Kisah Nabi Hud dan Shalih
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan di awal surah Al-A’raf tentang kisah-kisah yang dahulu pernah ada di atas muka bumi. Kemudian, dikarenakan kesombongan mereka, Allah pun menghancurkan mereka. Allah memulai dengan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, kemudian kisah kaum Nabi Hud ‘alaihissalam, kemudian kisah kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam, kemudian kisah kaum Nabi Luth, kemudian kisah kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Oleh karenanya, sebagaimana perkataan Nabi Syu’aib kepada kaumnya,
وَيَاقَوْمِ لَا يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِي أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيدٍ. وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ
“Hai kaumku, janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat (berbuat dosa) hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu.” (QS. Hud: 89)
Oleh karenanya, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang hancurnya suatu kaum yang dahulu mereka pernah jaya, hal ini merupakan peringatan bahwasanya azab Allah itu sangat mudah untuk diturunkan kepada orang-orang yang membangkang dari perintahNya. Kalaupun Allah tidak menurunkannya di dunia, maka pasti Allah berikan di akhirat. Maka, hendaknya seseorang berhati-hati ketika bermaksiat kepada Allah, karena sesungguhnya azab Allah menanti. Sebagaimana firman Allah Subahanahu wa ta’ala,
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku”.” (QS. Al-An’am: 15)
Maka, sebagaimana dengan kaum-kaum terdahulu yang telah berlalu, maka kitapun akan berlalu. Sehingga jangan sampai kita mengisi kehidupan dengan kemaksiatan.
Pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari kisah dua orang nabi yang sangat mulia yaitu Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Aad dan Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud. Kedua Nabi ini merupakan berasal dari Arab, sebagaimana diketahui bahwa nabi yang berasal dari Arab ada empat yaitu Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu’aib dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jenis orang Arab ada tiga. Yang pertama adalah Al-‘Arab Al-‘Aaribah, yaitu Arab asli yang disebut dengan Arab Yaman (Arab Qahtan). Mereka berasal dari Yaman yang kemudian berhijrah ke jazirah Arab ketika terjadi kekeringan di negeri mereka. Mulai dari Hijaz hingga ke kota Madinah. Kemudian yang kedua adalah Al-‘Arab Al-Musta’ribah, yang secara bahasa kita bermakna Arab yang tidak asli, yang kemudian dianggap sebagai orang Arab. Ini merupakan jenis arabnya Nabi Muhammad ﷺ, karena beliau keturunan dari Nabi Ismail, sedangkan Nabi Ismail bukan orang Arab. Akan tetapi, karena nabi Ismail tinggal di kota Makkah, yang kemudian menikahi seorang wanita dari kabilah Jurhum (keturunan Arab Qahtan), sehingga anak-anaknya dianggap sebagai orang Arab. Di antaranya adalah Nabi Muhammad ﷺ([1]). Jenis Arab yang ketiga adalah Al-‘Arab Al-Baa’idah, yaitu Arab yang sudah punah, dan sudah tidak ada keturunannya lagi, dan di antaranya adalah Kaum ‘Aad dan kaum Tsamud([2]).
Allah Subhanahu wa ta’ala selalu menyebutkan tentang kisah kaum ‘Aad dan kaum Tsamud sebagai peringatan tentang kisah orang terdahulu kepada kaum musyrikin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 6-9)
Kisah Kaum ‘Aad
Kaum ‘Aad merupakan keturunan dari Nabi Nuh ‘alaihissalam. Adapun ‘Aad memiliki nama lengkap ‘Aad bin Iram bin ‘Awadh bin Sam bin Nuh ‘alaihissalam. Nabi Nuh ‘alaihissalam memiliki empat orang anak laki-laki yang bernama Sam, Ham, Yafif, dan Yam. Adapun Yam disebut oleh Ahli Kitab sebagai Kan’an, dan dialah yang mati tenggelam karena tidak ikut naik bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalam yang Allah sebutkan di dalam Alquran,
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ. قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 41-42)
Adapun anak yang ikut bersama Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah Sam, Ham, dan Yafif. Seluruh umat manusia di alam semesta ini merupakan keturunan dari ketiga anak Nabi Nuh ‘alihissalam. Karena manusia yang tersisa dan beranak pinak adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh ‘alaihissalam. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ
“Dan Kami jadikan anak cucunya (Nuh) orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS. As-Shaffat: 77)
Seluruh orang Arab adalah keturunan Sam, dan seluruh orang Eropa adalah keturunan Ham, dan seluruh orang Afrika adalah keturunan Yafif. Maka dari itu, ‘Aad merupakan keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Adapun Iram yang disebutkan dalam surah Al-Fajr adalah nenek moyang dari ‘Aad([3]). Disebutkan bahwa keturunan Iram adalah orang-orang yang tinggi, sehingga mereka memiliki tiang-tiang rumah yang tinggi. Adapun Tsamud merupakan keturunan ‘Aad, sehingga kaum Tsamud juga disebut sebagai kaum ‘Aad. Untuk membedakan antara keduanya, maka Allah menyebutkan bahwa ‘Aad adalah yang pertama dan Tsamud adalah yang kedua atau setelahnya.
Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah dan umatnya ditenggelamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, tersisalah orang-orang yang beriman yang hidup bersama Nabi Nuh ‘alaihissalam. Mereka pun beranak pinak, sampai akhirnya dari keturunan Sam muncul anak cucunya yang bernama kaum ‘Aad yang mereka melakukan kesyirikan dan juga bersikap sombong. Disebutkan bahwa Kaum ‘Aad tinggal di daerah Al-Ahqaf, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran,
وَاذْكُرْ أَخَا عَادٍ إِذْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ بِالْأَحْقَافِ وَقَدْ خَلَتِ النُّذُرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ. قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَأْفِكَنَا عَنْ آلِهَتِنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Aad yaitu ketika dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al-Ahqaaf dan sesungguhnya telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): “Janganlah kamu menyembah selain Allah, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab hari yang besar”. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkanlah kepada kami azab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.” (QS. Al-Ahqaf: 21-22)
Para ulama mengatakan bahwa Al-Ahqaf terletak di negeri Yaman. Yaitu antara Oman dan Hadramaut. Yang pasti, mereka juga tinggalnya di daerah Arab([4]). Kaum ‘Aad merupakan kaum yang memiliki badan yang besar. Oleh karenanya, Nabi Hud ‘alaihissalam juga mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat Allah terhadap mereka. Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada mereka,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf: 69)
Dalam buku-buku tafsir disebutkan bahwa bukti kuatnya kaum ‘Aad adalah mereka cukup mengirim satu orang dari mereka untuk menghancurkan satu kampung. Adapun tingginya kaum ‘Aad disebutkan mencapai 50 hingga 100 meter. Akan tetapi pendapat tersebut tidak memiliki dalil dan hanya cerita Israiliyat. Pendapat yang benar adalah kaum ‘Aad adalah kaum yang tinggi, tapi tidak lebih tingi dari Nabi Adam ‘alaihissalam([5]). Karena manusia yang paling tinggi adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا… فَلَمْ يَزَلِ الخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الآنَ
“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta…(sedangkan) anak cucu Adam diciptakan mengecil hingga sekarang.” ([6])
Maka, Nabi Adam adalah manusia yang paling tinggi dan paling sempurna. Kalau boleh kita katakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam adalah produk awal yang sangat istimewa karena diciptakan langsung oleh tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga Nabi Adam ‘alaihissalam menjadi manusia yang paling sempurna dari segi fisik, yaitu tinggi dan ketampanan. Sampai disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika Isra’ Mi’raj, beliau mengatakan,
إِذَا هُوَ قَدِ اُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ
“Ia (Yusuf) dianugerahi setengah ketampanan.” ([7])
Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam dianugerahi setengah ketampanan adalah beliau dianugerahi setengah ketampanannya Nabi Adam ‘alaihissalam([8]). Dan juga disebutkan bahwa orang-orang yang kelak akan masuk surga, mereka akan disempurnakan oleh Allah sebagaimana fisiknya Nabi Adam ‘alaihissalam.
Ternyata karena tubuh-tubuh yang dimiliki kaum ‘Aad itu tinggi dan besar, maka hal itu menjadikan mereka sombong. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa taa’ala berfirman,
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“Adapun kaum ‘Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.” (QS. Fusshilat: 15)
Ternyata nikmat yang Allah lebihkan kepada kaum ‘Aad, menjadikan mereka tidak mensyukurinya, melainkan menyombongkan diri dengan nikmat tersebut. Maka Allah mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam untuk menasehati mereka. Di antara nasehat yang disampaikan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada kaumnya antara lain disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad dari saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A’raf: 65)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ
“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. (Selama ini) Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (QS. Hud: 50)
Setelah itu, kaum Nabi Hud ‘alaihissalam (kaum ‘Aad) menjawab,
قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ
“Kaum ‘Ad berkata: “Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu.” (QS. Hud: 53)
Di dalam ayat yang lain, setelah Allah menyebutkan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, Allah menggambarkan pembangkangan kaum ‘Aad. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ. فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ. وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ. وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ
“Kemudian, Kami jadikan sesudah mereka umat yang lain. Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya). Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Mu’minun : 31-34)
Maka, orang-orang sombong di antara kaum ‘Aad menolak untuk beriman kepada Nabi Hud ‘alaihissalam. Sampai mereka mengatakan bahwa Nabi Hud ‘alaihissalam bukanlah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala karena Nabi Hud ‘alaihissalam adalah manusia seperti mereka. Seakan-akan mereka menganggap bahwa utusan Allah itu harusnya malaikat dan bukan manusia.
Setelah kaum ‘Aad menyatakan bahwa mereka tidak mau beriman kepada Nabi Hud ‘alaihissalam, maka mereka kemudian mengancam Nabi Hud dengan berkata,
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
“Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” (QS. Hud: 54)
Kata sebagian para ulama, mukjizat Nabi Hud ‘alaihissalam adalah sikap tawakalnya yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([9]). Hal ini ditunjukkan melalui jawaban Nabi Hud ‘alaihissalam terhadap kaumnya. Beliau mengatakan,
قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ. مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Hud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya. Sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu tunda lagi. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus”.” (QS. Hud: 54-56)
Setelah kaum Nabi Hud ‘alaihissalam mengatakan bahwa mereka tidak akan beriman dan meminta agar diturunkan azab jika memang Nabi Hud ‘alaihissalam adalah benar utusan Allah, maka Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada mereka,
قَالَ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَأُبَلِّغُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
“Ia (Hud) berkata: “Sesungguhnya pengetahuan (tentang azab) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang bodoh”.” (QS. Al-Ahqaf: 23)
Ketika Allah mendengar tantangan kaum Nabi Hud ‘alaihissalam untuk didatangkan azab, maka Allah benar-benar mendatangkan azab bagi mereka. Akan tetapi, Allah tidak mengirimkan azab yang berat untuk mereka, melainkan Allah kirim kepada kaum Nabi Hud ‘alaihissalam azab yang ringan berupa udara untuk membinasakan mereka. Padahal, mereka memiliki badan yang besar dan juga memiliki kekuatan.
Pada waktu mereka hendak didatangkan azab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, di negeri mereka sedang terjadi musim kemarau. Hal itu dijelaskan dalam ayat yang lain tatkala Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya,
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
“Dan (Hud berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu.” (QS. Hud: 52)
Setelah itu, Allah mendatangkan azab kepada kaumnya Nabi Hud ‘alaihissalam berupa angin yang cukup kencang bersamaan dengan awan yang gelap. Akan tetapi, ketika mereka melihat itu, mereka semakin sombong. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ. تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) tetapi itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Aad) menjadi tidak nampak lagi (di bumi) kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al-Ahqaf: 24-25)
Di dalam ayat yang lain Allah menceritakan tentang kisah angin tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ. إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ
“Kaum ‘Aad pun telah mendustakan (rasulnya). Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus, yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang.” (QS. Al-Qamar: 18-20)
Dalam ayat ini, angin yang Allah kirimkan kepada kaum ‘Aad sifatnya صَرْصَرًا. Terdapat dua tafsiran tentang kata tersebut. Tafsiran pertama adalah angin tersebut sangat dingin, sehingga dinginnya angin tersebut menyiksa kaum ‘Aad. Sebagaimana kita ketahui bahwa siksaan Allah kelak di neraka Jahannam ada dua macam yaitu api yang sangat panas dan satunya lagi sangat dingin. Sehingga Allah ingin mendatangkan angin yang dingin itu untuk menyiksa mereka terlebih dahulu. Tafsiran kedua adalah angin tersebut memiliki suara yang sangat keras yang memekakkan telinga mereka, hingga membuat telinga mereka kesakitan. ([10])
Disebutkan dalam buku-buku tafsir, ketika kaum ‘Aad menyadari bahwa angin tersebut bukan sekedar angin yang akan membawa hujan, melainkan membawa azab, maka mereka berlari untuk bersembunyi di dalam gua, lorong-lorong, bahkan ke dalam sumur. Akan tetapi, sifat angin yang Allah kirimkan mampu masuk ke tempat-tempat mereka, lalu mengeluarkan mereka dari tempat persembunyian mereka. Kemudian, mereka diletakkan di udara([11]). Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan keadaan mereka dengan berfirman,
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu melihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al-Haqqah: 7)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa saking kuatnya angin yang menimpa mereka, sampai membelah dada-dada mereka. Sehingga keluarlah isi dari perut mereka. Dan ketika mereka dijatuhkan, yang pertama kali sampai ke tanah adalah kepala mereka yang membuat kepala mereka pecah. Maka dari itu, Allah mengumpamakan kondisi jasad mereka seperti batang pohon kurma yang telah kosong. Maka setelah itu, binasalah kaum ‘Aad. ([12])
Faedah yang bisa kita ambil dari kisah kaum ‘Aad adalah tentang betapa bahayanya sifat kesombongan. Tatkala seseorang diberikan oleh Allah berupa kelebihan, maka janganlah dia menyombongkan diri dengan kelebihan tersebut. Karena, Allah memberikan kelebihan agar seseorang semakin bersyukur dan menjadikannya semakin bertakwa. Dan berhati-hatilah terhadap hal-hal yang bisa memancing kesombongan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ، يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، فَخَسَفَ اللهُ بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Ketika seorang lelaki sedang berjalan, ia bangga (sombong) dengan juntaian rambut dan kainnya, maka Allah benamkan dia dalam tanah, maka ia pun terbenam di dalam bumi sampai hari kiamat.” ([13])
Maka, sebagaimana baju bisa membuat orang bersifat sombong, apalagi sesuatu yang lebih dari pada itu. Termasuk pula, ilmu bisa membuat orang sombong atas orang yang lain yang tidak memiliki ilmu. Bahkan, potensi kesombongan karena ilmu itu lebih besar daripada harta. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan tentang kesombongan di dalam Al-Quran,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)
Maka, jauhilah segala sebab-sebab kesombongan. Salah satu caranya adalah bergaul dengan orang-orang miskin dan bersikap sederhana. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun hanya sebesar biji zarrah.” ([14])
Kisah Kaum Tsamud
Para ulama menjelaskan bahwa kisah Nabi Shalih adalah salah satu kisah yang tidak terdapat dalam kitab Taurat dan Injil. Kalau kita memperhatikan Al-Kitab, kita akan mendapati kisah para nabi seperti Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Adam dan yang lainnya. Akan tetapi, para ulama menjelaskan bahwa di dalam Al-Kitab tidak terdapat kisah Nabi Hud, Nabi Shalih, dan Nabi Syu’aib. Hal ini dikarenakan bahwa ketiga Nabi Allah ini adalah nabi yang berasal dari bangsa Arab. Sementara kitab Taurat dan Injil diturunkan untuk Bani Israil, sehingga isinya berkaitan dengan nabi-nabi keturunan Bani Israil. Padahal di dalam Alquran Allah menyebutkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam pernah menyampaikan tentang Nabi Hud dan Nabi Shalih kepada kaumnya. Nabi Musa ‘alaihissalam mengatakan kepada kaumnya,
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّهُ جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرَدُّوا أَيْدِيَهُمْ فِي أَفْوَاهِهِمْ وَقَالُوا إِنَّا كَفَرْنَا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ وَإِنَّا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَنَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya”.” (QS. Ibrahim: 9)
Maka sebenarnya, kisah kaum Tsamud telah disampaikan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan seharusnya telah termaktub dalam Injil dan Taurat. Akan tetapi, sebagaimana yang kita ketahui bahwa isi dari kitab Injil sudah menyimpang dan mengalami perubahan, sehingga kisah yang tidak berkaitan dengan Bani Israil dihilangkan. Padahal, seharusnya ada sebagaimana Allah sebutkan dalam surah Ibrahim.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّهُ
“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (QS. Ibrahim: 9)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam ayat lain,
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” (QS. Al-Fajr: 9)
Kaum Tsamud tinggal di Dhiyar Tsamud yang letaknya di kota Al-‘Ula, sekitar 300 kilo meter sebelah utara dari kota madinah. Letak kota tempat tinggal kaum Tsamud sangat subur, sehingga jika seseorang menaiki salah satu benteng yang ada di sana, maka dia akan melihat hamparan kota yang hijau. Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan tempat tersebut dengan Al-Hijr, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدْ كَذَّبَ أَصْحَابُ الْحِجْرِ الْمُرْسَلِينَ. وَآتَيْنَاهُمْ آيَاتِنَا فَكَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ. وَكَانُوا يَنْحِتُونَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا آمِنِينَ
“Dan sesungguhnya penduduk-penduduk kota Al Hijr telah mendustakan rasul-rasul, dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling daripadanya, dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman.” (QS. Al-Hijr: 80-82)
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa kaum Tsamud telah mendustakan para rasul. Padahal, mereka hanya mendustakan Nabi Shalih ‘alaihissalam. Karena, suatu kelaziman bahwa barangsiapa yang mendustakan seorang nabi, maka dia sesungguhnya telah mendustakan seluruh nabi, karena dakwah seluruh nabi sama yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut itu”.” (QS. An-Nahl: 36)
Dikisahkan pula bahwa ketika Rasulullah ﷺ keluar untuk perang melawan orang-orang Romawi dalam perang Tabuk, beliau mampir ke tempat kaum Tsamud. Bayangkanlah, bagaimana perjuangan Rasullah ﷺ bersama kaum muslimin yang berangkat ketika musim panas dan kurma sedang mulai tumbuh, kemudian meninggalkan kenikmatan tersebut dan menempuh jarak yang dalam hitungan kendaraan saat ini kurang lebih 700 kilo meter menuju Tabuk. Ibnu Umar menceritakan,
نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ عَامَ تَبُوكَ نَزَلَ بِهِمُ الْحِجْرَ عِنْدَ بُيُوتِ ثَمُودَ، فَاسْتَسْقَى النَّاسُ مِنَ الْآبَارِ الَّتِي كَانَ يَشْرَبُ مِنْهَا ثَمُودُ، فَعَجَنُوا مِنْهَا، وَنَصَبُوا الْقُدُورَ بِاللَّحْمِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَهَرَاقُوا الْقُدُورَ، وَعَلَفُوا الْعَجِينَ الْإِبِلَ، ثُمَّ ارْتَحَلَ بِهِمْ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ عَلَى الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا النَّاقَةُ، وَنَهَاهُمْ أَنْ يَدْخُلُوا عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ عُذِّبُوا قَالَ: إِنِّي أَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ، فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ
“Rasulullah ﷺ pernah singgah bersama sahabatnya di Hijr pada tahun terjadinya perang Tabuk. Beliau singgah bersama mereka di bekas-bekas rumah kaum Tsamud. Para sahabat meminta beliu untuk mengambil air dari sumur yang biasa dipergunakan kaum Tsamud untuk minum. Dari air itu mereka mengolah makanan dan memasak daging dengan panci-pancinya. Serta merta Rasulullah fdfa memerintahkan mereka untuk menumpahkan panci-pancinya dan masakannya diberikan kepada unta-untanya. Nabi terus melanjutkan perjalanan hingga singgah disebuah sumur yang pernah digunakan unta Nabi Shalih minum. Beliau melarang mereka (para sahabat) mendatangi kediaman kaum yang pernah diazab itu. Beliau fdfa bersabda: “Saya khawatir, jangan-jangan kalian ditimpa seperti yang menimpa mereka (jika kalian mengambil air dari sana), maka janganlah kalian memasuki kediaman mereka.” ([15])
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ulama tafsir dan ulama ahli nasab mengemukakan silsilah kaum Tsamud. Tsamud memiliki nama lengkap Tsamud bin Atsir bin Iram bin ‘Awadh bin Sam bin Nuh ‘alaihissalam. Kaum Tsamud adalah satu keturunan dari kaum ‘Aad, sehingga mereka juga disebut sebagai kaum ‘Aad yang kedua([16]). Setelah kaum Nabi Hud ‘alaihissalam meninggal, maka tinggallah dia bersama orang-orang yang beriman yang Allah selamatkan. Mereka senantiasa mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sampai kemudian lahir cucu-cucu mereka yang kembali melakukan kesyirikan yaitu kaum Tsamud. Ketika mereka melakukan praktik kesyirikan, maka Allah mengutus Nabi Shalih ‘alaihissalam kepada mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata: “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.” (QS. Hud: 61)
Kemudian Nabi Shalih juga mengingatkan kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka. Nabi Shalih mengatakan,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الْأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan ingatlah ketika Tuhan menjadikam kamu khalifah-khalifah (yang berkuasa) setelah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-A’raf: 74)
Disebutkan bahwa tempat tinggal kaum Tsamud terdapat lembah dan gunung-gunung. Adapun lembah itu mereka membangun di atasnya rumah yang bagus dan gunung-gunung mereka pahat untuk dibuat rumah tempat tinggal. Gunung yang menjadi tempat tinggal mereka dahulu, masih ada hingga saat ini. Dalam satu gunung terdapat beberapa rumah yang dipahat, dan yang paling bagus di antara rumah tersebut terdapat patung kepala manusia. Menurut pengalaman saya, tinggi tubuh kaum Tsamud tidak setinggi kaum ‘Aad. Karena pintu masuk dan dipannya tidak terlalu tinggi. Kemudian, sebagian ulama mengatakan bahwa suku pertama yang memahat gunung menjadi rumah adalah kaum Tsamud. Adapun tempat-tempat yang semisal dengannya di negara-negara Eropa, itu muncul setelah kaum Tsamud.
Rupanya setelah mereka dinasehati dan diingatkan tentang nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka tetap tidak mau beriman. Akan tetapi, terdapat orang-orang yang lemah yang beriman kepada Nabi Hud dan Shalih. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ. قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang disampaikannya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu Imani”.” (QS. Al-A’raf: 75-76)
Di dalam ayat yang lain kaumnya berkata kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam,
قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَذَا أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ
“Kaum Tsamud berkata: “Wahai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan (menjadi pemimpin), (tetapi) mengapa engkau melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami”.” (QS. Hud: 62)
Akan tetapi, Nabi Shalih terus dan senantiasa mendakwahi mereka. Sampai akhirnya mereka merasa bosan dengan dakwah Nabi Shalih ‘alaihissalam. Mereka pun meminta kepada Nabi Shalih sesuatu yang bisa menunjukkan kebenaran akan kerasulannya. Mereka meminta didatangkan unta dari sebuah batu dengan ciri-ciri putih, tinggi, sedang hamil 10 bulan dan jika keluar mereka berjanji akan beriman. Akan tetapi, ketahuilah bahwa itu hanyalah alasan bagi mereka agar tidak beriman dengan meminta kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam melakukan sesuatu yang mustahil.
Kemudian, Nabi Shalih ‘alaihissalam shalat dan berdoa kepada Allah dan meminta unta seperti yang mereka inginkan. Maka, Allah mengabulkan doanya dengan mengeluarkan unta dari batu persis seperti yang mereka syaratkan. Ternyata, setelah nampak mukjizat tersebut bagi kaum Tsamud, sebagian kecil mereka beriman dan sebagian besar yang lain tetap kafir([17]). Demikianlah, orang yang dari awal tidak menghendaki keimanan, mukjizat macam apapun tidak akan bisa membuat mereka beriman. Sebagaimana perumpamaan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ. لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ
“Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang orang yang kena sihir”.” (QS. Al-Hijr: 14-15)
Demikian pula yang dilakukan oleh Fir’aun, ketika para penyihirnya kalah dalam pertandingan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam. Disamping itu, dia sendiri telah melihat mukjizat Nabi Musa. Maka, karena kesombongannya yang sejak awal enggan beriman, maka Fir’aun berkata kepada para penyihirnya,
إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ
“Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian.” (QS. Taha: 71)
Begitu pula halnya dengan kaum Nabi Shalih yaitu kaum Tsamud yang menganggap diri mereka tersihir dengan apa yang mereka lihat. Ketahuilah, inilah bukti bahwa hidayah itu di tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau Allah tidak menghendaki hidayah meskipun seluruh sebab hidayah telah datang, maka orang tersebut tidak akan dapat beriman. Maka, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberikan hidayah kepada kita.
Yang beriman kepada Nabi Shalih hanyalah sedikit dari mereka. akan tetapi dari sedikit yang beriman tersebut, kebanyakan dari kalangan orang-orang miskin. Demikianlah, kebanyakan pengikut para nabi. Sebaliknya, orang-orang yang kaya kebanyakan sombong, sehingga susah bagi mereka untuk tunduk kepada aturan, akhirnya membuat mereka bukan golongan orang-orang yang beriman. Oleh karenanya ketika Nabi ﷺ diperlihatkan surga, beliau mengatakan,
اطَّلَعْتُ فِي الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الفُقَرَاءَ
“Aku diperlihatkan surga, maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah orang-orang faqir (miskin).” ([18])
Oleh karenanya, ujian terhadap harta sangatlah berat. Banyak orang ketika diuji dengan kemiskinan, mudah baginya untuk bersabar. Akan tetapi, banyak orang yang diuji dengan kekayaan tidak lulus, karena terkadang hartanya mengantarkannya untuk sombong dan berbuat maksiat.
Kemudian Nabi Shalih ‘alaihissalam pun berkata,
وَيَا قَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ
“Wahai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab.” (QS. Hud: 64)
Penyebutan Unta Allah dalam ayat ini memiliki makna bahwa unta tersebut memiliki keistimewaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa unta tersebut keluar dari batu([19]). Kemudian, Nabi Shalih memperingatkan kaumnya untuk tidak mengganggu unta tersebut dengan gangguan apapun walau hanya sekedar menghalanginya, apalagi sampai memukul atau menyembelihnya. Mereka juga tidak boleh menghalangi unta tersebut makan di mana saja, karena bumi ini milik Allah dan unta tersebut juga milik Allah. Karena jika mereka mengganggunya, maka mereka akan ditimpa azab yang pedih.
Kemudian Nabi Shalih ‘alaihissalam berkata kembali,
قَالَ هَذِهِ نَاقَةٌ لَهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَعْلُومٍ
“Shalih berkata: “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan giliran minum untuk pada hari yang ditentukan.” (QS. Asy-Syu’ara: 155)
Di daerah tempat tinggal kaum Tsamud terdapat sumur yang konon katanya masih ada sampai saat ini. Dari sumur ini Nabi Shalih mengatakan kepada kaumnya bahwa satu hari digunakan oleh unta tersebut untuk minum dan mereka tidak boleh minum pada hari itu. Dan pada keesokan harinya mereka yang memiliki giliran untuk mengambil air dari sumur tersebut, sedangkan untanya tidak boleh minum pada hari itu. Para ulama menyebutkan bahwa ketika unta tersebut minum, maka kaum Nabi Shalih tidak boleh ikut minum. Akan tetapi, di sore hari mereka boleh memeras susu dari unta tersebut yang telah minum dari pagi hari dan mereka mendapati susu yang sangat banyak dari unta tersebut([20]). Inilah yang membuat kaum Tsamud mau bergantian dengan unta tersebut, karena ada timbal balik yang mereka dapatkan.
Setelah berlangsung hal tersebut beberapa lama, mereka pun merasa bosan dan jengkel dengan peraturan tersebut. Merekapun mengeluh karena harus mengalah dan menurut terhadap seekor unta. Akhirnya mereka pun berunding untuk membunuh unta tersebut. Akan tetapi, di sisi lain mereka juga takut untuk menyembelih unta tersebut karena meningat ancaman Nabi Shalih ‘alaihissalam. Oleh karenanya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ada seorang wanita yang sudah tua yang jengkel kepada Nabi Shalih. Wanita tua tersebut memiliki beberapa anak perempuan yang cantik. Maka, diapun membuat sayembara, bahwa siapa yang berani membunuh unta Nabi Shalih, maka dia boleh memilih wanita yang mana dari putrinya untuk dijadikan istrinya. ([21])
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا
“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (QS. Asy-Syams: 12)
Disebutkan dalam buku tafsir bahwa nama orang yang berdiri untuk membunuh unta tersebut adalah Qudar bin Salif([22]). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tafsir ayat ini dengan mengatakan,
انْبَعَثَ لَهَا رَجُلٌ عَزِيزٌ عَارِمٌ، مَنِيعٌ فِي رَهْطِهِ، مِثْلُ أَبِي زَمْعَةَ
“Muncul dari kalangan mereka seorang laki-laki terhormat, perangainya jahat dan mempunyai banyak pendukung di kalangannya, laki-laki itu seperti Abu Zam’ah.” ([23])
Akhirnya, laki-laki tersebut membunuh unta tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا
“Lalu mereka mendustakan (Nabi Shalih) dan menyembelih unta itu, kerena itulah Tuhan membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah).” (QS. Asy-Syams: 14)
Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَاصَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”.” (QS. Al-A’raf: 77)
Di dalam ayat ini, Allah menisbatkan perbuatan tersebut kepada mereka semua. Padahal, yang melakukannya hanya satu orang. Hal ini disebabkan karena sebelumnya mereka semua telah menyepakati untuk membunuh unta tersebut, sehingga yang lainnya Allah juga kategorikan sebagai orang yang membunuh unta tersebut.
Maka, hati-hatilah wahai saudaraku, bisa jadi yang melakukan maksiat hanya satu orang, akan tetapi yang lainnya menyetujui, maka yang lain pun akan ikut berdosa sebagaimana dosanya orang yang melakukan maksiat. Meskipun dia tidak melakukan maksiat tersebut.
Setelah itu, Nabi Shalih ‘alaihissalam pun sedih mendengar kabar bahwa unta tersebut telah dibunuh oleh kaum Tsamud. Maka, Nabi Shalih ‘alaihissalam pun kemudian mendatangi mereka dan berkata,
تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ
“Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 65)
Maka, setelah mendengar peringatan Nabi Shalih ‘alaihissalam, mereka pun menyesal dan ketakutan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَعَقَرُوهَا فَأَصْبَحُوا نَادِمِينَ
“Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal.” (QS. Asy-Syu’ara: 157)
Kemudian, mereka pun merasa tanggung dan sudah terlanjur membunuh unta tersebut. Maka, mereka berencana pula untuk membunuh Nabi Shalih ‘alaihissalam. Karena mereka telah diperingatkan tentang azab oleh Nabi Shalih, maka mereka ingin agar Nabi Shalih ‘alaihissalam bisa mati bersama mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ. قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
“Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak melakukan perbaikan. Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerang dia beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (QS. An-Naml: 48-49)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml: 50)
Maka, tatkala mereka hendak membunuh Nabi Shalih ‘alaihissalam, Allah lebih dulu membuat makar kepada mereka yang mereka tidak sadari. Yaitu Allah membunuh mereka sebelum mereka membunuh Nabi Shalih ‘alaihissalam.
Kemudian, kaum Tsamud menunggu selama tiga hari yang dijanjikan dengan ketakutan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa tatkala lewat hari pertama, wajah mereka menguning. Pada hari kedua wajah mereka putih pucat. Dan pada hari ketiga mereka pun bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi. Maka, pada hari tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka semua dengan menimpakan kepada mereka gempa dan suara yang sangat dahsyat([24]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ
“Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (QS. Al-A’raf: 78)
Pada ayat yang lain Allah berfirman,
وَأَخَذَ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ
“Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (QS. Hud: 67)
Nabi Shalih ‘alaihissalam dan orang-orang beriman yang bersamanya berada tidak jauh dari tempat Allah mengazab kaumnya. Akan tetapi, mereka tidak terkena akibat dari gempa itu dan juga tidak mendengar suara dahsyat yang Allah kirimkan untuk kaum Tsamud. Hal ini menjadi bukti bahwa terkadang siksaan kepada suatu kaum ditimpakan kepada siapa yang Allah kehendaki. Contoh sederhana adalah ketika Allah mengirimkan angin untuk menghancurkan kaum musyrikin dalam perang Khandaq. Jarak antara kaum muslimin dan kaum musyrikin tidaklah jauh. Akan tetapi, angin tersebut hanya memporak-porandakan kemah kaum musyrikin. Adapun orang-orang di kota madinah tidak terkena angin tersebut. Contoh lain, yaitu sering kita dengar ada gempa yang menghancurkan bangunan dimana-mana akan tetapi ada masjid yang tidak hancur dan tetap berdiri kokoh. Maka, ini semua merupakan bentuk kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Setelah kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam hancur dan binasa, Nabi Shalih berkata sebagaimana yang Allah Sebutkan dalam Al-Quran,
فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ
“Maka Shalih berpaling dari mereka seraya berkata: “Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.” (QS. Al-A’raf: 79)
Terdapat dua tafsiran dari ayat ini di kalangan ulama tentang kapan Nabi Shalih mengucapkan perkataan ini. Tafsiran pertama, sebelum azab turun kepada kaumya. Nabi Shalih pergi terlebih dahulu dan berkata kepada kaumnya dengan perkataan di dalam ayat ini. Tafsiran kedua, ucapan Nabi Shalih dalam ayat ini diucapkan setelah kaumnya tertimpa azab([25]). Karena Allah menggunakan kata فَتَوَلَّى, yang menunjukkan kejadian setelah azab diturunkan. Dan pendapat kedua ini merupakan pendapat yang lebih kuat sebagaimana perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya([26]).
Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap nabi ketika umatnya telah tewas karena azab dari Allah, maka mereka (para nabi) mendatangi mayat-mayat kaumnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalih ‘alaihissalam dalam ayat di atas([27]). Contoh lain adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah terjadinya perang Badar dan menewaskan para pembesar-pembesar kaum Quraisy. Kemudian, di depan mayat-mayat mereka, Rasulullah ﷺ berkata kepada mereka,
يَا أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ يَا أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ يَا شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ أَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّي قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا» فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ يَسْمَعُوا وَأَنَّى يُجِيبُوا وَقَدْ جَيَّفُوا؟ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ أَنْ يُجِيبُوا
“Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalaf, wahai ‘Utbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian? Karena sesungguhnya aku telah mendapatkan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan kepadaku.” Umar mendengar ucapan Nabi ﷺ, kemudian ia berkata: “Wahai Rasulullah! Bagaimana mereka mendengar dan menjawab sedangkan mereka telah mati?” Beliau besabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab.” ([28])
Inilah kesudahan dari orang-orang yang sombong dan angkuh, baik dari kaum Nabi Hud yaitu ‘Aad maupun kaum Nabi Shalih yaitu kaum Tsamud. Semoga kisah ini bermanfaat, agar kita senantiasa bersyukur atas apa yang berikan kepada kita dan bukan untuk kita sombongkan.
________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 8/233
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 8/215
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/236
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 16/204
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/236
([6]) H.R. Bukhari 4/131 no. 3326
([7]) H.R. Muslim 1/146 no. 162
([8]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/386
([9]) Lihat: Tafsir As-Sa’di 1/383
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/135, 18/259
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 16/206
([12]) Tafsir Ibnu Katsir 7/479, 8/209
([13]) H.R. Muslim 3/1654 no. 2088
([14]) H.R. Muslim 1/93 no. 147
([15]) H.R. Ahmad 2/117 no. 5984
([16]) Tafsir Ibnu Katsir 3/439
([17]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/440
([18]) H.R. Bukhari 4/117 no. 3241
([19]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/440
([20]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/440
([21]) Tafsir Ibnu Katsir 3/441
([22]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/444
([23]) H.R. Bukhari 6/169 no. 4942
([24]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/442
([25]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/242
([26]) Tafsir Ibnu Katsir 3/444