Bolehkah Menyembelih hadyu/dam tamattu’ sebelum tanggl 10 dzulhijjah?
Mayoritas jama’ah haji dari tanah air Indonesia menyembelih kambing dam tamattu’ mereka sebelum tanggal 10 Dzulhijjah. Apakah sembelihan mereka tersebut sah sebagai dam/hadyu tamattu’?
Mayoritas ulama (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) memandang tidak sahnya sembelihan tersebut sebagai dam tamattu’, adapun madzhab Syafi’i memandang sahnya dam tamattu’ tersebut jika disembelih setelah sang haji menggunakan ihrom untuk umroh tamattu’.
Perlu dicatat bahwa kedua kelompok (yang membolehkan dan yang melarang) telah bersepakat bahwa :
– Untuk Udhiyah (hewan kurban) tidak sah jika disembelih sebelum hari Nahr, karena telah datang nas yang tegas dari hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang menyatakan tidak sahnya menyembelih udhiyah sebelum waktunya
– Untuk dam pelanggaran (fidyah) maka boleh disembelih tatkala melakukan pelanggaran meskipun sebelum hari Nahr
– Untuk hadyu (dam tamattu’ dan qiron) maka yang terbaik dilaksanakan pada waktu hari Nahr.
– Untuk hadyu yang merupakan hadyu tatowwu’ (sunnah) atau hadyu nadzar (yang tidak ditentukan waktu menyembelihnya tatkala bernadzar) maka hukumnya juga adalah sama dengan udhiyah, tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr. Dan hal ini juga telah dinyatakan oleh para ulama syafi’iyyah. (lihat Nihaayatul Muhtaaj li Ar-Romly 3/360 dan Tuhfatul Muhtaaj li Ibni Hajr Al-Haitami 4/199)
Letak perbedaan : Hewan hadyu yang merupakan dam wajib bagi orang yang berhaji tamattu’ dan qiron, apakah boleh disembelih sebelum hari Nahr?? . Maka menurut jumhur ulama yaitu Al-Hanafiyah([1]), Al-Malikiyah([2]) dan al-Hanabilah([3]) adalah tidak sah.
Dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah :
وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya” (QS Al-Baqoroh : 196) (pendalilan dng ayat ini tidak kuat, karena kl antum baca kembali ayatnya, maka antum akan dapatkan bahwa penggalan ayat ini berkaitan dng Muhshar
Ayat ini menunjukkan bahwa kalau boleh menyembelih hadyu (dam tamattu’/qiron) sebelum hari Nahr, maka boleh pula mencukur kepala sebelum hari Nahr. Padahal ini tidak mungkin dilakukan bagi jama’ah haji. Seluruh jama’ah haji (baik tamattu’, qiron, dan ifrod) tidak mungkin bertahallul dari ihrom haji mereka dengan mencukur rambut kecuali tanggal 10 Dzulhijjah (hari Nahr)
Kedua : Firman Allah
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ
“Maka makanlah sebahagian daripada hewan-hewan ternak tersebut dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka” (QS Al-Hajj : 28-29)
Qodoo at-Tafats (penghilangan kotoran, seperti mencukur dan memotong kuku) hanyalah dilakukan pada hari Nahr, dan penyebutan qodloo at-Tafats datang setelah penyebutan penyembelihan dam dan memakan dari dam tersebut.
Ketiga : Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عن حفصة رضي الله عنهم زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت يا رسول الله ما شأن الناس حلوا بعمرة ولم تحلل أنت من عمرتك قال إني لبدت رأسي وقلدت هديي فلا أحل حتى أنحر
Dari Hafshoh radhiallahu ‘anhaa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya ia berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa orang-orang bertahallul (mencukur kepala mereka-pen) dengan umroh sementara engkau tidak bertahallul dari umrohmu?”. Nabi berkata, “Aku telah mentalbid rambutku (talbid : meletakan sesuatu/semacam minyak di rambut kepala sehingga rambut tidak menjadi semerawut-pen), dan aku telah membawa hewan dam ku, maka aku tidak akan bertahallul hingga aku menyembelihnya” (HR Al-Bukhari no 1566 dan Muslim no 1229)
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi mengkaitkan tahallul dengan penyembelihan dam. Kalau seandainya penyembelihan dam boleh dilakukan sebelum hari Nahr maka Nabi akan menyembelih dam dan akan bertahallul dan merubah haji qiron beliau menjadi haji tamattu’.
Apalagi dalam riwayat
فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أصحابه أن يجعلوها عمرة ويطوفوا ثم يقصروا ويحلوا إلا من كان معه الهدي
“Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk menjadikan haji mereka sebagai umroh dan agar mereka melakukan thowaf lalu mencukur pendek rambut mereka dan bertahallul, kecuali yang membawa hadyu/dam” (HR Al-Bukhari no 1652)
Jika ada yang berkata, “Bisa jadi Nabi mengakhirkan penyembelihan hadyu beliau karena beliau ingin melakukan yang afdhol dan yang terbaik. Akan tetapi hal ini tidak menunjukkan larangan menyembelih sebelum hari Nahr”.
Kita katakan, “Justru ada perkara yang terbaik yang dicita-citakan oleh Nabi, yaitu ingin bisa bertahallul dan berhaji tamattu’. Sampai-sampai Nabi berkata :
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا أَهْدَيْتُ وَلَوْلاَ أَنَّ مَعِيَ الْهَدْيَ لَأَحْلَلْتُ
“Kalau seandainya aku sebelumnya mengetahui apa yang akhirnya terjadi aku tidak akan membawa hadyu, kalau bukan karena aku membawa hadyu maka aku akan bertahallul” (HR Al-Bukhari no 1652)
Keempat : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan puluhan ribu para sahabat tiba di Mekah tanggal 4 Dzulhijjah, lalu seluruh hewan baik onta maupun kambing diikat hingga mereka menunggu tibanya hari tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Tentunya puluhan ribu para sahabat tersebut membutuhkan makanan, dan penyediaan makanan untuk puluhan ribu para sahabat tersebut selama 4 hari bukanlah perkara yang mudah. Kalau seandainya memotong hewan dam diperbolehkan sebelum tanggal 10 Dzulhijjah tentu Nabi akan membolehkan menyembelih hewan-hewan tersebut dengan dicicil mengingat kebutuhan penyediaan makanan. Akan tetapi ternyata tidak seekor hewanpun yang disembelih sebelum hari Nahr
Kelima : Yang benar bahwasanya hewan dam tamattu’/qiron bukanlah dam jubron, akan tetapi adalah dam nusuk sebagai bentuk bersyukur kepada Allah, karena orang yang berhaji tamattu’ dan qiron bisa menggabungkan antara haji dan umroh dalam sekali safar. Karenanya hewan-hewan dam Nabi beliau bawa dan giring dari kota Madinah menuju Mekah sebagai bentuk syukur. Jika demikian maka dam tamattu’/qiron lebih kuat untuk diqiyaskan kepada udhiyah (hewan kurban) yang tidak boleh disembelih kecuali hari Nahr, daripada diqiyaskan dengan fidyah pelanggaran yang boleh disembelih sebelum hari Nahr.
(Silahkan lihat : http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?View=Page&NodeID=1889&PageID=154&SectionID=1&SubjectPageTitlesID=255&MarkIndex=0&0)
Adapun ulama madzhab syafi’iyyah maka mereka memandang bolehnya memotong kambing/unta tersebut sebelum tangal 10 Dzulhijjah jika sang haji telah melakukan umroh tamattu’. ([4])
Dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah :
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat”(QS Al-Baqoroh : 196)
Pendalilan dengan ayat ini dari dua sisi :
- Pertama : Huruf Faa pada firman Allah (فَـمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ)menunjukan tertib (urutan) dan ta’qiib (langsung), karenanya setelah seseorang selesai umroh ia langsung terkena kewajiban menyembelih dam tamattu’, maka diapun boleh menyembelihnya
- Kedua : Ayat ini menunjukan bahwa hadyu tamattu’ adalah dam pelanggaran maka diqiaskan dengan dam jubron (untuk menutupi pelanggaran) yang boleh dipotong sebelum tanggal 10 yaitu tatkala terjadi pelanggaran. ([5])
Dalam ayat ini juga tidak disebutkan batasan waktu awal bolehnya memotong sembelihan dam tamattu’, akan tetapi Allah menjadikan waktunya umum tanpa penentuan waktu tertentu.
Kedua : Orang yang haji tamattu’ dan qiron jika tidak mampu untuk mendapatkan sembelihan maka dia menggantinya dengan puasa 3 hari di musim haji dan 7 hari di tanah air. Yaitu firman Allah : “Maka puasa tiga hari di haji” (QS Al-Baqoroh : 196). Jika penggantinya (yaitu puasa 3 hari) boleh dikerjakan sebelum hari an-nahr maka demikian juga yang digantikan (yaitu menyembelih hadyu) boleh dikerjakan sebelum hari an-nahr([6])
Ketiga : Kemaslahatan-kemaslahatan yang bisa diraih jika disembelih sebelum hari Nahr. Diantaranya, harga hewan sembelihan lebih murah, dan juga lebih bermanfaat bagi kaum fuqoroo’ karena daging tersebut bisa didistribusi dengan lebih mudah, dibandingkan jika seluruh daging sembelihan bertumpuk pada hari Nahr, sehingga bisa saja ada daging-daging yang terbuang sia-sia.
Pendapat yang lebih kuat
Dari penjelasan di atas maka sangat nampak bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan khilaf yang sangat kuat diantara para ulama. Hal ini tidaklah terjadi melainkan karena memang tidak ada nash yang tegas dalam permasalahan ini
– Tidak ada nash tegas dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa waktu bolehnya penyembelihan dam tamattu’/qiron adalah hari Nahr
– Demikian juga tidak ada nash tegas dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau melarang menyembelih dam tamattu’ sebelum hari Nahr
– Adanya kemungkinan bahwa Nabi menyembelih pada hari Nahr karena beliau melakukan yang terbaik, akan tetapi bukan berarti sebelum hari Nahr tidak boleh. Tentunya Nabi selalu melakukan yang terbaik dalam beribadah.
– Demikian juga bahwa fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjukkan perintah atau larangan.
Meskipun memang diakui tidak ada nash yang tegas dalam hal ini akan tetapi ada qorinah-qorinah (indikasi-indikasi) yang menguatkan pendapat jumhur akan pelarangan menyembelih dam tamattu’ sebelum hari Nahr (sebagaimana telah lalu), dan pendapat ini selain pendapat mayoritas ia juga merupakan pendapat yang lebih hati-hati. Wallahu a’lam bis showab.
Catatan penutup:
Pertama : Bagi para jama’ah haji Indonesia yang memilih pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i maka meskipun boleh menyembelih dam mereka sebelum hari Nahr akan tetapi hendaknya mereka mewakilkan penyembelihan tersebut kepada orang yang mereka ketahui amanahnya, mengingat sering terjadinya penipuan dari para penjual kambing. Diantara kasus-kasus penipuan kambing yang pernah diberitahukan kepada penulis (baik yang melaporkan adalah para jama’ah haji atau dari para bekas penjual kambing yang telah bertaubat) adalah sebagai berikut :
- Ternyata tidak ada kambing yang disembelih. Jama’ah haji hanya disuruh menonton kambing-kambing yang dipotong, ternyata itu adalah kambing milik jama’ah lain. Penulis pernah bertemu dengan seorang kepala kloter yang tertipu oleh penjual kambing Indonesia. Tatkala mereka menyaksikan penyembelihan kambing, mereka menyangka itu adalah kambing-kambing mereka, ternyata milik jama’ah dari negara lain??!!
- Atau kambing yang disembelih hanya sebagian tidak semuanya. Biasanya jama’ah diajak untuk menyaksikan pemotongan kambing-kambing mereka, dan pemotongannya menjelang sholat duhur. Tatkala baru dipotong sebagian, maka para jama’ah dianjurkan untuk pulang agar tidak ketinggalan sholat duhur di masjidil haram
- Para jama’ah tidak bisa menyaksikan langsung pemotongan kambing mereka dengan alasan kesehatan
- Atau daging kambing yang telah disembelih ternyata dijual kembali ke restoran-restoran
- Atau kambing yang disembelih terlalu kecil, belum cukup umur.
Hal ini semua semakin menekankan agar para jama’ah haji lebih hati-hati dalam menyerahkan uang dam mereka, serahkanlah hanya kepada orang yang amanah. Dan terkadang uang mereka diserahkan kepada kepala rombongan atau ketua kloter yang amanah, akan tetapi yang jadi permasalahan adalah apakah ketua rombongan dan ketua kloter tersebut membelinya dari orang yang amanah juga??
Kedua : Solusi dari ini semua adalah sebaiknya agar para jama’ah haji lebih tenang, hendaknya mereka membeli dam ke bank Al-bilad atau bank Ar-Rojhi atau kantor pos Saudi yang cabang penjualannya berada di bagian belakang masjid Nabawi atau di Masjidil Harom dekat hotel Hilton.
Meskipun harga seekor kambing tahun ini agak mahal (450 hingga 490 real) akan tetapi diantara keuntungan dari membeli lewat bank ini adalah :
- Bank-bank ini telah direkomendasi oleh pemerintah Arab Saudi tentang kemanahannya
- Penyembelihan hanya dilakukan setelah masuk hari Nahr
- Sebagian para mahasiswa Universitas Islam Madinah bertugas untuk mengawasi kambing-kambing atau unta-unta yang hendak disembelih agar memenuhi persyaratan penyembelihan
- Daging hewan-hewan tersebut tidak diperjual belikan dan tidak juga terbuang percuma, akan tetapi dikirim ke negara-negara miskin yang membutuhkan daging-daging tersebut.
Ketiga : Yang wajib bagi para jama’ah haji tamattu’ hanyalah menyembelih seekor dam saja. Tidak wajib bagi mereka untuk menyembelih kurban di Mekah, apalagi harus membayar juga dam pelanggaran. Karena sebagian para penjual kambing telah menipu para jama’ah haji dengan perkataan mereka, “Harus beli dam pelanggaran, karena bagaimanapun juga jama’ah haji pasti melakukan pelanggaran”.
Adapun hewan kurban, maka hukumnya -menurut pendapat yang lebih kuat sebagaimana telah lalu penjelasannya- adalah tidak disyariatkan bagi Jamaah haji.
==========
([1]) Abu Bakr Al-Haddaad Al-Yamani (wafat 800 H) dari madzhab Hanafi berkata
لَا يَجُوزُ ذَبْحُهُ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ إجْمَاعًا وَهُوَ دَمُ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ وَالْأُضْحِيَّةِ
Tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr berdasarkan ijmak, yaitu dam tamattu’, dan qiron, dan udlhiyah (kurban). (Al-Jauharoh An-Nayyiroh ‘Ala Mukhtashor Al-Quduuri 2/222-223. Silahkan lihat juga perkataan Syamsuddin As-Sarokhsi dalam kitab Al-Mabshuuth, cetakan Daarul Ma’rifah Lebanon, 4/109-110)
([2]) Adapun para ulama madzhab Malikyah maka ada dua pendapat di kalangan mereka tentang kapan seseorang yang berhaji tamattu’ terkena kewajiban dam tamattu’??
Syamsuddin At-Tharobulsi berkata :
وَإِذَا عُلِمَ ذَلِكَ فَتَحَصَّلَ أَنَّ فِي وَقْتِ وُجُوبِهِ طَرِيقَتَيْنِ: إحْدَاهُمَا لِابْنِ رُشْدٍ وَابْنِ الْعَرَبِيِّ وَصَاحِبِ الطِّرَازِ وَابْنِ عَرَفَةَ أَنَّهُ إنَّمَا يَجِبُ بِرَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ أَوْ بِخُرُوجِ وَقْتِ الْوُقُوفِ، وَالثَّانِيَةَ لِلَّخْمِيِّ، وَمَنْ تَبِعَهُ: أَنَّهُ يَجِبُ بِإِحْرَامِ الْحَجِّ، وَالطَّرِيقَةُ الْأُولَى: أَظْهَرُ؛ لِأَنَّ ثَمَرَةَ الْوُجُوبِ إنَّمَا تَظْهَرُ فِيمَا إذَا مَاتَ الْمُتَمَتِّعُ
“Jika diketahui demikian maka kesimpulannya tentang wajibnya dam/hadyu tamatuu’ ada dua pendapat: Pertama adalah pendapat Ibnu Rusyd, Ibnul ‘Arobiy, Penulis kita At-Thirooz, dan Ibnu ‘Arofah bahwasanya hanyalah wajib jika sang haji telah melempar jamroh ‘aqobah (yaitu pagi hari Nahr-pen) atau dengan keluarnya/berakhirnya waktu wuquf di ‘Arofah.
Kedua : Pendapat Al-Lakhomiy dan para ulama yang mengikutinya bahwasanya wajibnya tatkala berihom haji.
Pendapat yang pertama lebih utama, karena buah dari khilafnya nampak jika sang haji mutamatti’ meninggal…(yaitu meninggal sebelum melempar jamarot ‘aqobah, apakah ia tetap wajib membayar dam tamattu’?-pen) (Mawahibul Jalil 3/60-61)
Dari dua pendapat di atas jelas bahwa tidak ada seorang ulama Malikiyahpun yang memandang bolehnya disembelih dam tamattu’ setelah umroh. Karena minimal waktu wajibnya dam tamattu’ (sebagaimana pendapat Al-Lakhomiy) yaitu tatkala berihrom dengan ihrom haji. Karena itulah bentuk awal penggabungan antara umroh dan haji. (lihat Mawahibul Jalil 3/61). Dan ini bukan berarti jika sang haji telah berihrom haji pada tanggal 8 Dzulhijjah maka serta merta boleh memotong dam tamattu’ sebelum hari Nahr. Akan tetapi maksudnya adalah jika dia meninggal sebelum hari Nahr dan setelah berihrom haji maka ia tetap terkena tanggungan hutang untum menyembelih dam tamattu’ yang penyembelihannya tetap dilaksanakan pada hari Nahr.
Syamsuddin At-Tharobulsi berkata :
وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ نَحْرُهُ قَبْلَ ذَلِكَ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. وَنُصُوصُ أَهْلِ الْمَذْهَبِ شَاهِدَةٌ لِذَلِكَ قَالَ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ فِي الْمَعُونَةِ، وَلَا يَجُوزُ نَحْرُ هَدْيِ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ
“Dan ini menunjukkan bahwasanya tidak sah penyembelihan dam tamattu’ sebeleum hari Nahr, wallahu A’lam. Dan pernyataan-pernyataan dari para ulama madhab Maliki mendukung akan hal ini. Al-Qoodhi Abdul Wahhab dalam kitab Al-Ma’uunah berakta : Tidak boleh menyembelih dam tamattu’ dan qiron sebelum hari Nahr, berbeda dengan pendapat Asy-Syafi’i” (Mawaahibul Jalil 3/62)
فَأَمَّا وَقْتُ إخْرَاجِهِ فَيَوْمُ النَّحْرِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ لَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ الْأُضْحِيَّةَ، فَلَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ هَدْيِ التَّمَتُّعِ
“Adapun waktu waktu menyembelihnya adalah pada hari Nahr, dan ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah, karena sebelum hari Nahr tidak boleh menyembelih Udhiyah (kurban), maka tidak boleh menyembelih dam tamattu’, (Al-Mughni 3/416, lihat juga Al-Inshoof fi Ma’rifat Ar-Roojih min Al-Khilaaf, al-Mirdaawi 3/444-445)
([4]) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
وَإِذَا سَاقَ الْمُتَمَتِّعُ الْهَدْيَ مَعَهُ أَوْ الْقَارِنُ لِمُتْعَتِهِ أَوْ قِرَانِهِ فَلَوْ تَرَكَهُ حَتَّى يَنْحَرَهُ يَوْمَ النَّحْرِ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَإِنْ قَدِمَ فَنَحَرَهُ فِي الْحَرَمِ أَجْزَأَ عَنْهُ
“Jika seorang haji tamattu’ membawa hadyu (hewan dam) bersamanya karena mut’ahnya, atau seorang haji qiron membawa hadyu karena qironnya, maka ia membiarkan hadyunya hingga ia baru menyembelihnya tatkala hari nahr maka itu lebih aku sukai. Dan jika ia tiba (sebelum hari Nahr-pen) lalu ia menyembelihnya di tanah haram maka sudah sah” (Al-Umm 2/238)
Al-Imam Ahmad dalam satu riwayat juga membolehkan menyembelih sebelum hari Nahr. Ibnu Qudamah berkata :
وَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: سَمِعْت أَحْمَدْ، قَالَ فِي الرَّجُلِ يَدْخُلُ مَكَّةَ فِي شَوَّالٍ وَمَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: يَنْحَرُ بِمَكَّةَ، وَإِنْ قَدِمَ قَبْلَ الْعَشْرِ نَحَرَهُ، لَا يَضِيعُ أَوْ يَمُوتُ أَوْ يُسْرَقُ
“Abu Tolib berkata : “Aku mendengar Ahmad berkata tentang seseorang yang masuk di kota Mekah di bulan Syawwal sambil membawa hadyu : Orang tersebut menyembelih di Mekah. Jika ia datang sebelum 10 hari Dzul hijjah maka ia menyembelihnya hingga tidak hilang hewan hadyunya atau mati atau dicuri” (Al-Mughni 3/416)
([5]) Al-Imam An-Nawawi berkata tentang ayat ini :
أي بسبب العمرة لأنه إنما يتمتع بمحظورات الاحرام بين الحج والعمرة بسبب العمرة
“Yaitu dikarenakan umroh (ia wajib memotong dam tamattu’) karena ia bertamattu’ (bersenang-senang) dengan melakukan hal-hal yang dilarang dalam ihrom antara haji dan umroh disebabkan umroh tersebut” (Al-Majmuu’ 7/184).
Ar-Rofi’i rahimahullah berkata ;
فالدماء الواجبة في الاحرام إما لارتكاب محظورات أو جبرا لترك مأمور لا اختصاص لها بزمان بل يجوز في يوم النحر وغيره وانما الضحايا هي التى تختص بيوم النحر وأيام التشريق * وعن أبي حنيفة رحمه الله إن دم القران والتمتع لا يجوز ذبحه قبل يوم النحر * لنا القياس على جزاء الصيد ودم التطيب والحلق
“Maka dam-dam yang wajib dalam ihrom karena melanggar larangan atau sebagai penambal karena meninggalkan yang diperintahkan, maka tidak dikhususkan (waktu penyembelihannya) dengan waktu tertentu. Bahkan boleh disembelih pada hari Nahr dan juga hari-hari yang lain. Yang terkhususkan dengan waktu hari Nahr dan hari-hari Tasyriq hanyalah udhiyah. Dari Abu Hanifah rahimahullah bahwasanya beliau memandang dam qiron dan tamattu’ tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr. Dan dalil kami (ulama syafi’iyyah) adalah bolehnya dengan mengqiaskan terhadap fidyah berburu dan dam karena memakai minyak wangi dan mencukur” (Al-‘Aziiz syarh Al-Wajiiz 8/83)
([6]) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
واحتج به مالك وأبو حنيفة في ان دم التمتع لا يجوز قبل يوم النحر بالقياس على الاضحية. واحتج أصحابنا عليهما بالآية الكريمة ولأنهما وافقا على جواز صوم التمتع قبل يوم النحر أعني صوم الايام الثلاثة فالهدي أولي ولأنه دم جبران فجاز بعد وجوبه وقبل يوم النحر كدم فدية الطيب واللباس وغيرهما يخالف الاضحية لانه منصوص على وقتها والله أعلم
“Malik dan Abu Hanifah berdalil bahwa dam tamattu’ tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr dengan qiyas terhadap udhiyah (kurban). Dan para ulama syafi’iyyah berdalil membantah mereka berdua (Malik dan Abu Hanifah) dengan ayat yang mulia. Dan juga mereka bedua sepakat akan bolehnya puasa tamattu’ –yiatu maksudku puasa tiga hari (bagi yang tidak mendapatkan dam-pen)- sebelum hari Nahr. Maka al-hadyu (dam tamattu’) lebih utama untuk boleh disembelih sebelum hari Nahr. Juga karena dam tamattu’ adalah dam jubroon (penambal kekurangan-pen) maka boleh disembelih setelah tiba waktu pengwajibannya (yaitu setelah umroh tamattu’-pen) dan sebelum hari Nahr sebagaimana dam fidyah (karena memakai) minyak wangi, pakaian berjahit, dan selainnya. Hal ini berbeda dengan udhiyah (kurban) karena telah ada nashnya yang menunjukkan akan waktunya yang telah ditentukan pada hari Nahr” (Al-Majmuu’ 7/184)