Keistimewaan Al-Quran Dibanding Kitab-kitab Suci Sebelumnya
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Berikut ini beberapa keistimewaan al-Qurán yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci sebelumnya :
Pertama : Al-Qurán mudah untuk dihapalkan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qurán untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 17)
Para ulama menjelaskan seperti Al-Qurthubi bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan Al-Qurán mudah untuk dipelajari dari dua sisi([1]):
Sisi pertama adalah mudah untuk dihafal. Kita dapati bukti hal ini bahwa banyak orang yang mudah menghafalkan Al-Qurán, dan ini tidak berlaku pada kitab-kitab sebelumnya. Bahkan di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam tidak ada yang menghafalkan Taurat kecuali beberapa orang di antaranya adalah Nabi Musa ‘alaihissalam, Yuusya’ bin Nun, Nabi Harun ‘alaihissalam, dan Uzair. Ketika kita membaca sejarah tentang mengapa ‘Uzair disebut sebagai anak Allah, akan kita dapati bahwa hal tersebut disebabkan karena ‘Uzair bisa mendikte Taurat dari hafalannya, dan orang-orang yang melihatnya kemudian kagum. Ini menunjukkan bahwa orang-orang di zaman ‘Uzair tidak ada yang menghafal Taurat. Demikian pula di zaman sekarang tidak kita dapati orang-orang yang menghafalkan Injil. Sebaliknya, betapa banyak orang yang tidak bisa berbahasa Arab sama sekali namun mereka bisa menghafalkan Al-Qurán. Yang lebih menakjubkan lagi kita dapati zaman sekarang orang yang terganggu otaknya ternyata bisa menghafalkan Al-Qurán. Oleh karenanya inilah di antara keistimewaan Al-Qurán, yaitu Al-Qurán itu mudah untuk dihafalkan.
Sisi kedua adalah mudah untuk mengambil pelajaran dari Al-Qurán. Kita ketahui bahwa Al-Qurán memiliki beberapa metode dalam menyampaikan pelajaran. Ada dengan metode kisah, ada metode balaghah yang luar biasa, ada metode perumpamaan-perumpamaan, dan metode-metode lainnya. Artinya adalah Al-Qurán bisa untuk semua kalangan, sehingga orang awam yang membaca Al-Qurán juga bisa mendapatkan hidayah. Dan betapa banyak kita lihat orang-orang kafir yang membaca terjemahan Al-Qurán, ternyata bisa mendapat hidayah dan masuk Islam. Kita membenarkan bahwa ada bagian-bagian dari Al-Qurán yang hanya bisa dipahami oleh para ulama, akan tetapi lebih banyak bagian-bagian yang bisa semua orang memahaminya secara global. Oleh karenanya betapa banyak pula kita dapati orang yang membaca Al-Qurán kemudian mereka menangis, tidak lain karena Al-Qurán memang mudah untuk diambil pelajaran, dan ini kemudahan yang berikan dari Al-Qurán.
Ibnu Hajar berkata :
لِأَنَّ حِفْظَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلَ لَمْ يَكُنْ مُتَيَسِّرًا كَتَيَسُّرِ حِفْظِ الْقُرْآنِ الَّذِي خُصَّتْ بِهِ هَذِهِ الْأُمَّةُ
“Karena menghafal Taurat dan Injil tidaklah mudah sebagaimana mudahnya menghafal Al-Qurán yang merupakan kekhususan umat ini” ([2])
Kedua : Al-Qurán adalah mukjizat
Ibnu Katsir berkata :
كَانَتْ مُعْجِزَةُ كُلِّ نَبِيٍّ فِي زَمَانِهِ بِمَا يُنَاسِبُ أَهْلَ ذَلِكَ الزَّمَانِ
“Mukjizat setiap Nabi di zamannya sesuai dengan (apa yang digandrungi) oleh penduduk zaman tersebut” ([3])
Ketika Nabi Muhammad diutus, saat itu orang-orang musyrikin Arab sedang berbangga-bangga dengan syair-syair mereka, bahkan mereka mengadakan berbagai macam lomba syair-syair. Allah Subhanahu wa ta’ala-pun menurunkan mukjizat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan perkara yang sedang mereka gandrungi saat itu yaitu balaghah dan syair. Hal ini seperti tatkala Allah mengutus nabi Yusuf, ketika itu banyak orang yang dikenal dengan ahli menafsirkan mimpi. Namun ketika sang raja bermimpi maka tidak ada seorangpun diantara mereka yang mampu menafsirkan mimpi raja, dan hanya Yusuf ‘alaihis salam yang mampun menafsirkan mimpi raja. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Isa ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Isa ‘alaihissalam dengan mukjizat pengobatan karena pada zaman tersebut sedang ramai masalah pengobatan. Demikian pula di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam yang sedang ramai perkara sihir. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan mukjizat kepada Nabi Musa ‘alaihissalam yang sekilas seperti sihir namun bukan sihir([4]). Oleh karenanya demikianlah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala orang-orang musyrikin sedang saling berbangga-bangga dengan kemampuan mereka dalam balaghah dan syair, maka Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan Al-Qurán yang mengalahkan segala balaghah dan bahasa yang mereka miliki, padahal mereka berbicara dengan huruf-huruf tersebut namun mereka tidak sanggup mendatangkan yang semisal dengan Al-Qurán. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى ٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qurán ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain’.” (QS. Al-Isra’ : 88)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang memberikan tantangan kepada mereka,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qurán itu’. Katakanlah, ‘(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qurán) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar’.” (QS. Hud : 13)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga menantang mereka lagi dengan mengatakan,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu meragukan (Al-Qurán) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23)
Disinilah hakikat mukjizat Al-Qurán yaitu telah datang tantangan dari Allah kepada seluruh manusia akan tetapi mereka tidak mampu untuk mendatangkan yang semisal al-Qurán. Dan tidaklah mukjizat sempurna kecuali jika terpenuhi 3 syarat :
Pertama : Tantangan untuk mendatangkan yang semisalnya dengan tantangan terang-terangan, serta penegasan bahwa tidak akan ada yang mampu mendatangkan yang semisalnya.
Kedua : Terkumpul pada yang ditantang segala faktor yang memotivasi untuk memenuhi tantangan tersebut namun ia tidak mampu. Dalam hal ini orang-orang Quraisy (dan Arab secara umum) ketika itu benar-benar ingin menghancurkan dakwah Nabi yang mengaku bahwa Allah telah menurunkan firmanNya kepada Nabi. Betapa semangatnya mereka untuk membuktikan Nabi adalah seorang pendusta. Dengan demikian faktor yang memotivasi mereka untuk menyambut tantangan mendatangkan semisal al-Qurán sangan kuat. Akan tetapi mereka ternyata tidak mampu.
Ketiga : Tidak ada halangan secara fisik pada mereka untuk menyambut/menjawab tantangan tersebut. Lain halnya kalau mereka dipenjara atau dipotong tangan mereka dan lisan mereka, kenyataannya mereka (kaum Musyrikin Arab) dalam kondisi sehat bahkan dalam kondisi lagi hebat-hebatnya dalam membuat syaír dan prosa-prosa Arab, akan tetapi ternyata mereka tidak mampu mendatangkan semisal Al-Qurán.
Adapun sisi mukjizat al-Qurán([5]) adalah :
Dari sisi bahasanya :
- Al-Qur’an tersusun dengan balaghoh dan fashohah pada tata bahasanya yang ternyata tidak bisa ditiru oleh kaum musyrikin Arab.
- Demikian juga dari sisi al-Qurán tidak sama dengan syaír dan tidak pula sama dengan prosa-prosa bahasa Arab.
Dari sisi kandungan (konten) al-Qurán yang berisi banyak hal yang menakjubkan, diantaranya :
- Dari sisi informasi-informasi sains yang baru bisa diketahui oleh manusia kebenarannya setelah ratusan tahun kemudian atau setelah lebih dari seribu tahun.
- Dari sisi informasi yang detail tentang kisah-kisah umat terdahulu padahal Nabi adalah seorang yang tidak bisa baca dan tulis, dan hanya tinggal di hijaz diantara kaum yang juga kebanyakannya adalah tidak bisa baca dan tulis serta jauh dari kemoderenan.
- Meski jumlah ayatnya lebih dari 6000 ayat, akan tetapi tidak ditemukan kontradiksi sama sekali dalam kandungan Al-Qur’an.
- Begitu banyak pendalilan secara akal dalam Al-Qur’an yang menakjubkan.
Dari sisi pengaruhnya :
- Sungguh Al-Qur’an adalah kitab sebaik-baik nasehat, nasehat dengan berbagai metode.
- Pengaruh yang luar biasa yang membuat begitu banyak orang trenyuh dan menangis tatkala mendengar lantunan ayat-ayatnya. Betapa banyak juga orang masuk Islam karena hanya sekedar membaca Al-Qur’an atau mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an.
Sesungguhnya sisi-sisi mukjizat al-Qurán banyak. As-Suyuthi telah mengumpulkan 35 sisi mukjizat Al-Qurán dalam kitabnya مُعْتَرَكُ الأَقْرَانِ فِي إِعْجَازِ الْقُرْآنِ (Mu’tarak al-Aqron fi I’jaaz al-Qurán).
Diantara kesalahan para ahlul kalam dalam permasalahan ini adalah :
Pertama : Mereka hanya membatasi mukjizat al-Qurán pada satu atau sebagian sisi saja. Ibnul Qoyyim berkata :
فَتَأَمَّلْ هَذَا الْمَوْضِعَ مِنْ إِعْجَازِ الْقُرآنِ تَعْرِفْ فِيْهِ قُصُوْرَ كَثِيْرٍ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ وَتَقْصِيْرِهِمْ فِي بَيَانِ إِعْجَازِهِ وَأَنَّهُمْ لَنْ يُوَفُّوْهُ عُشُرَ مِعْشَارِ حَقِّهِ حَتَّى قَصَّرَ بَعْضُهُمْ الإِعْجَازَ عَلَى صَرْفِ الدَّوَاعِي عَنْ مُعَارَضَتِهِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا وَبَعْضُهُمْ قَصَّرَ الإِعْجَازَ عَلَى مُجَرَّدِ فَصَاحَتِهِ وَبَلاَغِتِهِ وَبَعْضُهُمْ عَلَى مُخَالَفَةِ أُسْلُوْبِ نَظْمِهِ لِأَسَالِيْبِ نَظْمِ الْكَلاَمِ وَبَعْضُهُمْ عَلَى مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنَ الإِخْبَارِ باِلغُيُوْبِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الأَقْوَالِ الْقَاصِرَةِ الَّتِي لاَ تَشْفِي وَلاَ تُجْدِي وَإِعْجَازُهُ فَوْقَ ذَلِكَ وَوَرَاءَ ذَلِكَ كُلِّهِ
“Renungkanlah pembahasan ini mengenai mukjizat-mukjizat al-Qur’an maka engkau akan tahu betapa kurangnya sikap banyak dari ahli kalam dalam menjelaskan mukjizat al-Qur’an. Mereka tidak bisa memenuhi 1/100 dari hak al-Qur’an. Sampai-sampai sebagian mereka hanya membatasi mukjizat al-Quran pada sikap Allah yang memalingkan manusia dari keinginan untuk menentang al-Qur’an padahal manusia mampu untuk menentang al-Qur’an. Sebagian yang lain membatasi mukjizat al-Qur’an pada sekedar kefashihan dan balaghohnya. Sebagian lagi membatasi hanya pada sisi susunan al-Qur’an yang menyelisihi susunan/prosa orang-orang Arab. Sebagiannya lagi hanya membatasi pada sisi al-Qur’an mengabarkan tentang penkabaran tentang perkara-perkara ghaib, dan seterusnya dari penjelasan-penjelasan yang kurang (tentang mukjizat al-Qur’an) yang tidak memuaskan. Padahal mukjizat al-Qur’an jauh lebih tinggi dari itu semua” ([6])
Kedua : Mereka meyakini akidah الصَّرْفَةُ (As-Shorfah) yaitu Allah men-sharf- (memalingkan) manusia dari mendatangkan semisal al-Qurán, padahal seharusnya mereka mampu.
Maksud dari akidah ini adalah pada hakikatnya al-Qurán sendiri -dari sisi susunannya- bukanlah hal mukjizat, karena setiap orang Arab bisa mengucapkan sebagian isi al-Qurán, setiap orang Arab bisa mengarang sebagian dari isi al-Qurán, sebagaimana setiap orang Arab bisa mengucapkan huruf-huruf hijaiyah yang merupakan perangkai al-Qurán, maka seharusnya mereka juga bisa menyusun yang semisal al-Qurán hanya saja Allah memalingkan mereka dari kemampuan untuk mengarang yang semisal al-Qurán. Yang pertama kali dikenal mencetuskan akidah bidáh ini adalah Abu Ishaq Ibrahim an-Nadzzoom([7]), setelah itu diikuti oleh sebagian ulama Asyaíroh seperti Al-Juwaini ([8]).
Adapun sebab An-Nadzzom berakidah as-Shorfah bisa jadi kembali kepada ushul/pokok-pokok Muktazilah yaitu تَقْدِيْمٌ الْعَقْلِ عَلَى النَّقْلِ (mendahulukan akal dari pada dalil), dan diantara cabang dari pokok ini adalah akidah التَّحْسِيْنُ وَالتَّقْبِيْحُ الْعَقْلِيَّانِ, yaitu akal -secara merdeka- bisa mengenal kebaikan dan keburukan sebelum datangnya syariát. Sehingga semua yang dipandang oleh akal baik maka di sisi Allah juga baik dan dituntut untuk dikerjakan. Sebaliknya semua yang dipandang akal adalah buruk maka di sisi Allah juga buruk dan dituntut untuk ditinggalkan. Kesimpulannya menurut An-Nadzzoom akal memandang tidaklah mustahil bagi orang-orang Arab -yang mereka adalah ahli balaghoh dan fashoohah- untuk bisa menyusun seperti susunan dan rangkaian al-Qurán, hanya saja Allah memalingkan mereka dari kemauan untuk melakukan hal tersebut([9]).
Adapun Ibnu Katsir maka beliau berpendapat bahwa akidah As-Shorfah merupakan cabang dari akidah Muktazilah bahwa al-Qurán adalah makhluk([10]). Al-Muktazilah meyakini bahwa al-Qurán bukanlah sifat dzatiyah yang tegak pada Allah, akan tetapi firman Allah tersebut Allah ciptakan pada makhluk apakah di udara atau yang lainnya sehingga terdengar.
Az-Zamakhsyari berkata :
وَتَكْلِيْمُهُ: أَنْ يَخْلُقَ الْكَلاَمَ مَنْطُوْقًا بِهِ فِي بَعْضِ الأَجْرَامِ كَمَا خَلَقَهُ مَخْطُوْطًا فِي اللَّوْحِ وَرُوِيَ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَسْمَعُ ذَلِكَ الْكَلاَمَ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ
“Dan makna Allah berbicara dengan Musa adalah Allah menciptakan perkataan yang terucap di sebagian benda-benda sebagaimana Allah menciptakan al-Qurán dalam bentuk tulisan di al-Lauh al-Mahfudz. Dan diriwayatkan bahwasanya Musa mendengar perkataan tersebut dari segala arah” ([11])
Al-Qodhi Abdul Jabbar berkata :
مِنْ أَيْنَ لَكَ أَوَّلاً أَنَّ هَذَا كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى دُوْنَ أَنْ يَكُوْنَ كَلَامَ مُحَمَّدٍ أَوْ كَلاَمِ غَيْرِهِ؟
“Yang pertama : Dari mana engkau tahu bahwasanya ini adalah firman Allah bukan perkataan Muhammad atau perkataan selainnya? ([12])
Karenanya jika al-Qurán adalah makhluk maka tidak ada bedanya dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Dengan demikian kaum Arab -yang merupakan makhluk- mampu untuk membuat susunan yang seperti susunan prosa Al-Qurán hanya saja Allah memalingkan mereka sehingga tidak menyusun yang semisal al-Qurán([13]).
Ketiga : Al-Qurán adalah Muhaimin
Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan hakim terhadap kitab-kitab yang lain itu (QS Al-Maidah : 48)
Adapun makna al-Qurán sebagai Muhaimin adalah sebagai أَمِيْنًا (kepercayaan), شَهِيدًا (saksi), dan حَاكِمًا (Hakim) ([14]) bagi kitab-kitab suci terdahulu. Maksudnya adalah al-Qurán sebagai saksi akan kebenaran kitab-kitab suci terdahulu pernah diturunkan kepada para nabi sebelumnya. Al-Qurán mengkokohkan isi kandungan kitab-kitab suci sebelumnya tentang tauhid dan hari akhir, bahkan Al-Qurán menambah penjelasan yang lebih rinci. Demikian juga al-Qurán menjadi kepercayaan kitab-kitab suci sebelumnya, maka apa saja yang menyelishi al-Qurán maka al-Quránlah yang penentu. Al-Qurán menjelaskan akan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada kitab-kitab suci sebelumnya. Dan Al-Qurán sebagai Hakim yaitu al-Qurán menetapkan hukum-hukum kitab suci sebelumnya yang masih berlaku dan memansukh-kan sebagian hukum-hukum yang ada pada kitab-kitab suci sebelumnya([15]).
Keempat : Al-Qurán terjaga keautentikannya.
Berbeda dengan-kitab-kitab sebelumnya, Al-Qur’an mendapat jaminan penjagaan dari Allah ﷻ langsung. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Diantara bentuk penjagaan Allah kepada al-Qurán adalah Allah memudahkan al-Qurán untuk dihafal di dada-dada kaum muslimin. Allah berfirman :
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim (QS Al-Ánkabut : 490
Demikian juga diantara bentuk penjagaan Allah adalah al-Qurán tidak bisa ditambah-tambah dan dikurang-kurangi. Allah berfirman
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fusshilat : 42)
Adapun kitab-kitab sebelumnya, Allah ﷻ memerintahkan manusia untuk menjaganya. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kenyataannya, mereka menyelisihi perintah Allah ﷻ tersebut sehingga terjadilah banyak penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah:
- Ayat dilupakan.
Allah ﷻ berfirman,
وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ
“Dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (QS. Al-Maidah: 13)
Disebutkan pada ayat ini bahwasanya ada ayat-ayat yang dilupakan oleh mereka. Ini terjadi karena mereka tidak menghafal ayat-ayat tersebut. Berbeda dengan Al-Qur’an, Allah ﷻ menakdirkan untuk memberi kemudahan bagi umat Islam untuk menghafalnya. Terbukti, bukan orang dewasa saja yang bisa menghafal Al-Qur’an, akan tetapi anak kecil yang belum balig pun Allah ﷻ mudahkan untuk menghafal Al-Qur’an.
- Tafsir secara serampangan.
Allah ﷻ berfirman,
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An-Nisa: 46)
- Menyembunyikan sebagian ayat.
Allah ﷻ berfirman,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.” (QS. Al-Maidah: 15)
Di antara contoh kisah yang menjelaskan hal ini adalah hadits Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu yang menceritakan tentang orang-orang Yahudi yang menyembunyikan ayat rajam.([16])
- Mengarang ayat-ayat baru.
Allah ﷻ berfirman,
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, ‘Ini dari Allah ﷻ’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman,
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran: 78)
Karena empat sebab inilah akhirnya kitab-kitab yang datang sebelum Al-Qur’an mengalami banyak perubahan pada saat ini.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 17/134
([2]) Fathul Baari, Ibnu Hajar 1/25
([3]) Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 2/486
([4]) Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 2/486
([5]) Lihat Al-Jawab As-Shahih Liman Baddala Diin al-Masiih, Ibnu Taimiyyah 5/428
([6]) Badaí al-Fawaid 4/135-136
([7]) Salah seorang tokoh Muktazilah yang wafat 231 H. Diantara murid beliau adalah al-Jaahizh. Al-Jaahizh berkata,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمُ بِالْكَلَامِ وَالْفِقْهِ مِنَ النَّظَّامِ
“Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih berilmu tentang ilmu kalam dan ilmu fikih daripada an-Nadzzoom” (Lihat biografi An-Nadzzoom di فَضْلُ الاِعْتِزَالِ وَطَبَقَاتُ الْمُعْتَزِلَةِ, Al-Qodhi Abdul Jabbar hal 241-243 dan Siyar A’laam An-Nubala, Adz-Dzahabi 10/541-542)
Al-Isfiroyini berkata :
وَمِنْ فَضَائِحِهِ قَوْلُهُ فِي الْقُرْآنِ أَنَّهُ لَا مُعْجِزَةَ فِي نَظْمِهِ
“Dan diantara aib nya An-Nadzzom adalah pendapatnya tentang al-Qurán bahwasanya al-Qurán tidak ada mukjizatnya dari sisi susunannya” (At-Tabshiir fi ad-Diin hal 72)
Abul Hasan Al-Asyári berkata :
وَقَالَ النَّظَّامُ: الآيةُ وَالأُعْجُوْبَةُ فِي الْقَرْآنِ مَا فِيْهِ مِنَ الإِخْبَارِ عَنِ الْغُيُوْبِ فَأَمَّا التَّأْلِيْفُ وَالنَّظْمُ فَقَدْ كَانَ يَجُوْزُ أَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ الْعِبَادُ لَوْلاَ أَنَّ اللهَ مَنَعَهُمْ بْمَنْعٍ وَعَجْزٍ أَحْدَثَهُمَا فِيْهِمْ
“An-Nadzzom berkata : Ayat dan keajaiban di al-Qurán adalah tentang pengkabaran akan perkara-perkara ghaib. Adapun rangkaian dan susunan ayat-ayat maka para hambu untuk melakukannya hanya saja Allah yang mencegah mereka dengan pencegahan dan ketidakmampuan yang Allah ciptakan kepada mereka” (Maqoolaat al-Islaamiyiin, Abul Hasan al-Asyári hal 225, sebagaimana Asy-Syaristani juga menukil perkataan an-Nadzzoom di Al-Milal wa An-Nihal 1/56-57)
Menurut sebagian ulama bahwasanya An-Nadzzom meyakini akidah as-Shorfah karena terpengaruh dengan pemikiran kaum Hindu dari India. Hal ini karena menurut para ulama Hindu bahwasanya Brahma menjadikan manusia tidak mampu untuk membuat seperti kitab suci Weda yang merupakan kumpulan dari syaír-syaír yang tidak seperti perkataan manusia pada umumnya. Adapun pemikiran India masuk ke kaum muslimin di zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur (wafat 156 H) (Lihat : al-Mukjizat al-Kubro al-Qurán, Muhammad Abu Zahroh 1/57-58). Hal ini juga telah diisyaratkan oleh Abdul Qohir la-Baghdadi ketika membicarakan firqoh An-Nadzzomiyah. Beliau berkata :
وَأُعْجِبَ بِقَوْلِ الْبَرَاهِمَةِ بِإِبِطَالِ النُّبُوَّاتِ وَلم يَجْسُر عَلَى إِظْهَارِ هَذَا القَوْلِ خَوْفًا مِنَ السَّيْف فَأَنْكَرَ إِعْجَازَ الْقرْآنِ فِي نَظْمِهِ
“Dan An-Nadzzom kagum dengan pemikiran al-Barohimah (pengikut Brahmana) tentang pengingkaran kenabian, akan tetapi ia tidak berani menampakannya karena takut pedang (dibunuh), maka iapun mengingkari mukjizat al-Qurán pada sisi susunannya” (Al-Farqu baina al-Firoq hal 114, hal yang sama juga disampaikan oleh Al-Iiji di al-Mawaqif 3/661 tahqiq ‘Umairoh).
([8]) Lihat al-Aqidah an-Nizhomiyyah hal 72-73
([9]) Lihat الْقَوْلُ بِالصَّرْفَةِ فِي إِعْجَازِ الْقُرْآنِ عَرْضٌ وَنَقْدٌ, Abdurrahman Asy-Syihri hal 42-42
وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ أَنَّ الْإِعْجَازَ إِنَّمَا هُوَ مَنْ صَرْفِ دَوَاعِي الْكَفَرَةِ عَنْ مُعَارَضَتِهِ مَعَ إِمْكَانِ ذَلِكَ، أَوْ هُوَ سَلْبُ قُدَرِهِمْ عَلَى ذَلِكَ، فَقَوْلٌ بَاطِلٌ وَهُوَ مُفَرَّعٌ عَلَى اعْتِقَادِهِمْ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ، خَلَقَهُ اللَّهُ فِي بَعْضِ الْأَجْرَامِ، وَلَا فَرْقَ عِنْدَهُمْ بَيْنَ مَخْلُوقٍ وَمَخْلُوقٍ
“Adapun persangkaan para ahli kalam bahwasanya mukjizat al-Qurán hanyalah memalingkan motivasi orang-orang kafir untuk menentang al-Qurán padahal mereka mampu melakukannya (mendatangkan semisal al-Qurán), atau Allah menghilangkan kemampuan mereka untuk melakukanya, maka ini adalah pendapat yang batil dan merupakan cabang dari akidah mereka bahwasanya al-Qurán adalah makhluk yang Allah ciptakan pada sebagian benda. Di sisi mereka (Muktazilah) tidak ada bedanya antara makhluk yang satu dengan yang lainnnya.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah 8/547)
Lalu Ibnu Katsir membantah akidahas-Shorfah ini dengan menjelaskan bahwasanya al-Qurán adalah firman Allah bukan makhluk, Allah berbicara dengan al-Qurán sebagaimana Allah kehendaki. Dan manusia seluruhnya tidak mampu secara hakikatnya untuk mendatangkan semisal al-Qurán meskipun mereka bersatu padu. Al-Qurán memiliki uslub bahasa yang tidak sama dengan uslub bahasa Nabi dan tidak bisa ditiru oleh Nabi. Demikian juga uslub Nabi -yang diberi Jawamiúl kalim- tidak bisa ditiru oleh para sahabat. Lihatlah pula uslub bahasa para salaf tidak bisa ditiru oleh orang-orang di zaman sekarang. (Lihat : Al-Bidayah wa an-Nihayah 8/547-548)
Tentu ini adalah akidah yang batil, karena jika Allah menciptakan perkataanNya pada sesuatu tempat atau makhluk maka perkataan tersebut adalah sifat bagi makhluk/tempat tersebut dan bukan sifat Allah, karena makhluk/tempat tersebutlah yang berbicara. Ibnu Taimiyyah berkata :
فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إذَا خَلَقَ صِفَةً مِنْ الصِّفَاتِ فِي مَحَلٍّ كَانَتْ الصِّفَةُ صِفَةً لِذَلِكَ الْمَحَلِّ وَلَمْ تَكُنْ صِفَةً لِرَبِّ الْعَالَمِينَ… وَإِنَّمَا يَتَّصِفُ الرَّبُّ تَعَالَى بِمَا يَقُومُ بِهِ مِنْ الصِّفَاتِ لَا بِمَا يَخْلُقُهُ فِي غَيْرِهِ مِنْ الْمَخْلُوقَاتِ
“Karena sesungguhnya jika Allah menciptakan suatu sifat diantara sifat-sifat pada suatu tempat maka sifat tersebut menjadi sifat bagi tempat tersebut dan bukan sifat bagi Allah…Hanyalah Allah disifati dengan sifat yang tegak pada Allah bukan sifat yang Allah cipatakan pada selain Allah yaitu pada makhluk yang Allah cipatakan” (Majmu al-Fatawa 12/40-41)
([12]) al-Mughni Fi Abwaab at-Tauhid, Al-Qodi Abdul Jabbar 7/88
([13]) Lihat الْقَوْلُ بِالصَّرْفَةِ فِي إِعْجَازِ الْقُرْآنِ عَرْضٌ وَنَقْدٌ, Abdurrahman Asy-Syihri hal 44-47
([14]) Ketiga makna ini diriwayatkan dari para salaf tentang tafsir “Muhaimin”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/127-128)