مَا جَاءَ فِي الْكُهَّانِ وَنَحْوِهِمْ
Tentang Para Dukun dan Yang Semisal
Kata الْكُهَّانُ (al-kuhhaan) adalah jamak dari kata الْكَاهِنُ (al-kaahin) yang bermakna dukun. Dan kata الْكُهَّانُ (al-kuhhaan) juga bermakna sama dengan kata الْكَهَنَةُ (al-kahanah).
Pembahasan bab ini penting karena kita tahu bahwa di tanah air kita terdapat banyak dukun. Bahkan berita yang beredar adalah dukun-dukun di negeri kita di ekspor ke luar negeri karena saking banyaknya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab membawakan bab tentang dukun setelah bab penyihir adalah karena antara dukun dan penyihir memiliki keterkaitan yang sangat erat, meskipun terdapat perbedaan antara sihir dan perdukunan. Persamaan dari keduanya adalah terkadang menggunakan bantuan jin atau syaithan. Sedangkan perbedaannya adalah sihir menggunakan bantuan jin dan syaithan digunakan untuk menyihir sebagaimana telah kita jelaskan seperti membuat khayalan, membuat sakit, membunuh, membuat lumpuh tubuh seseorang, dan lain-lainnya; adapun dukun berkaitan dengan ramalan masa depan, yaitu mereka mengaku mengetahui tentang masa depan. Dan pada pembahasan selanjutnya kita juga akan sebutkan perbedaan antara kaahin dan ‘arraaf.
Telah kita sebutkan bahwa pembahasan ini sangat penting karena di tanah air kita terdapat banyak dukun (peramal). Saking banyaknya, di tanah air kita terdapat banyak paguyuban (perkumpulan) para normal (baca: orang tidak normal). Disamping itu, telah muncul juga website-website yang menawarkan ramalan-ramalan.
Ramalan-ramalan yang ada di zaman sekarang, hampir-hampir tidak tepat lagi, berbeda dengan ramalan-ramalan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang sahih, sesungguhnya para dukun meramal dengan bantuan jin. Sebagaimana telah disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ، فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ – وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ – فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا، فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
“Ketika Allah menetapkan suatu urusan di langit, malaikat lantas meletakkan sayapnya dalam rangka tunduk pada perintah Allah. Firman Allah yang mereka dengarkan itu seolah-olah seperti suara gemerincing rantai di atas batu. Hal ini memekakkan mereka. Apabila rasa takut telah dihilangkan dari hati mereka, mereka mengucapkan, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka menjawab, “Perkataan yang benar. Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Jin-jin pencuri berita itu pun mendengarkan berita itu. Para pencuri berita itu posisinya saling bersusun-susun. Sufyan menggambarkannya dengan memiringkan telapak tangannya dan merenggangkan jari-jemarinya. Jika Jin yang di atas mendengar berita itu, maka segera disampaikan kepada Jin yang berada di bawahnya. Kemudian yang lain juga menyampaikan kepada Jin yang berada di bawahnya hingga sampai kepada tukang sihir dan dukun. Terkadang Jin penyadap berita itu terkena api sebelum sempat menyampaikan berita itu. Terkadang pula Jin itu bisa menyampaikan berita itu sebelum terkena api. Lalu dengan berita yang didengarnya itulah tukang sihir atau dukun menambah dengan seratus kedustaan. Orang-orang yang mendatangi tukang sihir atau dukun pun mengatakan, “Bukankah pada hari ini dan itu, dia telah mengabarkan kepada kita bahwa akan terjadi demikian dan demikian?” Akibatnya, tukang sihir dan dukun itu pun dipercaya karena satu kalimat yang telah didengarnya dari langit.” ([1])
Namun dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa dukun tersebut menambah dengan seratus kedustaan. Sehingga yang terjadi adalah ramalannya sering salah karena adanya kedustaan tersebut. Oleh karenanya jika ada seseorang yang mampu meramal dengan benar, maka yakinlah bahwa dia adalah dukun Asli. Sedangkan jika ramalannya selalu salah, maka dia adalah dukun palsu dan tidak ada hubungannya dengan syaithan (penipu). Maka dari sini kita tahu bahwasanya di antara cara dukun meramal adalah dengan cara mendapatkan berita dari syaithan.
Para ulama menjelaskan bahwa terdapat tiga kondisi terkait mencuri berita dilangit.
- Sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, pencurian berita sangatlah banyak. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dukun,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَا أَحْيَانًا بِشَيْءٍ فَيَكُونُ حَقًّا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تِلْكَ الكَلِمَةُ مِنَ الحَقِّ، يَخْطَفُهَا مِنَ الجِنِّيِّ، فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ، فَيَخْلِطُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
“Wahai Rasulullah, namun terkadang mereka berbicara sesuatu dan benar.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: “Ucapan yang benar itu adalah hasil curian jin, lalu oleh jin diperdengarkan ke telinga wali-wali mereka, lantas mereka tambahi kebenaran itu dengan seratus kebohongan.” ([2])
Oleh karenanya mungkin tatkala kita mendengar ramalan orang-orang terdahulu terkadang ada benarnya, karena berita dari langit mudah untuk dicuri pada zaman dahulu.
- Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka tidak ada pencurian berita yang terjadi. Hal ini dikarenakan wahyu turun, dan tidak boleh ada yang mencuri berita dari langit. Ditakutkan jika berita dari langit dicuri bisa berdampak dengan tercampurnya atau ditambah-tambahnya wahyu yang turun. Oleh karenanya dalam surah Jin, para jin berkata,
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا، وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا
“Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (QS. Al-Jin : 8-9)
Oleh karenanya setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka tidak bisa lagi mencuri berita-berita dari langit.
- Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para ulama mengatakan bahwa para jin bisa melakukan pencurian berita, namun sangat sedikit. Bahkan kata Ibnu Hajar al-Asqolanirahimahullah berkata,
كَادَ يَضْمَحِلُّ
“Hampir-hampir tidak bisa.” ([3])
Akan tetapi kita katakan bahwa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jin masig bisa mencuri berita dari langit. Karena hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa dukun bisa mendengar berita namun ditambah dengan seratus kedustaan.
Oleh karena kenyataannya, saat ini dukun hampir selalu salah dan sangat kecil kemungkinan untuk benar. Berbeda halnya sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ramalan para dukun selalu benar. Oleh karenanya disebutkan dalam buku-buku tafsir, bagaimana Fir’aun diramalkan oleh dukunnya bahwa pada tahun tertentu akan lahir anak dari Bani Israil yang kelak akan menjatuhkan singgasananya, dan ramalan tersebut benar. Akan tetapi kenyataannya saat ini adalah langit tetap dijaga. Adapun jika masih ada jin yang berhasil mendapatkan berita, maka berita yang mereka dapatkan hanya sedikit.
Dari sini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan bab tentang dukun setelah bab tentang sihir. Karena dalam beberapa lafal hadits disebutkan bahwa terkadang penyihir juga meramal. Dan banyak penyihir yang sekaligus dukun, dan dukun sekaligus seorang penyihir. Akan tetapi ada juga yang hanya seorang tukang dukun dan tidak bisa menyihir. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya,
حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ
“Hingga sampai (berita tersebut) kepada tukang sihir dan dukun.” ([4])
Dan dari riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافَا أَوْ سَاحِرًا أَوْ كَاهِنًا فَسَأَلَهُ فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa yang mendatangi orang pintar, atau tukang sihir, atau dukun, kemudian bertanya dan membenarkan apa yang dia katakana, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ([5])
Dukun memiliki beberapa model yang menyebabkan mereka bisa meramal. Di antaranya adalah,
- Dukun yang meramal dengan melihat garis tangan
- Dukun yang melihat dari tanggal lahir yang dikaitkan dengan ilmu astrologi
- Dukun yang meramal dengan melihat golongan darah
- Dukun yang meramal dengan melihat finjan (mangkok) yang berisi kopi atau yang sejenisnya
- Dukun yang meramal dengan kartu
- Dukun yang meramal dengan garis di tanah
- Dukun yang meramal dengan tulisan (tanda tangan)
- Dukun yang meramal dengan tanda lahir
- Dukun yang meramal dengan huruf أبجاد (abjad) – أ، ب، ج، د، ه، و، ز، ح، ط، ي، ك، ل، م،ن، س،ع، ف، ص، ق، ر، ش، ت، ث، خ، ذ، ض، ظ، غ([6])
Huruf-huruf yang termasuk dalam huruf أبجاد ini mewakili angka-angka tertentu. Huruf dan angka tersebut adalah,
أ = 1، ب = 2، ج = 3، د = 4، هـ = 5، و = 6، ز = 7، ح = 8، ط = 9، ي = 10، ك = 20، ل = 30، م = 40، ن = 50، س = 60، ع = 70، ف = 80، ص = 90، ق = 100، ر = 200، ش = 300، ت = 400، ث = 500، خ = 600، ذ = 700، ض = 800، ظ = 900، غ = 1000
Tujuannya dari huruf ini adalah untuk menyusun suatu angka, lalu dikaitkan dengan huruf-huruf ini. Contohnya jika seseorang ingin menulis angkat 765, maka yang tertulis kemudian huruf ح، ز، و. Huruf-huruf ini juga digunakan oleh para ulama untuk menulis tarikh-tarikh. Tatkala para ulama hendak menyebutkan suatu waktu, maka para ulama tidak menyebutkan angka, melainkan menyebutkan huruf-huruf yang mewakili angka-angka karena lebih mudah untuk dihafalkan. ([7]) Penggunaan huruf أبجاد untuk penggunaan seperti ini tidaklah mengapa. Yang jadi masalah adalah tatkala seseorang menggunakan huruf-huruf tersebut, kemudian melakukan tambah dan mengurang, menyusun secara horizontal dan vertikal, kemudian menggunakan rumus tertentu, dan hasilnya dikaitkan dengan ilmu astrologi, kemudian menentukan nasib seseorang atau meramal tentang masa depan. Oleh karenanya ada sebagian para dukun yang menggunakan ilmu abjad ini untuk menentukan nasib orang di kemudian hari([8]).
Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ilmu abjad ini banyak digunakan oleh ahli filsafat untuk meramalkan masa depan. Akan tetapi Ibnu Taimiyah membantah mereka bahkan menantang mereka untuk mubahalah jika mereka bisa meramal masa depan dengan ilmu ini. ([9])
Ibnu Hajar berkata :
وَقد ثَبت عَن ابن عَبَّاسٍ الزَّجْرُ عَنْ عَدِّ أَبِي جَادٍ وَالْإِشَارَةُ إِلَى أَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ السِّحْرِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِبَعِيدٍ فَإِنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ
“Dan telah valid dari Ibnu Ábbas bahwa beliau melarang dari menghitung-hitung huruf Abjad, dan beliau mengisyaratkan bahwa hal itu termasuk dari sihir. Dan hal ini tidaklah jauh dari kebenaran, karena hal ini tidak ada asalnya dalam syairát” ([10]).
- Dukun yang meramal dengan mendapatkan kabar dari kawannya yaitu Jin
Dari 10 sebab di atas, dukun disebut kafir karena dengan dua sebab. Sebab pertama adalah dia meminta bantuan jin. Maka dari sini dukun memiliki kesamaan dengan penyihir, yaitu sama-sama menggunakan bantuan jin. Sebab kedua adalah karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh karenanya meskipun dari sebab pertama hingga ke sembilan tidak ada sangkut pautnya dengan jin, akan tetapi mereka berdalil dengan perkara tersebut untuk meramal masa depan sehingga mereka mengaku mengetahui ilmu ghaib. Padahal sesungguhnya hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengetahui hal-hal yang gaib. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml : 65)
Maka barangsiapa yang mengetahui ilmu gaib, maka mereka kafir karena mengaku menyamai Allah Subhanahu wa ta’ala dalam mengetahui hal-hal gaib.
Ilmu Ghaib
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml : 65)
Ilmu gaib terbagi menjadi dua,
1- Gaib mutlak
Gaib mutlak terbagi menjadi dua,
- Hanya Allah yang tahu dan tidak satu makhlukNya pun yang tahu (Nabi maupun malaikat).
Yang dimaksud dengan ilmu yang mutlak disini adalah tentang kapan hari kiamat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا، فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا، إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
“Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat, “Kapankah terjadinya?” Untuk apa engkau perlu menyebutkannya? Kepada Tuhanmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya).” (QS. An-Nazi’at : 41-45)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 187)
Dan dalil lain adalah hadits yang disebut sebagai hadits Jibril. Ketika itu malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
“Kabarkan kepadaku tentang hari kiamat (kapan terjadinya –pent)?’ Beliau menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” ([11])
Intinya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan malaikat Jibril sendiri tidak tahu kapan terjadinya hari kiamat. Maka jika manusia terbaik yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui, dan malaikat terbaik yaitu Jibril ‘alaihissalam juga tidak mengetahui, maka apa lagi selain mereka semua. Inilah yang disebut gaib mutlak dan benar-benar mutlak.
- Gaib mutlak namun diberitahukan sedikit kepada Rasul, baik dari manusia maupun malaikat.
Dalil akan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin : 26-27)
Tentang gaib mutlak, para ulama menyebutkan bahwa ada lima perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala kumpulkan firmanNya di akhir surah Luqman. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Luqman : 34)
- Tentang hari kiamat
Telah kita sebutkan sebelumnya bahwa tidak ada yang mengetahui tentang kapan datangnya hari kiamat.
- Menurunkan hujan
Sebagaimana kita sebutkan bahwa ilmu tentang hari kiamat tidak ada yang mengetahui, begitu pula dengan perkara turunnya hujan. Manusia hanya tahu tentang perkiraan turunnya hujan. Akan tetapi perkara memperkirakan turunnya hujan ini bukanlah hal yang gaib, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Alquran,
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf : 57)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan bahwa hujan itu bisa diketahui dengan tanda-tanda yang di antaranya adalah dengan adanya angin atau awan yang mendung. Maka orang yang memperkirakan cuaca bukanlah dukun.
Akan tetapi yang dimaksud dengan perkara turunnya hujan hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah tidak ada yang tahu dimana tepatnya hujan itu turun, dan jumlah kadar air yang jatuh pun tidak ada yang tahu kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya (hujan) melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr : 21)
Maksudnya adalah mungkin seseorang bisa tahu bahwa di daerah Jakarta akan turun hujan. Akan tetapi untuk tempat yang pasti dimanakah hujan itu turun, tidak ada yang tahu, dan jika hujan turun tidak ada yang tahu berapa kadarnya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya perkara hujan yang seperti ini mutlak hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu. Mau menggunakan ilmu apapun, seseorang tidak akan tahu tentang dimanakah tepatnya hujan itu turun, kapan tepatnya hujan itu turun, dan berapa kadarnya.
Para ulama mengatakan, bahwa jika perkara hujan saja kita tidak tahu hakikatnya, maka bagaimana lagi dengan apa yang ada dibalik hujan, yaitu langit beserta hal-hal yang ada di angkasa. Ini menunjukkan bahwa banyak hal yang kita tidak ketahui. Oleh karenanya Allah hanya memperlihatkan sedikit melalu perkara hujan. Sedangkan apa yang ada dibaliknya terdapat banyak hal-hal yang lebih menakjubkan, yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Apa yang ada di dalam rahim
Sekarang orang-orang mengatakan bahwa dia bisa mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim dengan usg. Sebagian mengatakan bahwa sekarang seseorang bisa mengetahui janin di dalam rahim tersebut berkelamin laki-laki atau perempuan. Akan tetapi kita katakan bahwa hal semacam ini adalah perkara yang kecil dan hanya sedikit dari perkara-perkara yang ada di dalam rahim. Akan tetapi untuk melihat jenis kelamin pun masih harus melalu beberapa tahap, dan bahkan juga sering salah. Betapa sering kabar terdengar bahwa ada janin yang di USG berjenis kelamin laki-laki, namun yang lahir kemudian berjenis kelamin perempuan, atau sebaliknya.
Akan tetapi yang Allah jadikan mutlak tidak diketahui kecuali oleh Dia adalah hal-hal secara umum seperti warna kulitnya, rambutnya, hidungnya (fisiknya), rezekinya, dan lain-lain yang juga termasuk jenis kelaminnya. Maka perkara-perkara ini tidak diketahui oleh manusia san hanya menjadi rahasia Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Tidak ada yang mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok
Mungkin seseorang akan berkata bahwa saya tahu apa yang akan terjadi esok hari, di antaranya adalah dia tahu jumlah gaji yang akan diterimanya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya berbicara masalah rezeki, akan tetapi seluruh perkara yang akan kita lakukan keesokan harinya tidak ada yang tahu kecuali Allah. Apakah ada di antara kita yang tahu tentang apa yang akan dia lakukan esok? Memang benar bahwa rencana itu ada, akan tetapi yang kita lakukan secara detil itu tidak akan ada yang tahu. Oleh karenanya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata,
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِي غَدٍ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفِرْيَةَ
“Dan barangsiapa mengklaim bahwa dia (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mampu mengabarkan tentang takdir yang akan terjadi besok, maka sungguh dia telah membesarkan kebohongan terhadap Allah.” ([12])
Yang mengatakan demikian adalah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang paling mengetahui tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hampir setiap hari bersama beliau, akan tetapi beliau mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak tahu tentang ilmu gaib dan masa depan.
Adapun dalil tentang asalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu gaib sangatlah banyak. Di antaranya adalah kisah beliau tidak tahu bahwa beliau diracun tatkala perang khaibar. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf : 188)
Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu gaib. Kalau sekiranya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ilmu gaib, maka tentu beliau tidak akan terkena mudharat berupa racun pada perang khaibar. Demikian juga para Nabi terdahulu tidak mengetahui hal gaib. Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata,
وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“(Nuh berkata) dan aku tidak mengetahui yang gaib.” (QS. Hud : 31)
Kemudian dalil lain adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu kalau ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh berzina. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Bahkan selama sebulan meluasnya isu tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak tahu apakah ‘Aisyah benar-benar berzina atau tidak. Barulah beliau tahu kebenarannya tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firmanNya yang menyatakan bahwa ‘Aisyah tidak berzina.
Kemudian tatkala kalaung ‘Aisyah hilang yang kedua kali, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dimana kalung tersebut berada. Maka pada waktu itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk mencarinya. Seetelah dicari-cari ternyata tidak ketemu. Ketika telah hendak pergi dan para sahabat dan unta-unta berdiri unutk melanjutkan perjalanan, barulah ketahuan bahwa kalung ‘Aisyah ternyata berada di bawah untanya yang diduduki selama semalam. Lihatlah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak tahu keberadaan kalung ‘Aisyah tatkala itu.
Maka jangankan masa depan, masa sekarang pun di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak tahu. Dan ini berlaku bagi Nabi-nabi yang lain. Lihatlah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, anaknya Nabi Yusuf ‘alaihissalam dibuang oleh saudara-saudaranya, namun beliau tidak tahu keberadaannya, beliau mengira bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam meninggal dunia. Akhirnya beliau menangis setiap hari hingga buta. Akan tetapi ternyata Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjadi menteri di Mesir.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memiliki pasukan jin, juga tudak tahu bahwa ada kerajaan di negeri Saba’ yang dipimpin oleh Ratu Bilqis. Yang memberitahukan kepada beliau adalah burung hud-hud. Lihatlah bagaimana pada masa Nabi Sulaiman’alaihissalam sendiri tidak tahu tentang ada kerjaan lain di negeri saba’. Ini menunjukkan bahwa para Nabi tidak tahu ilmu gaib. Dan banyak dalil yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu tentang masa depan.
Oleh karenanya juga tatkala ada budak wanita jariyah yang memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata,
وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ
“Bersama kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera berkata: “Janganlah kamu mengatakan begitu, ucapkan saja syair yang tadi kalian lantunkan” ([13]).
Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan sedikit hal gaib kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada malaikat, sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Nabi. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengatakan,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin : 26-27)
Hanya saja kadar yang diberitahukan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sangat kecil jika dibandingkan dengan imu gaib Allah Subhanahu wa ta’ala yang sangat banyak.
- Tidak ada yang tahu di bumi mana dia akan mati
Para ulama menyebutkan bahwa kelima perkara ini adalah gaib mutlak, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.
2- Gaib nisbi
Gaib nisbi bermakna mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lain. Hal ini bisa berkaitan dengan tempat dan waktu. Contoh dalam tempat adalah, ada seseorang tahu tentang suatu tempat yang orang lain tidak tahu tentang tempat tersebut. Maka orang yang tidak tahu akan tempat tersebut menjadi gaib baginya. Contoh nyata akan hal ini adalah tentang kerajaan Ratu Bilqis. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak tahu apa yang ada dan terjadi di Saba’, sementara Ratu Bilqis tahu apa yang ada di negara Saba’. Maka dari sini, apa yang ada di negeri Saba’ adalah gaib bagi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Contoh lain adalah kondisi Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Bagi Nabi Ya’qub, kondisi Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah gaib, sedangkan bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak.
Adapun tentang waktu terbagi atas masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Kalau kita meninjau masa lalu, maka banyak dari masa lalu yang gaib bagi kita semua dan kita tidak tahu apa yang terjadi 1000 tahun yang lalu. Adapun masa sekarang juga banyak di antara kita yang tidak kejadian-kejadian yang ada saat ini. Maka apalagi dengan masa depan, kita sama sekali tidak tahu.
Akan tetapi terkadang masa lalu menjadi tidak gaib ketika ada yang mengabarkan atau ketika kita membaca berita dan sejarah. Oleh karenanya banyak cerita-cerita para Nabi di masa lalu yang Allah Subhanahu wa ta’ala ceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebut sebagai hal gaib. Contohnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sungguh, kesudahan (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Hud : 49)
Bagi Nabi Nuh ‘alaihissalam cerita tentang beliau bukanlah hal gaib, akan tetapi bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hal gaib, yang kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala ungkapkan (ceritakan) kepada beliau.
Contoh lain adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah tentang Maryam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.” (QS. Ali-’Imran : 44)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga bercerita tentang Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala beliau di lempar oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ
“Itulah sebagian berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal engkau tidak berada di samping mereka, ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur).” (QS. Yusuf : 102)
Ini adalah di antara gaib nisbi kategori waktu masa lalu.
Gaib nisbi yang berkaitan dengan masa depan contohnya adalah hal yang berkaitan dengan alam kubur. Bagi kita ini adalah perkara yang gaib. Akan tetapi bagi orang yang telah meninggal tidak lagi menjadi hal gaib. Oleh karenanya ada dalam kategori gaib nisbi yang seseorang bisa tahu dengan cara tertentu, di antaranya adalah berita, bertanya, dan yang lainnya, akan tetapi ada juga gaib nisbi yang benar-benar seseorang tidak bisa tahu kecuali orang yang mengalaminya yaitu alam barzakh dan tentang surga dan neraka.
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu ta’ala membawakan beberapa dalil tentang bahayanya para dukun. Di antaranya,
Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari salah seorang dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, lalu membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 2230; HR. Ahmad 4/68 no. 16689 dan 5/380 no. 23270)
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْل فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّد صَلىَّ اللهُ عَلَيْهْ وَسَلَّمْ
“Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun dan membenarkan apa yang dia ucapkan, maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Tirmidzi no. 135; HR. Abu Daud no. 3904; HR. Ibnu Majah no. 639; HR. Ahmad 2/429 no. 9532; HR. Ad-Darimi no. 1136)
Dan diriwayatkan dari Ashaabus Sunan al-Arbaáh dan Al-Hakim, mereka menyatakan bahwa hadits ini sahih menurut kriteria mereka (Bukhari dan Muslim), dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْل فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مًحَمَّد صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمْ
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang mereka ucapkan, maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam.” (HR. Tirmidzi no. 135; HR. Abu Daud no. 3904; HR. Ibnu Majah no. 639; HR. Ahmad 2/429 no. 9532 dan 2/408 no. 9279; HR. Ad-Darimi no. 1136)
Dan Abu Ya’la juga meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti hadits di atas dengan sanad jayyid.
Hadits-hadits ini menjelaskan tentang bahayanya seseorang yang pergi ke dukun. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan hal ini sejak dahulu. Para ulama menjelaskan bahwasanya orang-orang yang pergi ke dukun ada beberapa model.
Pertama, menemui dukun untuk menguji, mengingkari, atau mengungkap kebohongannya. Ini adalah peraka yang bagus, dan bisa jadi hal tersebut dituntut dalam syariat.
Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu tatkala beliau mendengar kabar tentang Ibnu Shayyad. Ibnu Shayyad adalah orang hebat dan bisa meramal, yang diduga dia adalah Dajjal. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatanginya untuk mengetesnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا، فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأْ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu untuk engkau tebak.” Maka Ibnu Shayyad berkata, “Itu adalah ad-dukh (asap).” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tetaplah ditempatmu, engkau tidak akan melampaui kemampuanmu.” ([14])
Kedua : menemui dukun untuk bertanya-tanya. Hukum akan hal ini adalah haram. Orang yang melakukan hal ini maka tidak diterima sholatnya selama 40 hari.
Ketiga : menemui dukun untuk membenarkannya. Hukum akan hal ini juga haram, dan bahkan lebih berbahaya. Untuk yang kedua ini, terdapat khilaf dikalangan para ulama, apakah orang yang mempercayainya itu kafir atau tidak.
Secara umum terdapat tiga pendapat dalam masalah ini yaitu,
Pendapat pertama : Orang yang mendatangi dukun dihukumui kafir akbar, yaitu murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, Syaikh bin Baz rahimahullah, dan Lajnah Daimah, karena berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml : 65)
Maka jika ada orang yang datang ke dukun dan membenarkannya, maka seakan-akan dia telah meyakini bahwa dukun itu mengetahui hal-hal yang gaib. Sehingga dia telah mendustakan ayat Al-Quran (firman Allah), dan mendustakan Al-Quran adalah kekufuran.
Pendapat Kedua : Orang yang mendatangi dukun itu Kufrun Ashgar (kafir kecil). Yang di maksud dengan kufur kecil adalah seseorang melakukan dosa besar namun tidak mengeluarkannya dari Islam. Hal ini berdasarkan salah satu hadits yang telah kita sebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, lalu membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” ([15])
Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa seseorang yang mendatangi dukun dan membenarkannya itu tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari, maka sejatinya dia tetap harus melaksanakan shalat, hanya saja shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa shalatnya orang yang seperti ini itu sah namun tidak berpahala. Hal ini sebagaimana juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Barangsiapa yang meminum khamr, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” ([16])
Pendapat Kedua ini menyebutkan bahwa jika seandainya orang yang mendatangi dukun dan membenarkannya itu kafir, maka tidak perlu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Akan tetapi tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang yang mendatangi dukun dan membenarkannya tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut tetap wajib shalat dan dia belum kafir. Karena jika seseorang telah dihukumi kafir, maka tidak perlu lagi dia disuruh shalat, melainkan sudah boleh untuk dipenggal kepalanya (dibunuh). Akan tetapi karena redaksi hadits menunjukkan bahwa dia tetap wajib shalat, maka dia hanya dihukumi kafir asghar (kafir kecil).
Pendapat Ketiga : Orang yang mendatangi dukun itu kafir dengan tawaqquf (abstain). Maksudnya adalah tidak dijelaskan apakah orang tersebut kafir besar atau kecil, karena kita hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa orang yang datang ke dukun dan membenarkannya itu kafir terhadap Alquran dan As-Sunnah. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْل فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مًحَمَّد صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمْ
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang mereka ucapkan, maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun para ulama yang mengatakan bahwa orang yang mendatangi dukun itu kafir akbar (yaitu pendapat pertama) memberikan kritikan terhadap pendapat Kedua. Mereka mengatakan bahwa lafal hadits yang menyebutkan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, lalu membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
Datang melalui riwayat Imam Ahmad. Sedangkan hadits yang datang melalui riwayat Imam Muslim itu tanpa lafal فَصَدَّقَهُ. Sehingga lafal Imam Muslim berbunyi,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam (hari).”(HR. Muslim 4/1751 no. 2230)
Dari sini, para ulama yang mengatakan bahwa orang yang mendatangi dukun dan membenarkan itu kafir, mereka menganggap bahwa jika dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa orang yang datang ke dukun untuk bertanya-tanya tanpa membenarkan menyebabkan orang tersebut tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari, maka jika dia mendatangi dan bertanya-tanya, kemudian membenarkannya, maka orang tersebut kafir.
Manakah dari ketiga pendapat ini yang lebih kuat? Sebelumnya perlu untuk diperhatikan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad sama-sama shahih. Sehingga sulit jika harus mengatakan bahwa lafal tambahan فَصَدَّقَهُ (lalu membenarkannya) yang terdapat dalam riwayat Imam Ahmad adalah syadz (dhoíf). Oleh karenanya Syaikh Sholeh Alu Syaikh memilih pendapat kedua, yaitu orang yang pergi ke dukun dan membenarkannya tidak sampai membuat seseorang menjadi murtad (kafir), melainkan statusnya adalah kufur ashghar (kafir kecl). Alasan yang dibawakan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh antara lain, yang pertama adalah dalil hadits riwayat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa orang yang pergi ke dukun dan membenarkan perkataannya tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari, sehingga ini menunjukkan bahwa dia masih muslim; yang kedua adalah orang yang pergi ke dukun itu memiliki syubhat, yaitu dia menyangkan bahwa dukun mengetahui hal gaib karena diberitahu oleh syaithan yang telah mengetahui berita-berita dari langit sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang cara syaithan mencuri berita dari langit, sehingga orang tersebut mengatakan bahwa hal itu tidak lagi gaib karena telah diketahui oleh malaikat, didengar oleh syaithan yang kemudian disampaikan kepada dukun, sehingga orang yang membenarkan perkataan dukun hanya dikatakan bahwa dia terkena syubhat berupa sangkaan dukun mengetahui ilmu gaib karena diberitahu oleh syaithan.
Akan tetapi saya (penulis) lebih condong kepada pendapat bahwasanya orang yang mendatangi dukun dan membenarkannya itu kafir akbar, karena ia meyakini bahwa ada yang mengetahui hal gaib selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Lagi pula tidak semua orang yang mendatangi dukun itu meyakini bahwa dukun tersebut mengetahui ilmu gaib karena ada syaithan yang memberitahukan. Bahkan kebanyakan orang yang mendatangi dukun karena meyakini bahwa dukun tersebut adalah orang yang hebat dan bisa mengetahui ilmu gaib secara langsung. Jika mereka tahu bahwa sang dukun mendapat kabar dari syaitan mungkin justru mereka tidak pergi ke dukun tersebut. Lagi pula dukun tersebut tidak akan mengabarkan kepada masyarakat bahwa ia bekerja sama dengan jin atau syaitan untuk mengetahui berita masa depan. Demikian pula praktik perdukunan -sebagaimana telah lalu penjelasannya- tidak hanya terbatas pada pemberitahuan syaitan saja, akan tetapi banyak cara-cara yang ditempuh oleh para dukun dalam rangka meramal masa depan.
Oleh karenanya pendapat pertama yang merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh bin Baz, dan Lajnah Daimah yang mengatakan bahwa orang yang pergi ke dukun dan membenarkan pertanyaannya itu murtad (keluar dari Islam) adalah pendapat yang lebih kuat. Dan ini menunjukkan bahayanya seseorang pergi ke dukun.
Maka jika seseorang yang pergi ke dukun bisa dikatakan kafir, maka bagaiamana lagi dengan sang dukun tersebut? Tentunya tidak ada yang ragu akan kekufurannya
Dan dari sahabat Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu meriwayatkan secara marfu’ bahwa Rasulullah bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ، وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak termsauk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur baginya, meramal atau meminta diramalkan untuknya, menyihir atau meminta disihirkan; dan barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Al-Bazzar 9/52 no. 3578, dengan sanad jayyid)
Dan hadits ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (4/301 no. 4262) dengan sanad yang hasan dari Ibnu ‘Abbas tanpa penyebutan kalimat, “Dan barangsiapa mendatangi…” dan seterusnya.
Hadits ini menjelaskan tentang bahayanya orang yang meramal atau meminta untuk diramalkan, bahayanya orang yang melakukan sihir atau meminta untuk melakukan praktik sihir untuknya, dan bahayanya orang yang pergi ke dukun dan membenarkan perkataan sang dukun.
Namun, jika ada orang yang pergi ke dukun, namun dia tidak tahu bahwa yang dia datangi adalah dukun, kemudian dia bertanya-tanya kepada dukun tersebut, dan dukun tersebut juga mengabarkan kepadanya, maka bagaimanakah hukum orang tersebut? Orang seperti ini diberi udzur karena ketidak tahuan dia bahwa orang tersebut adalah dukun. Terlebih lagi betapa banyak dukun di zaman sekarang ini yang tidak menamakan diri mereka dengan dukun, akan tetapi menamakan diri mereka dengan orang pintar, atau ahli spiritual. Bahkan betapa banyak dukun yang diberi gelar dengan ustadz atau kiyai, dan mereka berpenampilan islami.
Hadits ini dijadikan dalil bahwa orang yang menyihir sama hukumnya dengan orang yang minta untuk disihrkan, orang yang pergi ke dukun dan yang meminta untuk didukunkan maka hukumnya sama, yaitu sama-sama kafir. Para ulama mengatakan bahwa orang yang meminta untuk sihir atau didukunkan untuknya itu hukumnya kafir sama dengan orang yang melakukan sihir dan perdukunan. Hal ini karena menunjukan ia telah ridha dengan praktik kekufuran. Dan orang yang telah ridha dengan praktik kekufuran, maka dia telah terjerumus ke dalam kekufuran karena telah menganggap bahwa kekufuran itu adalah benar. Oleh karenanya hendaknya kita berhati-hati agar jangan sampai kita terjerumus dengan perkataan orang-orang liberal yang akhirnya membuat kita bisa-bisa ridha dengan praktik kesyirikan, padahal sikap tersebut merupakan kekufuran.
Al-Baghawi berkata,
العَرَّافُ: الَّذِي يَدَّعِي مَعْرِفَةَ الأُمُوْرِ بِمُقَدِّمَاتٍ يَسْتَدِلُّ بِهَا عَلَى الْمَسْرُوْقِ وَمَكَانِ الضَّالَّةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَقِيْلَ: هُوَ الْكَاهِنُ، وَالْكَاهِنُ: هُوَ الَّذِي يُخْبِرُ عَنِ الْمُغَيَّبَاتِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، وَقِيْلَ: الَّذِي يُخْبِرُ عَمَّا فِي الضَّمِيْرِ.
“Al-‘Arraf (orang pintar) ialah orang yang mengaku mengetahui dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau tempat barang hilang atau semacamnya. Adapula yang mengatakan: Dia (Al-‘Arraf) adalah kahin (dukun), padahal kahin adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan: (Al-Kahin) Yaitu orang yang memberitahukan apa yang tersimpan dalam hati seseorang.”
Dan Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata,
العَرَّافُ: اِسْمُ الْكَاهِنِ وَالْمُنَجِّمِ وَالرَّمَّالِ وَنَحْوِهِمْ، مِمَّنْ يَتَكَلَّمُ فِي مَعْرِفَةِ الأُمُوْرِ بِهَذِهِ الطُّرُقِ
“Al-‘Arraf adalah sebutan untuk tukang dukun, tukang nujum (peramal dengan bintang), peramal masa depan dan yang sebangsanya, yang menyatakan tahu tentang perkara–perkara (yang tidak diketahui orang lain) dengan cara-cara tersebut.”
Al-Baghowi adalah Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud bin Muhammad Al Farra’, atau Ibn Farra’ Al- Baghawi. Digelar Muhyi Sunnah. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain: syarh as sunnah, al jami’ baina ash shahihain. Lahir pada tahun 436 H (1044 M), dan meninggal tahun 510 H (1117 M).
Pembahasan ini tentang perbedaan antara Árroof dan Kaahin (dukun). Hal ini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan diantara keduanya, beliau bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا
“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf atau dukun,”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kahin (dukun) dan ‘arraf. Para ulama khilaf tentang apa makna ‘arraf
Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab menyebutkan beberapa pendapat tentang Al-‘Arraf. Dan pendapat yang lebih kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Baghawi bahwa Al-‘Arraf adalah orang yang berbicara atau mengetahui tentang barang yang hilang atau hal-hal gaib yang terjadi saat ini. Adapun kaahin (dukun) adalah orang yang berbicara hal-hal gaib yang berkaitan dengan masa depan.
Akan tetapi perlu untuk diingat dan diketahui kembali bahwa kedua orang ini, baik ‘Arraf atau Kahin, sama-sama tidak boleh untuk didatangi. Karena mendatangi mereka dan membenarkan perkataan keduanya bisa kafir.
Oleh karenanya dari sini kemudian kita ketahui bahwa yang disebut dengan dukun dan yang semisalnya bukan hanya orang yang mengetahui hal-hal berkaitan dengan masa depan. Akan tetapi orang-orang yang mengetahui hal-hal gaib yang terjadi saat ini seperti barang hilang, isi hati, dan yang lainnya, itu juga dianggap dukun atau hukum mendatanginya sama dengan dukun, sehingga mendatanginya adalah hal yang dilarang dalam agama.
Sebagaimana dukun telah dikatakan bahwa dia kafir, maka ‘Arraf juga dihukumi kafir. Sebabnya adalah karena mengetahui barang yang hilang tidak akan mungkin diketahui kecuali dengan bantuan dan kerjasama antara syaithan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ، تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ
“Mauka Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa.” (QS. Asy-Syu’ara : 221-222)
Yang dimaksud dengan pendusta lagi banyak dosa dalam ayat ini adalah para penyihir, dukun, atau para (tidak) normal, dan yang semisalnya. Mereka ini semua adalah teman-teman syaithan, dan yang bekerja sama dengan syithan hukumnya kafir.
Maka jika seseorang mendapati ada orang yang mengetahui tentang masa depan atau barang hilang, maka itulah dukun dan ‘arraf yang dikabarkan dan diingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak sekali-sekali mendatanginya
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata tentang orang-orang yang menulis ‘Abaajaad’ dan melihat bintang-bintang,
مَا أَرَى مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لَهُ عِنْدَ اللهِ مِنْ خَلاَقٍ
“Aku mengira bahwa orang yang mempraktikkan hal itu (meramal dengan Abaajaad dan bintang-bintang) tidak akan mendapatkan suatu bagian diakhirat oleh Allah.”
Ungkapan Ibnu ‘Abbas ini menunjukkan bahwa beliau mengkafirkan para dukun dan ‘arraf. Dan memang benar mereka telah kafir karena mengaku mengetahui ilmu gaib, sedangkan hanya Allah-lah yang mengetahui ilmu gaib.
Terdapat perkataan yang indah dari penulis Fathul Majid Syarah Kitab At-tauhid yang bernama Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab. Beliau merupakan cucu dari Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Beliau Abdurrahman bin Hasan berkata,
ولهذا قال النبي صلي الله عليه وسلم في وصف الكهان: ” فيكذبون معها مائة كذبة “. فبين أنهم يصدقون مرة ويكذبون مائة، وهكذا حال من سلك سبيل الكهان ممن يدعي الولاية والعلم بما في ضمائر الناس، مع أن نفس دعواه دليل على كذبه؛ لأن في دعواه الولاية تزكية النفس المنهي عنها بقوله تعالى: {فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ}. وليس هذا من شأن الأولياء؛ فإن شأنهم الإزراء على نفوسهم وعيبهم لها; وخوفهم من ربهم، فكيف يأتون الناس ويقولون: اعرفوا أننا أولياء، وأنا نعلم الغيب؟ وفي ضمن ذلك طلب المنزلة في قلوب الخلق واقتناص الدنيا بهذه الأمور. وحسبك بحال الصحابة والتابعين -رضي الله عنهم-، وهم سادات الأولياء، أفكان عندهم من هذه الدعاوى والشطحات شيء؟ لا والله، بل كان أحدهم لا يملك نفسه من البكاء إذا قرأ القرآن، كالصديق رضي الله عنه، وكان عمر رضي الله عنه يسمع نشيجه من وراء الصفوف يبكي في صلاته، وكان يمر بالآية في ورده من الليل فيمرض منها ليالي يعودونه، وكان تميم الداري يتقلب على فراشه ولا يستطيع النوم إلا قليلا خوفا من النار، ثم يقوم إلى صلاته. ويكفيك في صفات الأولياء ما ذكره الله تعالى في صفاتهم في سورة الرعد والمؤمنين والفرقان والذاريات والطور
“Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang sifat para dukun dengan berkata, ‘mereka melakukan kedustaan pada berita (dari syaithan) yang disampaikannya dengan seratus kedustaan’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mereka (dukun) benarnya hanya sesekali dan berdustanya (salah) seratus kali.
Dan demikian kondisi orang-orang yang menempuh metode para dukun dari orang-orang yang mengaku dirinya seorang wali dan mengetahui apa yang ada di dalam diri (hati) manusia, padahal pengakuannya tersebut adalah dalil bahwa itu adalah kedustaannya. Karena pengkaunnya sebagai wali adalah bentuk menganggap dirinya suci, padahal itu dilarang sebagaimana firman Allah, ‘Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci’.
Dan hal ini (mengaku wali) bukan merupakan kebiasaan (sifat) para wali, karena sesungguhnya keadaan (sifat) mereka para wali adalah menganggap diri mereka rendah dan mencela diri mereka (bukan malah memuji dan mengakusuci -pent), dan takut kepada Rabb mereka. Maka bagiamana mungkin ada orang yang datang kemudian berkata ‘Ketahuilah, sesungguhnya saya adalah wali dan saya mengetahui hal-hal gaib’? Dan di dalam hal tersebut terdapat unsur mencari kedudukan di hati-hati manusia dan untuk mencari dunia melalui perkara-perkara ini.
Dan cukuplah bagimu dengan kondisi para sahabat, tabi’in radhiallahu ‘anhum, mereka adalah pemimpin para wali. Apakah ada di antara mereka yang mengaku-ngaaku seperti itu sedikitpun? Tidak, Demi Allah, bahkan salah seorang dari mereka tidak bisa menahan tangis tatkala membaca Alquran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, seperti ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang isak tangisnya selalu terdengar dari belakang shaf karena menangis di waktu shalat. Dan dia (Umar bin Khattab) pernah membaca satu ayat di suatu malam, maka hal itu membuat beliau sakit berhari-hari sehingga para sahabat menjenguknya. Dan seperti Tamim Ad-Dari yang berbolak-balik di atas tempat tidurnya, dan tidak bisa tidur kecuali hanya sedikit karena takut dari ancaman api neraka, kemudian dia bangun menegakkan shalat.
Dan cukup bagimu untuk mengetahui sifat wali-wali Allah melalui apa yang telah Allah seburkan di dalam surah Ar-Ra’d, Al-Mu’minun, Al-Firqan, Adz-Dzariat, dan Ath-Thur.” ([17])
Ada orang-orang yang menganggap bahwa orang yang bisa mengetahui isi hati seseorang adalah wali. Padahal orang yang mengaku bisa mengetahui isi hati adalah dukun. Orang seperti ini adalah adalah wali syaithan dan bukan wali Allah. Dan wali itu bukanlah yang mengakui dirinya sebagai wali. Jika ada seseorang yang selalu memuji dirinya, menganggap dirinya hebat, merekomendasikan dirinya (menganggap suci), maka yang demikian bukanlah ciri wali Allah. Ketahuilah bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wali-wali Allah, akan tetapi mereka tidak pernah melakukan yang demikian dan mengikrarkan kewalian mereka. Cobalah baca firman-firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang sifat para wali, tidak ada di antara mereka yang menyobongkan diri. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan : 63)
Akan tetapi datang orang-orang di zaman sekarang mengaku sebagai wali dengan sombongnya dan mengaku mengetahui ilmu gaib. Bahkan lebih parahnya ada sebagian orang menganggap orang gila sebagai wali.
Kandungan bab ini:
- Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin antara iman kepada Al Qur’an dengan percaya kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.
- Pernyataan Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa mempercayai ucapan dukun adalah kufur.
- Ancaman bagi orang yang minta diramalkan.
- Ancaman bagi orang yang minta di-tathayyur-kan.
- Ancaman bagi orang yang minta disihirkan.
- Ancaman bagi orang yang menulis huruf-hurufأباجاد [untuk meramal masa depan].
Perbedaan antara Kahin dan Arraf, [bahwa kahin/dukun ialah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang yang diperoleh dari syetan penyadap berita di langit].
______________________
([5]) Dishahihkan oleh Al-Albani di Sahih At-Targhib wa At-tarhib 3/98 no. 3048
([6]) Untuk mudah menghapalkan huruf-huruf ini biasanya disingkat menjadi sebagai berikut :
أَبْجَدْ، هَوِّزْ، حُطِّي، كَلِمَنْ، سَعَفَصْ، قَرْشَتْ، ثَخَذْ، ضَظَغْ
([7]) Contohnya adalah waktu penulis Tuhfatul Athfal, beliau Sulaiman Al-Jamzury menyebutkan dalam matan Tuhfatul Athfaal,
تَارِيْخُهَا بُشْرَى لِمَنْ يُتْقِنُهَا
“Tanggalannya adalah : kabar gembira bagi yang mengertinya.”
Maka perhitungannya adalah,
بُشْرَى لِمَنْ يُتْقِنُهَا: 2 + 300 + 200 + 10 + 30 + 40 + 50 + 10 + 400 + 100 + 50 + 5 + 1 = 1198هـ
Maka diketahuilah bahwa penulisan kitab Tuhfatul Athfal adalah tahun 1198 Hijriah.
Demikian pula disebutkan bahwa Asy-Syaikh Siddiiq Hasan Khaan menyebutkan bahwa tahun pernikahannya adalah وَأُخْرَى تُحِبُّوْنَهَا, yang kalau dihitung dan dijumlahkan = 1280, yaitu beliau menikah pada tahun 1280 H.
Demikian jugan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di tatkal menyebutkan tahun pembangunan Al-Masjid Al-Jaami’ beliau berkata : اِغْفِرْ لَنَا yaitu jika dijumlahkan = 1362 H
([8]) Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa telah datang riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa huruf-huruf أبجد ini telah diajarkan oleh Allah kepada nabi Adam álaihis salam, demikian juga riwayat bahwa nabi Ísa álaihis salam mengajarkan hal ini. Akan tetapi semua riwayat tersebut lemah bahkan dusta, tidak boleh dijadikan sandaran, meskipun telah disebutkan oleh sebagian ahli sejarah dan ahli tafsir dalam buku-buku mereka. (Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 12/58-63)
([9]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 4/82
([15]) HR. Muslim no. 2230; HR. Ahmad 4/68 no. 16689 dan 5/380 no. 23270