله أَنْ يَفْعَلَ الأَصْلحَ
“Wajib bagi Allah ﷻ untuk melakukan yang terbaik.”([6])
Keyakinan seperti ini bertolak belakang dengan apa yang diyakini Ahlusunah. Jika Muktazilah meyakini bahwa mengutus rasul adalah sebuah kewajiban bagi Allah ﷻ, Ahlusunah meyakini sebaliknya bahwa hal tersebut bukanlah suatu kewajiban bagi Allah ﷻ, sebab Allah ﷻ melakukan apa yang Dia kehendaki.
Mengutus nabi adalah anugerah dari Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya. Jika saja Allah ﷻ tidak mengutus nabi, maka tidak mengapa bagi Allah ﷻ. Akan tetapi karena konsekuensi dari rahmat Allah ﷻ, maka Allah ﷻ mewajibkan diri-Nya untuk mengutus nabi. Jadi, poin pembedanya adalah Muktazilah mewajibkan bagi Allah ﷻ mengutus nabi, adapun bagi Ahlusunah hal tersebut tidak wajib bagi Allah ﷻ, akan tetapi Allah ﷻ yang mewajibkan diri-Nya sendiri karena hikmahNya dan rahmatNya bagi para hambaNya.
Semisal ini seperti :
Pertama : Rahmat Allah
Bagi Ahlusunah, Allah ﷻ mewajibkan rahmat atas diri-Nya. Allah berfirman,
كَتَبَ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
“Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang.”([7])
Adapun bagi Muktazilah, rahmat adalah suatu yang memang wajib bagi Allah ﷻ sejak awal.
Kedua : Zalim
Bagi Ahlusunah, Allah ﷻ mengharamkan kezaliman atas diri-Nya. Dalam hadits qudsi Allah ﷻ berfirman,
إنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ علَى نَفْسِي
“Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku.”([8])
Adapun bagi Muktazilah, kezaliman adalah suatu yang memang haram bagi Allah ﷻ sejak awal.
Allah ﷻ mampu membunuh segala sesuatu yang telah Allah ﷻ ciptakan. Akan tetapi Allah ﷻ mewajibkan atas diri-Nya untuk tidak melakukan hal tersebut karena rahmat Allah ﷻ sendiri. Begitu juga dengan mengutus nabi, Allah ﷻ berhak saja untuk tidak melakukannya. Akan tetapi Allah mewajibkan atas diri-Nya untuk mengutus nabi, tidak lain karena murni rahmat dan anugerah Allah ﷻ. Kita beradab kepada Allah ﷻ dengan tidak mengatakan wajib bagi Allah ﷻ untuk mengutus nabi, tetapi kita katakan hal tersebut adalah rahmat dan anugerah dari Allah ﷻ untuk hamba-hamba-Nya.
- Asya’irah
Asya’irah meyakini bahwa Allah ﷻ bebas melakukan apa saja atas makhluk-Nya dan dia tidak zalim. Seandainya Allah mengazab orang saleh, itu terserah Allah ﷻ dan itu tidak zalim karena semua adalah milik Allah ﷻ. Seandainya Allah memasukkan orang saleh ke dalam neraka, maka itu terserah Allah ﷻ dan itu tidak zalim karena semua adalah milik Allah ﷻ. Berdasarkan keyakinan ini, maka mereka mengatakan siapa saja berhak menjadi nabi atau rasul. Terserah Allah ﷻ, Allah ﷻ lah yang menentukan.([9])
Asy-Syahristani Al-Asy’ari berkata :
النُّبُوَّةُ لَيْسَتْ صِفَةً رَاجِعَةً إِلَى نَفْسِ النَّبِيِّ وَلاَ دَرَجَةً يَبْلُغُ إِلَيْهَا أَحَدٌ بِعِلْمِهِ
“Kenabian bukanlah sifat yang kembali kepada diri sang nabi, dan juga bukan derajat yang dicapai oleh seorangpun dengan ilmunya”([10])
Al-Aamidi berkata :
فَإِذَنْ الْحَقُّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَهْلُ الْحَقِّ مِنَ الأَشَاعِرَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَنَّ النُّبُوَّةَ لَيْسَتْ رَاجِعَةً إِلَى ذَاتِيٍّ مِنْ ذَاتِيَّاتِ النَّبِيِّ وَلاَ إِلَى عَرَضٍ مِنْ أَعْرَاضِهِ الْمُكْتَسَبَةِ لَهُ
“Jika demikian maka yang benar adalah pendapat Asyaíroh dang selain mereka yang berpendapat bahwa kenabian bukanlah sifat yang kembali kepada dzat Nabi dan tidak juga kembali kepada sifat-sifat Nabi yang ia usahakan” ([11])
Hal ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh Ahlusunah bahwasanya Allah ﷻ adalah Zat yang hikmah, berhak melakukan segala apa yang Allah ﷻ kehendaki. Akan tetapi Allah ﷻ lakukan hal tersebut dengan aturan yang Allah ﷻ buat untuk diri-Nya, seperti Allah ﷻ mewajibkan diri-Nya untuk tidak melakukan zalim, dan juga Allah ﷻ mewajibkan diri-Nya untuk berbuat rahmat. Oleh karenanya berkaitan dengan hakikat rasul, Ahlusunah meyakini bahwa Allah memilih siapa yang Allah ﷻ pilih. Akan tetapi pemilihan Allah ﷻ berdasarkan hikmah dan ilmu Allah ﷻ yang luas. Ada landasan yang menjadikan Allah ﷻ memilih. Sehingga tidak boleh kita mengatakan bahwa Allah memilih secara sembarangan. Allah ﷻ berfirman,
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”([12])
Oleh karenanya sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwasanya Allah ﷻ memilih siapa yang pantas dan berhak untuk menjadi nabi atau rasul. Allah siapkan orang-orang tersebut dengan sifat-sifat yang mulia.
- Falasifah
Menurut Falasifah, kenabian adalah suatu perkara yang bisa diusahakan. Sebagaimana perkataan Ibnu Sina dan kawan-kawannya,
النُّبُوَّةُ أَمْرٌ مُكْتَسَبٌ
“Kenabian adalah suatu perkara yang bisa diusahakan.”([13])
Bagaimana cara memperoleh kenabian? Maka mereka pun menjelaskan bahwasanya kenabian itu kembali kepada القُوَّةُ النَّفْسِيَّةُ (kekuatan diri manusia) yang terdiri dari tiga kekuatan. Kekuatan tersebut adalah:
- القُوَّةُ القَدَسِيَّةُ (kekuatan firasat)
- القُوَّةُ التَّخَيُّلِيَّةُ (kekuatan berkhayal)
- القُوَّةُ الفَعَّالَةُ (kekuatan efektifitas)([14])
Jadi, menurut Falasifah kenabian itu diperoleh dengan pelatihan-pelatihan. Sebagaimana Nabi ﷻ pergi ke gua Hira melakukan pelatihan-pelatihan sehingga ilmu beliau r menjadi kuat dan akhirnya bisa berkhayal seakan-akan ada malaikat yang datang memberikan wahyu. Padahal itu semua adalah khayalan.
Pemikiran seperti ini adalah bentuk kekufuran karena beberapa sebab, di antaranya adalah:
- Di bangun di atas penafian wahyu dari Allah ﷻ.
- Menafikan malaikat Jibril.
- Memungkinkan adanya nabi baru setelah Nabi r dan tidak terbatas.
Berkaitan dengan kepergian Nabi ﷻ ke gua Hira, maka Nabi r ke sana bukan untuk bertujuan untuk menjadi seorang nabi. Akan tetapi bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Sebab di saat itu orang-orang di sekitar Nabi r sedang dalam kondisi yang kacau balau, melihat itu Nabi ﷻ pergi ke gua Hira untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Oleh karena itu, ketika malaikat Jibril datang, Nabi r pun kaget dan kemudian ketakutan. Kalau memang sengaja untuk menjadi nabi, maka seharusnya Nabi r tidak perlu kaget, sebab hal yang ditujui atau yang ditunggui telah datang. Kenyataannya, Nabi ﷻ tidak menduga bahwa ia akan menjadi seorang nabi. Sampai ketika Nabi ﷻ pulang bertemu bertemu Khadijah i, Nabi r dalam kondisi bergetar berkata,
زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي
“Selimuti aku, selimuti aku.”
Kemudian Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berkata,
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي
“Sungguh aku khawatir sesuatu menimpa diriku.” ([15])
Khadijah i kemudian membawa Nabi r kepada Waraqah bin Naufal. Diceritakanlah kepadanya tentang apa yang terjadi. Maka Waraqah pun berkata,
هذا النَّامُوسُ الذي أُنْزِلَ علَى مُوسَى
“Itu adalah Namus (Jibril) yang datang kepada Musa.”([16])
Intinya penulis ingin menyampaikan bahwa apa yang diyakini Falasifah adalah tidak benar. Bahkan keyakinan tersebut adalah suatu bentuk kekufuran karena beberapa sebab yang telah disebutkan di atas. Memang pada intinya, mereka sebenarnya mengingkari kenabian. Pengingkaran tersebut diungkapkan dengan cara seperti ini. Oleh karenanya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sina dan Farabi dalam kitab-kitabnya, bahwasanya apa-apa yang disampaikan oleh para nabi kepada umatnya hanyalah sekadar khayalan atau perumpamaan-perumpamaan yang tidak boleh di ambil atau diyakini secara nyata.([17]) Contohnya adalah keyakinan Ibnu Sina menolak adanya kebangkitan jasad, ia mengatakan bahwa yang dibangkitkan adalah ruh. Karena keyakinan ini, maka ia dikafirkan oleh Ghazali.([18])
- Bantahan terhadap keyakinan Falasifah
- Nabi r tidak pernah berusaha untuk menjadi nabi, bahkan beliau kaget dan takut ketika datang malaikat Jibril untuk memberikan wahyu.
- Nabi Isa r telah mendapatkan mukjizat sejak kecil yaitu bisa berbicara sejak bayi (tanpa usaha).
- Nabi Yahya n sejak remaja sudah diangkat menjadi menjadi rasul.
- Nabi Yusuf n tidak melakukan pelatihan-pelatihan sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang Falasifah, akan tetapi tetap di angkat menjadi nabi.
- Bathiniah
Keyakinan Bathiniah adalah meyakini ada tafsiran batin pada nas-nas syar’i baik dalam Al-Quran maupun hadits-hadits Nabi r. Contoh keyakinan seperti ini adalah keyakinan Qoromithah terhadap haji. Menurut mereka haji adalah Al-Qosdu (bertujuan), yang berarti maksudnya adalah menziarahi para guru. Begitu juga dengan puasa, bagi kita puasa adalah menahan makan, minum dan syahwat dari terbit fajar hingga terbenam. Adapun bagi Qoromithah puasa adalah menahan rahasia jangan sampai diketahui oleh orang lain.([19])
Menurut Bathiniah kenabian adalah kebaikan sebagaimana ilmu-ilmu politik dan siasat, bisa diyakini bisa juga tidak, boleh diamalkan boleh juga tidak, boleh juga diamalkan sebagian saja.([20])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Lihat An-Nubuwwat Libni Taimiyah, 30.
([5]) Lihat An-Nubuwwat Libni Taimiyah, 33.
([6]) Lihat, Lawami’u Al-Anwar, 332.
([9]) Lihat An-Nubuwwat, Ibnu Taimiyyah, 1/30.
([10]) Nihaayatul Iqdaam fi ílmi al-Kalaam hal 462
([13]) Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 2/415.
([17]) Lihat An-Nubuwwat Libni Taimiyah, 698-699.
([18]) Lihat Tahafutul Falasifah, cetakan Darul Ma’rifah Mesir, 1/307.