Ka’bah
Kaum muslimin tiada henti-hentinya berlomba-lomba untuk ke ka’bah, dari berbagai penjuru dunia. Meskipun biaya untuk datang ke ka’bah cukup besar, namun kerinduan menjadikan semua itu terasa ringan dan mudah. Allah berfirman :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia” (QS Al-Baqoroh : 123)
Ibnu Katsir berkata :
أَيْ جَعَلَهُ مَحَلًّا تَشْتَاقُ إِلَيْهِ الْأَرْوَاحُ، وَتَحِنُّ إِلَيْهِ، وَلَا تَقْضِي مِنْهُ وَطَرًا وَلَوْ تَرَدَّدَتْ إِلَيْهِ كُلَّ عَامٍ اسْتِجَابَةً مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، لِدُعَاءِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فِي قَوْلِهِ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ
“Ka’bah adalah matsaabah yaitu Allah menjadikan ka’bah sebagai tempat yang dirindukan dan dikangenkan oleh ruh-ruh manusia, dan mereka tidak akan pernah puas meskipun mereka selalu ke ka’bah setiap tahun. Hal ini merupakan pengkabulan Allah terhadap doa kekasihNya yaitu Ibrahim álaihis salam dalam doanya :
فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ
“Jadikanlah hati-hati manusia cenderung kepada mereka” (Tafsir Ibnu Katsir 1/290)
Tidak ada yang pernah merasa puas untuk hanya sekali melihat ka’bah, justru semakin seseorang ke ka’bah diapun semakin rindu untuk kembali lagi.
Ka’bah merupakan rumah Allah yang pertama yang penuh keberkahan. Allah berfirman :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim” (QS Ali Ímron : 96-97)
Sejarah pembangunan ka’bah
Ka’bah yang ada sekarang telah mengalami beberapa kali pemugaran, diantaranya sejarah telah mencatatkan 4 pemugaran yang paling terkenal:
PERTAMA : Pembangunan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim álaihis salam yang dibantu oleh putranya Ismáil álaihis salam([1]).
Tidak ada riwayat yang shahih tentang bagaimana bentuk ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismaíl álaihimas salaam. Akan tetapi para ahli sejarah memperkirakan bahwa bentuk ka’bah tatkala pertama kali dibangun oleh Ibrahim adalah bentuk ka’bah sebelum dipugar oleh kaum Quraisy, yaitu :
- Berupa susunan batu tanpa ada semacam semen yang melengketkan susunan batu-batu tersebut
- Al-Hijr masuk dalam bangunan ka’bah
- Ka’bah tersebut tidak memiliki atap
- Pintu ka’bah ada dua, yaitu pintu masuk dan pintu keluar
KEDUA : Pembangunan yang dilakukan oleh kaum Quraisy
Yaitu tatkala usia Nabi shallallahu álaihi wasallam 35 tahun (yaitu 5 tahun sebelum diangkat menjadi Nabi)
Di zaman Jahiliyyah Ka’bah dibangun dan disusun dengan batu-batu saja tanpa ada semen atau sejenisnya yang berfungsi untuk melekatkan batu-batu tersebut (sebagaimana bagunan ka’bah di zaman Nabi Ibrahim). Tinggi Ka’bah juga hanya seberapa dan tidak terlalu tinggi. Pada awalnya Ka’bah hanya memiliki dua sudut saja, yaitu hanya rukun yamaani dan rukun al-Hajar al-Aswad, dan bentuknya kira-kira seperti “D” (yaitu seperti huruf kapital d) ([2]).
Karena kondisi ka’bah yang demikian dan tanpa adanya dinding (semacam pagar) yang mengitari dan melindunginya maka ka’bah mudah sekali terhantam oleh banjir yang turun dari gunung-gunung Mekah apabila terjadi hujan.
Tatkala Nabi ﷺ berusia 35 tahun (sekitar lima tahun sebelum beliau ﷺ diangkat menjadi Nabi)([3]) terjadilah banjir hebat yang menghantam dinding-dinding ka’bah sehingga merusak pondasi ka’bah. Orang-orang kafir Quraisy ingin mengadakan renovasi ka’bah yaitu dengan membongkar total ka’bah. Akan tetapi mereka takut meruntuhkan ka’bah terlebih dahulu sebelum merenovasinya, mengingat 35 tahun yang lalu telah terjadi peristiwa dihancurkannya tentara bergajah milik Abrahah yang hendak merusak ka’bah. Oleh karena itu, orang-orang Quraisy tidak ada yang berani dan takut ditimpa seperti apa yang telah menimpa Abrahah 35 tahun lalu.
Namun, salah seorang diantara mereka yang bernama Al-Walīd Ibnul Mughīrah nekat membongkar Ka’bah. Dia berkata kepada orang-orang Quraisy:
أَتُرِيدُونَ بِهَدْمِهَا الإِصْلاحَ، أَمِ الإِسَاءَةَ؟ قَالُوا: بَلْ نُرِيدُ الإِصْلاحَ، قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُهْلِكُ الْمُصْلِحِينَ
“Kalian ingin menghancurkan Ka’bah dengan tujuan untuk memperbaikinya atau memperburuknya?” Jawab mereka: “Kami ingin memperbaikinya.” Kalau begitu Allāh tidak akan menghancurkan orang-orang yang berbuat baik.
Akhirnya dia mulai mengambil cangkulnya dan membongkar Ka’bah sedikit demi sedikit. Malam itu tidak ada seorang pun yang berani mengikuti dirinya membongkar Ka’bah. Orang-orang mulai menunggu dan menanti apa yang akan terjadi pada malam itu, khawatir Al-Walid bin Al-Mughirah terkena adzab sebagaimana yang telah menimpa Abrahah.
Mereka berkata:
فَإِنْ أُصِيبَ لَمْ نَهْدِمْ مِنْهَا شَيْئًا وَرَدَدْنَاهَا كَمَا كَانَتْ، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهُ شَيْءٌ، فَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ صُنْعَنَا، فَهَدَمْنَا
“Jika dia ditimpa suatu musibah, kita tidak akan membongkar Ka’bah sama sekali dan kita kembalikan ka’bah sebagaimana sedia kala. Namun jika ia selamat, berarti Allah telah ridha dengan apa yang akan kita lakukan, maka kita runtuhkan ka’bah.”
Pada pagi harinya, Al-Walid bin Al-Mughirah tetap dalam keadaan sehat wal ‘āfiyat. Al-Walid bin Al-Mughirah pun kembali melanjutkan membongkar Ka’bah, dan akhirnya orang-orang ikut membantunya. Mereka kemudian membongkar Ka’bah seluruhnya hingga pondasi Ibrāhīm ‘alayhissalām. ([4])
Mereka gantikan semua batu Ka’bah dengan batu yang baru kecuali batu Hajar Aswad. Ketika mereka sedang membangun ka’bah, salah seorang dari mereka berkata -seraya mengingatkan- :
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، لَا تُدْخِلُوا فِي بِنَائِهَا مِنْ كَسْبِكُمْ إلَّا طَيِّبًا، لَا يَدْخُلُ فِيهَا مَهْرُ بِغَيٍّ، وَلَا بَيْعُ رِبًا، وَلَا مُظْلَمَةُ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
“Wahai kaum Quraisy sekalian, janganlah kalian menggunakan biaya untuk membangun ka’bah kecuali dari penghasilan yang baik. Jangan sampai di dalamnya ada hasil zina, hasil jual beli riba, dan hasil sebab telah menzhalimi seseorang.” ([5])
Inilah sebabnya kaum Quraisy kekurangan biaya tatkala membangun ka’bah karena mereka hanya membangun ka’bah dengan uang yang halal, akhirnya mereka tidak mampu membangun ka’bah secara sempurna.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
لَوْلاَ حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالكُفْرِ لَنَقَضْتُ البَيْتَ، ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ
“Kalau bukan karena kaummu (wahai ‘Aisyah) baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya aku akan meruntuhkan ka’bah, lalu aku akan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim ‘alaihis salam, karena sesungguhnya kaum Quraisy kurang sempurna membangun ka’bahnya” (HR Al-Bukhari no 1585 dan Muslim no 1333)
Kekurangan biaya ini menyebabkan kaum Quraisy hanya bisa membangun sebagian ka’bah saja sehingga tidak mencapai tahap yang sempurna, padahal Al-Hijr (yang disebut oleh orang-orang dengan Hijr Isma’il([6])) termasuk bagian dari Ka’bah (lihat Fathul Baari 3/444). Inilah sebab mengapa orang yang sedang melakukan thawaf tidak boleh masuk Hijr Ismā’īl. Barangsiapa yang thawaf memasuki Hijr Ismā’īl berarti thawafnya tidak sah, karena dia belum mengelilingi Ka’bah secara sempurna.
Saat pemugaran Ka’bah, orang-orang Quraisy membuatnya tambah tinggi. Sebelumnya, Ka’bah tingginya hanya 9 hasta (kira-kira 4 atau 4.5 meter) ditambah 9 hasta lagi menjadi 18 hasta (8-9 meter), dan pintu Ka’bah diangkat menjadi lebih tinggi sehingga tidak lagi menempel di tanah. Diantara tujuan mereka melakukan hal ini adalah :
- Untuk memperkuat pondasi Ka’bah dan agar tidak terkena banjir saat hujan.
- Agar tidak semua orang bisa masuk Ka’bah. Bagi yang ingin masuk Ka’bah, harus minta izin terlebih dahulu kepada orang-orang Quraisy.
Aisyah berkata :
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الجَدْرِ أَمِنَ البَيْتِ هُوَ؟ قَالَ: «نَعَمْ» قُلْتُ: فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوهُ فِي البَيْتِ؟ قَالَ: «إِنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ» قُلْتُ: فَمَا شَأْنُ بَابِهِ مُرْتَفِعًا؟ قَالَ: «فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ، لِيُدْخِلُوا مَنْ شَاءُوا وَيَمْنَعُوا مَنْ شَاءُوا»
Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang al-Jadr (yaitu al-Hijr) apakah ia termasuk ka’bah?. Nabi berkata, “Iya”. Aku berkata, “Lantas kenapa mereka tidak memasukannya menjadi bagian ka’bah?”. Beliau berkata, “Sesungguhnya biayay yang disiapkan kaum-mu (yaitu Quraisy) untuk membangun ka’bah tidak cukup”. Aku bertanya, “Kenapa pintunya di naikan tinggi?”. Beliau berkata, “Itu sengaja dilakukan oleh kaum-mu agar mereka bebas memasukan ke ka’bah siapa yang mereka sukai dan mereka bisa melarang siapa yang mereka kehendaki” (HR Al-Bukhari no 1584 dan Muslim no 1333) ([7])
KETIGA : Pembangunan ka’bah oleh Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhu
Cita-cita Nabi perihal membangun ka’bah adalah :
- Ka’bah dibangun sempurna sesuai dengan pondasi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, sehingga al-Hijr masuk dalam bagian ka’bah
- Pintu yang dinaikkan oleh Quraisy diturunkan kembali dan disejajarkan dengan tanah([8])
- Pintu di buat dua, pintu yang seperti posisi sekarang, dan juga pintu di posisi yang berlawanan (belakang ka’bah), sehingga ada pintu buat masuk dan ada pintu bua keluar. ([9])
Ini merupakan cita-cita dan keinginan Nabi ﷺ yang disampaikan oleh Nabi kepada ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā. Dan cita-cita Nabi inipun disampaikan oleh ‘Āisyah kepada keponakannya yang bernama ‘Abdullāh bin Zubair radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
Al-Imam Muslim meriwayatkan :
عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: لَمَّا احْتَرَقَ الْبَيْتُ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ، حِينَ غَزَاهَا أَهْلُ الشَّامِ، فَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، تَرَكَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ حَتَّى قَدِمَ النَّاسُ الْمَوْسِمَ يُرِيدُ أَنْ يُجَرِّئَهُمْ – أَوْ يُحَرِّبَهُمْ – عَلَى أَهْلِ الشَّامِ، فَلَمَّا صَدَرَ النَّاسُ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَشِيرُوا عَلَيَّ فِي الْكَعْبَةِ، أَنْقُضُهَا ثُمَّ أَبْنِي بِنَاءَهَا؟ أَوْ أُصْلِحُ مَا وَهَى مِنْهَا؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَإِنِّي قَدْ فُرِقَ لِي رَأْيٌ فِيهَا، أَرَى أَنْ تُصْلِحَ مَا وَهَى مِنْهَا، وَتَدَعَ بَيْتًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَأَحْجَارًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهَا، وَبُعِثَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: ” لَوْ كَانَ أَحَدُكُمُ احْتَرَقَ بَيْتُهُ، مَا رَضِيَ حَتَّى يُجِدَّهُ، فَكَيْفَ بَيْتُ رَبِّكُمْ؟ إِنِّي مُسْتَخِيرٌ رَبِّي ثَلَاثًا، ثُمَّ عَازِمٌ عَلَى أَمْرِي، فَلَمَّا مَضَى الثَّلَاثُ أَجْمَعَ رَأْيَهُ عَلَى أَنْ يَنْقُضَهَا، فَتَحَامَاهُ النَّاسُ أَنْ يَنْزِلَ بِأَوَّلِ النَّاسِ يَصْعَدُ فِيهِ أَمْرٌ مِنَ السَّمَاءِ، حَتَّى صَعِدَهُ رَجُلٌ، فَأَلْقَى مِنْهُ حِجَارَةً، فَلَمَّا لَمْ يَرَهُ النَّاسُ أَصَابَهُ شَيْءٌ تَتَابَعُوا فَنَقَضُوهُ حَتَّى بَلَغُوا بِهِ الْأَرْضَ، فَجَعَلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ أَعْمِدَةً، فَسَتَّرَ عَلَيْهَا السُّتُورَ حَتَّى ارْتَفَعَ بِنَاؤُهُ، وَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: إِنِّي سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَوْلَا أَنَّ النَّاسَ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ، وَلَيْسَ عِنْدِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يُقَوِّي عَلَى بِنَائِهِ، لَكُنْتُ أَدْخَلْتُ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ خَمْسَ أَذْرُعٍ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابًا يَدْخُلُ النَّاسُ مِنْهُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ مِنْهُ»، قَالَ: «فَأَنَا الْيَوْمَ أَجِدُ مَا أُنْفِقُ، وَلَسْتُ أَخَافُ النَّاسَ»، قَالَ: ” فَزَادَ فِيهِ خَمْسَ أَذْرُعٍ مِنَ الْحِجْرِ حَتَّى أَبْدَى أُسًّا نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، فَبَنَى عَلَيْهِ الْبِنَاءَ وَكَانَ طُولُ الْكَعْبَةِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا زَادَ فِيهِ اسْتَقْصَرَهُ، فَزَادَ فِي طُولِهِ عَشْرَ أَذْرُعٍ، وَجَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا يُدْخَلُ مِنْهُ، وَالْآخَرُ يُخْرَجُ مِنْهُ “. فَلَمَّا قُتِلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ كَتَبَ الْحَجَّاجُ إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ وَيُخْبِرُهُ أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ قَدْ وَضَعَ الْبِنَاءَ عَلَى أُسٍّ نَظَرَ إِلَيْهِ الْعُدُولُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ: إِنَّا لَسْنَا مِنْ تَلْطِيخِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي شَيْءٍ، أَمَّا مَا زَادَ فِي طُولِهِ فَأَقِرَّهُ، وَأَمَّا مَا زَادَ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ فَرُدَّهُ إِلَى بِنَائِهِ، وَسُدَّ الْبَابَ الَّذِي فَتَحَهُ، فَنَقَضَهُ وَأَعَادَهُ إِلَى بِنَائِهِ
Dari Atha` ia berkata; Ketika Ka’bah terbakar pada masa Yazid bin Mu’awiyah tatkala kota Mekah (Hijaaz) diserang oleh penduduk Syam([10]), maka kondisi Ka’bah dibiarkan apa adanya. Ibnu Az-Zubair juga membiarkan ka’bah (yang kondisi rusak dan terbakar) hingga orang-orang datang pada musim haji dengan maksud agar Ibnu Zubair bisa menggerakkan orang-orang itu untuk melawan penduduk Syam([11]). Setelah para jamáh haji telah pulang ke negari mereka maka Ibnu Az-Zubair berkata (yaitu kepada para pembesar kota Mekah), “Kaum muslimin sekalian, berilah aku petunjuk (saran) tentang Ka’bah! Apakah aku harus membongkarnya lalu aku membangun kembali, akau aku perbaiki bagian-baigian yang rusak saja?”. Ibnu Abbas menjawab, “Aku mempunyai pendapat tentang Ka’bah tersebut. Menurutku, sebaiknya Anda memperbaiki bagian-bagian yang rusak saja dan biarkanlah Ka’bah dalam keadaan seperti ketika orang-orang dulu baru mulai memeluk Islam. Biarkan pula batu-batu seperti ketika orang-orang baru mulai memeluk Islam dan seperti ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus”. Maka Ibnu Az-Zubair berkata, “Seandainya salah seorang diantara kalian rumahnya terbakar, tentu ia tidak akan rela sehingga dia membangunnya kembali baru, maka bagaimana lagi dengan rumah Rabb kalian?. sesungguhnya aku akan beristikharah untuk meminta petunjuk kepada Rabb-ku selama tiga hari, baru kemudian aku akan menentunkan keputusanku”. Setelah tiga hari lewat, maka Ibnu Az-Zubair bulat tekadnya untuk membongkar Ka’bah. Orang-orang menghindari untuk membongkar ka’bah, jangan-jangan ada bencana dari langit yang akan menimpa orang yang pertama kali naik ke ka’bah, sehingga ada seorang memanjat lalu membongkar dan menjatuhkan satu batu ka’bah. Setelah orang-orang melihat tidak ada sesuatu yang menimpa pemanjat tersebut, barulah orang-orang berduyun-duyun merobohkannya hingga rata dengan tanah. Kemudian Ibnu Az-Zubair memancangkan beberapa tiang lalu memasang kain([12]) sampai kemudian bangunan ka’bah tersebut meninggi. Dan Ibnu Az-Zubair berkata; Aku pernah mendengar Aisyah berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kalau bukan karena orang-orang baru saja meninggalkan kekufuran dan seandainya aku mempunyai biaya yang cukup untuk membangun Ka’bah sekarang ini, maka tentu aku sudah memasukkan dari bagian al-Hijr sejauh 5 hasta dan aku buat satu pintu masuk orang-orang serta satu pintu untuk keluar”. Ibnu Az-Zubair berkata, “Sekarang aku sudah mempunyai biaya dan aku tidak khawatir terhadap keimanan kaum muslimin”. Atha berkata; Lalu Ibnu Az-Zubair menambah luas Ka’ah sebanyak lima hasta dari bagian al-Hijr, kemudian ia menjelaskan posisi pondasi dengan dilihat orang banyak([13]), lalu di atas pondasi itulah didirikan bangunan. Tinggi Ka’bah semula adalah 18 hasta tetapi setelah Ka’bah ditambah bangunannya maka tinggi Ka’bah serasa tampak pendek, sehingga akhirnya tinggi Ka’bah ditambah lagi oleh Ibnu Az-Zubair 10 hasta. Lalu Ibnu Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka’bah, satu pintu masuk, dan satu pintu keluar.
Setelah Ibnu Zubair terbunuh([14]), Al-Hajjaj mengirim surat kepada Abdul Malik bin Marwan untuk memberitahukan hal itu kepadanya, juga untuk memberitahukan bahwa Ibnu Az-Zubair telah membuat bangunan di pondasi yang telah dilihat oleh orang-orang yang terpercaya dari penduduk Makkah. Maka Abdul Malik membalas surat Al-Hajjaj, “Sungguh tidak urusan kita dengan keburukan yang dilakukan oleh Ibnu Az-Zubair. Adapun tambahan tinggi Ka’bah maka biarkan saja. Adapun penambahan luas Ka’bah dari sisi al-Hijr oleh Ibnu Zubair, maka kembalikanlah seperti keadaan sebelumnya dan tutuplah pintu yang dibuat oleh Ibnu Zubair”. Lalu Al-Hajjaj pun membongkar Ka’bah dan mengembalikannya seperti keadaan semula (HR Muslim no 1333)
Jadi bangunan Ka’bah versi Abdullah bin Az-Zubair adalah :
- Ka’bah yang tadinya setingg 18 hasta ditambah 10 hasta sehingga menjadi 28 hasta
- Al-Hijr semuanya dimasukan ke dalam bagian ka’bah, jadi Ka’bah bertambah panjang 5 hasta ke arah al-Hijr
- Pintu ka’bah yang sebelumnya tinggi (karena ditinggikan oleh kaum Qurasiy) dan hanya ada satu, maka ‘Abdullāh bin Zubair kemudian membuat dua pintu yaitu pintu masuk dan pintu keluar dan kedua pintu tersebut diturunkan hingga di tanah. Sehingga orang-orang bisa masuk dan keluar ka’bah tanpa
- Disebutkan bahwa Abdullah bin Az-Zubair yang pertama kali membuat atap untuk ka’bah (lihat Fathul Baari 7/147)
Semua perubahan ini dilakukan oleh ‘Abdullāh bin Zubair sesuai dengan cita-cita Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
KEEMPAT : Pembangunan Ka’bah oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi atas perintah Abdul Malik bin Marwaan.
Sebagaimana telah lalu akhirnya setelah Abdullah bin Az-Zubair meninggal maka Al-Hajjaj bin Yusuf mengambalikan kembali bentuk Ka’bah sebagaimana sedia kala, hanya saja yang dibiarkan adalah penambahan tinggi Ka’bah yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Az-Zubair. Jadilah Ka’bah yang sekarang ini adalah renovasi dari Al-Hajjaj atas perintah Abdul Malik bin Marwaan.
Namun akhirnya Abdul Malik bin Marwan menyesali perbuatannya tersebut, ia menyangka bahwa ‘Abdullāh bin Zubair beralasan ingin mengubah ka’bah dengan berdusta atas nama Nabi. Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabi’ah mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullāh bin Zubair telah mendengar hadits tentang cita-cita Nabi dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sebagaimana Al-Harits juga telah mendengar langsung dari ‘Aisyah. Kemudian Abdul Malik berkata :
لَوْ كُنْتُ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ أَهْدِمَهُ لَتَرَكْتُهُ عَلَى بِنَاءِ ابْنِ الزُّبَيْرِ
“Seandainya aku mendengar hal ini sebelum aku meruntuhkan ka’bah, tentu aku akan biarkan Ka’bah sesuai dengan renovasi ‘Abdullāh bin Az-Zubair.” (Lihat Fathul Baari 3/445-447)
Sehingga ka’bah yang ada sekarang adalah ka’bah yang sesuai dengan bentuk dan ukuran Ka’bah pada masa Al-Hajjaj bin Yusuf At-Tsaqafiy.
Para ulama menyebutkan bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang bagaimana kalau beliau meruntuhkan ka’bah dan merenovasinya kembali sesuai dengan yang dibangun oleh ‘Abdullāh bin Az-Zubair berdasarkan hadits-hadits Nabi tentang hal ini. Imam Malik rahimahullah kemudian berkata kepadanya
نَاشَدْتُكَ اللهَ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَلاَّ تَجْعَلَ هَذَا الْبَيْتَ لُعْبَةً لِلْمُلُوكِ لَا يَشَاءُ أَحَدٌ إِلَّا نَقَضَهُ وَبَنَاهُ فَتَذْهَبُ هَيْبَتُهُ مِنْ صُدُورِ النَّاسِ
“Aku memintamu karena Allah wahai Amirul mukminin, janganlah engkau menjadikan ka’bah ini seperti mainan para raja. Jika ada diantara mereka yang berkehendak, maka ia akan meruntuhkan ka’bah lalu membangunnya kembali. Akhirnya keagungan ka’bah akan hilang dari dada-dada manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 9/89)
Bagian-bagian Ka’bah
Pertama : Al-Hajar Al-Aswad
- Hajar Aswad adalah batu yang turun dari surga, dan warnanya pada asalnya adalah sangat putih
Nabi shallallahu áliahi wasallam bersabda :
نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَم
“Hajar Aswad turun dari surga, dan dia dalam kondisi lebih putih dari pada susu, maka dosa-dosa bani Adam telah menjadikannya hitam([15])” (HR At-Tirmidzi no 877, Ahmad no 2792 dan dinyatakan kuat sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/462)
- Meskipun Hajar Aswad adalah batu yang turun dari surga akan tetapi ia tidak bisa memberi manfaat dan juga mudorot.
Tatkala Umar bin al-Khottoob mencium hajar aswad beliau berkata kepada hajar aswad:
«أَمَا وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ»
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwasanya engkau hanyalah batu, engkau tidak memberi mudhorot dan juga manfaat. Dan kalau bukan karena aku melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam mengusapmu maka aku tidak akan mengusapmu”(HR Al-Bukhari no 1605 dan Muslim no 1270)
Dalam riwayat yang lain :
وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Kalau bukan karena aku telah melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam menciummu maka aku tidak akan menciummu”(HR Al-Bukhari no 1579)
- Menyentuh hajar aswad mendatangkan keberkahan di akhirat.
Pertama : Hajar Aswad akan menjadi saksi pada hari kiamat bagi orang yang mengusapnya
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda
وَاللهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَق
“Demi Allah, sungguh Allah akan membangkitkan Hajar Aswad pada hari kiamat, ia memiliki dua mata yang ia melihat dengannya, dan lisan yang ia berbicara dengannya, ia bersaksi untuk siapa yang mengusapnya dengan kebenaran” (HR At-Tirmidzi no 961, Ibnu Majah no 2944, dan dinyatakan kuat oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/462)
Kedua : Menyentuh hajar aswad sebab dihapuskannya dosa-dosa
Úbaid bin Úmair berkata
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ يُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّكَ تُزَاحِمُ عَلَى الرُّكْنَيْنِ زِحَامًا مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُزَاحِمُ عَلَيْهِ، قَالَ: إِنْ أَفْعَلْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا»
“Sesungguhnya Ibnu Umar radhiallahu ánhuma selalu berdesak-desakan di rukun yamani dan rukun hajar aswad. Maka aku berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya engkau berdesak-desakan di kedua rukun dengan desakan yang aku tidak pernah melihat seorang pun dari para sahabat Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukannya”. Ibnu Umar berkata, “Jika aku melakukannya maka sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya mengusap rukun yamani dan rukun hajar aswad adalah penebus dosa-dosa” (HR Al-Hakim no 1799, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no 959 dan dihasankan oleh At-Tirmidzi, dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no 4462 dengan sanad yang hasan)
- Barangsiapa yang mampu untuk mencium Hajar Aswad ketika thowaf maka itu yang terbaik sebagaimana Nabi menciumnya. Namun jika tidak bisa mencium maka bisa mengusap Hajar Aswad dengan dengan tangannya lalu mencium tangannya([16]) atau mengusapnya dengan sesuatu yang ia bawa lalu ia mencium sesuatu tersebut([17]). Jika tidak mampu lagi maka cukup memberi isyarat dari jauh([18]).
Kedua : Rukun Yamani
Orang yang thowaf disyariátkan untuk mengusap rukun yamani. -sebagaimana telah lalu- dengan mengusap rukun yamani akan dihapuskan dosa-dosa. Namun rukun yamani hanya diusam, tidak dicium dan juga tidak bertakbir tatkala mengusapnya. Jika seseorang tidak bisa mengusapnya maka juga tidak perlu memberi isyarat dari jauh. Ini yang membedakan rukun yamani dengan rukun hajar aswad.
Rukun Yamani disebut dengan Yamani karena mengarahkan kepada Negeri Yaman. Sebagaimana juga disebut dengan Rukun Januubi (Sudut selatan) karena mengarahkan ke selatan.
Rukun yang lainnya yaitu :
- Rukun Syaami, dinamakan demikian karena mengarahkan ke negeri Syaam. Dan dinamakan juga dengan Rukun Ghorbi (Sudut Barat) karena mengarahkan ke barat
- Rukun Írooqi, dinamakan demikian karena mengarahkan kepada negeri Íraq. Dan dinamakan juga dengan Rukun Syamali (Sudut Utara) karena mengarahkan ke utara. ([19])
Ketiga :
Keempat : Asy-Syaadzarwan (الشَّاذَرْوَانُ)
Yaitu penopang yang berada di bagian bawah ka’bah untuk menjaga kekokohan ka’bah. Posisinya di 3 sisi ka’bah, kecuali bagian sisi al-Hijr maka tidak ada. Padanya diletakan gelang-gelang untuk mengikatkan kiswah ka’bah. Tujuan dibuatnya Asy-Syadzarwan adalah untuk menguatkan bangunan ka’bah, akan tetapi dia bukan pondasi ka’bah sebagaimana pondasi rumah pada umumnya, sehingga Asy-Syadzarwan ini hanya terdapat di sisi ka’bah, dan tidak terdapat di bawah ka’bah.
Para ulama telah berselisih apakah Asy-Syadzarwan ini termasuk dari bagian ka’bah?, yaitu apakah dasar dari Asy-Syadzarwan ini dibangun di atas pondasi Nabi Ibrahim ‘alahis salam? Ataukah Asy-Syadzarwan ini bukan bagian dari ka’bah akan tetapi bangunan tambahan untuk menguatkan ka’bah, dan ka’bah (yang batu hitam) itulah yang dibangun di atas pondasi Ibrahim?
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa Asy-Syadzarwan termasuk dari bagian ka’bah, karenanya menurut beliau barang siapa yang thowaf sambil naik di atas Asy-Syadzarwan maka thowafnya tidak sah([20]) (yaitu ketika lokasi thowaf dalam kondisi padat terkadang sebagain orang thowaf sambil naik di atsa Asy-Syadzarwan, atau tatkala hendak mencium hajar aswad), hal ini karena berarti ia tidak mengitari ka’abah seluruhnya, karena ada bagian tubuhnya yang masuk ke ka’bah. Padahal Namanya thowaf seseorang badanya secara kesulurahan harus di luar ka’bah.
Adapun madzhab Hanafiyah maka Asy-Syadzarwan bukan bagian dari ka’bah karenanya jika thowaf di atasnya tetap sah([21]). Akan tetapi sebaiknya seseorang tidak thowaf di atas Asy-Syardzawan agar keluar dari khilaf ulama.
Kelima : Al-Mizab/المِيْزَابُ (talang air di atap ka’bah)
Al-Mizab adalah talang air yang berada di atas ka’bah di sisi Al-Hijr. Fungsinya adalah membuang air yang terkumpu di atap ka’bah.
Wallahu a’lam, siapakah yang pertama kali meletakan mizab di atap ka’bah. Kemungkinan besar yang pertama kali membuat mizab adalah yang membuat atap bagi ka’bah. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang pertama kali membuat atap adalah Quraisy tatkala merenovasi ka’bah([22]), dan sebagian lagi berpendapat bahwa Abdullah bin Az-Zubair([23])
Keenam : Al-Multazam
Al-Multazam adalah bagian dari ka’bah yang mulia, yaitu antara hajar aswad dengan pintu ka’bah. Lebarnya sekitar 4 hasta (lihat al-Mausuu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 39/26).
Disebut dengan multazam karena orang yang berdoa di situ melaziminya, dengan menempelkan dadanya, wajahnya, kedua tangannya, serta kedua telapak tangannya seraya berdoa kepada Allah.
Telah datang dua hadits yang menunjukan bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam melakukan iltizam di multazam, hanya saja kedua hadits tersebut lemah. Dari Abdurrahman bin Shofwaan ia berkata
فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «قَدْ خَرَجَ مِنَ الْكَعْبَةِ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ اسْتَلَمُوا الْبَيْتَ مِنَ الْبَابِ إِلَى الْحَطِيمِ وَقَدْ وَضَعُوا خُدُودَهُمْ عَلَى الْبَيْتِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسْطَهُمْ»
“Maka ku melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam (tatkal menaklukan Mekah), beliau telah keluar dari ka’bah bersama para sahabatnya, mereka telah mengusap ka’bah dari pintu ka’bah hingga hajar aswad. Dan mereka telah meletakan pipi mereka di ka’bah, sementara Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berada di tengah-tengah mereka”(HR Abu Dawud no 1898, Ahmad no 15553 dan al-Baihaqi dalam As-Syuáb no 3766)
Akan tetapi sanadnya lemah karena ada seorang parawi yang bernama Yaziid bin Abi Ziyaad yang dhoíf. Hadits ini didhoífkan oleh Al-Albani dan Al-Arnaúuth.
Hadits yang kedua sbb ;
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: طُفْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ فَلَمَّا جِئْنَا دُبُرَ الْكَعْبَةِ قُلْتُ: أَلَا تَتَعَوَّذُ؟ قَالَ: «نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ»، ثُمَّ مَضَى حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ وَأَقَامَ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ، فَوَضَعَ صَدْرَهُ وَوَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَكَفَّيْهِ هَكَذَا وَبَسَطَهُمَا بَسْطًا، ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ»
Dari Ámr bin Syáib dari ayahnya ia berkata, “Aku thowaf bersama Abdullah (bin Ámr bin al-Áash), tatkala kami mendatangi belakang ka’bah (yaitu sisi belakang pintu ka’bah-pen) maka aku berkata, “Tidakkah engkau berlindung kepada Allah?”, beliau berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari neraka”. Kemudian iapun melanjutkan jalannya hingga mengusap hajar aswad lalu ia berdiri antara hajar aswad dan pintu ka’bah, lalu ia meletakkan dada, wajah, kedua lengan, dan kedua telapak tangannya -yaitu dengan membentangkan kedua telapak tangannya-, kemudian ia berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukannya”(HR Abu Dawud no 1899, Al-Baihaqi fi Asy-Suáb no 3767 dan dinyatakan lemah oleh Al-Albani dan Al-Arnúuth karena pada sanadnya ada perawi yang bernama al-Mutsanna bin As-Shobaah)
Namun telah datang dengan sanad yang shahih bahwasanya sahabat melakukan iltizam di multazam.
Ibnu Ábbas berkata :
هَذَا الْمُلْتَزَمُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ
“Ini adalah al-Multazam antara hajar aswad dan pintu ka’bah” (Mushonnaf Abdurrozzaq no 9047 dan Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 13778 dan sanadnya dishahihkan oleh Al-Albani)
Mujahid berkata :
«جِئْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَتَعَوَّذُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ»
“Aku mendatangi Ibnu Ábbas dan beliau sedang berlindung kepada Allah (berdoa) antara hajar aswad dan pintu ka’bah” (Mushonnaf Abdurrozzaq no 9045)
Demikian juga banyak tabiín yang berdoa di multazam. Bahkan datang sebagian riwayat dari mereka yang melakukan iltizam (menempelkan dada, pipi kanan, dan kedua tangan) di seluruh sisi ka’bah.
- Sebagian mereka melakukan juga di bagian belakang ka’bah, yaitu di bagian sisi yang berlawanan dengan sisi yang ada pintu ka’bah (yaitu sisi ka’bah sebelum rukun yamani)([24])
- Sebagian salaf juga melakukan iltizam di sisi yang setelah rukun yamani, yaitu dinding antara rukun yamani dan hajar aswad. ([25])
- Sebagian salaf juga melakukan iltizam di sisi Hijr yang ada mizab (talang) ka’bah. ([26])
Ini menunjukan bolehnya seseorang melakukan iltizam di bagian dinding manapun di ka’bah, karena para salaf (tabiín) melakukannya. Tentunya yang terbaik adalah di antara hajar aswad dan pintu ka’bah sebagaimana telah datang riwayat dari sahabat yaitu Ibnu Ábbas dan juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam meskipun dengan sanad yang lemah.
Ada sebuah hadits yang shahih yang menunjukan bahwa Nabi shallallahu álaih wasallam melakukan iltizam hanya saja beliau melakukannya di dinding bagian dalam ka’bah dan bukan di luar.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ دَخَلَ هُوَ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ، فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَجَافَ الْبَابَ، وَالْبَيْتَ إِذْ ذَاكَ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ، فَمَضَى حَتَّى أَتَى الْأُسْطُوَانَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَلِيَانِ الْبَابَ، بَابَ الْكَعْبَةِ، فَجَلَسَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَسَأَلَهُ وَاسْتَغْفَرَهُ، ثُمَّ قَامَ حَتَّى أَتَى مَا اسْتَقْبَلَ مِنْ دُبُرِ الْكَعْبَةِ، فَوَضَعَ وَجْهَهُ وَجَسَدَهُ عَلَى الْكَعْبَةِ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَسَأَلَهُ وَاسْتَغْفَرَهُ، ثُمَّ انْصَرَفَ حَتَّى أَتَى كُلَّ رُكْنٍ مِنْ أَرْكَانِ الْبَيْتِ فَاسْتَقْبَلَهُ بِالتَّكْبِيرِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالثَّنَاءِ عَلَى اللهِ وَالِاسْتِغْفَارِ وَالْمَسْأَلَةِ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَارِجًا مِنَ الْبَيْتِ مُسْتَقْبِلَ وَجْهِ الْكَعْبَةِ، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: ” هَذِهِ الْقِبْلَةُ، هَذِهِ الْقِبْلَةُ ”
Dari Usamah bin Zaid bahwasanya ia bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam masuk ke dalam ka’bah. Lalu Nabi memerintahkan Bilal untuk menunutup pintu ka’bah. Dan ka’bah tatkala itu berada di atas enam tiang. Maka Nabi terus berjalan hingga Nabi mendatangi dua tiang yang setelah pintu ka’bah. Lalu Nabi duduk dan memuji Allah serta menyanjungNya, memohon kepadaNya dan beristighfar. Lalu beliau berdiri hingga menghadap belakang ka’bah (yaitu dinding ka’bah yang berlawanan dengan dinding yang ada pintu ka’bahnya-pen). Lalu beliau menempelkan wajahnya dan badannya ke ka’bah, lalu beliau memuji Allah dan menyanjungNya, memohon kepadaNya dan beristighfar. Lau Nabi pergi hingga beliau mendatangi seluruh dinding ka’bah, beliau menghadapkan badannya kepadanya dengan takbir, tahlil, tasbih, sanjungan kepadaNya, istighfar dan permohonan. Lalu beliau keluar dari ka’bah lalu beliau sholat dua rakaát di luar ka’bah sambil menghadapkan wajah beliau ke ka’bah, lalu beliau pergi seraya berkata, “Ini adalan kiblat, ini adalah kiblat” (HR Ahmad no 21830, dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad)
Maka jika seseorang bisa masuk ke dalam ka’bah maka ia boleh melakukan iltizam di seluruh sisi dinding ka’bah bagian dalam.
Kapankah seseorang berdoa di multazam?
Tidak ada khilaf akan bolehnya berdo’a di multazam, hanya saja sebagian fuqoha’ menyatakan bahwa dianjurkan untuk berdoa di multazam ketika Thowaf Wada’([27]), sebagian yang lain menyatakan dianjurkan juga berdoa di iltizam setelah thowaf qudum([28]), sebagian menyatakan boleh berdoa di mutazam setiap selesai thowaf secara mutlaq([29]), dan sebagian ulama memandang kapan saja boleh berdoa di multazam([30]).
Peringatan :
- Doa di al-Multazam dikabulkan.
Ibnu Ábbas berkata :
مَا بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ يُدْعَى الْمُلْتَزَمَ لَا يَلْزَمُ مَا بَيْنَهُمَا أَحَدٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Apa yang ada antara hajar aswad dan pintu ka’bah disebut dengan al-Multazam. Tidak seorangpun berada di al-Multazam memohon kepada Allah kecuali dikabulkan” (Atsar riwayat al-Baihaqi di As-Sunan al-Kubro no 9766 dan Syuábul Iman no 3769)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata :
وَالدُّعَاءِ مُسْتَجَابٌ عِنْدَ نُزُولِ الْمَطَرِ وَعِنْدَ الْتِحَامِ الْحَرْبِ وَعِنْدَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَفِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ وَفِي حَالِ السُّجُودِ وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَأَمْثَالُ ذَلِكَ. فَهَذَا كُلُّهُ مِمَّا جَاءَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ الْمَعْرُوفَةُ فِي الصِّحَاحِ وَالسُّنَنِ وَالدُّعَاءُ بِالْمَشَاعِرِ كَعَرَفَةَ وَمُزْدَلِفَةَ وَمِنًى وَالْمُلْتَزَمِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ مَشَاعِرَ مَكَّةَ وَالدُّعَاءُ بِالْمَسَاجِدِ مُطْلَقًا
“Doa dikabulkan tatkala turunnya hujan, tatkala bertemu dua pasukan dalam perang, tatkala adzan dan iqomah, di penghujung sholat, tatkala sujud, doanya orang yang berpuasa, doanya orang yang bersafar, doanya orang yang dizholimi, dan yang semisalnya yang ditunjukan oleh hadits-hadits yang ma’ruf dalam kitab-kitab Shahih dan kitab-kitab sunan. Dan doa di tempat-tempat manasik, seperti di Árofah, di Muzdalifah, di Mina, di al-Multazam, dan yang semisalnya di lokasi-lokasi manasik di Mekah, dan doa di masjid secara mutlak (juga dikabulkan)”(Majmuu al-Fataawaa 27/129-130)
- Doa di al-Multazam dikabulkan bukan berarti melazimkan untuk meyakini bahwa batu yang ada di ka’bah bisa memberi manfaat atau mudhorot. Akan tetapi terkabulnya di al-Multazam disebabkan seseorang telah sampai di tujuan yaitu ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismaíl, lalu Ibrahim menyeru manusia untuk datang ke rumah yang telah dibangun Allah (yaitu ka’bah). Maka orang-orang datang dengan syiár talbiyah, dan jadilah ia menjadi tamu Allah, dan ia telah tiba di tempat jamuan yaitu dikabulkannya doa. Sebab lain yang menjadikan al-Multzam dikabulkan doa, yaitu kondisi orang yang berdoa yang menempelkan tubuhnya di dinding ka’bah dalam kondisi seperti orang yang pasrah menyerahkan urusannya kepada Allah, Wallahu a’lam.
- Tidak ada doa khusus yang dibaca oleh seseorang tatkala di multazam, karenanya seseorang silahkan berdoa dengan doa apa saja yang ia sukai.
- Jangan sampai seseorang menzolimi orang lain hanya karena ingin berdoa di multazam, seperti mendorong orang lain atau menyakiti orang lain
- Wanita sebaiknya tidak perlu ke multazam mengingat kepadatan yang luar biasa. Dan atsar-atsar tentang berdoa di multazam semuanya dari para sahabat dan para tabiín lelaki, tidak ada satu atsarpun yang menunjukan wanita berdoa di multazam dengan cara menempelkan tubuhnya di dinding ka’bah.
FOOTNOTE:
==========
([1]) Dalil-dalil yang pasti menunjukan bahwa yang membangun ka’bah adalah Ibrahim ‘alaihis salam dibantu oleh Isma’il ‘alaihis salam. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama memebangun ka’bah adalah para malaikat, atau yang membangun pertama kali adalah Adam ‘alaihis salam, atau putranya Adam yaitu Syiits álaihis salam, maka semuanya adalah pendapat yang dibangun di atas riwayat-riwayat yang tidak valid atau dari berita-berita Isra’iliyaat. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/297)
Meskipun memang isyarat dari ayat-ayat menunjukan bahwa ka’bah dahulunya telah ada sebelum dibangun kembali oleh Ibrahim.
Pertama : Firman Allah tentang doa Nabi Ibrahim tatkala beliau meletakan istrinya Hajar dan putranya Ismaíl di Mekah :
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat” (QS Ibrahim : 37)
Firman Allah عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ “di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati” mengisyaratkan bahwa tatkala itu ka’bah sudah pernah dibangun di situ.
Kedua : Demikian juga firman Allah
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui””(QS Al-Baqoroh : 127)
Firman Allah وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ “ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah” mengisyaratkan bahwa pondasi (dasar-dasar) ka’bah sudah ada sebelumnya
Ketiga : Firman Allah
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (QS Al-Hajj : 26).
Ini menunjukan bahwa tempat dibangunnya ka’bah sudah ada. Namun tidak ada riwayat yang pasti yang menunjukan siapa yang membangunnya apakah malaikat ataukah Nabi Adam?.
([2]) Lihat Fathul Baari 3/441, Fiqhus Siroh, Zaid bin Abdilkarim Zaid hal 96
Disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Ka’bah pertama kali memiliki tinggi hanya sekitar 9 hasta (4 atau 4.5 meter). Pintu Ka’bah juga tidak tinggi dan pada saat itu Ka’bah belum memiliki atap. Setelah itu barulah Ka’bah mengalami perubahan dengan diperluas dan dipertinggi serta diberi atap.
Pada masa Nabi, masa Abu Bakar, dan masa Umar, Ka’bah dahulunya dikelilingi oleh rumah-rumah sehingga hal ini sangat menyempitkan orang-orang yang thowaf, maka Umar pun membeli rumah-rumah di sekeliling ka’bah tersebut lalu menghancurkannya dan membangun dinding di sekililing ka’bah yang tingginya di bawah tinggi manusia. Kemudian Abdullah bin az-Zubair memperluas ka’bah, sehingga dikatakan beliaulah (Abdullah bin Az-Zubair) yang pertama kali memasang atap ka’bah (lihat Fathul Baari 7/147)
([3]) Sebagian riwayat (seperti mursal Az-Zuhri) menyebutkan bahwa umur Nabi baru dewasa (yaitu baru belasan tahun) ketika dilakukan pemugaran ka’bah. Akan tetapi mayoritas ahli sejarah (diantaranya Ibnu Ishaaq) menyebutkan bahwa umur Nabi pada saat itu 35 tahun (lihat juga Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 9/89).
([4]) Siroh Ibnu Hisyaam 1/195 dari riwayat Ibnu Ishaaq
([6]) Padahal penamaan ini adalah penamaan yang salah, yang benar namanya hanya al-Hijr tanpa ada Isma’il nya. Karena pembuatan al-Hijr terjadi jauh setelah wafatnya Nabi Isma’il. Gara-gara penamaan yang salah ini banyak orang menyangka bahwa di bawah al-Hijr itu ada kuburannya Nabi Isma’il sehingga disebut dengan Hijr Isma’il
([7] ) Tatkala membangun ka’bah, seluruh kabilah-kabilah Quraisy pun ikut serta mengumpulkan batu-batu untuk membangun ka’bah. Masing-masing kabilah bertugas untuk membangun ka’bah pada posisi tertentu. Hingga ketika seluruh bagian ka’bah telah selesai dibangun dan bersisa bagian Hajar Aswad, timbullah perselisihan di antara mereka. Masing-masing kabilah menginginkan agar merekalah yang mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Hingga akhirnya masing-masing kabilah berkumpul dan saling bersumpah untuk bersiap berperang. Bahkan mereka bersumpah dengan cara memasukkan tangan mereka ke darah yang diletakkan di tempayan. Ketegangan tersebut berlangsung dalam waktu 4 sampai 5 hari. Akhirnya mereka berkumpul dan bermusyawarah di Masjidil Haram.
Salah seorang dari mereka (yaitu Abu Umayyah bin al-Mughirah dimana dia adalah orang tertua pada saat itu) memiliki ide. Dia berkata:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ فِيمَا تَخْتَلِفُونَ فِيهِ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ مِنْ بَابِ هَذَا الْمَسْجِدِ يَقْضِي بَيْنَكُمْ فِيهِ
“Wahai kaum Quraisy, angkatlah menjadi pemberi keputusan atas perselisihan kalian orang yang pertama kali masuk dari pintu masjid ini (yaitu Masjidil Haram), dialah yang akan memutuskan perkara kalian.”
Akhirnya mereka pun setuju. Ternyata yang pertama kali masuk dari pintu tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka serentak berkata, “Inilah Al-Amin (orang yang amanah/terpercaya), kami telah ridha, inilah Muhammad.” (Siroh Ibnu Hisyam 1/196-197)
Dalam musnad Imam Ahmad dari Maula Mujahid -dia termasuk orang yang ikut serta dalam pembangunan ka’bah di masa jahiliyyah- berkata :
فَقَالَ: بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ نَحْنُ نَضَعُهُ، وَقَالَ: آخَرُونَ نَحْنُ نَضَعُهُ، فَقَالُوا: اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ حَكَمًا، قَالُوا: أَوَّلَ رَجُلٍ يَطْلُعُ مِنَ الْفَجِّ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: أَتَاكُمُ الْأَمِينُ، فَقَالُوا لَهُ، ” فَوَضَعَهُ فِي ثَوْبٍ، ثُمَّ دَعَا بُطُونَهُمْ فَأَخَذُوا بِنَوَاحِيهِ مَعَهُ، فَوَضَعَهُ هُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sebagian suku dari Quraisy berkata, “Kamilah yang akan meletakan Hajar Aswad. Sebagian yang lain berkata, “Kami yang akan meletakkannya.” Lalu mereka berkata, “Jadikanlah diantara kalian seorang hakim (pemberi keputusan)!” Mereka berkata, “Yaitu orang yang pertama kali muncul dari jalan ini.” Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lah yang datang”. Maka mereka berkata, “Telah datang kepada kalian Al-Amin (orang yang terpercaya)”. Lalu mereka mengabarkan kepada Nabi (apa yang sedang mereka perselisihkan), kemudian Nabi meletakan Hajar Aswad di sebuah baju dan memanggil seluruh kabilah Quraisy. Masing-masing mereka mengangkat dan memegangi ujung-ujung baju tersebut, (setelah Hajar Aswad diangkat secara bersama-sama -pen) kemudian Nabi meletakan Hajar Aswad pada tempatnya.” (HR Ahmad no. 15504 dan sanadnya dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
وَلَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ، فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوبُهُمْ، أَنْ أُدْخِلَ الجَدْرَ فِي البَيْتِ، وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِالأَرْضِ
Kalau bukan karena kaum-mu baru saja meniggalkan jahiliyah dan aku kawatir hati mereka tidak bisa menerima tentu aku akan memasukan al-Hijr ke bagian ka’bah dan aku akan menurunkan pintunya sehingga datar dengan tanah” (HR Al-Bukhari no 1584 dan Muslim no 1333)
([9]) Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah berkata kepada ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ، لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ (وفي رواية مسلم : وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ) فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ
“Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran (baru masuk Islam), niscaya aku akan menghancurkan Ka’bah (dalam riwayat Muslim: Dan sungguh aku akan membangun ka’bah di atas pondasi Nabi Ibrahim), lalu aku akan buatkan dua pintu Ka’bah, yaitu pintu untuk orang-orang masuk dan pintu untuk keluar.” (HR Al-Bukhari no 126 dan Muslim no 1333)
([10]) Lihat Fathul Muním Syarh Shahih Muslim, DR Musa Syaahiin 5/375
([11]) Yaitu orang-orang akan marah jika melihat ka’bah dalam kondisi rusak akibat serangan Penduduk Syaam.
([12]) Yaitu tiang-tiang tersebut dipasang di lokasi ka’bah, agar tatkala orang-orang sholat ada sesuatu yang mereka hadapi sebagai kiblat sementara (Lihat Fathul Muním Syarh Shahih Muslim, DR Musa Syaahiin 5/376)
([13]) Yaitu Ibnu Az-Zubair menggali tanah dari arah Ka’bah yang sekarang menunju kea rah Al-Hijr sejarak 5 hasta, hingga akhirnya nampak pondasi Ibrahim dan dilihat oleh orang-orang. Maka beliau memanjangkan bangunan ka’bah hingga pondasi tersebut.
Telah terjadi khilaf di kalangan para ulama, apakah seluruh Hijr Isma’il masuk dalam bagian ka’bah ataukah hanya sebagiannya (yaitu hanya 6 hasta dan bukan semuanya)? Al-Hafiz Ibnu Hajar menguatkan bahwa yang termasuk dari ka’bah hanya sekitar 6 hasta dari Hijr Isma’il dan bukan semuanya. Meskipun para ulama mewajibkan thawaf di belakang Al-Hijr, bukan berarti semua al-Hijr termasuk ka’bah akan tetapi hal tersebut hanyalah bentuk kehati-hatian saja. (Lihat Fathul Baari 3/447). Pendapat ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya :
قَالَ يَزِيدُ: وَشَهِدْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حِينَ هَدَمَهُ، وَبَنَاهُ، وَأَدْخَلَ فِيهِ مِنَ الحِجْرِ، وَقَدْ رَأَيْتُ أَسَاسَ إِبْرَاهِيمَ حِجَارَةً، كَأَسْنِمَةِ الإِبِلِ، قَالَ جَرِيرٌ: فَقُلْتُ لَهُ: أَيْنَ مَوْضِعُهُ؟ قَالَ: أُرِيكَهُ الآنَ، فَدَخَلْتُ مَعَهُ الحِجْرَ، فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ، فَقَالَ: هَا هُنَا، قَالَ جَرِيرٌ: فَحَزَرْتُ مِنَ الحِجْرِ سِتَّةَ أَذْرُعٍ أَوْ نَحْوَهَا
Yazid berkata, “Aku menyaksikan ‘Abdullāh bin Zubair tatkala ia meruntuhkan ka’bah dan beliau memasukan Al-Hijr dalam ka’bah. Dan aku telah melihat pondasi Nabi Ibrahim berupa batu seperti punuk onta.” Jarir berkata, “Aku bertanya kepada Yazid, dimanakah posisi pondasi Ibrahim?” Yazid berkata, “Aku akan tunjukan kepadamu sekarang.” Lalu akupun masuk bersama Yazid ke Al-Hijr kemudian ia menunjukkan kepadaku posisi pondasi Ibrahim, ia berkata, “Di sini”. Jarir berkata, “Akupun mengukur dari al-Hijr 6 hasta atau sekitar 6 hasta” (HR Al-Bukhari no 1586)
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jarak antara dinding ka’bah dengan dinding bagian dalam Al-Hijr kurang 15 hasta, dengan demikian setengah Al-Hijr bukanlah bagian dari ka’bah. Maka jika ada seseorang yang thawaf dalam Al-Hijr namun melewati setengah Al-Hijr maka thawafnya telah sah. (Lihat Fathul Baari 3/449)
([14]) oleh pasukan Syaam yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf
([15]) Al-Muhibb at-Thobari berkata, “Hajar Aswad tetap dalam kondisi hitam merupakan pelajaran bagi orang yang masih bisa melihat kebenaran, karena jika dosa-dosa bisa mempengaruhi batu yang bersih maka pengaruh dosa kepada hati tentu lebih kuat”.
Dan dikatkan bahwa batu tersebut tetap dibiarkan hitam agar penduduk bumi tidak bisa melihat salha satu batu perhiasan surga. (Lihat Fathul Baari 3/463)
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَبَّلَ يَدَهُ، وَقَالَ : مَا تَرَكْتُهُ مُنْذُ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Aku melihat Ibnu Úmar mengusap Hajar Aswad dengan tangannya lalu ia mencium tangannya dan berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku melihat Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melakukannya” (HR Muslim no 1268)
([17]) Abu At-Thufail radhiallahu ánhu berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ وَيَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بمِحْجَنٍ مَعَهُ وَيُقَبِّلُ الْمِحْجَنَ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu álaihi wasallam thowaf di ka’bah dan beliau menyentuh hajar aswad dengang tongkat (yang ujungnya bengkok), dan beliau mencium tongkat tersebut” (HR Muslim no 1275)
([18]) Ibnu Ábbas radhiallahu ánhuma berkata :
طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ عَلَى بَعِيرٍ، كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ أَشَارَ إِلَيْهِ
“Nabi shallallahu álaihi wasallam thowaf di ka’bah di atas onta, setiap kali beliau melewati hajar aswad maka beliau memberi isyarat kepada hajar aswad dan bertakbir” (HR Al-Bukhari no 1612)
([19]) Akan tetapi penamaan ini hanya sekedar pendekatan bukan penamaan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam. Karenanya sudut-sudut tersebut bukan berarti -jika ditarik garis lurus- akan tepat 100 persen mengarahkan ke negeri-negeri tersebut, akan tetapi hanya pendekatan.
Sebagaimana juga jika dicek melalui peta dan arah mata angin maka rukun-rukun tersebut juga tidak 100 persen menunjukan arah mata angin, akan tetapi hanya pendekatan.
([20]) Lihat al-Umm 2/193, dan ini adalah pendapat yang mu’tamad (menjadi acuan) dalam madzhab Asy-Syafií. Bahkan juga sesoerang thowaf dan terkadang meletakan kakinya di atas Asy-Syadzarwan maka thowafnya tidak sah (lihat Al-Majmuu’Syarh Al-Muhadzdzab, An-Nawawi 8/24).
Demikian juga ini adalah pendapat yang dipilih oleh madzhab Malikiyah. Bahkan mereka berpendapat jika seseorang thowaf sementara kepalanya miring di udara di atas Asy-Syadzarwan atau tangannya berada di udara di atas Asy-Syadzarwan maka thowafnya tidak sah (lihat Hasyiat Ad-Dusuuqi ála Asy-Syarh al-Kabiir 2/31)
Dan ini juga merupakan pendapat yang mu’tamad di madzhab Hanbali (lihat Syarh Muntahaa al-Irodaat 1/574)
([21]) Lihat Hasyiat Ibni ‘Abidin (2/496), dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah (lihat 26/121)
Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat insya Allah, karena Abdullah bin Az-Zubair tatkala merenovasi ka’bah maka beliau membangunnya seluruhnya di atas pondasi Ibrahim ‘alaihis salam. Dan ini konsekuensinya bahwa seluruh bangunan ka’bah (batu-batu kotak yang hitam) menempati posisi pondasi Ibrahim álaihis salam. Wallahu a’lam.
فلما بلغ رسولُ الله -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- خَمْسًا وَثَلَاثِينَ سَنَةً اجْتَمَعَتْ قُرَيْشٌ لِبُنْيَانِ الْكَعْبَةِ، وَكَانُوا يهمُّون بِذَلِكَ، لِيُسَقِّفُوهَا … فَأَرَادُوا رفعَها وتسقيفَها، وَذَلِكَ أَنَّ نَفَرًا سَرَقُوا كَنْزًا لِلْكَعْبَةِ
“Tatkala usia Rasulullah shallallahu álaihi wasallam mencapai 35 tahun maka kaum Quraisy berkumpul untuk mebangun ka’bah. Hal ini menjadi perhatian mereka, agar mereka bisa membuat atap bagi ka’bah … mereka ingin meninggikan ka’bah dan ingin mengatapi ka’bah. Hal ini dikarenakan sekelompok orang telah mencuri harta yang ada di dalam ka’bah” (Siroh Ibnu Hisyaam 1/178)
([23]) disebutkan di Fathul Baari :
وَيُقَال إِنَّ اِبْنَ الزُّبَيْرِ سَقَّفَهُ أَوْ سَقَّفَ بَعْضَهُ
“Dan dikatakan bahwa Abdullah bin Az-Zubair yang telah mengatapi ka’bah atau mengatapi sebagian ka’bah”(Fathul Baari 7/147)
([24] ) Silahkan lihat Mushonnaf Ibni Abi Syaibah 3/236-237, dalam sub judul مَنْ كَانَ يَلْتَزِمُ دُبُرَ الْكَعْبَةِ “siapa-siapa yang melakukan iltizam di bagian belakang ka’bah”
«رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ مَيْمُونَ قَدْ الْتَزَمَ الْكَعْبَةَ، وَأَلْصَقَ بَطْنَهُ مِنْ مُؤَخِّرَهَا مِنَ الْجَانِبِ الَّذِي يَلِي الرُّكْنَ الْيَمَانِي»
“Aku melihat Ámr bin Maimuun telah melakukan iltizam, dan ia menempelkan perutnya di belakang ka’bah yaitu dari sisi yang setelah rukun yamani” (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 13789)
Makhuul berkata :
قُلْتُ : إِذَا طُفْتُ بَيْنَ السَّادِسِ وَالسَّابِعِ؟ قُلْتُ: فَأَلْتَزِمُ بِالْبَيْتِ مَا بَيْنَ الرُّكْنِ الْأَسْوَدِ وَالرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ
Aku berkata, “Jika aku thowaf antara putaran ke enam menuju putaran ke tujuh?”, Aku berkata, “Maka aku akan beriltizam di kábah yaitu di sisi antara hajar aswad dan rukun yamani” (Mushonnaf Abdurrozzaq no 9046)
([26]) Íkrimah maula Ibnu Ábbas berkata :
«وَرَأَيْتُهُمْ مَا تَحْتَ الْمِيزَابِ فِي الْحِجْرِ»
“Dan aku melihat mereka melakukan iltizam di bawah mizab (talang air ka’bah) yaitu di hijr” (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 13781)
([27]) Lihat Roudhoh At-Thoolibiin, An-Nawawi asy-Syafií 3/118 dan Kassyaaful Qinaa’, al-Buhuuti al-Hanbali 2/513, al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hanbali 3/462, dan Haasyiah Ibnu Ábidin al-Hanafi 2/187, Mawaahibul Jalil, Al-Hatthoob al-Maliki 3/112
([28]) Lihat Hasyiah Ibnu Ábidin 2/170
([29]) Ibnu Taimiyyah berkata :
وَلَهُ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ طَوَافِ الْوَدَاع فَإِنَّ هَذَا الِالْتِزَامُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ حَالُ الْوَدَاعِ أَوْ غَيْرِهِ وَالصَّحَابَةُ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ حِينَ يَدْخُلُونَ مَكَّةَ
“Dan ia boleh melakukan iltizaam sebelu thowaf al-wadaa’, karena perkara iltizaam tidak ada perbedaan antara tatkala thowaaf al-wada’ atau selain thowaaf al-wadaa’. Para sahabat dahulu mereka melakukan iltizaam tatkala mereka masuk ke kota Mekah” (Majmuu’Al-Fataawaa 26/142)
Lihat juga Haasyiah al-Qolyubi Asy-Syaafií 2/108
([30]) Sebagaiamana As-Syaikh al-Útsaimin mengisyaratkan tentang adanya ulama yang berpendapat demikian. Beliau berkata :
وهذه مسألة اختلف فيها العلماء مع أنها لم ترد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم، وإنما جاءت عن بعض الصحابة ـ رضي الله عنهم، فهل الالتزام سنة، ومتى وقته، وهل هو عند القدوم، أو عند المغادرة، أو في كل وقت؟
“Permasalahna iltizam di multazam diperselisihkan oleh para ulama, padahal tidak ada dalil yang shahih dari Nabi shallallahu álaihi wasallam, hanya saja datang dari sebagian saahabat radhiallahu ánhum. Maka apakah iltizam sunnah?, kapan waktunya?, apakah tatkala datang, ataukah tatkala meninggalkan Mekah, ataukah boleh setiap waktu?” (Asy-Syarh al-Mumti’7/372)