Sebab-Sebab Tersebarnya Syirik Dalam Tauhid Uluhiyah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Kesalahan terbesar adalah salah dalam mendefinisikan makna “الله/إِلَاهٌ”. Kita dapati dalam sebagian literatur kaum Asyaíroh pernyataan bahwa laa ilaaha illallah artinya tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah([1]). ini adalah definisi yang kurang karena hanya terbatas pada tauhid ar-Rububiyah. Juga seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa makna إِلَاهٌ dalam kamus terdahulu mengartikannya dengan مَعْبُوْدٌ (yang disembah) bukan خَالِقٌ “yang menciptakan”.
Karena definisi yang salah ini sehingga sebagian orang menyatakan “selama masih meyakini yang mencipta hanya Allah ﷻ maka tidak syirik”. Yaitu selama tidak memberikan “nilai rububiyah” kepada yang diibadahi maka tidaklah terjerumus dalam kesyirikan.
Akibatnya sebagian mereka mengatakan :
- Tidak mengapa meminta kepada batu atau pohon selama tidak meyakini bahwa batu dan pohon tersebut adalah Robb yang menciptakan. Meskipun perbuatan ini merupakan perbuatan sia-sia namun tetap tidak bisa dikatakan sebagai kesyirikan([2]).
- Tidak dikatakan syirik perbuatan sebagaian orang yang meminta kepada penghuni kubur atau beristigasah kepada mayat, meskipun meminta perkara-perkara yang tidak ada yang mampu mengerjakannya kecuali Allah, dengan syarat tidak meyakini bahwa mayat-mayat tersebut menciptakan, akan tetapi hanya meyakini mereka adalah sebab([3]).
Yaitu mereka mempersyaratkan agar bisa dinilai kesyirikan maka harus ada keyakinan yang diibadahi tersebut memiliki rububiyah. Adapun jika sekedar diibidahi tanpa meyakini memiliki rububiyah maka tidak syirik. Kelaziman dari perkataan ini adalah berdoa kepada selain Allah ﷻ, memakai jimat, pergi ke dukun dan lainnya bukanlah perbuatan syirik jika hanya dianggap sebab. Dengan demikian mereka membawa semua nash-nash yang menyatakan bahwa ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan jika meyakini ada selain Allah yang mencipta. Maka menurut mereka :
- Hadits tentang “terlaknatnya orang yang menyembelih kepada selain Allah”, hanya dihukumi syirik jika meyakini ada pencipta selain Allah.
- Hadits “siapa yang meninggal dalam kondisi berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka”, hanya dihukumi syirik jika meyakini ada pencipta selain Allah.
- Ayat tentang syiriknya sekelompok manusia yang meminta perlindungan kepada sekelompok jin, hanya dihukumi syirik jika meyakini bahwa para jin tersebut bisa mencipta sebagaimana Allah bisa mencipta.
- Ayat-ayat tentang kaum musyrikin yang menyembah berhala, mereka hanya bisa dihukumi melakukan keysirikan jika meyakini bahwa berhala-berhala tersebut bisa menciptakan selain Allah.
Jika perkaranya demikian lantas kira-kira kesyirikan apa yang telah dilakukan oleh kaum Ibrahim ketika menyembah berhala, sementara mereka juga mengakui bahwa berhala-berhala yang mereka sembah tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara? ([4]). Apakah dikatakan mereka tetap bertauhid dan tidak berbuat kesyirikan?.
Demikian juga kaum musyirikin Arab, mereka juga mengakui bahwa sesembahan mereka tidak bisa memiliki dan tidak menguasai apa-apa([5]). Lantas apakah mereka tetap dikatakan tidak berbuat kesyirikan?
‘Amr bin Ábasah as-Sulami radhiallahu ánhu berkata :
رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَذَلِكَ أَنَّهَا بَاطِلٌ. فَلَقِيتُ رَجُلا مِنَ الْكُتَّابِ مِنْ أَهْلِ تَيْمَاءَ فَقُلْتُ: إِنِّي امْرُؤٌ مِمَّنْ يَعْبُدُ الْحِجَارَةَ فَيَنْزِلُ الْحَيُّ لَيْسَ معهم إله فيخرج الرَّجُلُ مِنْهُمْ فَيَأْتِي بِأَرْبَعَةِ أَحْجَارٍ فَيَنْصِبُ ثَلاثَةً لِقِدْرِهِ وَيَجْعَلُ أَحْسَنَهَا إِلَهًا يَعْبُدُهُ. ثُمَّ لَعَلَّهُ يَجِدُ مَا هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ فَيَتْرُكُهُ وَيَأْخُذُ غَيْرَهُ إِذَا نَزَلَ مَنْزِلا سِوَاهُ، فَرَأَيْتُ أَنَّهُ إِلَهٌ بَاطِلٌ لا يَنْفَعُ وَلا يَضُرُّ فَدُلَّنِي عَلَى خَيْرٍ مِنْ هَذَا
“Aku tidak tertarik dengan sesembahan-sesembahan kaumku di zaman jahiliyah, hal itu karena sesembahan-sesembahan tersebut adalah batil. Maka aku bertemu dengan seseorang yang pandai menulis dari penduduk Taimaa’, maka aku berkata, “Sesungguhnya aku adalah termasuk yang menyembah batu, maka ada suatu suku yang singgah (di suatu tempat) sementara mereka tidak memiliki sesembahan, maka salah seorang dari mereka pergi lalu kembali dengan membawa 4 batu. 3 batu ia gunakan sebagai penyangga periuknya, adapun batu yang terbagus ia jadikan sebagai sesembahannya. Lalu bisa jadi ia menemukan batu yang lebih baik darinya iapun meninggalkan sesembahan (batunya) yang lama sebelum ia beranjak, lalu ia membawa batu yang lain (untuk dijadikan sesembahan) jika singgah di tempat yang lain. Maka menurutku batu adalah sesembahan yang batil, tidak memberi manfaat dan tidak memberi mudhorot, maka tunjukanlah kepadaku yang lebih baik dari pada ini”([6])
Abu Rojaa’ al-Áthoridi([7]) berkata :
كُنَّا نَعْبُدُ الحَجَرَ، فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ، وَأَخَذْنَا الآخَرَ، فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ، ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُفْنَا بِهِ
“Kami dahulu beribadah (menyembah) batu, maka jika kami mendapatkan batu yang lebih baik maka kami buang batu yang sebelumnya dan kami ambil batu yang baru. Jika kami tidak mendapatkan batu maka kamipun mengumpulkan tanah (untuk menjadi timbunan/gundukan) lalu kami mendatangkan seekor kambing lalu kami perah susunya untuk ditumpahkan ke atas gundukan tanah tersebut, lalu kami thowaf mengelilingi gundukan tanah tersebut” ([8]) .
Coba perhatikanlah dua kisah di atas, apakah masih terbetik dalam benak kita bahwa orang-orang Arab jahiliyah dulu meyakini bahwa batu-batu yang mereka sembah tersebut bisa menciptakan??!!, ataukah perbuatan mereka tetap tidak bisa dikatakan syirik selama tidak meyakini batu yang mereka sembah tersebut bisa mencipta?
Sungguh sebagaian para ulama Asya’iroh terdahulu (mutaqodiimin) telah menjelaskan tentang hakikat ibadah dengan baik. Mereka menjelaskan bahwa yang namanya syirik dalam peribadatan tidak disyaratkan harus meyakini bahwa yang diibadahi bisa menciptaka. Berikut penjelasan sebagian mereka :
Al-Baqillani (wafat 403 H) menjelaskan bahwa yang berhak diserahkan ibadah hanyalah Allah ﷻ semata. Beliau berkata :
التَّوْحِيْدُ لَهُ هُوَ الإِقْرَارُ بِأَنَّهُ ثَابِتٌ مَوْجُوْدٌ وَإِلَهٌ وَاحِدٌ فَرْدٌ مَعْبُوْدٌ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ عَلَى مَا قَرَّرَ بِهِ قَوْلُهُ تَعَالَى (وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ) وقوله (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ)
“Mengesakan Allah adalah mengakui bahwa Allah ada dan merupakan sembahan yang satu, Esa, dan yang diibadahi. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya, sebagaimana yang ditetapkan oleh firman Allah “Dan sembahan kalian adalah sembahan yang Esa, tidak ada sembahan melainkan Dia, Yang Maha pengasih lagi penyayang” dan juga firman Allah “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia maha mendengar lagi maha melihat” ([9])
Beliau juga berkata :
وَيَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ صَانِعَ الْعَالَمِ جَلَّتْ قُدْرُتُهُ وَاحِدٌ أَحَدٌ، وَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَهٌ سِوَاهُ، وَلاَ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْعِبَادَةَ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Dan wajib untuk diketahui bahwasanya Pencipta alam semesta -yang mulia kedudukan-Nya- adalah Satu yang Esa, dan maknanya yaitu tidak ada Tuhan selain-Nya dan tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Dia”([10])
Hanya saja memang kita perhatikan bahwa al-Baqillani tidak memperinci tentang tauhid al-Uluhiyyah demikian juga tidak memperinci tentang model-model kesyirikan dalam tauhid al-Uluhiyyah. Beliau hanya menyebutkan tauhid al-Uluhiyah secara definisi saja tanpa ada penjelasan lebih lanjut, karena setelah itu beliau fokus pada pembahasan tauhid ar-Rububiyah ataupun tauhid al-Asmaa wa as-Shifaat. Hal ini sepertinya karena kesyirikan yang berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyah tidak begitu nampak di masa beliau, Wallahu a’lam.
Al-Halimi (wafat 403 H) berkata tentang doa :
والدُّعاءُ والْجُمْلَةُ مِنْ جُمْلَةِ التَّخَشُّعِ والتَّذَلُّلِ ، لِأَنَّ كُلَّ مَنْ سَأَلَ وَدَعَا فَقَدْ أَظْهَرَ الحاجَةَ وَباحَ بِهَا وَاعْتَرَفَ بِالذِّلَّةِ والْفَقْرِ وَالْفَاقةِ لِمَنْ يَدْعُوه وَيَسْأَلُهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ فِي العَبْدِ نَظيرَ العِبَادَاتِ اَلَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إِلَى اللَّهِ عَزَّ اِسْمُهُ ، وَلِذَلِكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : {اُدْعُونّي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ، إِنَّ اَلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرينَ} فَأَبَانَ الدُّعاءَ عِبادَةً ، والْخائِفُ فِيمَا وَصَفْنَا كَاَلْرّاجي لِأَنَّهُ إِذَا خَافَ خَشَعَ وَذَلَّ لِمَنْ يَخَافُهُ ، وَتَضَرَّعَ إِلَيْهِ فِي طَلَبِ التَّجاوُزِ عَنْهُ .
“Doa secara keseluruhan termasuk bentuk ketundukan dan penghinaan diri, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka dia telah menampakkan rasa butuhnya, mengungkapkan kebutuhannya, serta mengakui akan kehinaannya, kefakirannya, dan kebutuhannya terhadap orang yang dipinta. Hal tersebut seperti ibadah-ibadah yang seorang hamba bertakarub kepada Allah yang maha mulia nama-Nya. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman {Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina} Allah ﷻ menjelaskan bahwa doa adalah ibadah. Orang yang takut sebagaimana yang kami jelaskan seperti orang yang berharap, karena seseorang jika ia takut maka dia akan tunduk, menghinakan dirinya terhadap orang yang ditakuti, dan dia juga akan merendahkan dirinya di hadapan orang yang ditakuti dalam meminta ampunan.” ([11])
Beliau juga berkata :
وَكُلُّ مَا ذَكَرْتُهُ فِي بَابِ الخَوْفِ مِنْ أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكونَ الرَّجاءُ إِلَّا لِلهِ جَلَّ جَلالُهُ إِذَا كَانَ الْمُنْفَرِدُ بِالْمِلْكِ والدّينِ، وَلَا يَمْلِكُ أَحَدٌ مِنْ دونِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا، فَمَن رَجَا مِمَّنْ لَا يَمْلِكُ مَا لَا يَمْلِكُ هوَ مِنْ الجَاهِلِينَ، وَإِذَا عَلَّقَ رَجاءَهُ بِهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَسْأَلَهُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهُ صَغِيرًا وَكَبيرًا، لِأَنَّ الكُلَّ بِيَدِهِ لَا قَاضِيَ لِلْحَاجَاتِ غَيْرِهِ، وَسَؤالُهُ إِنَّمَا يَكونُ بِالدُّعَاءِ
“Dan semua yang aku sebutkan pada bab khauf (takut kepada Allah) bahwa tidak selayaknya rasa harap diberikan kecuali hanya untuk Allah ﷻ. Jika Allah yang maha esa dalam kepemilikan dan agama, dan tidak ada satu pun selain-Nya memiliki manfaat dan mudarat, maka barang siapa yang berharap kepada sesuatu yang dia tidak memiliki apa pun sungguh dia termasuk orang-orang yang bodoh. Dan jika ia menggantungkan rasa harapnya kepada Allah ﷻ maka selayaknya ia meminta kepada-Nya apa yang dia butuhkan baik kecil maupun besar, karena semua itu berada di tangan-Nya, tidak ada selain Allah yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba. Dan permintaan seorang hamba yaitu dengan berdoa.” ([12])
Ar-Razi (wafat 606 H) berkata tentang agungnya ibadah doá :
وَقَالَ الْجُمْهُورُ الْأَعْظَمُ مِنَ الْعُقَلَاءِ: إِنَّ الدُّعَاءَ أَهَمُّ مَقَامَاتِ الْعُبُودِيَّةِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ وُجُوهٌ مِنَ النَّقْلِ وَالْعَقْلِ
“mayoritas pemuka intelektual/cendekiawan berkata: sesungguhnya doa adalah kedudukan penghambaan yang paling penting, banyak sisi-sisi dari naqli dan akli yang menunjukkan hal tersebut.” ([13])
فِي هَذِهِ الْآيَةِ قَالَ: وَإِذا سَأَلَكَ عِبادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَلَمْ يَقُلْ فَقُلْ إِنِّي قَرِيبٌ فَتَدُلُّ عَلَى تَعْظِيمِ حَالِ الدُّعَاءِ مِنْ وُجُوهٍ الْأَوَّلُ: كَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُولُ عَبْدِي أَنْتَ إِنَّمَا تَحْتَاجُ إِلَى الْوَاسِطَةِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الدُّعَاءِ أَمَّا فِي مَقَامِ الدُّعَاءِ فَلَا وَاسِطَةَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ….
وَعَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: «الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ»، وَقَرَأَ وَقالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ. فَقَوْلُهُ: «الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ»، مَعْنَاهُ أَنَّهُ مُعْظَمُ الْعِبَادَةِ وَأَفْضَلُ الْعِبَادَةِ، كَقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ «الْحَجُّ عَرَفَةُ» أَيِ الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ هُوَ الرَّكْنُ الْأَعْظَمُ.
“dalam ayat ini Allah ﷻ berfirman, {Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka (jawablah), ‘Aku dekat}, dan Allah ﷻ tidak mengatakan {maka katakanlah (wahai Muhammad) Aku dekat} ayat ini menunjukkan akan agungnya kedudukan doa dari beberapa sisi, pertama: seakan-akan Allah ﷻ berkata, ‘wahai hamba-Ku, engkau membutuhkan perantara di selain waktu berdoa, adapun dalam berdoa maka engkau tidak membutuhkan perantara antara diri-Ku dan dirimu…
Dan diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda, ‘doa adalah ibadah’, dan beliau membaca firman Allah ﷻ {Rabb kalian berkata, berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan kalian }. Maka sabdanya ‘doa adalah ibadah’ maknanya adalah bahwa doa ibadah yang paling agung dan paling utama, ini seperti sabdanya ‘haji adalah Arafah’ maksudnya wukuf di Arafah adalah rukun yang paling agung.”” ([14])
Ar-Razi juga berkata tentang wajibnya beribadah hanya kepada Allah :
كل ما اتَّخَذَ لِلَّهِ شَرِيكًا فَإِنَّهُ لَا بُدَّ وَأَنْ يَكُونَ مُقَدَّمًا عَلَى عِبَادَةِ ذَلِكَ الشَّرِيكِ مِنْ بَعْضِ الْوُجُوهِ، إِمَّا طَلَبًا لِنَفْعِهِ أَوْ هَرَبًا مِنْ ضَرَرِهِ، وَأَمَّا الَّذِينَ أَصَرُّوا عَلَى التَّوْحِيدِ وَأَبْطَلُوا الْقَوْلَ بِالشُّرَكَاءِ وَالْأَضْدَادِ وَلَمْ يَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ وَلَمْ يَلْتَفِتُوا إِلَى غَيْرِ اللَّهِ فَكَانَ رَجَاؤُهُمْ مِنَ اللَّهِ وَخَوْفُهُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَغْبَتُهُمْ فِي اللَّهِ وَرَهْبَتُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَلَا جَرَمَ لَمْ يَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ وَلَمْ يَسْتَعِينُوا إِلَّا بِاللَّهِ، فَلِهَذَا قَالُوا: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، فَكَانَ قَوْلُهُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَائِمًا مُقَامَ قَوْلِهِ: لَا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ
“Segala sesuatu yang dijadikan sekutu bagi Allah maka sudah pasti sekutu tersebut lebih didahulukan dalam peribadatannya dari beberapa sisi, baik berupa meminta manfaatnya atau terhindar dari mudaratnya. Adapun orang-orang yang kontinu terhadap tauhid dan menolak perkataan tentang menyekutukan Allah ﷻ dan lawan-lawan-Nya, mereka tidak menyembah kecuali Allah ﷻ dan mereka tidak menoleh kepada selain Allah ﷻ maka mereka hanya berharap dan takut kepada Allah, dan mereka hanya mencintai Allah, sudah dipastikan mereka tidak pernah menyembah dan meminta pertolongan kecuali kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya mereka berkata, ‘hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan’, dan ucapan mereka ‘hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan’ menempati kedudukan ‘tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah’.” ([15])
Bahkan sebagian ulama Asyaíroh ada yang mendapati munculnya sebagian model kesyirikan maka mereka pun mengingkari. Di antaranya Ar-Raazi ketika menafsirkan firman Allah :
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. (QS Yunus : 18)
Beliau berkata :
أَنَّهُمْ وَضَعُوا هَذِهِ الْأَصْنَامَ وَالْأَوْثَانَ عَلَى صُوَرِ أَنْبِيَائِهِمْ وَأَكَابِرِهِمْ، وَزَعَمُوا أَنَّهُمْ مَتَى اشْتَغَلُوا بِعِبَادَةِ هَذِهِ التَّمَاثِيلِ، فَإِنَّ أُولَئِكَ الْأَكَابِرَ تَكُونُ شُفَعَاءَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّه تَعَالَى، وَنَظِيرُهُ فِي هَذَا الزَّمَانِ اشْتِغَالُ كَثِيرٍ مِنَ الْخَلْقِ بِتَعْظِيمِ قُبُورِ الْأَكَابِرِ، عَلَى اعْتِقَادِ أَنَّهُمْ إِذَا عَظَّمُوا قُبُورَهُمْ فَإِنَّهُمْ يَكُونُونَ شُفَعَاءَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّه
“sesungguhnya mereka membuat patung-patung dan berhala-berhala dalam bentuk nabi-nabi dan pembesar-pembesar mereka, dan mereka menyangka kapan pun mereka menyibukkan diri dengan peribadatan patung-patung ini maka sesungguhnya patung pembesar-pembesar tersebut menjadi syafaat untuk mereka di sisi Allah ﷻ. Dan yang serupa dengannya di zaman sekarang adalah sibuknya kebanyakan orang dalam mengagungkan kuburan pembesar-pembesar mereka dengan keyakinan bahwa jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan tersebut maka para pembesar itu akan menjadi syafaat untuk mereka di sisi Allah ﷻ.”([16])
Abu Syamah (wafat 665 H) berkata :
ثُمَّ هَذِهِ البِدَعُ المُسْتَقْبَحَةُ والْمُحْدَثاتُ تَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ قِسْمٌ تَعْرِفُ العامَّةُ وَالخَاصَّةُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إِمَّا مُحَرَّمَةٌ وَإِمَّا مَكْروهَةٌ وَقِسْمٌ يَظُنُّهُ مُعْظَمُهُمْ إِلَّا مَنْ عُصِمَ عِباداتٍ وَقُرَبًا وَطاعاتٍ وَسُنَنًا
فَاَمّا فالْقِسْمُ الأَوَّلُ فَلَا نُطيلُ بِذِكْرِهِ إِذْ قَدْ كَفينا مُؤْنَةَ الكَلامِ فِيه لِاعْتِرافِ فاعِلِهِ اَنْهُ لَيْسَ مِنْ الدّينِ لَكِنْ نُبَيِّنُ مِنْ هَذَا القِسْمِ مِمَّا وَقَعَ فِيه جَماعَةٌ مِنْ جُهّالِ العَوامِّ النّابِذينَ لِشَريعَةِ الاسِّلامِ التّارِكينَ الأَئِمَّةَ الدّينِ والْفُقَهاءِ وَهُوَ مَا يَفْعَلُهُ طَوائِفُ مِنْ المُنْتَمِينَ الَى الفَقْرِ اَلَّذِي حَقيقَتُهُ الْافْتِقَارُ مِنْ الْإيمَانِ مِنْ مُؤاخاةِ النِّساءِ الأَجانِبِ والْخَلْوَةِ بِهِنَّ واعْتِقادُهُمْ فِي مَشايِخَ لَهُمْ ضّالّينَ مُضِّلِينَ يَأْكُلُونَ فِي نَهارِ رَمَضانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَيَتْرُكُونَ الصَّلاةَ وَيُخامِرونَ النَّجَسَاتِ غَيْرَ مُكْتَرِثينَ لِذَلِكَ فَهْمْ داخِلونَ تَحْتَ قَوْلِهِ تَعَالَى {أَمْ لَهُمْ شُرَكاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنْ الدّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ}
وَبِهَذِهِ الطُّرُقِ وَأَمْثالِها كَانَ مَبَادَئ ظُهورِ الكُفْرِ مِنْ عِبادَةِ الأَصْنامِ وَغَيْرِها وَمِن هَذَا القِسْمِ أَيْضًا مَا قَدْ عَمَّ الْابْتِلَاءُ بِهِ مِنْ تَزْيينِ الشَّيْطانِ لِلْعَامَّةِ تَخْليقَ الْحِيطَانِ والْعَمَدِ وَسَرْحَ مَواضِعَ مَخْصوصةٍ فِي كُلِّ بَلَدٍ يَحْكِى لَهُمْ حَاكٍ أَنَّهُ رَأَى فِي مَنامِهِ بِهَا أَحَدًا مِمَّنْ اشْتُهِرَ بِالصَّلَاحِ والْولايَةِ فَيَفْعَلُونَ ذَلِكَ وَيُحافِظونَ عَلَيْهُ مَعَ تَضْييعِهِمْ فَرائِضَ اللَّهِ تَعَالَى وَسُنَنَهُ وَيَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُتَقَرِّبونَ بِذَلِكَ ثُمَّ يَتَجَاوَزُونَ هَذَا الَى أَنْ يُعَظَّمَ وَقَعَ تِلْكَ الأَمَاكِنُ فِي قُلوبِهِمْ فَيُعَظِّمُونَهَا وَيَرْجونَ الشِّفاءَ لِمَرْضاهم وَقَضاءَ حَوائِجِهِمْ بِالنَّذْرِ لَهُمْ وَهِيَ مِنْ بَيْنِ عُيونٍ وَشَجَرٍ وَحائِطٍ وَحَجَرٍ
وَفِي مَدينَةِ دِمَشْقَ صَانَهَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ مَواضِعُ مُتَعَدِّدَةٌ كَعُوينَةِ الحُمَّى خارِجَ بَابِ توْما وَالعَمُودِ المُخَلَّقِ داخِلَ بَابِ الصَّغيرِ والشَّجَرَةِ المَلْعُونَةِ اليابِسَةِ خارِجَ بَابِ النَّصْرِ فِي نَفْسِ قارِعَةِ الطَّريقِ سَهَّلَ اللَّهُ قَطْعَها وَاجْتِثاثَها مِنْ أَصْلِها فَمَا أَشْبَبَها بِذَاتِ أَنواطِ الوارِدَةِ فِي الحَديثِ اَلَّذِي رَوَاه مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ وَسُفْيانُ بْنُ عَبينَةَ عَنْ الزُّهْريِّ عَنْ سِنَانٍ بْنِ سِنَانٍ عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِي قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الى حُنَيْنٍ وَكَانَتْ لِقُرَيْشٍ شَجَرَةٌ خَضْراءُ عَظيمَةٌ يَأْتُونَهَا كُلَّ سَنَةٍ فَيُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا سِلاحَهُمْ وَيَعْكُفونَ عِنْدَهَا وَيَذْبَحُونَ لَهَا وَفِي رِوايَةٍ خَرَجْنَا مَعَ النَّبيِّ ( صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ) قِبَلَ حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حَديثُو عَهْدٍ بِكُفْرٍ وَلِلْمُشْرِكِينَ سِدْرَةٌ يَعْكُفونَ عِنْدَهَا ويَنوْطُونَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقالُ لَهَا ذَاتُ أَنواطٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا يَا رَسولَ اللَّهِ وَفِي الرِّوايَةِ الأُولَى وَكَانَتْ تُسَمَّى ذَاتَ نُوَاطٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ بِشَجَرَةٍ عَظيمَةٍ خَضْراءَ فَتَنادينا مِنْ جَنْبَتَي الطَّريقِ وَنَحْنُ نَسيرُ الَى حُنَيْنٍ يَا رَسولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنواطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنواطٍ فَقَالَ النَّبيُّ ( صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ) اللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا كَمَا قَالَ فوْمُ مُوسَى لِمُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهُهُ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلونَ لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِي بِلَفْظٍ آخَرَ وَالمَعْنَى واحِدٌ وَقَالَ حَديثٌ حَسَنٌ صَحيحٌ
قَالَ الإِمامُ أَبُو بَكْرٍ الطُرْطُوْسِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتابِهِ المُتَقَدِّمِ ذِكْرُهُ فَانْظُرُوا رَحِمَكُمْ اللَّهُ أَيْنَمَا وَجَدْتُمْ سِدْرَةً أَوْ شَجَرَةً يَقْصِدُهَا النّاسُ وَيُعَظِّمونَ مِنْ شَأْنِها وَيَرْجونَ البُرْءَ والشِّفاءَ مِنْ قِبَلِها ويَنُوطُونَ بِهَا اَلْمَساميرَ والْخِرَقَ فَاقَطَعُوهَا فَهِيَ ذَاتُ أَنواطٍ
“Kemudian bidah-bidah yang buruk dan dibuat-buat ini terbagi menjadi dua bagian, bagian yang diketahui oleh orang awam dan orang khusus bahwa itu adalah bidah, baik hukumnya haram ataupun makruh. Dan bagian yang disangka oleh kebanyakan orang -kecuali yang Allah jaga- merupakan ibadah, takarub, ketaatan, dan sunah-sunah.
Adapun bidah jenis pertama maka kami tidak akan memperpanjang dalam penyebutannya, di mana kami telah cukupkan pembahasan ini dengan pengakuan pelakunya bahwa hal itu bukan termasuk dari agama. Akan tetapi kami akan menjelaskan dari bidah jenis ini yang sekelompok orang awam yang bodoh terjerumus ke dalamnya, mereka mencampakkan syariat Islam serta meninggalkan para imam ahli fikih agama Islam. Bidáh tersebut yaitu yang dilakukan oleh kelompok yang menisbahkan diri mereka kepada kefakiran/kemiskinan -yang hakikatnya mereka miskin keimanan- , yaitu mereka menjalin hubungan dengan wanita-wanita yang bukan mahram mereka, lantas berkhalwat dengan mereka. Demikian juga keyakinan mereka tentang (maksumnya -pent-) syekh-syekh mereka yang sesat dan menyesatkan di mana mereka makan di siang hari pada bulan Ramadan tanpa uzur, mereka meninggalkan salat, dan mereka bergelimang dengan najis-najis tanpa peduli dengan hal tersebut. Mereka ini masuk ke dalam firman Allah “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura: 21).
Cara-cara ini dan semisalnya merupakan asal-muasal munculnya kekufuran berupa peribadatan kepada patung-patung dan lainnya.
Diantara jenis bidáh ini adalah yang telah tersebar fitnahnya yaitu berupa tipu daya setan kepada orang-orang awam dengan memberi minyak wangi pada dinding-dinding dan tiang-tiang serta menghiasi/menerangi lokasi-lokasi tertentu di setiap kota. Seseorang menghikayatkan kepada mereka bahwa ia melihat dalam mimpinya di tempat tersebut ada seorang yang dikenal akan kesalehan dan kewaliannya, maka mereka pun melakukan hal tersebut (yaitu memberi minyak wangi pada dinding-dinding dan tiang-tiang serta menghiasi/menerangi tempat-tempat yang dikhususkan tersebut), mereka menjaga perbuatan mereka tersebut padahal mereka meninggalkan perkara-perkara yang Allah wajibkan ﷻ dan sunah-sunah Nabi. Mereka menyangka bahwa mereka telah melakukan takarub dengan hal tersebut. Lalu mereka melampaui hal ini hingga mengagungkan lokasi-lokasi tersebut dalam hati mereka. Mereka pun mengagungkannya dan mengharapkan dari tempat-tempat tersebut kesembuhan bagi orang-orang yang sakit. Mereka berharap kebutuhan-kebutuhan mereka terpenuhi dengan bernazar untuk lokasi-lokasi tersebut. Lokasi-lokasi (yang mereka agungkan) tersebut antara lain berupa mata air, pohon, dinding, dan batu.
Di kota Damaskus -semoga Allah ﷻ menjaganya dari hal tersebut- terdapat bermacam-macam lokasi yang diagungkan seperti Uwaina Al-Humma yang berada di luar pintu Toma, al’amud (tiang) yang diberi minyak wangi yang berada di dalam pintu Ash-Shaghir, pohon kering yang terlaknat yang berada di luar pintu An-Nashr yaitu di tengah jalan yang banyak dilalui orang -semoga Allah ﷻ memudahkan untuk memotong dan mencabutnya dari akarnya-. Sungguh betapa miripnya itu semua dengan dzaatu anwaath yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dan Sufyan bin Uyainah dari Az-Zuhri dari Sinan bin Sinan dari Abu Waqid Al-Alaitsi dia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ ke Hunain, dan orang-orang Quraisy memiliki pohon hijau yang besar, mereka mendatanginya setiap tahun dan menggantungkan di pohon tersebut senjata-senjata mereka, mereka berdiam diri di sisinya, dan menyembelih untuknya”.
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “Kami keluar Nabi Muhammad ﷺ menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam, dan orang-orang Musyrik memiliki pohon bidara yang mereka berdiam diri di sisinya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut. Pohon tersebut dikenal dengan dzaatu anwaath. Lalu kami melewati sebuah pohon bidara, maka kami berkata: ‘wahai Rasulullah…’”.(Dan pada riwayat pertama disebutkan, pohon tersebut dinamakan dengan dzaatu anwaath). Lalu kami melewati sebuah pohon bidara, sebuah pohon besar yang hijau, maka kami saling memanggil dari dua sisi jalan sedangkan kami sedang berjalan menuju Hunain, kami berkata, “Wahai Rasulullah jadikan untuk kami dzaatu anwaath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki dzaatu anwaath !”. Maka Nabi ﷺ menjawab: “Allahu akbar, ini seperti apa yang dikatakan kaum Nabi Musa kepada Musa buatkan untuk kami sembahan sebagaimana mereka memiliki sembahan-sembahan, sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh” (QS Al-A’rof : 138). Sungguh kalian akan mengikuti contoh-contoh sebelum kalian”.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan lafal yang lain namun maknanya satu, dan dia menyatakan hadits ini hasan sahih.
Imam Abu Bakar At-Thurthusi rahimahullah berkata di dalam kitabnya yang telah lalu penyebutannya, “Lihatlah oleh kalian rahimakumullah di mana pun kalian mendapatkan sebuah pohon bidara atau pohon apapun yang orang-orang mendatanginya, mengagungkannya, mengharapkan kesembuhan dari pohon tersebut, dan menggantungkan paku-paku dan kain-kain maka tebanglah pohon tersebut karena ia adalah dzaatu anwaath.” ([17])
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Abul Hasan al-Asyári berkata :
فَأَخَصُّ وَصْفِهِ تَعَالَى هُوَ: الْقُدْرَةُ عَلَى الاِخْتِرَاعِ…وَهَذَا هُوَ تَفْسِيْرُ اسْمِهِ تَعَالَى الله
“Maka sifat terkhusus Allah taála adalah kekuasaan untuk menciptakan…dan inilah tafsir dari nama-Nya taála yaitu Allah” (Al-Milal Wa An-Nihal 1/100).
([2]) Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Khumaini, ia berkata :
فَطَلَبُ الْحَاجَةِ مِنَ الْحَجَرِ أَوِ الصَّخْرِ لَيْسَ شِرْكًا وَإِنْ يَكُنْ عَمَلاً بَاطِلاً
“Maka meminta hajat kepada batu bukanlah kesyirikan meskipun merupakan perbuatan yang sia-sia” (Kasyf al-Asror hal 49)
Dan masih banyak daí-daí yang pemikirannya sama dengan yang seperti ini (sebagaimana dinukil di kitab دَعَاوَى الْمُنَاوِئِيْنَ لِدَعْوَةِ الشَّيِخِ مُحَمَّد بْنِ عَبْدِ الوَهَّابِ, Dr Abdulaziz Alu Abdillathif, hal 252-257)
([3]) Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Muhammad bin Álawi al-Maliki, ia berkata :
أَنَّهُ لاَ يَكْفُرُ الْمُسِتَغِيْثُ إِلاَّ إِذَا اعْتَقَدَ الْخَلْقَ وَالإِيْجَادَ لِغَيْرِ اللهِ
“Sesungguhnya tidaklah kafir seseorang yang beristighotsah (kepada selain Allah) kecuali meyakini selain Allah bisa mencipta” (Mafahiim Yajibu An Tushohhah hal 191)
Juga dinyatakan oleh Habib Munzir al-Musawa. Ia berkata :
“Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya.” (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)
([4]) Hal ini sebagaimana sangat jelas dalam firman Allah berikut :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ، قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ، قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ، أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ، قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ، قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ، أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ، فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ، الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ، وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ، وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ، وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?. Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?. karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam, (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (QS Asy-Syu’aro : 69-81)
Perhatikanlah ketika Ibrahim bertanya kepada kaumnya, “Apakah sesembahan-sesembahan kalian bisa memberi manfaat dan mudhorot?”. Mereka ternyata mengakui bahwa memang sesembahan mereka tidak bisa memberi manfaat dan mudhorot, apalagi mau dianggap pencipta. Lantas apakah mereka tidak musyrik?
Bahkan dalam konteks yang lain mereka mengakui bahwa sesembahan mereka tidak bisa berbicara. Allah berfirman :
قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ، قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ، قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ، قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ، قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ، فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ، ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ، قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ، أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mereka (kaum Ibrahim) berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”. Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?. Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara“. Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami (QS Al-Anbiya’ : 59-67)
كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ – قَالَ – فَيَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ» فَيَقُولُونَ إِلاَّ شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
“Dahulu kaum musyrikin berkata: “Labbaik laa syariika laka” (Kami memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu”. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Celaka kalian, sudah cukup-cukup (yaitu jangan disambung lagi-red)”. Maka kaum musyrikinpun berkata (menyambung talbiah mereka-red) : “Kecuali syarikat yang merupakan milikMu, Engkau memilikinya dan dia tidak memiliki apa-apa”. Mereka mengucapkan ini tatkala mereka towaf di ka’bah” (HR Muslim no 2872)
Lihatlah sangat jelas bagaimana kaum musyrikin Arab mengakui Allah sebagai Pencipta dan mengakui bahwa berhala-berhala yang mereka sembah tidak memiliki apa-apa.
([6]) At-Thobaqoot al-Kubro, Ibn Saád 4/164
([7]) Beliau adalah seorang الْمُخَضْرَمُ yaitu seorang yang hidup di zaman Nabi namun tidak melihat Nabi, sehingga tidak digolongkan dalam golongan para sahabat dan tidak juga digolongkan dalam golongan para tabiín.
([8]) Atsar riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya no 4376
Pernyataan Al-Baqillani ini juga sama dengan pernyataan salah seorang ulama Asyairah belakangan yaitu al-Bayjuri. Beliau berkata ketika menjelaskan definisi tauhid :
وَهُوَ إِفْرَادُ الْمَعْبُوْدِ بِالْعِبَادَةِ مَعَ اعْتِقَادِ وَحْدَتِهِ وَالتَّصِدْيْقِ بِهَا ذَاتاً وَصِفَاتٍ وَأَفْعَالاً
“Tauhid adalah mengesakan al-Ma’bud (yang disembah) dalam peribadatan, disertai keyakinan akan ke-esa- anNya dan pembenaran keesaan tersebut baik dalam perkara dzatNya, sifat-sifatNya, maupun perbuatan-perbuatanNya” (Thufatul Muriid hal 18)
([11]) Al-Minhaaj fi Syuáb al-Iman (1/517).
([12]) Al-Minhaaj fi Syuáb al-Iman (1/520).
([13]) Tafsir Ar-Raazi (5/263).
([14]) Tafsir Ar-Raazi (5/264).
([15]) Tafsir Ar-Raazi (1/210).