Waktu-Waktu Dikabulkannya Doa
- Hari Arafah
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
”Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah.” ([1])
- Hari Jumat
Hari Jum’at merupakan hari yang paling afdhal dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh dengan keberkahan. Allah ﷻ mengkhususkan hari Jum’at ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari umat-umat terdahulu. Di antara beberapa keutamaan dan barakah hari yang agung ini disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ”.
“Hari terbaik dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukkan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.”([2])
Di antara keberkahan hari Jum’at, bahwa di dalamnya terdapat waktu-waktu dikabulkannya do’a. Dalam ash-Shahihain terdapat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ menyebut hari Jum’at, lalu beliau ﷺ bersabda,
“فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا”
“Pada hari Jum’at terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat pada waktu tersebut dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.”([3])
Hadis di atas menyebutkan bahwa terdapat waktu mustajab di hari Jum’at dimana doa seorang muslim akan dikabulkan oleh Allah ﷻ dan itu hanya sesaat. Namun Rasulullah ﷺ tidak menyebutkan batasan kapan tepatnya waktu itu terjadi.
Ada beberapa pendapat ulama tentang waktu mustajab tersebut. Dari sekian banyak pendapat terdapat 2 pendapat yang dianggap lebih kuat([4]).
Pendapat pertama : Waktu mustajab tersebut adalah antara azan (setelah Imam duduk) hingga selesainya sholat Jum’at
Dalil pendapat ini adalah Hadist Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
حَدِيثُ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ – يَعنِي فِي سَاعَةِ الجُمُعُةِ – : (هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ)
“Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda” (tentang waktu mustajab di hari Jum’at), ‘Waktu tersebut adalah antara imam duduk hingga imam menunaikan shalat Jumat’.([5])
Banyak Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan,
“وَقَدِ اخْتَلَفَ السَّلَفُ فِي أَيِّهِمَا أَرْجَحُ فَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيقِ أَبِي الْفَضْلِ أَحْمَدَ بْنِ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيِّ أَنَّ مُسْلِمًا قَالَ حَدِيثُ أَبِي مُوسَى أَجْوَدُ شَيْء فِي هَذَا الْبَاب وأصحه وَبِذَلِك قَالَ الْبَيْهَقِيّ وبن الْعَرَبِيِّ وَجَمَاعَةٌ وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ هُوَ نَصٌّ فِي مَوْضِعِ الْخِلَافِ فَلَا يُلْتَفَتُ إِلَى غَيْرِهِ وَقَالَ النَّوَوِيُّ هُوَ الصَّحِيحُ بَلِ الصَّوَابُ وَجَزَمَ فِي الرَّوْضَةِ بِأَنَّهُ الصَّوَابُ وَرَجَّحَهُ أَيْضًا بِكَوْنِهِ مَرْفُوعًا صَرِيحًا وَفِي أَحَدِ الصَّحِيحَيْنِ ” انتهى .
“Para salaf berbeda pendapat mengenai mana di antara dua pendapat yang rajih. Al-Baihaqi meriwayatkan dari jalur Abu Fadhl Ahmad bin Salamah An-Naisabury bahwa Muslim berkata, ‘Hadist Abu Musa dalam masalah ini adalah dalil yang paling baik dan paling sahih dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-baihaqi, Ibnu Al-Arabi dan para ulama lainnya. Al-Qurtubi berkata, ‘hadist ini adalah Nash (yang dipakai) dalam masalah khilaf ini dan dalil selainnya tidak dianggap’. Imam An-Nawawi juga berkata, ‘hadist ini sahih dan benar’. Beliau juga menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatutthalibin dan menekankan bahwa dalil tersebut benar bahkan beliau juga merajihkannya bahwa hadist tersebut Marfu’ dan jelas dan terdapat juga pada salah satu As-sahihain”.([6])
Pendapat kedua : Waktu mustajab terletak setelah sholat Ashar hingga terbenamnya matahari.
Dalil pendapat ini adalah hadist Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ”.
“Pada hari Jum’at terdapat dua belas waktu. Tidak lah seorang Muslim memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka berusahalah untuk mencari akhir dari waktu tersebut yang jatuh setelah ‘Ashar.”([7])
Banyak ulama yang juga berpegang dengan pendapat ini bahkan dari kalangan para sahabat Nabi ﷺ, mereka adalah Abu Hurairah dan Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Rahimahullah,
“وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى تَرْجِيحِ قَوْلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ فَحَكَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ قَالَ أَكْثَرُ الْأَحَادِيثِ على ذَلِك وَقَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ إِنَّهُ أَثْبَتُ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إِلَى أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ نَاسًا مِنَ الصَّحَابَةِ اجْتَمَعُوا فَتَذَاكَرُوا سَاعَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ افْتَرَقُوا فَلَمْ يَخْتَلِفُوا أَنَّهَا آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَرَجَّحَهُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ أَيْضًا كَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَمِنَ الْمَالِكِيَّةِ الطُّرْطُوشِيُّ وَحَكَى العلائي أَن شَيْخه بن الزَّمْلَكَانِيِّ شَيْخَ الشَّافِعِيَّةِ فِي وَقْتِهِ كَانَ يَخْتَارُهُ وَيَحْكِيهِ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ” انتهى .
“Sebagian ulama lain memilih pendapat yang dirajihkan oleh Abdullah bin Salam, At-Tirmidzi menghikayatkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata, ‘mayoritas hadist menunjukkan akan pendapat ini’. Ibnu Abdil Barr berkata, ‘hadist ini adalah hadist yang paling tsabit (kokoh) dalam bab ini. Said bin Manshur meriwayatkan dengan sanad yang sahih sampai kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, ‘Bahwasanya sebagian sahabat berkumpul dan membahas waktu yang mustajab di hari Jum’at kemudian mereka berpisah dan tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa waktu tersebut adalah akhir waktu dari hari jum’at (yakni setelah ashar)’. Pendapat ini juga banyak yang merajihkannya di antara para imam seperti Ahmad, Ishaq dan At-Thurthusyi dari Malikiyah. Al-‘Allai juga menghikayatkan bahwa syeikhnya Ibnu Az-Zamlakany (syaih Syafi’iyah pada zamannya) memilih pendapat ini beliau juga menghikayatkannya dari nashnya As-Syafi’I”. ([8])
Kesimpulan :
Dari pemaparan dua pendapat beserta dalilnya kita tahu bahwa hadist-hadist dalam masalah ini tidak bertentangan satu sama lain. Bahkan kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya kedua waktu tersebut adalah waktu yang mustajab. Hal ini juga dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim Rahimahullah dalam kitabnya Zaadu Al-ma’aad, beliau berkata,
“وَعِنْدِي أَنَّ سَاعَةَ الصَّلَاةِ سَاعَةٌ تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ أَيْضًا، فَكِلَاهُمَا سَاعَةُ إِجَابَةٍ، وَإِنْ كَانَتِ السَّاعَةُ الْمَخْصُوصَةُ هِيَ آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَهِيَ سَاعَةٌ مُعَيَّنَةٌ مِنَ الْيَوْمِ لَا تَتَقَدَّمُ وَلَا تَتَأَخَّرُ، وَأَمَّا سَاعَةُ الصَّلَاةِ فَتَابِعَةٌ لِلصَّلَاةِ، تَقَدَّمَتْ أَوْ تَأَخَّرَتْ؛ لِأَنَّ لِاجْتِمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَصَلَاتِهِمْ وَتَضَرُّعِهِمْ وَابْتِهَالِهِمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى تَأْثِيرًا فِي الْإِجَابَةِ، فَسَاعَةُ اجْتِمَاعِهِمْ سَاعَةٌ تُرْجَى فِيهَا الْإِجَابَةُ، وَعَلَى هَذَا تَتَّفِقُ الْأَحَادِيثُ كُلُّهَا، وَيَكُونُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ حَضَّ أُمَّتَهُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالِابْتِهَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي هَاتَيْنِ السَّاعَتَيْن” انتهى
“Menurutku bahwa waktu sholat (jum’at) adalah waktu yang juga diharapkan padanya istijabah (pengabulan doa). Keduanya (waktu antara adzan sampai sholat selesai dan setelah ashar sampai terbenamnya matahari) merupakan waktu terkabulnya doa, meskipun sejatinya waktu yang khusus tersebut adalah akhir waktu setelah ashar. Waktu tersebut adalah waktu yang sudah ditentukan yang tidak bisa maju atau mundur. Adapun waktu istijabah ketika sholat maka waktunya bergantung dengan kapan dilaksanakan sholat tersebut, bisa maju bisa mundur. Hal ini dikarenakan pada perkumpulan kaum muslimin, pada sholatnya, ketundukannya dan kekhusyukannya terdapat pengaruh akan terkabulnya doa. Waktu dimana mereka berkumpul adalah waktu yang diharapkan doa pada saat itu akan terkabul. Oleh karenanya hadist-hadist dalam masalah ini tidak bertentangan. Kesimpulannya Nabi ﷺ telah mengkhususkan umatnya untuk berdoa dan berharap dengan penuh ketundukan pada kedua waktu tersebut.”([9])
Hal ini sama dengan yang di kemukakan oleh syeikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah dalam fatwanya. Bahkan beliau menganjurkan agar seseorang memperbanyak doa di hari jum’at karena keumuman sebagian hadist dalam masalah ini. Beliau juga menganjurkan untuk lebih fokus pada waktu-waktu antara duduknya imam setelah azan hingga selesai sholat dan waktu setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari karena Rasulullah ﷺ telah menyebutkan secara nash (textual) bahwasanya waktu tersebut adalah waktu yang mustajab([10]). Wallahu A’lam.
- Sepertiga malam terakhir
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ ”
“Tuhan kita yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam terakhir, Dia berfirman: “Barang siapa berdoa kepada-Ku, maka Aku kabulkan baginya. Barang siapa meminta kepada-Ku, maka Aku beri dia. Barang siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku ampuni dia.” ([11])
- Ketika terbangun di tengah malam
Hal ini berdasarkan hadits Ubadah bin Ash-Shomit, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، الحَمْدُ لِلَّهِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، أَوْ دَعَا، اسْتُجِيبَ لَهُ، فَإِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتُهُ
“Barang siapa yang terbangun dari tidurnya pada malam hari, kemudian dia mengucapkan, ‘La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qadri, alhamdulillah wa subhanallah wa la ilaha illallah wallahu akbar, wa la hawla wa la quwwata illa billah‘ kemudian dia berkata ‘Ya Allah, ampunilah aku’ atau dia memanjatkan doa, maka akan dikabulkan. Kemudian jika dia berwudhu lalu shalat, maka shalatnya akan diterima (oleh Allah).” ([12])
- Ketika turun hujan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
“Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : Bertemunya dua pasukan, Menjelang shalat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.”([13])
- Ketika sujud
Dari Abu Hurairah,
«أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ»
Yang paling dekat antara hamba dan Rab-Nya adalah ketika dia sujud, maka hendaknya kalian memperbanyak doa (ketika sujud).” ([14])
- Antara adzan dan Iqomah
Dari Anas bin Malik,
«لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ»
Tidak tertolak doa di antara adzan dan iqamat.” ([15])
- Ketika berpuasa hingga berbuka
Dari Abu Hurairah,
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ…..
“Tiga kelompok yang doa mereka tidak tertolak: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan orang yang dizalimi….” ([16])
- Ketika dizalimi ([17])
- Ketika berperang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
“Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : Bertemunya dua pasukan, Menjelang shalat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.”([18])
- Lailatul Qodr
Dari ‘Aisyah ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ القَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا؟ قَالَ: ” قُولِي: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ”
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa menurutmu jika aku mengetahui kapan malam lailatul wodat, apa yang harus aku ucapkan di dalamnya? Beliau menjawab: ucapkanlah “اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي”.” ([19])
- Ketika mengunjungi orang sakit
Dari Ummu Salamah
«إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَرِيضَ فَقُولُوا خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ»
“Jika kalian mengunjungi orang yang sakit maka ucapkanlah kebaikan, sesungguhnya para malaikat mengaminkan apa-apa yang kalian ucapkan.” ([20])
- Di penghujung shalat wajib
Dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya:
أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ المَكْتُوبَاتِ»
“Doa apa yang paling didengar? Beliau menjawab: di tengah malam akhir dan di penghujung shalat-shalat yang wajib.” ([21])
- Ketika mendengar ayam berkokok
Dari Abu Hurairah
«إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا»
“Apabila kalian mendengar kokok ayam jantan, maka mohonlah kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena pada saat itu ayam tersebut sedang melihat malaikat. Sebaliknya, apabila kalian mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari segala kejahatan syetan. Karena pada saat itu, keledai tersebut melihat syetan.” ([22])
- Ketika bersafar
Dari Abu Hurairah
” ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَالْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ ”
“Tiga doa yang tidak ada keraguan di dalamnya: doa orang yang safar, doa orang yang dizalimi, dan doa orang tua kepada anaknya.” ([23])
- Ketika meminum air zam-zam
Dari Jabir bin Abdillah
مَاءُ زَمْزَمَ، لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” ([24])
_____________________________
Footnote:
([1]) HR. At-Tirmidzi no. 3585 dan Al-Albani mengatakan hadits ini hasan
([4]) Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani 11/199
([7]) HR. Abu Dawud dalam kitab Sunannya (Sunan Abu Dawud VI/12) kitab Ash-Shaalah, An-Nasa-i dalam Sunannya (III/99, 100) kitab al-Jumu’ah dan al-Hakim dalam al-Musradrak (I/279) dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahih Abu Dawud (2/1048).
([10]) Lihat fatwa Syeikh Bin Baz 12/401-402
([11]) HR. Bukhori no. 1145 dan Muslim no. 758
([13]) Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i (lihat) Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imaam Asy-Syafi’I 2/689). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
([15]) HR. Abu Dawud no. 521, dan Al-Albani mengatakan hadits ini shohih
([16]) HR. Ahmad no. 8043. Dan Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini shohih
([17]) HR. Ahmad no. 8043. Dan Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini shohih
([18]) Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’I (lihat) Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imaam Asy-Syafi’I 2/689). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
([19]) HR. At-Tirmidzi no. 3513 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([21]) HR. At-Tirmidzi no. 3499 dan Al-Albani mengatakan hadits ini hasan
([22]) HR. Bukhori no. 3303 dan Muslim no. 2729
([23]) HR. Ahmad no. 9606. Dan Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini hasan lighoirih
([24]) HR. Abu Dawud no. 3062 dan Al-Albani mengatakan hadits ini shohih