Bolehkan bagi seorang yang keluar dari muzdalifah setelah lewat tengah malam langsung melempar jamrotul ‘aqobah? Ataukah harus menunggu sampai terbit matahari?
Jawab :
Sunnahnya adalah melempar jamrotul áqobah setelah terbit matahari, dan ini berlaku juga bagi orang-orang yang diizinkan dan diberi keringanan untuk keluar dari Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Ibnu Ábbas berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُقَدِّمُ ضُعَفَاءَ أَهْلِهِ بِغَلَسٍ، وَيَأْمُرُهُمْ يَعْنِي لَا يَرْمُونَ الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
“Rasulullah shallallahu álaihi wasallam mendahulukan keluarganya yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah tatkala masih remang-remang, dan beliau memerintahkan mereka agar tidak melempar jamrotul áqobah hingga terbit matahari” (HR Abu Daud no 1941 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Namun melempar jamrotul áqobah setelah terbit matahari adalah sunnah dan tidak wajib. Bagi siapa yang keluar dari Muzdalifah setelah tengah malam boleh langsung melempar jamrotul Áqobah begitu sampai di Mina.
Salim berkata :
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُقَدِّمُ ضَعَفَةَ أَهْلِهِ، فَيَقِفُونَ عِنْدَ المَشْعَرِ الحَرَامِ بِالْمُزْدَلِفَةِ بِلَيْلٍ فَيَذْكُرُونَ اللَّهَ مَا بَدَا لَهُمْ، ثُمَّ يَرْجِعُونَ قَبْلَ أَنْ يَقِفَ الإِمَامُ وَقَبْلَ أَنْ يَدْفَعَ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَقْدَمُ مِنًى لِصَلاَةِ الفَجْرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقْدَمُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَإِذَا قَدِمُوا رَمَوْا الجَمْرَةَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: «أَرْخَصَ فِي أُولَئِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Ibnu Umar mendahulukan orang-orang yang lemah dari keluarganya (baik wanita maupun yang lainnya), maka merekapun mabit di al-Masyár al-Harom di Muzdalifah di malam hari, lalu mereka berdzikir kepada Allah hingga yang dimudahkan bagi mereka. Lalu mereka kembali (ke Mina) sebelum Imam (penguasa) pergi bertolak ke Mina. Diantara mereka ada yang tiba di Mina ketika waktu sholat subuh. Dan diantara mereka ada yang tibi di Mina setelah itu. Jika mereka tiba di Mina mereka melempar jamrotul Áqobah. Dan Ibnu Umar radhiallahu ánhumaa berkata, “Rasulullah shallallahu álaihi wasallam memberi keringanan kepada mereka” (HR Al-Bukhari no 1676 dan Muslim no 1295)
Hadits ini jelas menunjukan bolehnya melempar jamrotul Áqobah meskipun sebelum terbit matahari, dan juga menunjukan bahwa begitu tiba di Mina bisa langsung melempar jamrotul Áqobah([1]).
Mukhbir berkata dari Asmaa’ :
أَنَّهَا رَمَتِ الْجَمْرَةَ، قُلْتُ: إِنَّا رَمَيْنَا الْجَمْرَةَ بِلَيْلٍ، قَالَتْ: «إِنَّا كُنَّا نَصْنَعُ هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Bahwasanya Asmaa’ melempar jamrotul Áqobah. Aku (Mukhbir) berkata, “Aapakah kita melempar jamrotul Áqobah di malam hari?”. Asmaa’ berkata, “Kami dahulu melakukannya di masa Nabi shallallahu álaihi wasallam” (HR Abu Daud no 1943 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini juga sangat jelas menunjukan bahwa bolehnya melempar jamrotul Áqobah di malam hari sebelum terbit fajar.
([1]) Para ulama berselisih tentang kapan awal boleh melempar jamrotul Áqobah menjadi 3 pendapat :
Pertama : Awal waktu melempar adalah terbitnya matahari. Ini adalah pendapat Mujahid, An-Nakhoí, At-Tsauri, Abu Tsaur, dan Ishaaq
Kedua : Awal waktu melempar adalah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Menurut mereka barang siapa yang melempar jamrotul Áqobah sebelum terbit fajar maka harus mengulang lemparan.
Ketiga : Awal waktu melempar adalah jika telah lewat tengah malam. Dan ini adalah pendapat Áthoo, Thowuus, dan Asy-Sya’bi. Dan inilah pendapat yang dipilih al-Imam Asy-Syafií rahimahullah
(lihat Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthool 4/358-359)
Dan pendapat yang ketiga -yaitu pendapat Syafi’i- yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada.