مَا جَاءَ فِي السِّحْرِ
Sihir
Makna Sihir
Secara bahasa السِّحْرُ maknanya مَا خَفِيَ وَ لَطُفَ سَبَبُهُ “Apa yang samar dan halus sebabnya.” Di dalam sebuah hadits, Nabi bersabda
إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْراً
“Sesungguhnya sebagian dari susunan kata-kata yang indah adalah sihir” ([1])
Penggunaan kata Sihir disini adalah sihir dalam makna bahasa, bukan sihir secara syar’i.
Adapun secara istilah, sihir dalam pemaknaannya para ulama berbeda pendapat.
- Metode pertama, para ulama yang tidak mendefinisikannya
Diantara ulama yang tidak mendefinisikannya secara khusus adalah Imam Asy-Syafi’i. Di dalam kitab Al-Umm, beliau berkata
وَالسِّحْرُ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَعَانٍ مُخْتَلِفَةٍ
“Sihir adalah nama yang mencakup makna yang banyak.”([2])
Beliau berkata demikian karena sihir itu sebabnya bisa banyak, caranya banyak, pengaruhnya juga berbagai macam bentuk. Sehingga jika didefinisikan dengan satu definisi tertentu maka itu adalah hal yang sulit.
Pendapat ini juga diambil oleh Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi. Beliau berkata di dalam kitabnya Adhwaul Bayan,
اِعْلَمْ أَنَّ السِّحْرَ فِي الاِصْطِلاَحِ لاَ يُمْكِنُ حَدُّهُ بِحَدٍّ جَامِعٍ مَانِعٍ؛ لِكَثْرَةِ الأَنْوَاعِ الْمُخْتَلِفَةِ الدَّاخِلَةِ تَحْتَهُ
“Perlu diketahui, sihir tidak akan bisa didefinisikan dengan definisi yang menyeluruh dan lengkap karena terkandung banyak permasalahan.” ([3])
- Metode kedua, para ulama yang berusaha mendefinisikannya
Diantara ulama yang berusaha mendefinisikannya adalah Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Beliau berkata di dalam kitabnya Al-Kaafi,
هُوَ عَزَائِمُ وَرُقًى وَعُقَدٌ يُؤَثِّرُ فِي الْقُلُوْبِ وَالأَبْدَانِ، فَيُمْرِضُ وَيَقْتُلُ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
“Sihir adalah jampi atau mantra dan buhul-buhul yang memberikan pengaruh pada hati dan badan, sehingga menimbulkan sakit, atau bahkan membunuh, serta bisa memisahkan pasangan suami istri.” ([4])
Walaupun pada akhirnya definisi yang dibawakan oleh Ibnu Qudamah tetap mendapatkan kritikan dari para ulama karena tidak memasukkan sihir takhyil (sihir yang terkhayal pada mata) di dalam definisi. Demikian pula, beliau tidak menyebutkan al-ittishal bisy syayathin (hubungan dengan syaithan), karena yang namanya sihir itu pasti membuat hubungan khusus dengan jin dan syaithan, ditambah sihir juga dilakukan dengan cara merendahkan agamanya.
Imam Asy-Syafi’i di dalam Al-Umm([5]) mengatakan bahwa sihir ada dua jenis,
- Sihir yang syirik dan kufur, yaitu sihir yang menggunakan bantuan syaithan
- Sihir yang tidak syirik dan kufur, yaitu dengan menggunakan obat-obatan, asap, dan sejenisnya, untuk menimbulkan pengaruh.
Namun jika diperhatikan, sihir jenis kedua yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i bukanlah sihir secara syar’i tetapi sihir secara bahasa. Karena sihir secara syar’i yang datang dalam lafadz-lafadz syariat yang membuat pelakunya musyrik dan hukumannya adalah dibunuh adalah sihir dengan menggunakan bantuan jin yaitu jenis pertama. Oleh karena itu, diantara bentuk sihir secara bahasa namun tidak masuk dalam lingkup sihir secara syar’i adalah sulap yang sekedar menggunakan kepandaian tangan atau trik-trik tertentu tanpa menggunakan bantuan syaithan.
Apakah Sihir Ada Hakekatnya?
Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat
- Pendapat Ahlussunnah
Ahlussunnah berkeyakinan bahwa sihir itu adalah hal yang hakiki dan bisa berpengaruh secara nyata pada anggota tubuh. Hal ini ditetapkan berdasarkan dalil dari Al-Quran, Hadits, dan realita.
Dalil dari Al-Quran
Firman Allah,
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” ( QS Al-Baqarah : 102)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan dua hal terkait efek sihir yaitu:
- Bisa menyebebkan suami istri berpisah
Hubungan yang paling kuat diantara dua orang manusia adalah hubungan suami istri, melebihi kuatnya hubungan antara orang tua dan anak, hubungan kakak dan adik, dan seterusnya. Tetapi dengan sihir, kekuatan hubungan tersebut bisa terpisah.
- Dapat memberi mudharat jika diizinkan oleh Allah
Sihir dapat memberikan mudharat dan efek pada korban. Hanya saja itu akan terjadi jika diizinkan oleh Allah, yaitu izin kauni dan bukan izin syar’i. Izin kauni maksudnya Allah tidak menyukainya tetapi Allah mengizinkannya terjadi sebagaimana Allah tidak menyukai keberadaan Iblis untuk menggoda manusia tetapi Allah tetap izinkan itu terjadi karena hikmah-Nya.
Dalil yang lain adalah firman Allah,
وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS Al-Falaq : 4)
Ayat ini juga menunjukkan bahwa sihir itu ada pengaruhnya. Seandainya sihir tidak ada pengaruhnya maka tidak ada faidah Allah menyuruh kita agar berlindung dari sihir.
Dalil dari hadits Nabi
Adanya sihir juga ditetapkan berdasarkan hadits Nabi, diantaranya sabda Nabi,
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir.” ([6])
Dalam hadits ini, Nabi menggandengkan antara racun dan sihir. Sebagaimana racun punya pengaruh maka demikian pula sihir juga punya pengaruh.
Dalam hadits yang lain tentang kisah ketika Nabi disihir. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ كَانَ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا فَعَلَهُ حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَهُوَ عِنْدِي لَكِنَّهُ دَعَا وَدَعَا ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَتَانِي رَجُلَانِ فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ فَقَالَ مَطْبُوبٌ قَالَ مَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ قَالَ فِي أَيِّ شَيْءٍ قَالَ فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ وَجُفِّ طَلْعِ نَخْلَةٍ ذَكَرٍ قَالَ وَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ فَأَتَاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَجَاءَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ كَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ أَوْ كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا اسْتَخْرَجْتَهُ قَالَ قَدْ عَافَانِي اللَّهُ فَكَرِهْتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ فِيهِ شَرًّا فَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ.
“Seseorang dari Bani Zuraiq, yang bernama Labid bin Al-A’sham, menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau merasa melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Sampai pada suatu hari atau pada suatu malam ketika beliau berada di sisiku, beliau terus berdo’a dan berdo’a. Kemudian beliau bersabda,“Wahai ‘Aisyah, apakah kamu tahu bahwa Allah telah memperkenankan do’aku tentang apa yang aku tanyakan kepada-Nya? Ada dua orang yang mendatangiku, satu diantaranya duduk di dekat kepalaku dan yang satunya lagi berada di dekat kakiku. Lalu salah seorang diantara keduanya berkata kepada temannya, “Sakit apa orang ini?”,“Terkena sihir,” sahut temannya.“Siapa yang telah menyihirnya?” tanya temannya lagi. Temannya menjawab, “Labid bin al-A’sham.” “Dengan apa?” Dia menjawab, “Dengan sisir dan rontokan rambut ketika disisir, dan mayang kurma jantan.” “Lalu dimana semuanya itu berada?” tanya temannya. Dia menjawab, “Disumur Dzarwan”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama beberapa orang sahabat beliau. Setelah kembali, beliau berkata, “Wahai ‘Aisyah, seakan-akan airnya berwarna merah seperti perasan daun pacar, dan ujung dahan pohon kurma (yang berada di dekatnya) seakan-akan seperti kepala syaitan.” Lalu ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau meminta dikeluarkan?” Beliau menjawab, “Allah telah menyembuhkanku, sehingga aku tidak ingin memberi pengaruh buruk kepada umat manusia dalam hal itu”. Kemudian beliau memerintahkan untuk menimbunnya, maka semuanya pun ditimbun dengan segera([7]).
Sebagian orang menolak hadits ini dengan dalil aqli (akal), mereka beralasan jika Nabi disihir maka itu bisa berpengaruh pada wahyu-wahyu yang akan beliau sampaikan, wahyu-wahyu bisa terkontaminasi dengan kalimat-kalimat yang tidak benar. Anggapan ini bisa dibantah bahwa Nabi disihir pada hal yang tidak ada kaitannya dengan wahyu. Sihir yang dialami beliau adalah semacam penyakit sehingga seakan-akan beliau merasa telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya.
Sebagaimana Nabi Muhammad pernah disihir, sebelumnya Nabi Musa juga pernah disihir. Allah berfirman,
قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ، فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ
Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan”. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. (QS Thaha : 66-67)
Saat Nabi Musa tersihir, Allah tetap menurunkan wahyu kepadanya. Sehingga tidak ada pengaruh sihir terhadap wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa. Demikian juga pada Nabi Muhammad, sihir yang menimpa beliau tidak berpengaruh kepada wahyu.
Dalil dari bukti realita
Bukti secara realita juga menunjukkan adanya sihir, betapa banyak di sekeliling kita yang melakukan praktek sihir. Betapa banyak orang yang tersihir, dan betapa banyak juga yang sembuh dari sihir, dan juga ada para penyihir yang bertaubat dan menceritakan pengalamannya sebagai penyihir.
- Pendapat Mu’tazilah
Mu’tazilah dan yang terpengaruh dengan mereka, seperti Ibnu Hazm, Abu Bakar Al-Jashshash Al-Hanafi, Abu Manshur Al-Maturidy dan selainnya, mereka berpendapat bahwa sihir hanyalah at-takhyil (khayalan) dan tidak ada hakekatnya.
Berkata Al-Qadhi Abdul Jabbar seorang tokoh Mu’tazilah,
إِنَّ السِّحْرَ فِي الْحَقِيْقَةِ لاَ يُوْجِبُ الْمَضَرَّةَ لِأَنَّهُ ضَرْبٌ مِنَ التَّمْوِيْهِ وَالْحِيْلَةِ، وَإِنَّمَا يَقَعُ بِهِ التَّقْرِيْعُ وَالتَّخْوِيْفُ فَيُؤَدِّي ذَلِكَ إِلَى أَمْرَاضٍ وَمَضَارَّ، وَيَكُوْنُ بِنَفْسِهِ إِقْدَاماً عَلَى مَضَرَّةٍ عَلَى وَجْهٍ يَلْطُفُ، فَسُمِّيَ بِذَلِكَ
“Sesungguhnya sihir pada hakekatya tidak menimbulkan kemudharatan, karena sihir itu hanyalah permainan dan trik. Yang terjadi hanyalah menakuti-nakuti yang menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dan kemudorotan, sehingga dengan sendirinya mengantarkan kepada kemudorotan dengan cara yang halus, karenanya dinamakan dengan sihir” ([8])
Pendapat ini diikuti oleh Abu Manshur Al-Maturidy, dia berkata
وَالأَصْلَ أَنَّ الْكَهَانَةَ مَحْمُوْلٌ أَكْثَرُهَا عَلَى الْكَذِبِ وَالْمُخَادَعَةِ، وَالسِّحْرَ عَلَى الشُّبَهِ وَالتَّخْيِيْلِ
“Asalnya perdukunan itu kebanyakannya dibawa kepada bentuk penipuan dan dusta. Dan sihir kebanyakannya dibawa kepada bentuk pengrancuan dan pengkhayalan” ([9])
Ia juga berkata :
وَالسِّحْرُ هُوَ شَيْءٌ يَأْخُذُ الْبَصَرَ ثُمَّ يَضْمَحِلُّ
“Dan sihir adalah sesuatu yang menimpa pandangan lalu sirna” ([10])
Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy, ketika mengomentari ayat
فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ
“Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS Thaha : 66)
Ibnu Hazm berkata,
فَأَخْبَرَ اللهُ تَعَالَى أَنَّ عَمَلَ أُولَئِكَ السَّحَرَةِ إِنَّمَا كَانَ تَخَيُّلاً لاَ حَقِيْقَةَ
“Allah mengabarkan bahwa perbuatan sihir mereka hanyalah khayalan tidak hakiki.” ([11])
Dalam menguatkan pendapatnya, golongan kedua ini juga memiliki dalil.
Dalil Al-Quran
Golongan kedua ini mereka berdalil dengan kisah duel antara Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun sebagaimana yang telah berlalu ayatnya. Dalam ayat yang lain tentang kisah ini, Allah berfirman,
قَالَ أَلْقُوا ۖ فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (QS Al-A’raf : 116)
Menurut mereka, ini memberikan kesimpulan bahwa sihir mereka hanyalah khayalan.
Bantahannya :
- Sihir tersebut benar-benar memberikan pengaruh yaitu pengaruh pada mata, bahkan semua yang menyaksikan duel itu semua tersihir. Bahkan Nabi Musa-pun tersihir matanya. Jadi bukan hanya sekedar sulap semata.
- Jika mata bisa terpengaruh maka sihir tersebut juga bisa mempengaruhi anggota tubuh yang lain
- Allah tidak memberi batasan bahwa sihir tersebut hanya berpengaruh pada mata
Dalil Aqli
Mereka juga berdalil dengan dalil aqli, mereka berkata, seandainya sihir itu hakiki maka apa bedanya antara penyihir dengan Nabi karena Nabi bisa melakukan sesuatu yang khariqul ‘adah (keluar dari aturan alam) demikian pula penyihir juga bisa.
Bantahannya :
Manusia yang bisa melakukan sesuatu yang khariqul ‘adah (keluar dari aturan alam) memang bukan hanya Nabi, tetapi ada tiga yaitu Nabi, Wali, dan dukun atau penyihir. Bedanya Nabi mengakui bahwa dia adalah seorang Nabi lalu mendakwahkannya kepada manusia. Adapun wali dan dukun tidak mendakwahkan bahwa dirinya adalah seorang Nabi.
Jika mereka mengaku sebagai nabi tentu sihir mereka pasti akan langsung dibatalkan.
Dalil Pertama :
Firman Allah :
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ
“Demi Allah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.” (QS Al-Baqarah : 102)
Ayat ini menegaskan bahwa pelaku sihir itu kafir, karena firman Allah “tiadalah baginya keuntungan di akhirat” ini diungkapkan bagi orang kafir. Hal ini karena penyihir telah bekerja sama dengan syaithan. Dan tidak mungkin dia melakukan sihir kecuali ada bentuk pengagungan terhadap syaithan yang dilakukan atau ada bentuk penghinaan terhadap syariat Islam.
Di ayat 102 dari surat al-Baqoroh ada beberapa pendalilan yang menunjukan bahwa pelaku sihir adalah kafir.
Pertama : Firman Allah وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ “Dan mereka (yaitu kaum yahudi penyihir) mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman”.
Allah menyatakan bahwa para penyihir mengikuti bacaan syaitan. Maka ini cukup menunjukan bahwa mereka (para penyihir) adalah kafir karena mengikuti bacaan syaitan.
Kedua : Firman Allah وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir)”.
Allah menyatakan bahwa Sulaiman tidaklah kafir, karena Sulaiman tidak mempraktikan sihir sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang yahudi. Maka ini jelas bahwa yang melakukan sihir pantas untuk dihukum kafir.
Ketiga : Firman Allah وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ “sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”
Allah menyatakan bahwa orang yang belajar sihir akan menjadi kafir, maka bagaimana lagi dengan yang mempraktikannya.
Keempat : Firman Allah وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ “Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat”
Allah menyatakan bahwa para penyihir tidak mendapatkan bagian di akhirat, dan ibarat seperti ini menunjukan para penyihir kafir.
Kelima : Pada ayat selanjutnya Allah berfirman :
وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui (QS Al-Baqoroh : 103)
Allah menyatakan “Kalau mereka beriman…”, yang ini menunjukan bahwasanya mereka para penyihir tidaklah beriman.
Kafirnya penyihir juga ditegaskan dalam ayat yang lain, yaitu firman Allah :
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُونَ
“dan ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat keberuntungan” (QS Yunus : 77)
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Dan tidak akan beruntung tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (QS Thaha : 69)
Dan berdasarkan kebiasaan al-Qur’an jika dinafikan al-falaah maka menunjukan akan pengkafiran. Misalnya firman Allah :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung (QS Al-Mukminun : 117)
وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang kafir” (QS Al-Qoshosh : 82)
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu tidak mendapat keberuntungan (QS Al-Anáam : 21)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang dzalim dalam ayat ini adalah orang-orang yang telah berdusta atas nama Allah dan mendustakan ayat-ayat Allah. Tentu yang berdusta atas nama Allah dan mendustakan ayat-ayatNya adalah orang-orang kafir.
Dalil Kedua :
Firman Allah :
يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Mereka percaya kepada jibt dan thaghut.” (QS An-Nisa : 51)
Menurut penafsiran Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, Jibt adalah sihir, sedangkan Thaghut adalah syetan.
Sedangkan Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Thaghut adalah para tukang ramal yang didatangi syetan; yang ada pada setiap kabilah.
Ayatnya secara lengkap, Allah berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا، أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ ۖ وَمَن يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dilaknat Allah. Barangsiapa yang dilaknat Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (QS An-Nisa’ : 51)
Ayat ini juga menegaskan tentang bahaya sihir, karena orang yang melakukan praktek sihir dan mengimani sihir maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah.
Dalil Ketiga :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-muubiqaat).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?” Beliau bersabda, “(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, (4) makan riba, (5) makan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, (7) qadzaf (menuduh wanita mukminah yang baik-baik dengan tuduhan zina).” (HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89)
اجْتَنِبُوا yang bermakna “Jauhilah!” adalah ungkapan yang lebih mendalam maknanya dibanding “Tinggalkanlah!” Karena boleh jadi seseorang itu meninggalkan suatu hal tetapi dia masih tetap berada dekat dengannya. Sedangkan berdasarkan hadits ini Nabi memerintahkan agar menjauhinya, dekat pun tidak boleh.
Ini sama dengan doa Nabi Ibrahim agar dia dan anak keturunannya dijauhkan dari kesyirikan.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS Ibrahim : 35)
Hal ini karena boleh jadi seseorang mengaku meninggalkan kesyirikan akan tetapi dia tetap dekat-dekat dengan kesyirikan. Sedangkan syariat melarang kita mendekat dengan kesyirikan, karenanya segala hal yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan juga dilarang oleh Allah.
Imam Al-Bukhari di dalam shahihnya membuat bab باب الشِّرْكُ وَالسِّحْرُ مِنَ الْمُوبِقَاتِ (Bab : Syirik dan sihir termasuk dosa yang membinasakan). Lalu beliau membawakan hadits dengan lafadz yang sedikit berbeda, Nabi bersabda,
اجْتَنِبُوا المُوبِقَاتِ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ
“Jauhilah dosa yang membinasakan (al-muubiqaat), Syirik kepada Allah dan sihir.” ([12])
Ibnu Hajar ketika megomentari hadits ini beliau berkata,
وَاقْتَصَرَ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى ثِنْتَيْنِ مِنْهَا تَنْبِيْهًا عَلَى أَنَّهُمَا أَحَقُّ بِالاِجْتِنَابِ
“Beliau mencukupkan dalam hadits ini dari hanya menyebut dua perkara ini saja dari 7 perkara, karena dua perkara ini adalah perkara yang paling utama untuk ditinggalkan.” ([13])
Dalam hadits, Nabi menyebutkan sihir secara sendiri setelah syirik, padahal sihir itu sendiri adalah kesyirikan. Bentuk seperti ini sesuai dengan kaidah ذِكْرُ الْخَاصِّ بَعْدَ الْعَامِّ (menyebutkan yang khusus setelah umum). Diantara faidahnya adalah untuk menunjukkan urgensi yang khusus tersebut. Demikian pula penyebutan sihir secara khusus di dalam hadits menunjukkan urgensinya dan agar menjadi perhatian betapa bahayanya praktek sihir.
Kalimat-kalimat yang menggunakan kaidah ini sering dijumpai di dalam Al-Quran, seperti firman Allah,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Ashri : 3)
Padahal telah dimaklumi bahwa amal termasuk ke dalam lingkup iman. Namun disebutkan amal secara khusus di dalam ayat untuk menekankan bahwa iman itu bukan hanya sekedar keyakinan di hati dan perkataan di lisan tetapi harus dengan perbuatan di anggota badan berupa amalan.
Demikian pula dalam ayat yang lain Allah berfirman,
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah : 98)
Padahal Jibril dan Mikail termasuk ke dalam malaikat yang sudah disebutkan sebelumnya. Tetapi Jibril dan Mikail disebutkan secara khusus menunjukkan bahwasanya dua malaikat ini adalah malaikat yang istimewa dan punya kedudukan khusus, sebagaimana yang telah diketahui pula bahwa Jibril adalah pemimpinnya para malaikat.
Oleh karena itu, ketika Nabi menyebutkan sihir secara khusus dalam hadits, maka itu menunjukkan bahwa sihir adalah perkara yang sangat berbahaya. Bukan hanya membahayakan pelakunya dengan menjerumuskannya ke dalam kekafiran tetapi juga membahayakan orang lain dengan mencelakakannya, melukainya, bahkan bisa membuat nyawanya hilang.
Sabda Nabi,
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ
“Membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar”
Diantara dosa besar yang sangat diingkari oleh Allah adalah membunuh seorang muslim. Allah berfirman,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisa : 93)
Jangankan membunuh seorang muslim, bahkan membunuh seorang kafir yang tidak berhak dibunuh saja bisa menjurumuskan ke neraka Jahannam.
Nabi bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” ([14])
Padahal surga bisa dicium dari jarak jauh. Tetapi orang yang membunuh orang kafir muahad diancam tidak akan dapat mencium bau surga tersebut. Maka bagaimana lagi dengan membunuh seorang mukmin, tentu dosa dan ancamannya lebih besar.
Nabi juga bersabda :
لَنْ يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا
“Seorang mukmin senantiasa berada dalam kelapangan dalam agamanya selama ia tidak menumpahkan darah dari orang yang haram untuk dibunuh.” ([15])
Awalnya seseorang mendapat rahmat dan ampunan yang sangat luas dari Allah. Tetapi setelah dia membunuh, maka rahmat akan terasa sempit baginya. Dia tidak akan bisa meminta maaf lagi kepada orang yang telah dia bunuh, sehingga rahmat dan ampunan yang awalnya lapang menjadi sempit.
Karenanya Nabi juga bersabda :
كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَغْفِرَهُ، إِلَّا مَنْ مَاتَ مُشْرِكًا، أَوْ مُؤْمِنٌ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
“Semua doa semoga Allah mengampuninya, kecuali orang yang meninggal dalam kondisi musyrik atau seorang mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja” ([16])
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbutuhnya seorang muslim.” ([17])
Dunia yang musnah lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim. Hal ini karena dunia dan langit beserta seluruh isinya hakekatnya diciptakan untuk seorang muslim. Tidaklah dunia ini diciptakan melainkan agar seorang muslim bisa merenungi ciptaan Allah dan agar bisa bersyukur serta beribadah kepada Allah. Allah berfirman,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi..” (QS Ali ‘Imran : 190-191)
Karenanya seorang mukmin lebih mulia daripada ka’bah. Ibnu Umar berkata :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ، وَيَقُولُ: «مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالِهِ، وَدَمِهِ، وَأَنْ نَظُنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرًا»
“Aku melihat Rasulullah shallallahu álaihi wasallam thowaf di ka’bah, dan beliau berkata, “Sungguh baik engkau, dan sungguh baik wangimu, sungguh mulianya engkau, dan sungguh besar kehormatanmu. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah daripada kehormatanmu, yaitu hartanya, darahnya, dan kita berprasangka baik kepadanya” ([18])
Hal ini karena ka’bah dibangun untuk kaum mukminin. Allah berfirman :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (QS Ali Ímron : 96)
Bahkan jika semua orang berkumpul untuk membunuh seorang mukmin maka semuanya akan dijerumuskan dalam neraka jahannam. Nabi bersabda :
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الْأَرْضِ اشْتَرَكُوا فِي دَمِ مُؤْمِنٍ لَأَكَبَّهُمْ اللَّهُ فِي النَّارِ
“Jika penghuni langit dan penghuni bumi seluruhnya bersatu untuk membunuh seorang mukmin maka Allah akan menjerumuskan mereka di neraka” ([19])
Sabda Nabi,
وَأَكْلُ الرِّبَا
“Makan riba”
Riba adalah dosa besar yang begitu sering diremehkan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan sebagian kaum muslimin begitu bangga jika bisa bekerja dengan berdasi di instansi-instansi riba. Padahal Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS Al-Baqoroh : 278-279)
Sabda Nabi,
وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
“Makan harta anak yatim”
Harta anak yatim seharusnya diperhatikan tetapi malah dimakan tanpa hak. Bahkan jika kita mengetahui bahwa ada yang mengurus harta anak yatim ternyata dia tidak amanah maka perbuatan yang dia lakukan harus dilaporkan. An-Nawawi berkata :
أَمَّا جُرْحُ الرُّوَاةِ وَالشُّهُودِ وَالْأُمَنَاءِ عَلَى الصَّدَقَاتِ وَالْأَوْقَافِ وَالْأَيْتَامِ وَنَحْوِهِمْ فَيَجِبُ جُرْحُهُمْ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَلَا يَحِلُّ السَّتْرُ عَلَيْهِمْ إِذَا رَأَى مِنْهُمْ مَا يَقْدَحُ فِي أَهْلِيَّتِهِمْ وَلَيْسَ هَذَا مِنَ الْغِيبَةِ الْمُحَرَّمَةِ بَلْ مِنَ النَّصِيحَةِ الْوَاجِبَةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ
“Adapun mengritiki para rawi hadits, para saksi, pada pemegang amanah yang diamanahi mengurusi harta sedekah, wakaq, mengurusi anak-anak yatim, dan yang semisalnya, maka wajib menjelaskan keburukan mereka jika diperlukan, dan tidak halal menutupi aib mereka jika ia melihat pada mereka ada perkara yang menjadikan mereka cacat dan bukan halinya. Hal ini bukanlah termasuk ghibah yang haram, bahkan ini merupakan nasihat yang wajib, dan ini disepakati oleh para ulama” ([20])
Sabda Nabi,
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ
“Lari dari medan perang”
Lari dari medan pertempuran juga merupakan dosa besar kecuali lari untuk kembali lagi dan menyerangnya kembali atau untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin yang lain. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ، وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (QS Al-Anfal : 15-16)
Sabda Nabi
وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“dan menuduh (zina) wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya”
Kemudian di antara perkara yang harus dijauhi adalah menuduh wanita-wanita mukminah yang terjaga. Kata الغَافِلاَتِ berasal dari kata غَافِلَةٌ yang artinya lalai. Maksudnya adalah wanita tersebut disifat sebagai wanita yang lalai dari berbuata zina. Artinya wanita ini bukan wanita pezina dan jauh dari perzinahan bahkan tidak memikirkan perzinahan. Maka jika wanita baik-baik seperti ini dituduh berzina, tentu ini adalah dosa besar. Begitupula tidak boleh seseorang menuduh orang lain berbuat liwath sementara dia tidak punya bukti akan hal tersebut.
Dalam riwayat yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ: هُنَّ تِسْعٌ، … وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ، وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
“Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu? Kemudian beliau berkata: “Dosa-dosa besar tersebut ada sembilan.” (Kemudian beliau menyebutkan maknanya (yang termasuk tujuh dosa pada hadits sebelumnya), dan beliau tambahkan; dan durhaka kepada kedua orang tua muslim, dan menghalalkan hal-hal yang haram dilakukan di Baitul Haram kiblat kalian, baik kiblat bagi yang hidup maupun yang mati.”([21])
Ini menunjukkan bahwa penyebutan angka tujuh pada hadits Abu Hurairah tidak membatasi, melainkan ada juga perkara-perkara yang lain, hanya saja Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebutkan tujuh perkara ini karena ada sesuatu yang penting dalam ketujuh dosa besar ini
Dalil Keempat :
Diriwayatkan dari Jundub bahwa Rasulullah bersabda dalam hadits marfu’:
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسّيْفِ
“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal lehernya dengan pedang.” (HR. Imam Turmudzi, dan ia berkata: “pendapat yang benar hadits ini adalah mauquf (perkataan sahabat)”)
Yang dimaksud marfu’ adalah yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mauquf adalah perkataan atau perbuatan sahabat. Memang benar bahwa hadits ini terdapat khilaf, akan tetapi At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini mauquf. Sehingga perkataan ini adalah perkataan Jundub bin Ka’b Al-Azdi.
Ada dua orang sahabat yang terkenal yang bernama Jundub. Yang satu bernama Jundub bin ‘Abdillah Al-Bajali, dan yang lainnya bernama Jundub bin Ka’b Al-Azdi, atau Jundub Al-Khoir Al-Azdi. Dalam hadits ini, terdapat khilaf dikalangan para ulama, sebagian menyebutkan bahwa dia adalah Jundub Al-Bajali. Akan tetapi yang benar adalah sebagiamana yang disebutkan oleh para ulama yang meneliti bahwa dia adalah Jundub bin Ka’b Al-Azdi, karena dialah yang terkenal membunuh penyihir([22]).
Dalam shahih Bukhari, dari Bajalah bin Abdah, ia berkata:
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَنِ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَسَاحِرَةٍ، قال: فَقَتَلْنَا ثَلاَثَ سَوَاحِرَ
“Umar bin Khathab telah mewajibkan untuk membunuh setiap tukang sihir, baik laki-laki maupun perempuan”. Bajalah berkata, “Maka kami telah membunuh tiga tukang sihir.”
Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari sebagaimana yang dikatakan oleh Penulis, akan tetapi dengan lafal yang lain. Lafal yang disebutkan oleh penulis ini tidak ada di dalam Shahih Bukhari. Yang termaktub di Shahih al-Bukhari adalah dengan lafadz …
فَأَتَانَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ، فَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنَ المَجُوسِ
“Maka datanglah kepada kami surat perintah dari Umar bin Al-Khottob setahun sebelum beliau meninggal, “Pisahkanlah pernikahan setiap orang menikahi mahramnya dari kalangan Majusi.” ([23])
Ibnu Qudamah berkata :
وَهَذَا اُشْتُهِرَ فَلَمْ يُنْكَرْ، فَكَانَ إجْمَاعًا
“Dan kisah perintah Umar ini (untuk membunuh para penyihir) mashyur dan tidak ada yang mengingkari, maka ini adalah ijmak” ([24])
Hukuman Bagi Penyihir
Dan dalam shahih Bukhari juga, Hafsah radhiallahuanha telah memerintahkan untuk membunuh budak perempuannya yang telah menyihirnya, maka dibunuhlah ia, dan begitu juga riwayat yang shahih dari Jundub.
Imam Ahmad berkata: “diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa hukuman mati terhadap tukang sihir ini telah dilakukan oleh tiga orang sahabat Nabi (Umar, Hafsah dan Jundub)
Terkait dengan hukum penyihir, banyak sahabat yang mengatakan bahwa hukum bagi penyihir adalah dibunuh. Telah datang riwayat-riwayat yang sahih yang menyebutkan bahwa enam sahabat yang memerintahkan untuk membunuh penyihir, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Hafshah, Ibnu Umar, Jundub Al-Azdi, Qaish bin Sa’ad, dan ‘Utsman bin ‘Affan. Demikian juga -sebagaimana telah lalu- tatkala datang perintah Umar untuk menyuruh para sahabat pembunuh penyihir, maka tidak ada dari para sahabat yang mengingkarinya. Maka ini dinamakan Ijma’ sukuti, yaitu para sahabat sepakat dan diam dan tidak melakukan protes terhadap apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pendapat yang lebih rajih untuk hukuman bagi penyihir adalah dibunuh. Namun disana ada khilaf tentang hukuman bagi penyihir, yaitu sebagai berikut.
Pendapat Pertama : Hukumannya dibunuh secara mutlak
Ini adalah pendapat yang lebih benar tanpa membedakan model sihirnya seperti apa. Karena penyihir itu hakekatnya dia telah murtad, sedangkan Nabi bersabda,
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” ([25])
Pendapat Kedua : Hukumannya dirinci
Hukumnya dirinci dilihat dari jenis sihirnya,
- Jika memakai bantuan syaithan, maka hukumnya dibunuh
- Jika tidak memakai bantuan syaithan, maka dirinci lagi,
- Jika sihirnya menyebabkan orang lain mati maka dia dibunuh
Hal ini karena kaidah النَّفْسُ بِالنَّفْسِ (jiwa dibayar dengan jiwa). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain, dan orang yang keluar dari agamanya memisahkan diri dari Jama’ah (murtad).” ([26])
- Jika sihirnya tidak menyebabkan orang lain mati maka tidak dibunuh
Pendapat Ketiga : Hukumannya dikembalikan kepada penguasa
Dia dihukumi sebagai seorang zindiq dan hukumannya ditentukan oleh penguasa apakah dibunuh atau tidak. Zindiq adalah seorang yang statusnya muslim namun menampakkan kekufuran, atau melakukan perbuatan yang menunjukkan kebenciannya terhdap Islam. Maka jika demikian, hukumnya adalah kembali kepada pemerintah. Jika dibunuh terdapat maslahat maka dibunuh, dan jika tidak maka tidak dibunuh.
Kesimpulan : dari banyak pendapat ini, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama yaitu dibunuh secara mutlak tanpa membeda-bedakan jenis sihirnya. Artinya adalah jika seseorang ketahuan melakukan sihir dan benar-benar berhubungan dengan syaitahan maka dia dibunuh, dan pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini lebih baik dan mendatangkan mashlahat bagi agama dan kaum muslimin. Sungguh betapa banyak tersiksa, sakit, menderita, bahkan meninggal karena sihir. Jika ditegakan hukum yang tegas maka para penyihir akan menjadi ketakutan untuk mempraktikan sihirnya.
Adapun pendapat ketiga, yang menjelaskan bahwa penyihir itu dikembalikan kepada pemerintah, maka pendapat ini dibawakan pada kondisi jika tidak diketahui hakikat sihirnya, apakah ia menyihir dengan bantuan syaithan atau tidak, akan tetapi telah jelas dia telah memberikan kemudharatan kepada orang lain, maka hukumnya dikembalikan kepada pemerintah.
Namun jika telah jelas dia menyihir dengan bantuan syaithan, dia menyembah syaithan, maka dia telah murtad dan berlaku baginya hukum murtad yaitu dibunuh.
Kandungan bab ini:
- Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Al Baqarah ([27]).
- Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’([28]).
- Penjelasan tentang makna Jibt dan Thaghut, serta perbedaan antara keduanya.
- Thaghut itu terkadang dari jenis Jin, dan kadang terkadang dari jenis manusia.
- Mengetahui tujuh perkara yang bisa menyebabkan kehancuran, yang dilarang secara khusus oleh Nabi.
- Tukang sihir itu kafir.
- Tukang sihir itu dihukum mati tanpa diminta taubat terlebih dahulu.
- Jika praktek sihir itu telah ada di kalangan kaum muslimin pada masa Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya?
_____________________________________________________
([6]) HR Bukhari no. 5769 dan Muslim no. 2047
([7]) HR. Bukhari no 3268 dan Muslim no 2189
([8]) Mutasyaabih al-Quráan al-Kariim hal 99
([9]) Kitaab at-Tauhiid, Abu Manshuur al-Maturidi hal 209
([10]) Kitaab at-Tauhiid, Abu Manshuur al-Maturidi hal 189
([11]) Al-Fishol fi al-Milal wa al-Ahwaa’ wa an-Nihal 5/103.
Menurut Ibnu Hazm bahwasanya tongkat-tongkat dan tali-tali yang bergerak seperti ular hanyalah sulap semata (tidak ada proses yang menyihir mata), yaitu tongkat-tongkat dan tali-tali tersebut dilumuri atau dipenuhi dengan menggunakan air raksa sehingga menimbulkan gerakan-gerakan yang seperti ular (lihat Al-Foshol 5/104)
([16]) HR. Abu Daud no 4270 dan An-Nasaai no 3984 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([17]) HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
([18]) HR Ibnu Majah no 3932 dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 3420
([19]) HR. At-Tirmidzi no 1398 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([20]) Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/135
([22]) Kisah Jundub bin Ka’ab Al-Azdi dalam membunuh penyihir adalah kisah yang mashyur. Disebutkan dalam At-Tarikh Al-Kabir li Al-Bukhari, juga disebutkan dalam Ad-Dalail, dari Abu ‘Utsman An-Nahdi, beliau berkata,
كَانَ عَنْدَ الْوَلِيْدِ رَجُلٌ يَلْعَبُ فَذَبَحَ إِنْسَانًا وَأَبَانَ رَأْسَهُ فَعَجِبْنَا فَأَعَادَ رَأْسَهُ فَجَاءَ جُنْدُبُ الْأَزْدِيّ فَقَتَلَهُ
“Disisi Al-walid (khalifah) ada seorang penyihir. Maka dia (penyihir) menyembelih seseorang dan dia memisahkan kepalanya (dengan memegangnya). Maka kami pun heran dia bisa melakukan demikian. Maka kemudian dia menyambung kepala orang tersebut. Maka datanglah Jundub Al-Azdi kemudian membunuh penyihir tersebut.” (At-Tarikh Al-Kabir 2/222)
Orang ini tentu penyihir, karena hal itu tidak mungkin terjadi kalau bukan dengan bantuan syaithan, maka Jundub akhirnya mengambil pedangnya lalu memenggal kepada penyihir tersebut, kemudian dia berkata,
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
“Hukuman bagi penyihir adalah dipenggal lehernya dengan pedang.”
([23]) HR Bukhari no. 3156, Adapun lafal yang disebutkan oleh penulis maka sebagaimana berikut:
أَنِ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَسَاحِرَةٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنَ الْمَجُوسِ، وَانْهَوْهُمْ عَنِ الزَّمْزَمَةِ
“Bunuhlah setiap tukang sihir laki laki dan tukang sihir perempuan, dan pisahkan setiap orang (suami istri) yang semahram dari kalangan Majusi, dan laranglah mereka dari zamzamah.” (HR. Ahmad no. 1657; HR. Abu Daud no. 3043)
Diantara kerusakan orang-orang Majusi adalah mereka menikah dengan mahram mereka, yaitu menikah dengan ibunya sendiri, anaknya, bibinya, atau saudaranya. Akhirnya ketika terjadi cekcok dalam rumah tangga mereka, maka mereka tidak segan-segan membunuh anaknya, ibunya, atau saudaranya yang dia nikahi. Oleh karenanya tatkala mereka hidup bersama kaum muslimin dalam naungan daulah Islam, maka Umar memberikan perintah untuk memisahkan setiap orang Majusi yang menikah dengan mahramnya. Dan Umar juga melarang orang-orang majusi untuk melakukan zamzamah. Zamzamah adalah ucapan yang diucapkan oleh orang-orang Majusi tatkala mereka hendak makan. Intinya adalah Bajalah menyebutkan bahwa dengan perintah Umar tersebut membuat dia membunuh tiga orang penyihir wanita.
([27]) Ayat pertama menunjukkan bahwa sihir haram hukumnya, dan pelakunya kafir, di samping mengandung ancaman berat bagi orang yang berpaling dari kitab Allah, dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
([28]) Ayat kedua menunjukkan bahwa ada di antara umat ini yang beriman kepada tukang sihir (Jibt), sebagaimana ahli kitab beriman kepadanya, karena Rasulullah r telah menegaskan bahwa akan ada di antara umat ini yang mengikuti dan meniru umat-umat sebelumnya.