BAB 4 : (RUKUN KEEMPAT) IMAN KEPADA PARA RASUL
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Rukun iman yang berikutnya adalah iman kepada para Rasul.
A. Urgensi beriman kepada para rasul
Di antara urgensinya adalah :
- Termasuk rukun iman.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخاسِرِينَ
“Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
“Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Disebutkan juga di dalam hadits Jibril yang masyhur, diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, ketika Jibril ‘Alaihissalam bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang iman, maka beliau ﷺ menjawab,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّه
“Engkau beriman kepada Allah ﷻ, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”([1])
- Barang siapa yang kufur dan tidak beriman kepada salah satu nabi, maka dianggap kufur kepada seluruh Nabi Allah ﷻ.
Dalil dari pada ayat ini adalah firman Allah ﷻ,
لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Artinya orang yang beriman kepada para nabi dan rasul tidak membedakan seorang pun dari rasul-rasul tersebut. Semuanya tidak dibedakan dan harus diimani. Oleh karenanya yang tidak beriman kepada satu rasul saja, maka dianggap tidak beriman kepada seluruh rasul.
Apabila beriman kepada satu rasul, maka melazimkan beriman kepada seluruh rasul-rasul. Tidak beriman kepada satu rasul, maka melazimkan kafir kepada seluruh rasul. Allah ﷻ berfirman,
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara’: 105)
Allah ﷻ menyatakan bahwa kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Padahal, mereka hanya mendustakan seorang rasul, yaitu nabi Nuh ‘Alaihissalam. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa ketika mereka mendustakan nabi Nuh ‘Alaihissalam, berarti mereka telah mendustakan para rasul seluruhnya.
Demikian juga dengan firman Allah ﷻ,
كَذَّبَتْ عادٌ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara’: 123)
Allah ﷻ menyatakan bahwa kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul. Padahal, yang mereka dustakan hanyalah nabi Hud ‘Alaihissalam. Selain itu, Allah ﷻ berfirman tentang kaum Tsamud,
كَذَّبَتْ ثَمُودُ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum Tsamud telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara’: 141)
Allah ﷻ menyatakan bahwa kaum Tsamud telah mendustakan para rasul. Padahal, yang mereka dustakan hanyalah nabi Shalih ‘Alaihissalam.
Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
كَذَّبَ أَصْحابُ الْأَيْكَةِ الْمُرْسَلِينَ
“Penduduk Aikah telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara’: 176)
Penduduk Aikah adalah kaum nabi Syu’aib ‘Alaihissalam. Mereka disebut juga dengan Ashhabu Madyan ‘penduduk Madyan’, di mana mereka menyembah berhala yang disebut dengan Aikah, akhirnya mereka disebut dengan Ashhabu Al-Aikah. Mereka hanya mendustakan nabi Syu’aib ‘Alaihissalam. Namun, Allah ﷻ menyatakan bahwa mereka telah mendustakan para rasul.
Selain itu, Allah ﷻ berfirman,
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum Lut telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’ara’: 160)
Mereka telah mendustakan nabi Luth ‘Alaihissalam, sehingga mereka dianggap telah mendustakan para rasul.
Kenapa bisa terjadi demikian? Karena isi dakwah yang disampaikan oleh para nabi semuanya sama, yaitu tauhid dan menjauhi tagut. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah ﷻ, dan jauhilah tagut”.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ﷻ telah mengutus para rasul seluruhnya, di mana mereka menyeru kepada umat untuk menyembah Allah ﷻ semata dan menjauhi tagut.
Sama saja bagi orang-orang kafir, apabila mereka telah mendustakan nabi Nuh ‘Alaihissalam, maka sejatinya mereka akan mendustakan nabi-nabi setelahnya. Tidak ada bedanya antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah t, Nabi bersabda,
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ([2])، وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى، وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi adalah saudara-saudara dari ayah yang satu, ibu mereka berbeda, namun agama mereka satu.” ([3])
Artinya mereka semua menyeru kepada tauhid, meskipun syariat mereka berbeda-beda.
Inilah urgensi dari beriman kepada para rasul, yaitu harus beriman kepada sebagian dari mereka dan beriman kepada seluruhnya. Oleh karenanya, orang-orang Yahudi dianggap kafir, karena banyak sebab, dan di antaranya adalah mereka tidak beriman kepada nabi ‘Isa ‘Alaihissalam dan nabi Muhammad ﷺ. Demikian juga dengan orang-orang Nasrani. Mereka dianggap kafir, karena banyak sebab, di antaranya adalah karena mereka tidak beriman kepada nabi Muhammad ﷺ.
Di antara orang-orang Nasrani, ada yang diberi julukan الْمُوَحِّدُوْنَ مِنَ النَّصَارَى ‘Orang-orang yang bertauhid dari kaum Nasrani’. Bisa jadi mereka adalah keturunan dari Arius. Pendeta Arius adalah seorang pendeta yang mengingkari ketuhanan ‘Isa ‘Alaihissalam. Bisa jadi pengikutnya masih ada sampai sekarang, sehingga mereka dijuluki dengan ‘Al-Muwahhidun min An-Nashara’, lantaran mereka tidak menyatakan ‘Isa ‘Alaihissalam sebagai Tuhan.
Akan tetapi, apabila mereka tidak beriman kepada nabi Muhammad ﷺ, maka –sama saja– mereka tetap dihukumi kafir. Karena, apabila seseorang tidak beriman kepada nabi Muhammad ﷺ, artinya dia tidak beriman kepada seluruh nabi.
B. Definisi Nabi dan Rasul
Nabi dan rasul adalah dua hal yang berbeda. Allah ﷻ berfirman,
وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
“Seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi…” (QS Al-Hajj : 52)
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis).” (QS. Al-A’raf: 157)
Pada ketiga ayat tersebut, Allah ﷻ membedakan antara nabi dan rasul. Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan dari Al-Barra’ bin ‘Azib t, ketika Rasulullah ﷺ mengajarkan doa ketika hendak tidur,
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ….. فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ: آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus…..(Al-Baro’ bin Ázib berkata:) Aku mengulanginya agar dapat mengingatnya, lalu aku mengucapkan, ‘Aku beriman dengan rasul-Mu yang telah Engkau utus’, Beliau pun menegur, ‘katakanlah: Aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus’.”([4])
Ketika sahabat tersebut mengikuti doa Nabi, dia mengulang-ulanginya dengan menyebut kata ‘rasul’, lalu Nabi ﷺ pun menegurnya agar menggantinya dan mengucapkan ‘nabi’. Apabila rasul dan nabi memiliki arti yang sama, maka seharusnya Nabi ﷺ tidak akan menegurnya. Akan tetapi, pada saat itu Nabi menegurnya. Hal ini menunjukkan bahwa nabi dan rasul adalah dua hal yang berbeda.
Nabi
Secara bahasa, nabi berasal dari kata النَّبَأ ‘kabar/berita’. Banyak ayat di dalam Al-Quran yang menyebutkannya, di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ، عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang berita yang besar (hari kebangkitan).” (QS. An-Naba’: 1-2)
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hijr: 49)
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah ﷻ memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah ﷻ Yang Maha Mengetahui, Maha teliti.” (QS. At-Tahrim: 3)
Pada ayat tersebut menyebutkan kata نَبَّأَتْ، نَبَّأَنِيَ dan نَبَّأَهَ, di mana semua kata tersebut menunjukkan makna tentang berita.
Jika demikian, maka secara istilah النَّبِيُّ dari kata الْمُنْبَأُ ‘yang diberi wahyu’ atau الْمُنْبِيْءُ ‘yang mengabarkan tentang wahyu’. Pendapat yang lain mengatakan bahwa النَّبَـأ diambil dari kata النَّبْوَة dan النَّبَاوَة yang artinya الْعُلُو وِالاِرْتِفَاعُ (ketinggian) sehingga bisa diartikan bahwa nabi adalah orang pilihan Allah ﷻ yang menempati kedudukan yang tinggi([5]).
Rasul
Secara bahasa, rasul berasal dari kata الرِّسَالَة ‘utusan/surat’, sedangkan الرَّسُوْلُ ‘utusan’. Di dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkannya, di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
“Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (QS. An-Naml: 35)
فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ
“Ketika utusan itu datang kepadanya.” (QS. Yusuf: 50)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa rasul bermakna utusan.
Perbedaan antara nabi dan rasul
Mayoritas ulama berpendapat ada perbedaan antara Nabi dan Rasul([6]) dan menurut mereka bahwa setiap Rasul sudah pasti Nabi akan tetapi tidak sebaliknya([7]). Namun mereka berbeda pendapat tentang hal yang membedakan antara nabi dan rasul, ada beberapa pendapat :
Pertama : Nabi diberi wahyu, namun tidak berdakwah. Sedangkan Rasul diberi wahyu dan diperintahkan untuk berdakwah([8]). Ini merupakan pendapat yang kurang kuat, karena pendapat ini mengatakan bahwa nabi tidak berdakwah. Padahal, bagi para ulama berdakwah adalah kewajiban, apalagi bagi para nabi([9]). Syariat melarang bagi setiap orang untuk menyembunyikan ilmu yang diberikan oleh Allah ﷻ kepadanya. Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati” (QS Al-Baqoroh : 159)
Demikian juga dalil menunjukan bahwa keduanya (Nabi dan Rasul) sama-sama diutus oleh Allah. Allah berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi…” (QS Al-Hajj : 52) ([10])
Kedua : Nabi tidak diberikan syariat baru, dia hanya diutus kepada kaum yang telah memiliki syariat sebelumnya. Sebagaimana nabi-nabi bani Israil yang semuanya mengikuti syariat nabi Musa ‘Alaihissalam, seperti nabi Dawud ‘Alaihissalam, Sulaiman ‘Alaihissalam, Ayub ‘Alaihissalam, Daniel ‘Alaihissalam dan nabi-nabi yang lain. Mereka semua mengikuti syariat nabi Musa ‘Alaihissalam. Setelah itu, muncul nabi ‘Isa ‘Alaihissalam sebagai rasul dengan membawa syariat baru, karena di samping sebagai nabi, beliau adalah seorang rasul. Adapun rasul diutus dengan syariat baru([11]). Pendapat ini cukup kuat. Namun pendapat ini juga menjadi problem karena sebagian Nabi disifati dengan Rasul sementara tidak membawa syariát baru. Misalnya Nabi Ismaíl álaihis salam, Allah berfirman tentangnya :
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi” (QS Maryam : 54)
Sementara Nabi Ismaíl álaihis salam tidak membawa syariát baru, ia hanya menyerukan syariát ayahnya Ibrahim álaihis salam.
Demikian juga Nabi Harun álaihis salam beliau juga seorang Rasul, akan tetapi beliau tidak membawa syariát baru, melainkan hanya menemani Nabi Musa yang diutus dengan membawa syariát baru. Demikian juga Nabi Yusuf adalah seorang rasul sementara ia tidak membawa syariát baru akan tetapi di atas syariát Ibrahim, sementara Allah berfriman :
وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ في شَكّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ حَتَّى إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولاً
“Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang rasul-pun sesudahnya” (QS Ghafir : 34)
Demikian juga Daud dan Sulaiman adalah Rasul sementara mereka berada di atas syariát Taurat, sementara Allah menamakan mereka dengan Rasul. Allah berfirman :
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورَاً وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمَاً
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma´il, Ishak, Ya´qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS An-Nisa : 163-164) ([12])
Ketiga : Nabi tidak diutus kepada kaum yang menentang atau belum ada syariat sebelumnya. Pada poin ini terdapat sedikit persamaan dengan poin sebelumnya. Namun, pada poin ini lebih menitikberatkan kepada kaum yang menentangnya([13]).
Adapun rasul diutus kepada kaum yang menentang syariat yang dibawanya atau belum ada syariat sama sekali. Sebagaimana kaum nabi Nuh ‘Alaihissalam. Nabi Nuh ‘Alaihissalam adalah seorang rasul, di mana tidak ada Rasul sebelumnya meskipun sebelum Nuh sudah ada Nabi Adam. Ketika nabi Nuh ‘Alaihissalam datang kepada kaumnya, mereka menentangnya, karenanya Nuh adalah rasul yang pertama. Nabi bersabda tentang hadits syafaát ketika di padang mahsyar :
فَيَأْتُونَ نُوحًا، فَيَقُولُونَ: يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ
“Maka merekapun mendatangi Nuh, lalu mereka berkata, “Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi” ([14])
Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang ketiga, wallahu a’lam.
C. Tingkatan Nabi dan Rasul
Para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia terpilih yang lebih mulia dari manusia-manusia biasa selain mereka. Allah berfiman :
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.(QS Al-Anám : 124)
At-Thobari berkata tentang ayat ini, فَأَنَا أَعْلَمُ بِمَوَاضِعِ رِسَالَاتِي وَمَنْ هُوَ لَهَا أَهْلٌ “Maka Aku (Allah) lebih mengetahui dimana lokasi-lokasi risalahKu, dan siapa yang berhak untuk mendapatkannya” ([15])
Allah juga beriman :
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Al-Hajj : 75)
Ibnu Katsir berkata, عَلِيمٌ بِمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ مِنْهُمْ “Allah maha mengetahui siapa diantara mereka yang berhak (untuk menjadi rasul)” ([16])
As-Sa’di berkata :
أَيْ: يَخْتَارُ وَيَجْتَبِي مِنَ الْمَلاَئِكَةِ رُسُلاً وَمِنَ النَّاسِ رُسُلاً يَكُوْنُوْنَ أَزْكَى ذَلِكَ النَّوْعِ، وَأَجْمَعَهُ لِصِفَاتِ الْمَجْدِ، وَأَحَقَّهُ بِالاِصْطِفَاءِ، فَالرُّسُلُ لاَ يَكُوْنُوْنَ إِلاَّ صَفْوَةَ الْخَلْقِ عَلَى الإِطْلاَقِ، وَالَّذِي اخْتَارَهُمْ وَاصْطَفَاهُمْ لَيْسَ جَاهِلاً بِحَقَائِقِ الأَشْيَاءِ، أَوْ يَعْلَمُ شَيْئًا دُوْنَ شَيْءٍ، وَإِنَّمَا الْمُصْطَفِي لَهُمْ، السَّمِيْعُ، الْبَصِيْرُ، الَّذِي قَدْ أَحَاطَ عِلْمُهُ وَسَمْعُهُ وَبَصَرُهُ بِجَمِيْعِ الأَشْيَاءِ، فَاخْتِيَارُهُ إِيَّاهُمْ عَنْ عِلْمٍ مِنْهُ أَنَّهُمْ أَهْلٌ لِذَلِكَ
“Yaitu Allah memilih dari kalangan malaikat untuk menjadi rasul, demikian juga Allah memilih dari kalangan manusia untuk menjadi para rasul yang mereka merupakan jenis manusia yang termulia, yang paling terkumpul padanya sifat-sifat agung, yang paling berhak untuk dipilih. Maka para rasul tidaklah mungkin kecuali makhluk yang terbaik secara mutlak. Yang memilih mereka (yaitu Allah) tidaklah jahil terhadap hakikat segala sesuatu, atau hanya mengetahui sebagian perkara saja, akan tetapi yang memilih mereka adalah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, yang ilmunya, pendengarannya, dan penglihatannya meliputi segala sesuatu. Maka Allah memilih para Rasul berdasarkan ilmuNya bahwa mereka memang berhak untuk dijadikan para rasul” ([17])
Karenanya kaum muslimin sepakat bahwa Para Nabi dan Rasul lebih mulia dari seluruh manusia yang lain, termasuk para wali. Karena para wali tidaklah meraih kewalian kecuali karena menjadi pengikut para nabi dan rasul.
Berikut keterkaitan antara Nabi dan Rasul:
- Setiap rasul pasti nabi dan wali Allah.
- Setiap nabi pasti wali Allah, namun belum tentu rasul.
- Setiap wali belum tentu nabi dan rasul.
Intinya adalah rasul merupakan tingkatan yang tertinggi, sedangkan wali adalah pengikut nabi dan rasul. Para ulama telah sepakat bahwa nabi lebih mulia dari pada wali.
Abu Ja’far at-Thohawi berkata ;
وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أفضل من جميع الأولياء
“Dan kami tidak mengutamakan seorang pun dari para wali di atas seorangpun dari para nabi álaihimus salam, dan kami berkata : ‘Satu orang nabi lebih afdol dari semua wali” ([18])
Abul Ábbas al-Qurthubi berkata :
إِذِ النَّبِيُّ أَفْضَلُ مِنَ الْوَلِيِّ بِالإِجْمَاعِ
“Karena nabi lebih afdol daripada wali berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama)” ([19])
Beliau juga berkata :
فَالنَّبِيُّ أَفْضَلُ مِنَ الْوَلِيِّ وَهُوَ أَمْرٌ مَقْطُوعٌ بِهِ عَقْلًا وَنَقْلًا وَالصَّائِرُ إِلَى خِلَافِهِ كَافِرٌ لِأَنَّهُ أَمْرٌ مَعْلُومٌ مِنَ الشَّرْعِ بِالضَّرُورَةِ
“Maka nabi lebih afdol daripada wali, dan ini merupakan perkara yang sudah dipastikan secara akal dan dalil. Dan siapa yang menyelisihi hal ini maka ia telah kafir karena ini adalah perkara agama yang telah dimaklumi/diketahui secara jelas” ([20])
Namun anehnya sebagian orang yang menyimpang -dari kalangan sufiyah- malah menjadikan situasi terbalik, mereka malah beranggapan bahwa para wali yang tertinggi lebih tinggi dari pada Nabi dan Rasul. Ibnu ‘Arabi (wafat 638 H) berkata,
مَقَامُ النُّبُوَّةِ فِي بَرْزَخٍ … فُوَيْقَ الرَّسُولِ وَدُونَ الْوَلِيِّ
“Kedudukan kenabian berada di pertengahan, di atas rasul dan di bawah wali.” ([21])
Apabila mengikuti pendapat Ibnu ‘Arabi, maka himpunan tersebut tergambar sebagai berikut:
Menurutnya tingkatan tertinggi adalah wali, lalu nabi, kemudian rasul.
Keyakinan Ibnu Árobi ini berangkat dari keyakinan tentang adanya خَاتَمُ الأَوْلِيَاءِ “penutup para wali” yang dicetuskan oleh Muhammad bin Áli Al-Hakim At-Tirmidzi([22]), lalu dikembangkan oleh Ibnu Árobi sehingga akhirnya menyatakan bahwa خَاتَمُ الأَوْلِيَاءِ “penutup para wali” lebih afdol dari dalam sebagian sisi خَاتَمُ الرُّسُلِ “penutup para rasul”. Ibnu Árobi berkata :
وَلَيْسَ هَذَا الْعِلْمُ إِلاَّ لِخَاتَمِ الرُّسُلِ وَخَاتَمِ الأَوْلِيَاءِ، وَمَا يَرَاهُ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِلاَّ مِنْ مِشْكَاةِ الرَّسُوْلِ الْخَاتِمِ، وَلاَ يَرَاهُ أَحَدٌ مِنَ الأَوْلِيَاءِ إِلاَّ مِنْ مِشْكَاةِ الْوَلِيِّ الْخَاتِمِ، حَتَّى إِنَّ الرُّسُلَ لاَ يَرَوْنَهُ -مَتَى رَأَوْهُ- إِلاَّ مِنْ مِشْكَاةِ خَاتِمِ الأَوْلِيَاءِ…وَإِنْ كَانَ خَاتَمَ الأَوْلِيَاءِ تَابِعًا فِي الْحُكْمِ لِمَا جَاءَ بِهِ خَاتَمُ الرُّسُلِ مِنَ التَّشْرِيْعِ فَذَلِكَ لاَ يَقْدَحُ فِي مَقَامِهِ وَلاَ يُنَاقِضُ مَا ذَهَبْنَا إِلَيْهِ، فَإِنَّ مِنْ وَجْهٍ يِكُوْنُ أَنْزَلَ كَمَا أَنَّهُ مِنْ وَجْهٍ يَكُوْنُ أَعْلَى
“Dan bukanlah ilmu ini (yaitu ilmu wihdatul wujud) kecuali hanya untuk penutup para rasul dan penutup para wali. Tidaklah seorang pun dari para nabi dan rasul keculai melihat dari sumber Penutup para rasul, dan tidaklah seorang wali yang melihat ilmu ini kecuali dari sumber Penutup para wali, bahkan para rasul pun tidak melihatnya -ketika mereka melihatnya- kecuali dari sumbernya penutup para wali….meskipun penutup para wali secara hukum merupakan pengikut penutup para rasul dari sisi syariát akan tetapi hal itu tidaklah mengurangi kedudukan penutup para wali, dan tidak membatalkan pendapat kami. Karena dari satu sisi penutup para wali lebih rendah daripada penutup para rasul sebagaimana dari sisi yang lain penutup para wali lebih tinggi dari penutup para rasul” ([23])
Namun setelah itu Ibnu Árobi seakan-akan menegaskan bahwa meskipun penutup para rasul (yaitu Rasulullah) lebih tinggi dari penutup para wali dari sebagian sisi (sisi syariát) akan tetapi secara total Penutup para wali lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu álaihi wasallam. Hal ini karena Ibnu Árobi memisalkan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam dengan bata perak, sementara penutup para wali dimisalkan dengan bata emas. Tentu tidak ada yang ragu bahwa emas lebih baik dari bata perak. Ibnu Árobi berkata :
وَلَمَّا مَثَّلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النُّبُوَّةَ بِالْحَائِطِ مِنَ اللَّبِنِ، وَقَدْ كَمُلَ سِوَى مَوْضِعَ لَبِنَةٍ، فَكَانَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ اللَّبِنَةَ، غَيْرَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَاهَا إِلاَّ كَمَا قَالَ: لَبِنَةً وَاحِدَةً. وَأَمَّا خَاتَمُ الأَوْلِيَاءِ فَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا، فَيَرَى مَا مَثَّلَهُ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَرَى فِي الْحَائِطِ مَوْضِعَ اللَّبِنَتَيْنَ، وَاللَّبِنُ مِنْ ذَهَبٍ وَفِضَّةِ، فَيَرَى اللَّبِنَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقُصُ الْحَائِطُ عَنْهُمَا وَتَكْمُلُ بِهِمَا لَبِنَةَ ذَهَبٍ وَلَبِنَةَ فِضَّةٍ، فَلاَ بُدَّ أَنْ يَرَى نَفْسَهُ تَنْطَبِعُ فِي مَوْضِعِ تَيْنِكَ اللَّبِنَتَيْنِ، فَيَكُوْنُ خَاتَمُ الأَوْلِيَاءِ تَيْنِكَ اللَّبِنَتَيْنِ، فَيَكْمُلُ الْحَائِطُ. وَالسَّبَبُ الْمُوْجِبُ لِكَوْنِهِ رَآهَا لَبِنَتَيْنِ، أَنَّهُ تَابِعٌ لِشَرْعِ خَاتَمِ الرُّسُلِ فِي الظَّاهِرِ، وَهُوَ مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ الْفِضِّيَّةِ، وَهُوَ ظَاهِرُهُ وَمَا يَتْبَعُهُ فِيْهِ مِنَ الأَحْكَامِ، كَمَا هُوَ آخِذٌ عَنِ اللهِ فِي السِّرِّ مَا هُوَ بِالصُّوْرَةِ الظَّاهِرَةِ مُتَّبِعٌ فِيْهِ، -لِأَنَّهُ يَرَى الأَمْرَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ – فَلاَ بُدَّ أَنْ يَرَاهُ هَكَذَا، وَهُوَ مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ الذَّهَبِيَّةِ فِي الْبَاطِنِ، فَإِنَّهُ أَخَذَ مِنَ الْمَعْدِنِ الَّذِي يَأْخُذُ مِنْهُ الْمَلَكُ، الَّذِي يُوْحِى بِهِ إِلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ
“Ketika Nabi memperumakan kenabian dengan sebuah dinding dari susunan bata, dimana dinding tersebut sudah sempurna kecuali tinggal tempat untuk satu bata lagi, maka Rasulullah shallallahu álaihi wasallam itulah yang menempati posisi bata tersebut. Hanya saja Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tidak melihat -sebagaimana yang Rasulullah sebutkan- kecuali hanya satu bata saja. Adapun penutup para wali maka ia tentu akan melihat dengan semisal penglihatan ini. Maka ia melihat perumpamaan tersebut, dan ia melihat di dinding masih ada dua tempat bata, dan bata tersebut dari emas dan perak. Maka ia melihat dua bata yang dinding masih kekurangan dua bata tersebut dan dinding baru sempurna jika diisi dua bata tersebut merupakan bata emas dan bata perak. Maka pasti ia akan melihat dirinya pas untuk tempat dua bata tersebut, maka penutup para wali adalah dua bata tersebut sehingga menjadikan dinding sempurna. Sebab yang menjadikannya melihat bata tersebut menjadi dua bata karena adalah pengikut syariát penutup para rasul secara dzohir yaitu tempat bata yang dari perak, yaitu bagian luarnya dan hukum-hukum yang mengikutinya, sebagaimana ia mengambil secara rahasia dari Allah perkara yang dalam bentuk dzohirnya dan mengikutinya, – dan karena ia meihat perkara sebagaimana adanya- maka ia harus melihatnya seperti itu, yaitu tempat bata emas di bagian dalamnya. Hal ini karana penutup para wali mengmbil dari sumber yang malaikat juga mengambil darinya, yang lalu malaikat mewahyukannya kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam” ([24])
Perhatikanlah bagiamana Ibnu Árobi dengan sangat jelas memandang bahwa penutup para wali lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu álaihi wasallam ?. Selain Rasulullah dianggap sebagai bata perak, selain itu Rasulullah juga mengambil ilmu melalui perantara malaikat. Adapun penutup para wali merupakan bata emas, dan sekaligus mengambil ilmu tanpa perantara. Demikian juga ternyata agama belum sempurna selama ini hingga muncul penutup para wali yang akan mengisi kekosongan bata emas.
Tingkatan para rasul
Semua Nabi dan Rasul merupakan orang-orang pilihan Allah, namun kemuliaan mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah. Allah berfirman :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. (QS Al-Baqarah : 253)
وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْضٍ
Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain) (QS Al-Israa’ : 55)
Ibnu Katsir berkata :
وَلَا خِلَافَ أَنَّ الرُّسُلَ أَفْضَلُ مِنْ بَقِيَّةِ الْأَنْبِيَاءِ، وَأَنَّ أُولِي الْعَزْمِ مِنْهُمْ أَفْضَلُهُمْ
“Tidak ada khilaf (perselisihan) bahwasanya para rasul lebih mulia dari pada para nabi yang lain, dan bahwasanya yang paling mulia diantara para rasul adalah para rasul Ulul Ázmi” ([25])
Dan yang dimaksud dengan para rasul Ulul Azmi adalah 5 Rasul yang Allah kumpulkan penyebutan mereka dalah firmanNya dalam dua ayat:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam (QS Al-Ahzab : 7)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS As-Syuro : 13)
Ibnu Katsir juga berkata :
وَلَا خِلَافَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُهُمْ، ثُمَّ بَعْدَهُ إِبْرَاهِيمُ، ثُمَّ مُوسَى عَلَى الْمَشْهُورِ
“Dan tidak ada perselisihan juga bahwasanya Muhammad shallallahu álaihi wasallam adalah yang paling mulia diantara para Rasul Ulul Azmi, setelah itu Ibrahim, dan setelah itu -menurut pendapat yang masyhur- adalah Musa” ([26])
Berikut ini kesimpulan urutan tingkatan para Rasul :
- Nabi Muhammad ﷺ
Beliau adalah yang memiliki kedudukan yang paling terpuji (مَقَامٌ مَحْمُوْدٌ). Beliau memiliki kedudukan tertinggi dari para rasul, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri t berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ، وَلَا فَخْرَ
“Aku adalah pemimpin seluruh anak Adam dan aku tidak sombong.” ([27])
- الْخَلِيْلَانِ ‘Dua kekasih/khalil’ (yang salah satunya adalah Ibrahim álaihis salam)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jundab t, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
فَإِنَّ اللهِ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” ([28])
Allah ﷻ berfirman,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kekasih(-Nya).” (QS. An-Nisa’: 125)
- أُولُوا الْعَزْمِ ‘Para rasul yang memiliki keteguhan’
Ulul Azmi adalah para nabi dan rasul yang memiliki keteguhan dan kesabaran tinggi, sebagaimana firman Allah ﷻ,
فَاصْبِرْ كَما صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
Ayat ini turun kepada nabi Muhammad ﷺ, agar beliau sabar dan tegar dalam berdakwah, sebagaimana nabi Nuh ‘Alaihissalam yang berdakwah hingga 950 tahun dan nabi dan rasul yang lain, di mana mereka mendapatkan ujian yang berat dalam berdakwah.
Tingkatan yang tertinggi adalah nabi Muhammad ﷺ, lalu Al-Khalilani, yaitu nabi Ibrahim dan Muhammad ﷺ, kemudian Ulul Azmi (yaitu nabi Nuh ‘Alaihissalam, Ibrahim ‘Alaihissalam, Musa ‘Alaihissalam, ‘Isa ‘Alaihissalam dan Muhammad ﷺ), dan setelah itu adalah para rasul p yang lainnya, lalu para Nabi yang bukan Rasul.
Artinya para nabi dan rasul pun bertingkat-tingkat, di antara para nabi terdapat para rasul. Di antara para rasul ada Ulul Azmi. Di antara Ulul Azmi adalah Al-Khalilaani ‘dua kekasih Allah’, dan di antara dua khalil itu adalah nabi Muhammad ﷺ.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Saíd al-Khudri, dimana ia berkata:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ يَهُودِيٌّ، فَقَالَ: يَا أَبَا القَاسِمِ ضَرَبَ وَجْهِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِكَ، فَقَالَ: مَنْ؟ “، قَالَ: رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، قَالَ: «ادْعُوهُ»، فَقَالَ: «أَضَرَبْتَهُ؟»، قَالَ: سَمِعْتُهُ بِالسُّوقِ يَحْلِفُ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى البَشَرِ، قُلْتُ: أَيْ خَبِيثُ، عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَتْنِي غَضْبَةٌ ضَرَبْتُ وَجْهَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْشِ، فَلاَ أَدْرِي أَكَانَ فِيمَنْ صَعِقَ، أَمْ حُوسِبَ بِصَعْقَةِ الأُولَى»
“Ketika Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sedang duduk datanglah seorang yahudi, lalu berata, “Wahai Abul Qosim, seorang dari sahabatmu telah memukul wajahku”. Nabi berkata, “Siapa?”. Sang yahudi berkata, “Seorang dari kaum Anshor”. Nabi berkata, “Panggil dia !”, lalu Nabi berkata kepadanya, “Apakah engkau telah memukulnya?”. Orang Anshor itu berkata, “Aku mendengarnya di pasar bersumpah dengan berkata, “Demi Allah yang telah memilih Musa di atas seluruh manusia”. Lalu aku berkata, “Wahai orang yang buruk, Musa di pilih di atas Muhammad?”. Maka akupun emosi lalu aku memukul wajahnya”. Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata, “Jangnlah kalian membanding-bandingkan mana yang terbaik diantara para nabi, karena sesungguhnya manusia pada tidak sadar pada hari kiamat, lalu aku yang pertama kali dibangkitkan dari bumi. Tiba-tiba aku melihat Musa dalam kondisi memegang salah satu tiang Ársy, maka aku tidak tahu apakah ia termasuk yang tidak sadar, ataukah ia tidak termasuk karena sudah pernah tidak sadar pertama kalinya([29])?” ([30])
Demikian juga sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam :
لاَ يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ: أَنَا خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى
“Tidak pantas bagi seorang hamba untuk berkata, “Aku lebih baik dari pada Yunus bin Matta” ([31])
Maka ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam menjelaskan sebab-sebab dari larangan membandingkan para nabi, diantaranya :
Pertama : Dilarang memuliakan satu nabi di atas nabi lainnya yaitu jika tujuannya adalah merendahkan nabi yang lain tersebut. Hal ini karena bisa mengantarkan kepada rusaknya akidah kepada nabi tersebut, lalai untuk menunaikan hak nabi tersebut, serta mempengaruhi iman terhadap nabi tersebut([32]).
Kedua : Maksudnya adalah jika pembandingan tersebut tanpa dalil dan hanya sekedar dibangun di atas kefanatikan([33]).
Ketiga : Maksud Nabi melarang membandingkan dirinya dengan nabi yang lain, yaitu karena ketawaduan beliau([34]).
Keempat : Larangan membandingkan tersebut karena kenabian dan kerasulan adalah satu tingkat, yaitu sama-sama utusan Allah, dari sisi inilah adanya pelarangan. Adapun dari sisi keutamaan maka tidak mengapa adanya pembandingan([35]).
Pendapat yang paling kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat yang pertama.
D. Jumlah para nabi dan rasul
Dalam satu hadis disebutkan bahwa para rasul berjumlah 315, sedangkan nabi berjumlah 124.000. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari t berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الْمُرْسَلُونَ؟ قَالَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَبِضْعَةَ عَشَرَ، جَمًّا غَفِيرًا وَقَالَ مَرَّةً خَمْسَةَ عَشَرَ
“‘Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para rasul?’, beliau menjawab, ‘tiga ratus sekian belas, mereka sangat banyak’, terkadang beliau bersabda, ‘Lima belas’.” ([36])
يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ النَّبِيُّونَ؟ قَالَ مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفَ نَبِيٍّ قُلْتُ: كَمِ الْمُرْسَلُونَ مِنْهُمْ؟ قَالَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ
“‘Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para nabi?’, beliau bersabda, ‘Seratus dua puluh empat ribu nabi’, aku berkata, ‘berapakah jumlah para rasul dari mereka?’, maka beliau menjawab, ‘Tiga ratus tiga belas’.” ([37])
Akan tetapi, para ulama mengkritisi kesahihan hadits tersebut. Hanya saja, jika hadits tersebut disahihkan atau dihasankan menunjukkan bahwa jumlah nabi sangat banyak, sedangkan jumlah rasul lebih sedikit. Di luar hal tersebut, masih ada orang-orang yang diperselisihkan tentang kenabian dan kerasulannya ([38]).
Di antara banyaknya jumlah para nabi dan rasul tersebut dibagi menjadi dua. Pertama, ada yang diceritakan di dalam Al-Quran, dan kedua, ada yang tidak diceritakan di dalam Al-Quran. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ
“Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 164)
Para nabi dan rasul yang dikisahkan di dalam Al-Quran, dibagi menjadi dua, yaitu: ada yang disepakati sebagai nabi atau rasul dan ada yang diperselisihkan kenabian maupun kerasulannya. Yang disepakati kenabian dan kerasulannya adalah seperti beberapa nabi dan rasul yang dikisahkan dan disebutkan di dalam Al-Quran. Adapun di antara yang diperselisihkan kenabian dan kerasulannya adalah Zulkarnain, Khadhir, ‘Uzair.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 8
([2]) Di dalam riwayat lain disebutkan,
أَبْنَاءُ عَلَّاتٍ
‘Anak-anak dari ayah yang satu’
([5]) Lihat : An-Nubuwwaat, Ibnu Taimiyyah 2/881-882
([6]) Adapun al-Qodhi Abdul Jabbar al-Muktazili maka ia menganggap secara istilah syarí tidak ada perbedaan antara Nabi dan Rasul. Ia berkata :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي الاِصْطِلاَحِ بَيْنَ الرَّسُوْلِ وَالنَّبِيِّ
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada perbedaan antara Rasul dan Nabi secara istilah” (Syarh al-Ushuul al-Khomsah, Al-Qodhi Abdul Jabbar hal 567)
Akan tetapi ini bukanlah kesepakatan Muktazilah, karena Az-Zamakhsyari membedakan antara Nabi dan Rasul. Ia mengomentari firman Allah (QS Al-Hajj : 52) dengan berkata :
مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ دَلِيْلٌ بَيِّنٌ عَلَى تَغَايُرِ الرَّسُوْلِ وَالنَّبِيِّ
“(Firman Allah) “seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi” merupakan dalil yang jelas akan perbedaan antara Rasul dan Nabi” (Al-Kasyyaaf 3/164)
فَكُلُّ رَسُوْلٍ نَبِيٌّ، وَلَيْسَ كُلُّ نَبِيٍّ رَسُوْلًا
“Setiap Rasul Nabi, dan tidak setiap Nabi adalah Rasul” (A’laam Al-Hadits 1/298)
Al-Qodhi ‘Iyadh berkata :
وَالصَّحِيحِ وَالَّذِي عَلَيْهِ الْجَمَّاءُ الْغَفِيرُ أَنَّ كُلَّ رَسُولٍ نَبِيّ وَلَيْسَ كُلُّ نَبِيّ رَسُولًا
“Dan yang shahih -dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama- bahwasanya setiap Rasul adalah Nabi dan tidak setiap Nabi adalah Rasul” (Asy-Syifa 1/251)
([8]) Diantara yang berpendapat demikian adalah : Al-Khottobhi (lihat A’laam Al-Hadits 1/298) dan Al-Qurthubi (lihat Tafsir al-Qurthubi 7/298, sebagaimana juga dinukil oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 11/12)
([9]) Lihat penjelasan Asy-Syingqithi di Adhwaa al-Bayaan 5/290
([10]) Lihat : An-Nubuwwaat, Ibnu Taimiyyah 2/881-882
([11]) Lihat: Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, Li Al-Harras, 1/52
Ini adalah pendapat Al-Baidhowi (Lihat Tafsir al-Baidhowi 4/75) dan Az-Zamakhsyari (Lihat Al-Kasyyaf 3/164). Az-Zamakhsyari menyatakan syariát baru tersebut dengan adanya kitab suci yang diturunkan kepada Rasul tersebut, seakan-akan Az-Zamakhsyari mempersyaratkan bahwa Rasul harus memiliki kitab suci tersendiri. Adapun Al-Baidhowi tidak mempersyaratkan kitab suci, beliau hanya mempersyaratkan adanya syariát yang baru.
([12]) Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah di An-Nubuwwaat 2/719-720
([13]) Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata :
فَالنَّبِيُّ هُوَ الَّذِي يُنَبِّئُهُ اللهُ، وَهُوَ يُنْبِىءُ بِمَا أَنْبَأَ اللهُ بِهِ؛ فَإِنْ أُرْسِلَ مَعَ ذَلِكَ إِلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرَ اللهِ لِيُبَلِّغَهُ رِسَالَةً مِنَ اللهِ إِلَيْهِ؛ فَهُوَ رَسُوْلٌ
“Nabi adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah, maka ia pun mengabarkan dengan kabar yang Allah berikan kepadanya. Jika -selain itu- ia juga diutus kepada orang yang menyelisihi perintah Allah untuk menyampaikan risalah Allah kepadanya maka ia adalah Rasul” (An-Nubuwwat 2/714)
([15]) Tafsir At-Thobari 9/539. Hal serupa juga diutarakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 3/332
([16]) Tafsir Ibnu Katsir 5/454
([17]) Tafsir As-Sa’di hal 546
([18]) al-Aqidah at-Thahawiyah, hal 81 no 98 (tahqiq Al-Albani)
([20]) Al-Mufhim 6/217, juga dinukil oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 1/221
([21]) Dinukilkan oleh Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa 2/221
([22]) Abu Ábdillah Muhammad bin Ali Al-Hakim at-Tirmidzi (wafat 320 H), ia menulis sebuah kitab dengan judul خَتْمُ الأَوْلِيَاءِ “Khotmul Auliyaa” (penutupan para wali). Dalam kitabnya tersebut ia berkata :
اِعْلَمْ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ اسْمُهُ اصْطَفَى مِنَ الْعِبَادِ أَنْبِيَاءَ وَأَوْلِيَاءَ، وَفَضَّلَ بَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ …وَكَذَلِكَ الأَوْلِيَاءَ فَضَّلَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَخَصَّ مُحَمَّدًا بِمَا لُمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِيْنَ…ثُمَّ خَصَ بِمَا لاَ يُدْفَعُ وَهُوَ خَاتَمُ النُّبُوَّةِ…
Ketahuilah bahwasanya Allah -yang mulia namaNya- telah memilih para nabi dan para wali dari para hamba, dan Allah melebihkan sebagian nabi di atas sebagian yang lain….demikian juga Allah memilih para wali, dan Allah melebihkan sebagian wali di atas sebagian yang lain. Allah mengkhususkan Muhammad dengan memberinya apa yang tidak Allah berikan kepada seorangpun di alam semesta….lalu Allah mengkhususkan Muhammad dengan perkara yang tidak ada tandingannya yaitu beliau adalah penutup para nabi….(Khtomul Awliya’, Al-Hakim At-Tirmidzi, tahqiq : Utsman Ismaíl Yahya, hal 336-338)
Lalu ia berkata :
ثُمَّ لَمَّا قَبَضَ اللهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَيَّرَ فِي أُمَّتِهِ أَرْبَعِيْنَ صِدِّيْقًا بِهِمْ تَقُوْمُ الأَرْضُ وَهُمْ آلُ بَيِتِهِ، فَكُلَّمَا مَاتَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ خَلَّفَهُ مَنْ يَقُوْمُ مَقَامَهُ، حَتَّى إِذَا انْقَرَضَ عَدَدُهُمْ وَأَتَى وَقْتُ زَوَالِ الدُّنْيَا ابْتَعَثَ اللهُ وَلِيًّا اصْطَفَاهُ وَاجْتَبَاهُ وَقَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَأَعْطَاهُ مَا أَعْطَى الأَوْلِيَاءَ وَخَصَّهُ بِخَاتَمِ الْوَلاَيَةِ فَيَكُوْنُ حُجَّةَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى سَائِرِ الأَوْلِيَاءِ…وَكَانَ شَفِيْعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهُوَ سَيِّدُهُمْ …كَمَا سَادَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم الأَنْبِيَاءَ
“Kemudian ketika Allah mewafatkan nabiNya shallallahu álaihi wasallam Allah menjadikan pada umatnya 40 orang siddiq yang dengan mereka tegaklah bumi, dan mereka adalah Ahlu baitNya (namun bukan ahlul bait secara nasab, melainkan ahlul bait adz-Dikir). Setiap kali salah seorang dari mereka wafat maka Allah menggantikannya siapa yang akan menempati posisinya. Hingga tatakal jumah mereka sudah habis, dan telah tiba waktu hilangnya dunia maka Allah mengutus seorang wali yang Allah pilih dan Allah dekatkan dia kepada Allah, lalu Allah memerikan kepadanya apa yang telah Allah berikan kepada para wali, lalu Allah mengkhususkannya sebagai penutup para wali, maka jadilah ia sebagai hujjah Allah pada hari kiamat atas seluruh para wali….maka ia adalah pemberi syafaat bagi mereka ada hari kiamat, dan ia adalah pemimpin mereka….sebagaimana Muhammad shallallahu álaihi wasallam merupakan pemimpin para nabi” (Khotmul Awliyaa hal 344)
Lalu ia berkata menjelaskan perbedaan perwalian dan kenabian :
الْفَرْقُ بَيْنَ النُّبُوَّةِ وَالْوَلاَيَةَ أَنَّ النُّبُوَةَ كَلاَمٌ يَنْفَصِلُ مِنَ اللِه وَحْيًا مَعَهُ رُوْحٌ مِنَ اللهِ …وَمَنْ رَدَّهُ فَقَطٌ كَفَرَ لِأَنَّهُ رَدٌّ كَلاَمِ اللهِ تعَاَلَى، وَالْوَلاَيَةُ لِمَنْ وَلَّى اللهُ حَدَيِثَهُ عَلَى طَرِيْقٍ أُخْرَى فَأَوْصَلَهُ إِلَيْهِ، فَلَهُ الْحَدِيْثُ وَيَنْفَصِلُ ذَلِكَ الْحَدِيْثُ مِنَ اللهِ عَلَى لِسَانِ الْحَقِّ مَعَهُ السَّكِيْنَةُ تَتَلَقَّاهُ السَّكِيْنَةُ الَّتِي فِي قَلْبِ الْمُحّدَّثِ فَيَقْبَلُهُ وَيَسْكُنُ إِلَيِهِ….وَمَا الْفَرْق بَيْنَهُمَا [حديث الله وكلام الله]؟ … الْحَدِيْثُ مَا ظَهَرَ مِنْ عِلْمِهِ الَّذِي بَرَزَ فِي وَقْتِ الْمَشِيْئَةِ فَذَلِكَ حَدِيْثُ النَّفْسِ كَالسِّرِّ، وَإِنَّمَا يَقَعُ ذَلِكَ الْحَدِيْثُ مِنْ مَحَبَّةِ اللهِ تَعَالَى لِهَذَا الْعَبْدِ فَيَمْضِي مَعَ الْحَقِّ إِلَى قَلْبِهِ فَيَقْبَلُهُ الْقَلْبُ بِالسَّكِيْنَةِ، فَمَنْ رَدَّ هَذَا لَمْ يَكْفُرْ بَلْ يُخَيَّبُ وَيَصِيْرُ وَبَالاً عَلَيْهِ وَيَبْهَتُ قَلْبُهُ، لِأَنَّ هَذَا رَدَّ عَلَى الْحَقِّ مَا جَاءَتِ بِهِ مَحَبَّةُ اللهِ مِنْ عِلْمِ اللهِ فِي نَفْسِهِ…وَالأَوَّلُ رَدَّ عَلَى اللهِ كَلاَمَهُ وَوَحْيَهُ وَرُوْحَهُ. فَالْمُحَدَّثُوْنَ لَهُمْ مَنَازِلُ، فَمِنْهُمْ مَنْ أُعْطِيَ ثُلُثَ النُّبُوَّةِ، وَمِنْهُمْ مَنْ أُعْطِيَ نِصْفَهَا، وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ الزِّيَادَةُ حَتَّى يَكُوْنَ أَوْفَرَهُمْ حَظًّا فِي ذَلِكَ مَنْ لَهُ خَتْمُ الأَوْلِيَاءِ
“Perbedaan antara kenabian dan kewalian adalah bahwasanya kenabian merupakan firman (Allah) yang terpisah dari Allah berupa wahyu, yang disertai dengan ruh dari Allah (malaikat Jibril)….dan barang siapa yang menolaknya maka kafir karena ia menolak firman Allah. Adapun kewalian bagi orang yang Allah berikan kepadanya hadits (pembicaraan)Nya melalui cara yang lain, maka Allah menyampaikan haditsnya kepada wali tersebut. Hadits tersebut terpisah dari Allah melalui lisan yang hak, disertai dengan sakinah , maka diterima oleh sakinah yang ada di hati wali (al-muhaddats) tersebut, maka iapun menerimanya dan tenang kepadanya…
Apa perbedaan antara hadits Allah dengan firman Allah?….Hadits Nya merupakan ilmunya yang nampak pada waktu Allah berkehendak, karenanya hadits an-Nafs (bisikan jiwa) seperti rahasia, dan hadits tersebut terjadi karena kecintaan Allah kepada hambaNya tersebut, maka mengalirlah hadits tersebut bersama al-Haq kepada hatinya, maka hatinyapun menerimanya dengan sakinah. Siapa yang menolak ini maka tidaklah kafir akan tetapi ia rugi dan akan menjadi bumerang yang menyerangnya, dan hatinya menjadi mendustakan. Tidak sampai kafir karena hal ini hanyalah merupakan penolakan terhadapa al-Haq yang muncul karena kecintaan kepada Allah berupa ilmu yang ada pada jiwa Allah… adapun yang pertama (kafir) karena merupakan penolakan terhadap fiman Allah, wahyuNya, dan RuhNya.
Maka al-Muhaddatsun (para wali yang diberli hadits oleh Allah) mereka bertingkat-tingkat. Diantara mereka ada yang diberi sepertiga kenabian, diantara mereka ada yang diberi setengah kenabian, dan diantara mereka ada yang diberi kelebihan, hingga yang paling banyak mendapatkan bagian kenabian adalah wali yang memiliki خَتْمُ الأَوْلِيَاءِ “(Khotmul Awliya hal 346-347)
Jelas sekali bahwa al-Hakim At-Tirmidzi berpendapat bahwa para wali juga mendapat sejenis wahyu namun tanpa perantara malaikat Jibril akan tetapi langsung dari Allah, bukan berupa firman Allah akan tetapi pembicaraan jiwa (ilmu Allah) yang Allah curahkan ke hati para wali tersebut. (Lihat kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap akidah “penutup para wali” diantaranya di : Majmu’ al-Fatawa 2/222, 2/231, 11/223, 11/363, 11/373, dan Dar at-Taárudh 5/355)
([23]) Fushush al-Hikam, Ibnu Árobi hal 62-63
([24]) Fushush al-Hikam, Ibnu Árobi hal 63
([27]) HR. Ibnu Majah no. 4308 dan disahihkan oleh Al-Albani
([29]) Dalam riwayat yang lain :
أَحُوسِبَ بِصَعْقَتِهِ يَوْمَ الطُّورِ
“Ataukah Musa sudah dicukupkan dengan pingsannya Musa ketika di peristiwa bukit Tursina” (riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 6/445)
Yaitu ketika di dunia Musa pingsan karena tidak kuat melihat tajalli Allah yang mengakibatkan gunung hancur di bukit Tursina. Hal ini sebagaimana yang Allah kisahkan dalam firmanNya :
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” (QS Al-A’rof : 143)
([30]) HR. Al-Bukhari no 2412 dan Muslim no 2374
([31]) HR. Al-Bukhari no 4630 dan Muslim no 2376
([32]) Sebagaimana ini merupakan pendapat Al-Khottobi (lihat Maáalim As-Sunan 4/309), Ibnu Qutaibah (lihat Takwil Mukhtalaf al-Hadits hal 182), dan Ibnu Taimiyyah (lihat Majmu’ al-Fatawa 14/436, Minhaajus Sunnah 7/256)
([33]) Sebagaimana pendapat Ibnu Katsir dalam tafsirnya 5/87 dan al-‘Aini (lihat Umdatul Qoori 12/251)
([34]) Pendapat ini disebutkan oleh al-‘Aini (lihat Umdatul Qoori 15/221)
([35]) Pendapat ini disebutkan juga oleh al-‘Aini (lihat Umdatul Qoori 15/221) dan al-Qostholani (Lihat Irsyaad As-Saari 5/328)
([37]) HR. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak no. 4166 dan Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman no. 131 dan As-sunan Al-Kubra no. 17711
([38]) Hal ini sebagaimana telah penulis jelaskan di kitab penulis yang berjudul “Mendulah faidah dari kisah para nabi dan rasul”.