Hukum mengulang-ngulangi umroh dalam satu safar
Mengulang-ngulangi umroh ada dua kondisi :
Kondisi Pertama : Mengulangi-ngulangi umroh dalam safar yang berbeda-beda, setiap umroh dikerjakan dalam safar tersendiri. Maka menurut mayoritas ulama([1]) hal ini dianjurkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةَ
“Tunaikanlah haji dan umrah secara silih berganti, karena haji dan umrah itu bisa menghilangkan kefakiran dan juga bisa menghilangkan dosa-dosa sebagaimana alat tiup pandai besi untuk menghilangkan kotoran besi/karat besi, emas, dan perak” (Hadīts diriwayat oleh Tirmidzi dan An Nasāi, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 1200)
Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Sesungguhnya umrah yang satu hingga umrah yang berikutnya merupakan penebus dosa-dosa yang ada diantara kedua umrah tersebut, dan haji yang mabrūr tidak ada balasan baginya yang setimpal kecuali surga.” (Hadīts riwayat Imām Al Bukhāri nomor 1773 dan Imām muslim nomor 1349 dari hadīts Abū Hurairah Radhiyallāhu ‘anhu)
Sebagian ulama memandang makruh([2]), Ibrahim An-Nakho’i -seorang ulama tabi’in- berkata :
مَا كَانُوا يَعْتَمِرُونَ فِي السَّنَةِ إِلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً
“Tidaklah mereka (yaitu para salaf) umroh dalam setahun kecuali hanya sekali saja”([3]).
Namun pendapat yang lebih kuat bahwasanya dibolehkan untuk umroh setahun lebih dari dua kali, karena kumuman dalil-dalil dan hal ini diriwayatkan dari sebagian sahabat([4])
Kondisi Kedua : Dalam satu safar mengulangi umroh berulang-ulang. Maka ini pun ada 3 kondisi :
Pertama : Jika ia mengulangi umroh karena keluar dari kota Mekah dengan tujuan yang benar, karena ada keperluan misalnya, lantas jika dia ingin masuk kembali ke Mekah([5]) maka tidak mengapa ia umroh lagi. Karena para fuqoha’ sepakat menganjurkan jika seseorang masuk ke Mekah hendaknya dalam kondisi berihram([6]).
Kedua : Jika ia awal niatnya ingin melaksanakan haji tamattu’ (umroh dulu baru haji) lantas di tengah jalan ia menghadapi kondisi yang mengharuskannya untuk merubah haji tamattu’ nya menjadi haji qiron, maka setelah haji selesai ia boleh ke tanah halal untuk melakukan umroh lagi. Inilah yang dialami oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa, yang karena haid ketika haji maka beliau tidak bisa haji tamattu’, maka setelah haji selesai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya untuk umroh dari at-Tan’iim([7]).
Ketiga : Jika ia menyengaja keluar dari kota Mekah ke tanah halal (ke at-Tan’im, atau al-Ju’ronah, atau al-Hudaibiyah) dan tidak ada maksud lain kecuali hanya untuk mengulangi umroh maka ini diperselisihkan para ulama.
Pendapat Pertama : Tidak mengapa untuk mengulang-ngulangi umroh, ini adalah pendapat jumhur ulama([8]). Dalilnya adalah kisah Aisyah yang mengulangi umroh setelah haji dengan keluar ke at-Taním, dan hal ini dizinkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam. Demikian juga keumuman hadits-hadits yang menganjurkan untuk mengulang-ulangi umroh.
Pendapat Kedua : Tidak dianjurkan untuk mengulang-ngulangi umroh. Bahkan dianjurkan baginya untuk menetap dan beribadah di Mekah dengan memperbanyak sholat.
Dan inilah yang diriwayatkan dari para salaf, rata-rata mereka baru membolehkan umroh jika rambut sudah mulai memanjang dan bisa dicukur dengan alat cukur.
Sebagian anak Anas bin Malik radhiallahu ánhu berkata :
كُنَّا مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ بِمَكَّةَ فَكَانَ إِذَا حَمَّمَ رَأْسُهُ خَرَجَ فَاعْتَمَرَ
“Kami bersama Anas bin Malik di Mekah, maka jika kepala beliau sudah menghitam (yaitu karena setelah gundul tumbuh rambut)([9]) maka beliau keluar (menuju tanah halal) lalu beliau umroh” (Musnad Asy-Syafií hal 113, dan as-Sunan al-Kubro, al-Baihaqi no 8730)
Íkrimah berkata :
يَعْتَمِرُ إذَا أَمْكَنَ الْمُوسَى مِنْ شَعْرِهِ
“Ia umroh jika alat cukur bisa mencukur rambut kepalanya” (Al-Mughni 3/220)
Áthoo berkata :
إنْ شَاءَ اعْتَمَرَ فِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّتَيْنِ
“Jika dia mau maka ia umroh sebulan dua kali” (Al-Mughni 3/220)
Al-Imam Ahmad berkata :
إذَا اعْتَمَرَ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ، وَفِي عَشَرَةِ أَيَّامٍ يُمْكِنُ حَلْقُ الرَّأْسِ
“Jika ia umroh maka ia harus gundul atau cukur pendek, dan dalam 10 hari memungkinkan untuk menggundul kepalanya (kembali)” (Al-Mughni 3/220)
Dalam riwayat yang lain al-Imam Ahmad berkata :
إنْ شَاءَ اعْتَمَرَ فِي كُلِّ شَهْرٍ
“Jika dia mau maka ia umroh setiap bulan” (Al-Mughni 3/220)
Ibnu Taimiyyah berkata :
مِثْلَ أَنْ يَعْتَمِرَ مَنْ يَكُونُ مَنْزِلُهُ قَرِيبًا مِنْ الْحَرَمِ كُلَّ يَوْمٍ أَوْ كُلَّ يَوْمَيْنِ أَوْ يَعْتَمِرَ الْقَرِيبُ مِنْ الْمَوَاقِيتِ الَّتِي بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَكَّةَ يَوْمَانِ: فِي الشَّهْرِ خُمْسَ عُمَرٍ أَوْ سِتَّ عُمَرٍ وَنَحْوَ ذَلِكَ. أَوْ يَعْتَمِرَ مَنْ يَرَى الْعُمْرَةَ مِنْ مَكَّةَ كُلَّ يَوْمٍ عُمْرَةً أَوْ عُمْرَتَيْنِ فَهَذَا مَكْرُوهٌ بِاتِّفَاقِ سَلَفِ الْأُمَّةِ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ بَلْ اتَّفَقُوا عَلَى كَرَاهِيَتِهِ وَهُوَ وَإِنْ كَانَ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فَلَيْسَ مَعَهُمْ فِي ذَلِكَ حُجَّةٌ أَصْلًا إلَّا مُجَرَّدَ الْقِيَاسِ الْعَامِّ. وَهُوَ أَنَّ هَذَا تَكْثِيرٌ لِلْعِبَادَاتِ أَوْ التَّمَسُّكَ بالعمومات فِي فَضْلِ الْعُمْرَةِ وَنَحْوَ ذَلِكَ
“Seperti seseorang yang rumahnya dekat dengan Masjidil Haram lantas ia berumroh setiap hari, atau setiap dua hari, atau rumahnya dekat miqot, yaitu jarak dari rumahnya dengan Mekah hanya dua hari perjalanan, lantas ia berumroh 5 kali atau 6 kali dalam sebulan atau yang semisalnya. Atau seorang yang tinggal di Mekah melakukan umroh setiap hari sekali atau dua kali umroh, maka ini makruh dengan kesepakatan para salaf. Tidak seorangpun dari salaf yang melakukannya, bahkan mereka sepakat akan makruhnya. Meskipun ada sekelompok fuqoha dari ulama syafi’iyah dan ulama hanabilah yang berpendapat dianjurkan, maka mereka tidak memiliki hujjah sama sekali kecuali hanya sekedar qiyas yang umum, yaitu ini merupakan bentuk memperbanyak ibadah atau berpegang dengan keumuman tentan keutamaan umroh dan yang semisalnya” (Majmuu’ Al-Fataawa, Ibnu Taimiyah 26/270)
Ibnu Qudamah berkata :
وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ الِاعْتِمَارِ. وَأَقْوَالُ السَّلَفِ وَأَحْوَالُهُمْ تَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَصْحَابَهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ الْمُوَالَاةُ بَيْنَهُمَا، وَإِنَّمَا نُقِلَ عَنْهُمْ إنْكَارُ ذَلِكَ، وَالْحَقُّ فِي اتِّبَاعِهِمْ
“Sebagian ulama kami (dari madzhab hanabilah) mengatakan dianjurkan untuk memperbanyak umroh, sementara perkataan para salaf dan sikap mereka menunjukan atas apa yang kami katakana (yaitu tidak dianjurkan) dan karena Nabi shallallahu álaihi wasallam dan para sahabatnya tidaklah dinukilkan dari mereka bahwa mereka berturut-turut melakukan dua umroh (berdekatan), yang dinukilkan dari mereka justru mengingkari hal tersebut. Dan kebenaran adalah dengan mengikuti mereka” (Al-Mughni 3/220)
Lalu Ibnu Qudamah menukil perkataan Thowus rahimahullah, dimana beliau berkata :
الَّذِينَ يَعْتَمِرُونَ مِنْ التَّنْعِيمِ، مَا أَدْرِي يُؤْجَرُونَ عَلَيْهَا أَوْ يُعَذَّبُونَ؟ قِيلَ لَهُ: فَلِمَ يُعَذَّبُونَ؟ قَالَ: لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ، وَيَخْرُجُ إلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالٍ
“Orang-orang yang umroh dari at-Taním, aku tidak tahu apakah mereka mendapatkan pahala ataukah mereka diádzab?”. Dikatakan kepada beliau, “Kenapa mereka diadzab?”. Beliau berkata, “Karena ia meninggalkan thowaf di Ka’bah dan keluar (ke at-Taním) sejauh 4 mil” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/220)
Pendapat yang kuat :
Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua bahwasanya jika seseorang di Mekah maka tidak dianjurkan baginya untuk mengulang-ngulangi umroh kecuali jika rambutnya sudah menghitam kembali sekitar 10 hari atau 2 minggu atau setelah sebulan. Karena keberadaan seseorang di Masjidil Haram untuk memperbanyak sholat dan thowaf itu lebih baik daripada ia pergi ke at-Taním atau ke Ju’ronah dan al-Hudaibiyah untuk melakukan umroh.
Adapun pendalilan mereka yang membolehkan mengulang-ngulangi umroh dalam waktu yang dekat dengan kisah umrohnya Aisyah, maka :
- Aisyah memang belum umroh secara tersendiri, akan tetapi beliau hanya melakukan haji qiron
- Yang menemani beliau yaitu Abdurrahman bin Abi Bakar ke at-Taním hingga Aisyah selesai umroh, ternyata tidak ikutan umroh, padahal sekalian jalan. Ini menunjukan bahwa telah terpatri dalam hati para sahabat bahwasanya tidak dilakukan umroh berulang-ulang dalam waktu dekat
- Para sahabat yang berhaji bersama Nabi sekitar 80 ribu orang, tidak diriwayatkan dari seorangpun dari mereka yang mengulang-ngulang umroh selama mereka di Mekah hingga pulang dari haji. Padahal mereka lebih semangat beribadah daripada orang-orang setelah mereka.
Hal ini juga dikuatkan dengan kondisi Nabi yang tidak pernah mengulang-ngulangi umroh selama beliau di Mekah. Tatkala Nabi melakukan umroh al-Qodhoo’ pada tahun 7 Hijriyah, Nabi dan sekitar 2000 sahabat hanya diizinkan oleh orang-orang kafir Quraisy untuk menetap di Mekah selama 3 hari. Sementara ini adalah umroh pertama Nabi setelah 7 tahun berhijrah meninggalkan Mekah([10]), dan hanya memiliki kesempatan selama 3 hari, dan setelah itu entah kapan lagi dapat kesempatan untuk umroh. Namun meskipun demikian Nabi tidak mengulang-ngulang umroh mengambil kesempatan 3 hari.
Demikian juga tatkala Nabi menaklukan kota Mekah beliau menetap di Mekah selama 19 hari([11]) akan tetapi Nabi shallallahu álaihi dan para sahabat tidak seorangpun dari mereka diriwayatkan sengaja keluar dari Mekah menuju at-Taním untuk melakukan umroh.
FOOTNOTE:
([1]) Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 7/149), dan Hambali (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/220), semuanya berpendapat bahwa boleh mengulangi-ngulangi umroh meski dalam tahun yang sama. Dan ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Ábbas, Anas, Aiysah radhiallahu ánhum dan juga dari Áthoo, Thowus dan Íkrimah rahimahumullah dari kalangan tabiín. (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/220 dan Majmuu’ Al-Fataawa, Ibnu Taimiyah 26/268)
([2]) Ini adalah pendapat Al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, dan Imam Malik memandang makruh umroh dua kali dalam setahun (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/220)
([3]) Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf
([4]) lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/220 dan Majmuu’ Al-Fataawa, Ibnu Taimiyah 26/268
([5]) Misalnya para petugas haji yang terkadang harus riwa-riwi dari Mekah ke Madinah karena tugas pengaturan jamaáh haji.
([6]) Orang yang masuk ke kota Mekah karena ada keperluan seperti untuk berdagang, ziarah/kunjungan, menjenguk orang sakit dan semisalnya (selama tidak berulang-ulang) maka para ulama sepakat bahwa dianjurkan baginya untuk masuk Mekah dalam kondisi berihram. Hanya saja para ulama berselisih apakah wajib untuk berihram atau hanya sunnah dan tidak wajib. (Lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 7/16)
([7]) Aisyah radhiallahu ánhaa berkata :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَرْجِعُ النَّاسُ بِعُمْرَةٍ وَحَجَّةٍ، وَأَرْجِعُ أَنَا بِحَجَّةٍ، قَالَ: «وَمَا طُفْتِ لَيَالِيَ قَدِمْنَا مَكَّةَ؟» قُلْتُ: لاَ، قَالَ: «فَاذْهَبِي مَعَ أَخِيكِ إِلَى التَّنْعِيمِ، فَأَهِلِّي بِعُمْرَةٍ ثُمَّ مَوْعِدُكِ كَذَا وَكَذَا»
“Ya Rasulullah, orang-orang kembali dengan membawa haji dan umroh, sementara aku hanya kembali dengan haji?”. Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata, “Apakah engkau belum thowaf (umroh) tatkala kita pertama kali datang ke Mekah?”. Aku (Aisyah) berkata, “Tidak”. Nabi berkata, “Pergilah engkau bersama saudaramu (Abdurrahman bin Abi Bakar) ke at-Taním, lalu berihlal-lah engkau dengan umroh, setelah itu tempat pertemuan kita di tempat ini dan itu” (HR Al-Bukhari no 1561 dan Muslim no 1211)
([8]) Ibnu ‘Abdilbarr berkata :
وَالْجُمْهُورُ عَلَى جَوَازِ الِاسْتِكْثَارِ مِنْهَا فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ لِأَنَّهُ عَمَلُ بِرٍّ وَخَيْرٍ فَلَا يَجِبُ الِامْتِنَاعُ مِنْهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَلَا دَلِيلَ أَمْنَعَ مِنْهُ بَلِ الدَّلِيلُ يَدُلُّ عَلَيْهِ
“Dan mayoritas ulama memandang bolehnya memperbanyak umroh dalam sehari semala, karena hal itu merupakan amal kebajikan dan kebaikan, maka tidak wajib untuk menolak melakukannya kecuali dengan dalil, dan tidak ada dalil yang melarang, bahkan dalil menunjukan akan dianjurkannya” (al-Istidzkaar 4/113)
An-Nawawi berkata :
وَلاَ يُكْرَهُ عُمْرَتَان ِوَثَلاَثٌ وَأَكْثَرُ فِي السَّنَةِ الْوَاحِدَةِ وَلاَ فِي الْيَوْمِ الْوَاحِدِ بَلْ يُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُ مِنْهَا بِلاَ خِلاَفٌ عِنْدِنَا
“Dan tidak makruh melakukan dua umroh atau tiga umroh atau lebih dari itu dalam satu hari, bahkan dianjurkan untuk memperbanyak umroh tanpa ada khilaf diantara kami (ulama syafiíyah)”. (al-Majmuu’ 7/147-148)
Dan pendapat jumhur/mayoritas ulama inilah yang dipilih oleh Asy-Syaikh Bin Baaz rahimahullah (lihat Majmuu’ Fataawaa Ibn Baaz 17/432)
([9]) Dalam kamus-kamus bahasa Arab :
وحَمَّم رأْسُه إِذا اسْوَدَّ بَعْدَ الحَلْق
“حمم الرَّأْس jika kepalanya menghitam (penuh dengan rambut) setelah gundul” (lihat Tahdziib al-Lughoh, Al-Azhari 4/14, Ghoriibul Hadiits, Ibnu Qutaibah 2/397, Jamharot al-Lughoh, Ibnu Duraid Al-Azdi 1/102, Lisanul Árob, ibnu Manzhuur 12/158 dan al-Mu’jam al-Washiith 1/200)
([10]) Lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar 2/562
([11]) Lihat As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah, Akrom al-Úmari 2/464