بَيَانُ شَيْءٍ مِنْ أَنْوَاعِ السِّحْرِ
Penjelasan Dari Sebagian Macam-Macam Sihir
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bab ini dengan maksud untuk menjelaskan bahwa nash-nash yang berkaitan dengan sihir bukan hanya datang membahas tentang kategori sihir secara syar’i yaitu sihir yang sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa pelaku sihir itu melakukan perbuatan syirik akbar serta murtad dan hukumnya adalah dibunuh dengan cara dipenggal, akan tetapi ada juga hal-hal yang disebut dengan sihir namun hukumnya tidak seperti itu, melainkan sihirnya masuk dalam kategori sihir secara bahasa.
Sihir secara bahasa yang dimaksud disini adalah sebab yang samar namun mampu memengaruhi hati seseorang.
Oleh karenanya dari sini kita katakan bahwa sihir bisa bermakna syar’i, yaitu seseorang yang melakukan syirik akbar dengan bantuan syaithan dan hukumnya adalah murtad dan dibunuh; dan adapula sihir secara bahasa namun tidak sampai pada derajat syirik akbar.
Imam Ahmad berkata,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنْ حَيَّانَ، حَدَّثَنِي قَطَنُ بْنُ قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْعِيَافَةَ، وَالطَّرْقَ، وَالطِّيَرَةَ مِنَ الْجِبْتِ، قَالَ عَوْفٌ: الْعِيَافَةُ: زَجْرُ الطَّيْرِ، وَالطَّرْقُ: الْخَطُّ يُخَطُّ فِي الْأَرْضِ، وَالْجِبْتُ، قَالَ الْحَسَنُ: إِنَّهُ الشَّيْطَانُ
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari ‘Auf, dari Hayyan bin al-‘ala’, dari Qathan bin Qabishah, dari bapaknya (Qabishah) bahwa dia mendengar Nabi fdfa bersabda,
“Sesungguhnya ‘Iyafah, Tharq, dan Thiyarah adalah termasuk Al-Jibt”. ‘Auf (bin Abi Jamiilah) berkata, ‘Al-‘Iyafah adalah menerbangkan burung, dan Ath-Tharq adalah membuat gari-garis di bumi (tanah)’, dan Al-Jibt adalah sebagaimana perkataan Al-Hasan Al-Bashri ‘itu adalah syaithan’.” (HR. Ahmad 5/60 – Isnadnya jayyid)
Dalam sebagaian manuskrip Kitab Tauhid, teksnya tertulis,
قَالَ الْحَسَنُ: رَانَةُ الشَّيْطَانِ
“Berkata Al-Hasan, ‘(Al-Jibt adalah) Suara syaithan’.”
Akan tetapi para ulama menjelaskan bahwa dalam kalimat di atas terdapat salah penulisan. Sehingga penulisan yang benar adalah,
قَالَ الْحَسَنُ: إِنَّةُ الشَّيْطَانُ
“Berkata Al-Hasan, ‘(Al-Jibt) itu adalah syaithan’.”
Lafaz inilah yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dan juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya([1]).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, An-nasa’i, dan Ibnu Hibban dalam sahihnya dengan hanya menyebutkan lafaz hadits dari Qabishah tanpa menyebutkan tafsirannya.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu álaihi wasallam menyebutkan tiga perkara yaitu Al-‘Iyafah, Ath-Thiyarah, dan At-Tharq, semuanya termasuk dalam perkara sihir (Al-jibt). Al-‘Iyafah maknanya adalah meninggalkan, maksudnya adalah orang-orang dahulu menerbangkan burung tertentu untuk menentukan jadi tidaknya sebuah perjalanan. Kalau mereka melihat burung itu terbang ke kiri, maka mereka tidak melanjutkan perjalanan, dan jika burung tersebut terbang ke sebelah kanan, maka mereka akan melanjutkan perjalanan. Adapun Thiyarah adalah mangaitkan nasib sial dengan burung (menerbangkan burung), angka, hari atau waktu tertentu. Oleh karenanya dari sini Al-‘Iyafah asalnya sama dengan Thiyarah. Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam telah bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyarah adalah syirik.” ([2])
Para ulama menjelaskan bahwa perbedaan antara ‘Iyafah dan Thiyarah adalah Thiyarah lebih umum dan ‘Iyafah adalah perkara yang termasuk dalam thiyarah namun khusus berkaitan dengan masalah burung.
Tatkala Nabi shallallahu álaihi wasallam mengatakan bahwa thiyarah dan ‘iyafah termasuk dalam sihir bukan menunjukkan bahwa hal ini syirik akbar, akan tetapi hanya masuk dalam syirik kecil. Akan tetapi disebut oleh Nabi bahwa kedua ini termasuk dalam sihir karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sihir secara bahasa itu memengaruhi hati dengan sebab yang samar. Terbangnya burung ke arah tertentu yang diartikan dengan hal-hal tertentu, angka-angka tertentu juga dikaitkan dengan hal tertentu, atau yang lainnya, ini menunjukkan bahwa ada pengaruh dalam hati secara samar sehingga Nabi mengatakan bahwa ini sama saja dengan sihir namun bukan termasuk syirik akbar sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Ath-Tharq adalah cara tertentu yang digunakan oleh tukang ramal dengan menggaris garis-garis tertentu di tanah, kemudian di hapus-hapus hingga tersisa beberapa garis, kemudian diramal dengan garis yang tersisa tersebut. Garis-garis yang tersisa tersebut kemudian di artikan oleh tukang ramal dengan arti-arti tertentu. Ath-Tharq ini juga termasuk sihir secara bahasa karena mengaitkan antara hal-hal yang gaib dengan garis-garis tertentu hingga memberikan pengaruh di dalam hati. Dan orang-orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, maka sesungguhnya dia kafir kepada Allah.
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah fdfa bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ، زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa yang mempelajari sebagian dari ilmu perbintangan, maka sesungguhnya ia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir. Semakin dia belajar (ilmu perbintangan) maka semakin dia mendalami (ilmu sihir).” (HR. Abu Daud no. 3905; HR. Ibnu Majah no. 3726; HR. Ahmad 1/127 dan 1/311; Isnadnya sahih)
Ilmu perbintangan terbagi menjadi dua, yaitu عِلْمُ التَّأْثِيْرِ (Ilmu at-Ta’tsir) yang berarti pengaruh, dan عِلْمُ التَّسْيِيْر (Ilmu At-Tasyiir) yang berarti ilmu untuk penunjuk arah. Terkait ilmu perbintangan dengan ilmu at-Tasyiir adalah hal yang dibolehkan sebagaimana firman Allah,
وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 16)
Melihat bintang untuk bisa melihat arah atau untuk mengetahui musim, maka hal ini adalah hal yang diperbolehkan.
Akan tetapi ilmu at-ta’tsir, maka yang inilah kesyirikan dan tidak diperbolehkan.
Ilmu At-Ta’tsir terbagi menjadi dua, pertama adalah menjadikan gerakan bintang (berkumpul dan terpisahnya bintang-bintang) sebagai dalil tentang masa depan dan hal yang gaib; kedua adalah meyakini bahwa benda-benda langit tertentu beserta gerakannya memengaruhi kejadian-kejadian di alam semesta. Kedua hal ini adalah syirik dan tidak boleh, serta perkara inilah yang dimaksud oleh Nabi sebagai syirik secara bahasa, hanya saja hal ini termasuk ilmu perdukunan. Oleh karenanya hadits-hadits yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bab ini kebanyakan adalah macam-macam sihir dari sisi bahasa dan bukan secara istilah sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
Dan dari Imam An-Nasa’i juga meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anh bahwa Nabi shallallahu álaih wasallam bersabda,
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً، ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengikat buhul-buhul kemudian meniupnya, sungguh ia telah berbuat sihir. Dan barang siapa yang melakukan sihir maka sungguh ia telah berbuat syirik dan barang siapa yang menggantungkan sesuatu maka ia akan diserahkan kepadanya.” (HR. An-Nasai 7/112 no. 4079)
Hadits ini secara sanad diriwayatkan oleh ‘Abbad bin Maisarah, dari Hasan Al-Bashri, dan dari Abu Hurairah, lalu dari Nabi shallallahu álaihi wasallam. Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama tentang apakah hadits ini hasan atau tidak. Pada hadits ini ada dua permasalahan.
Permasalahan pertama adalah apakah Al-Hasan Al-Bashri mendengar hadits ini dari Abu Hurairah? Para ulama khilaf akan hal ini. Meskipun Al-Hasan adalah tabi’in dan Abu Hurairah adalah sahabat, tidak semua tabi’in menimba ilmu dan mendengar hadits langsung dari para sahabat. Dalam masalah apakah Al-Hasan bertemu Abu Hurairah bertemu dan mendengar hadits ini darinya? Yang dirajihkan oleh para ulama adalah Al-Hasan Al-Bashri tidak bertemu dengan Abu Hurairah. Maka dari sini status sanad hadtis ini menjadi munqathi’ (terputus) sehingga hadits ini menjadi dha’if (lemah).
Dan permasalahan yang kedua adalah para ulama khilaf apakah ‘Abbad bin Maisarah dha’if atau tidak. Karena dua permasalahan dari sisi sanad ini, maka para ulama masih khilaf, sehingga ada sebagian yang menghasankan dan adapula yang mendha’ifkan.
Adapun dari sisi matan (isi hadits), maka maknanya adalah benar. Karena barangsiapa yang membuat simpul-simpul kemudian meniupkan dengan nafats (sedikit semburan air liur disertai dengan mantra-mantra tertentu), maka yang seperti ini adalah sihir dan secara makna benar. Oleh karenanya Allah Azza wa Jalla berfirman tentang para penyihir dengan mengatakan,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.” (QS. Al-Falaq : 1-5)
Dari firman Allah Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa makna hadits ini benar. Maka barangsiapa yang membuat buhl-buhl lalu kemudian dia tiup dengan nafats, maka dia telah melakukan sihir, dan barangsiapa yang melakukan sihir maka dia telah berbuat syirik.
Kemudian kalimat akhir dari hadits ini menyebutkan, “dan barang siapa yang menggantungkan sesuatu maka ia akan diserahkan kepadanya”. Maka orang yang menggunakan jimat akan dibuat dia meninggalkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepada benda atau jimat tersebut.
Oleh karenanya orang yang paling bahagia adalah orang yang bertauhid kepada Allah, karena kemanapun dia pergi, dia akan bertawakkal kepada Allah. Akan tetapi ketika seseorang telah bertawakkal kepada selain Allah, misalnya bertawakkal kepada dirinya sendiri (terlalu PeDe), maka sungguh dia telah bertawakkal kepada hal-hal yang lemah. Oleh karenanya Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah berdoa,
وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Dan jangan serahkan diriku kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dariMu.” ([3])
Sesungguhnya diri kita ini lemah. Maka kita tidak boleh bersandar pada diri kita. kita hanya boleh percaya diri kepada diri kita ketika kita yakin bahwa dibelakang kita ada Allah dan bantuanNya. Akan tetapi jika seseorang percaya diri karena kemampuan diri sneidiri dan lupa kepada Allah, maka dia akan binasa. Betapa banyak orang yang percaya diri terhadap dirinya sendiri, akhirnya dia terkena musibah akibat kepercayaan dirinya terhadap dirinya sendiri.
Maka dari itu, kalau seseorang tidak boleh bertawakkal kepada dirinya sendiri, maka bagaimana lagi jika bertawakkal dengan jimat-jimat dengan segala bentuknya yang merupakan benda mati? Ketahuilah bahwa seseorang yang menggunakan hal yang semacam ini, maka akan membuat orang tesebut bertawakkal kepada jimat yang dia gunakan.
Makna sihir dalam hadits ini temasuk dalam sihir istilah atau sihir secara syar’i. sehingga barangsiapa yang melakukannya, maka dia murtad dari Islam, dan ditegakkan hukum had baginya yaitu dibunuh dengan cara kepala dipenggal. Adapun pada hadits-hadits sebelumnya, macam-macam sihir yang disebutkan bukanlah termasuk sihir secara syar’I, melainkan sihir secara bahasa.
Dan dari sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ؟ هِيَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ
“Maukah kamu aku beritahu apakah itu al-‘adh-hu? Ialah perbuatan mengadu domba, yaitu banyak membicarakan keburukan dan menghasut di antara orang-orang.” (HR. Muslim no. 2606; HR. Ahmad 1/437 no. 4160)
Ini adalah di antara metode Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam mengajarkan para sahabat, yaitu Nabi bertanya kepada para sahabat agar para sahabat itu serius mendengarkannya.
Kenapa namimah dikatakan sihir? Namimah dikatakan sihir karena dua sebab, sebab yang pertama adalah namimah bisa memberikan pengaruh pada hati dengan sebab yang samar sebagaimana pengertian sihir secara bahasa; sebab yang kedua adalah namimah bisa memisahkan antara dua orang yang saling mencintai yang ini merupakan dampak yang ditimbulkan oleh sihir, sebagaimana firman Allah fsa,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu (sihir), yang mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah : 102)
Maka demikian pula namimah, dia bisa memisahkan seseorang dari temannya, memisahkan seseorang guru dari muridnya, bisa memisahkan seorang suami dari istrinya atau sebaliknya, bisa memisahkan antara satu kabilah dengan kabilan yang lain, dan bisa pula membuat satu orang bertengkar dengan orang lainnya, dengan sebab seseorang yang menukil berita namun menimbulkan perselisihan. Inilah yang disebut dengan Al-Adh-hu.
Disebutkan dalam sebuah riwayat dari seorang salaf yang bernama Yahya bin Abi Katsir, dia berkata,
يُفْسِدُ النَّمَّامُ فِي سَاعَةٍ مَا لَا يُفْسِدُ السَّاحِرُ فِي شَهْرٍ
“Tukang namimah bisa menimbulkan kerusakan dalam waktu sekejap yang belum tentu bisa dilakukan oleh penyihir dalam sebulan.” ([4])
Oleh karenanya pengaruh yang ditimbulkan dari namimah sangatlah luar biasa. Maka dari itu namimah dikatakan sihir dengan dua sebab, yaitu karena bisa mempengaruhi hati secara samar dan bisa memisahkan orang yang saling mencintai, sebagaimana sihir bisa memperbikan pengaruh pada hati secara samar dan bisa memisahkan orang-orang yang saling mencintai.
Al-‘Adhhu secara bahasa artinya adalah dusta. Lalu mengapa Nabi shallallahu álaihi wasallam menafsirkan namimah dengan dengan Al-‘Adhhu? Para ulama mengatakan bahwa alasannya adalah karena pelaku naminah terkadang sering menambah beritanya dengan kedustaan untuk membuat salah satu di antara dua orang atau kelompok itu terhasut. Adapun kedustaan tersebut dilakukan bisa dengan dua cara, yaitu berita ditambah-tambahkan, dan cara yang lain adalah penyampaiannya yang provokatif untuk menimbulkan pertikaian. Oleh karenanya dari sini namimah merupakan dosa besar. Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah melewati dua buah kuburan dan berkata,
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
“Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.” ([5])
Oleh karenanya saya ingatkan bagi para wanita untuk berhati-hati dengan namimah, karena sesungguhnya namimah itu banyak terjadi dikalangan para wanita. Ingatlah bahwa naminah itu dosa besar dan pasti terkandung kedustaan. Oleh karenanya dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, dia berkata,
أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ: أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا، وَلَا نَسْرِقَ، وَلَا نَزْنِيَ، وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا، وَلَا يَعْضَهَ بَعْضُنَا بَعْضًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil sumpah setia kepada kami sebagaimana beliau mengambil sumpah setia terhadap kaum wanita, yaitu; hendaknya kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, dan tidak melakuakn ‘adh (naminah) antara satu dengan yang lain.” ([6])
Dan inilah musibah yang terkadang terjadi disebagian penuntut ilmu, yaitu mereka mengadu domba antara satu ustaz denga ustaz yang lain. Mereka ingin ustaznya (gurunya) menjadi nomor satu, sehingga dia memprovokasi ustaznya dengan mengadu domba dengan ustaz yang lain. Sungguh musibah yang akan terjadi jika memiliki murid yang seperti ini. Jika seorang penuntu ilmu tidak bisa menjadi sebab bersatunya para ustadz, maka jangan menjadi sebab bertengkarnya para ustadz, karena dosa namimah ini adalah dosa besar. Oleh karenanya sebuah perkataan diriwayatkan,
كَلاَمُ الأَقْرَانِ إِذَا تَبَرْهَنَ لَنَا أَنَّهُ بِهَوَىً وَعَصَبِيَّةٍ لاَ يُلْتَفَتُ إِلَيْهِ، بَلْ يُطْوَى وَلاَ يُرْوَى
“Perkataan mereka (para ulama –pent) yang sebaya (setaraf), jika terbukti kepada kita bahawa perkataan itu didorong oleh hawa nafsu dan sifat fanatik, maka perkataan tersebut tidaklah perlu dihiraukan bahkan perlu ditutup dan tidak diriwayatkan.” ([7])
Para ulama mengatakan bahwa perkataan ulama yang saling bantah-bantahan tidak boleh untuk dinukilkan kembali, karena terkadang bisa timbul pertikaian di antara mereka karena masalah hati bukan murni permasalahan ílmiyah. Oleh karenanya Nabi shallallahu álaihi wasallam membawakan bahwa Al-Adhhu (namimah) dalam bab ini termasuk sihir karena memberikan pengaruh tanpa disadari dan bisa menimbulkan pertikaian yang luar biasa.
Maka hendaknya kita berhati-hati dalam perkataan ini, karena betapa banyak saat ini orang-orang yang saling bantah membantah di media sosial dengan dalil-dalil pendapat guru atau ustadznya. Ketahuilah bahwa membuat orang saling bertikai itu adalah perbuatan dosa. Terlalu banyak dalil yang memerintahkan agar kita tidak membuat orang-orang bertikai, sampai-sampai Nabi melarang banyak hal agar orang tidak bertikai. Di antara yang dilarang kata Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga ia meninggalkannya atau pun menerimanya.” ([8])
Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam juga bersabda,
لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ
“Janganlah kalian saling mendengki, dan jangan saling memfitnah, dan jangan saling membenci, dan jangan saling memusuhi. Dan janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina.” ([9])
Nabi juga bersabda dalam riwayat yang lain,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً، فَلاَ يَتَنَاجَى رَجُلاَنِ دُونَ الآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ، أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ
“Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa menyertakan yang ketiga sebelum ia berbaur dengan yang lain, karena hal itu dapat menyinggung perasaannya.” ([10])
Ini semua adalah perkara yang diharamkan dalam syariat karena bisa menimbulkan pertikaian. Bahkan saking menjunjung tingginya persatuan, Islam membolehkan berbohong demi untuk mendamaikan dua orang atau kelompok yang bertikai atau berselisih. Maka dari itu jangan sampai kita menjadi nammam, yaitu tukang adu domba baik disadari atauun tidak disadari.
Dan dari keduanya meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya di antara penjelasan adalah termasuk sihir.” (HR. Bukhari no. 5146 dan 5767; HR. Muslim no. 869)
Yang di maksud penulis (Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab) “Dan dari keduanya” meriwayatkan adalah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Akan tetapi dalam penulisan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab salah dalam mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar. Karena yang benar adalah Al-Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan dari Ammar bin Yasir. Meskipun lafal haditsnya sama, akan tetapi sahabat yang meriwayatkan berbeda, sehingga tidak boleh digabungkan. Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ قَدِمَ رَجُلَانِ مِنَ المَشْرِقِ فَخَطَبَا، فَعَجِبَ النَّاسُ لِبَيَانِهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا، أَوْ: إِنَّ بَعْضَ البَيَانِ لَسِحْرٌ
“Ada dua orang dari penduduk Masyriq (timur) datang kepadanya, lalu keduanya berkhutbah hingga orang-orang heran (takjub) dengan penjelasannya, lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dalam penjelasan (bayan) itu mengandung sihir, atau sesungguhnya sebagian bayan (penjelasan) itu mengandung sihir.” ([11])
Adapun dalam Shahih Muslim, dari Wa’il bertkata,
خَطَبَنَا عَمَّارٌ، فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ، فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ، فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا
“Ammar pernah menyampaikan khutbah Jum’at kepada kami dengan bahasa yang singkat dan padat. Maka ketika ia turun dari mimbar, kami pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Yaqzhan! Khutbah Anda begitu singkat dan padat. Alangkah baiknya kalau Anda panjangkan lagi.” Ammar berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang itu menunjukkan tentang pemahaman ia tentang agamanya. Karena itu, panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah, karena sebagian dari bayan (penjelasan) adalah sihir.” ([12])
Yang dimaksud dengan penjelasan itu adalah bagian dari sihir adalah tatkala seseorang menjelaskan dengan baik, maka orang akan bisa terpengaruh. Oleh karenanya yang dimaksud disini adalah penjelasan itu sekaan-akan sihir karena memberikan pengaruh. Namun apakah hadits Nabi shallallahu álaihi wasallam ini bermaksud untuk memuji atau mencela? Terdapat khilaf di kalangan para ulama, ada yang mengatakan bahwa itu adalah pujian, dan adapula yang mengatakan bahwa itu adalah celaan([13]) sehingga Nabi shallallahu álaihi wasallam mengatakan penjelasan itu bagian dari sihir.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa penjelasan itu nikmat dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam firmaNya,
الرَّحْمَنُ، عَلَّمَ الْقُرْآنَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ، عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahman : 1-4)
Di antara penejelasan tersebut, ada sebuah penjelesan yang hebat dan benar-benar luar biasa, dan inilah yang dimaksud oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam sebagai sihir. Kata sebagian ulama, meskipun hal seperti ini dikatakan oleh Nabi sebagai sihir namun bukan berarti ini adalah celaan. Sebagaimana perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar, jika Al-Bayan (penjelasan) dibawa kepada tujuan yang baik maka itu adalah sihir yang baik([14]), dan jika dibawa kepada tujuan yang buruk maka itu adalah sihir yang buruk. Oleh karenanya tatkala ada orang yang menjelaskan di hadapan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan penjelasan yang menakjubkan, maka Umar bin Abdul ‘Aziz berkata,
هَذَا السِّحْرُ الْحَلَالُ
“Ini adalah sihir yang halal.” ([15])
Dan penjelasan yang baik itu diperlukan bagi para da’i, para khathib tatkala mereka hendak menyampaikan sesuatu yang benar, maka mereka berusaha untuk bisa menyampaikan dengan cara yang tepat dan dengan penjelasan yang gamblang, sehingga orang-orang tampak tersihir karena paham akan hal yang disampaikan. Akan tetapi jangan menjadi sebaliknya yaitu menyihir orang dengan kata-kata agar hal-hal yang haram tampak halal. Oleh karenanya sebuah penjelasan itu, jika tujuannya baik maka itu adalah sihir yang baik, dan jika tujuannya batil maka itu adalah sihir yang batil.
Inilah beberapa di antara macam-macam sihir yang tidak semua hukumnya sama. Dari semua hadits yang dibawakan, tidak ada hadits yang termasuk pada makna sihir secara istilah atau syar’i kecuali hadits yang ketiga, sehingga membuat orang yang melakukannya murtad dan bisa ditegakkan hukum had atasnya. Adapun hadits yang sebelumnya dan sesudahnya termasuk dalam macam-macam sihir secara bahasa, yaitu memberikan pengaruh pada hati dengan sebab yang samar.
Kandungan bab ini:
- Di antara macam sihir (Jibt) adalah iyafah, tharq dan thiyarah.
- Penjelasan tentang makna iyafah, tharq dan thiyarah.
- Ilmu nujum (perbintangan) termasuk salah satu jenis sihir.
- Membuat buhulan, lalu ditiupkan kepadanya termasuk sihir.
- Mengadu domba juga termasuk perbuatan sihir.
- Keindahan susunan kata [yang membuat kebatilan seolah-olah kebenaran dan kebenaran seolah-olah kebatilan] juga termasuk perbuatan sihir.
_______________________________________
([1]) Tafsir Ibnu Katsiir 2/294
([3]) HR. An-Nasa’i no. 10330 dalam Sunan Al-Kubro
([7]) Siyar A’lam An-Nubala 8/276
([11]) HR. Al-Bukhari no. 5767
([13]) Dan ini adalah pendapat al-Imam Malik, sehingga beliau membawakan hadits (no 817) ini di Muwattho’ beliau dalam bab : مَا يُكْرَهُ مِنَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ “Tentang yang dibenci dari perkataan tanpa menyebut nama Allah” (Al-Muwattho’ 5/1435)
([14]) Lihat Fathul Baari 10/237-238
([15]) Al-Istidzkaar 8/558 dan al-Bidaayah wa an-Nihaayah 12/713