Bagaimanakah cara mewakilkan lempar jamaroot?
Jawab :
Ada beberapa perkara yang harus diperhatikan :
Pertama : Wajib bagi seorang haji untuk melakukan kegiatan-kegiatan haji sendiri tanpa mewakilkan. Namun jika memang ada udzur syarí sehingga tidak bisa melakukan sendiri maka boleh ia mewakilkan kepada orang lain.
An-Nawawi berkata
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ رَحِمَهُمُ اللهُ : الْعَاجِزُ عَنِ الرَّمْيِ بِنَفْسِهِ لِمَرَضٍ أَوْ حَبْسٍ وَنَحْوِهِمَا يَسْتَنِيْبُ مَنْ يَرْمِي عَنْهُ … وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَرَضُ مَرْجُو الزَّوَالِ أَوْ غَيْرَهُ … وَسَوَاءً اسْتَنَابَ بِأُجْرَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا وَسَوَاءً اسْتَنَابَ رَجُلاً أَوْ امْرَأَةً
“Asy-Syafií dan para ulama madzhab syafií berkata : Orang yang tidak mampu untuk melempar sendiri karena sakit atau tertahan dan yang semisalnya maka ia mewakilkan orang lain yang melemparkan untuknya…sama saja apakah penyakitnya masih diharapkan sembuh atau tidak…dan sama saja apakah ia mewakilkan dengan upah atau tanpa upah, dan sama saja apakah ia mewakilkan kepada lelaki ataupun wanita”([1])
Sebagaimana haji boleh mewakilkan kepada orang lain maka demikian juga bagian-bagian dari haji tersebut seperti melempar jamarot. Terlebih lagi melempar jamaroot waktunya terbatas, berbeda dengan thowaf dan saí yang tidak terbatas waktunya, sehingga tidak bisa diwakilkan([2]).
Contoh orang-orang yang berudzur, misalnya seorang yang sakit, atau seorang wanita yang sedang hamil, atau anak kecil yang belum bisa melempar sendiri, atau orang yang sangat tua sehingga tidak kuat jalan, dan yang semisalnya.
Adapun orang yang tidak memiliki udzur([3]) maka ia tidak boleh mewakilkan pelemparan kepada orang lain. Jika ia melakukannya maka lemparan tersebut tidak sah, maka ia harus membayar fidyah.
Kedua : Disyaratkan bagi orang yang diwakilkan sudah harus melempar terlebih dahulu baru melemparkan yang mewakilkan[4].
Karenanya cara melemparnya agar sekalian jalan dan lebih mudah adalah sebagai berikut :
Orang yang diwakilkan melemparkan untuk dirinya sendiri al-Jumroh as-Shugro 7 lemparan lalu ia melemparkan untuk orang yang mewakilkan kepadanya 7 lemparan. Lalu setelah itu ia melempar al-Jumroh al-Wushto 7 lemparan untuk dirinya, lalu ia melemparkan untuk orang yang mewakilkan kepadanya 7 lemparan. Lalu ia melempar al-Jumroh al-Kubro (jumrotul áqobah) 7 lemparan, setelah itu ia melemparkan untuk yang mewakilkan kepadanya 7 lemparan([5]).
Ketiga : Jika seseorang telah mewakilkan orang lain untuk melempar jamarot maka ia tidak boleh langsung meninggalkan Mekah dengan melakukan thowaf wada’, kecuali jika seluruh kewaiban melontarnya telah selesai. Karena tidaklah thowaf dikerjakan kecuali setelah seluruh ritual haji telah selesai dikerjakan.
Karenanya jika seseorang telah mewakilkan lemparan (dengan niat mengambil nafar awal) lalu pada tanggal 11 dzulhijjah ia lalu thowaf wada dan meninggalkan kota Mekah, maka thowaf tersebut tidak sah, karena dia masih punya tanggungan untuk melontar (melalui wakilnya) pada tanggal 12 dzulhijjah. Maka ketika itu ia harus bayar dam.
=================
([1]) Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab 8/243-244.
([2]) Lihat Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi 8/243 dan al-Haawi al-Kabiir, al-Maawardi 4/204.
Telah datang hadits tentang mewakilkan pelemparan, dari Jabir bin Abdillah beliau berkata :
حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ، فَلَبَّيْنَا عَنِ الصِّبْيَانِ، وَرَمَيْنَا عَنْهُمْ
“Kami berhaji bersama Rasulullah shallallahu álaihi wasallam, bersama kami ada para wanita dan anak-anak. Maka kamipun bertalbiah atas nama anak-anak, dan kami melemparkan (jamarot) untuk anak-anak” (HR Ahmad no 14370, akan tetapi sanadnya lemah, karena pada sanadnya ada perawi Asyáts bin Sawwaar, dan mayoritas ulama menilainya lemah)
([3]) Untuk perkara melempar jamarot Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak mudah memberi udzur. Karenanya Nabi mengizinkan para wanita dan orang-orang lemah untuk keluar dari muzdalifah lebih cepat agar mereka bisa langsung melempar jamarot dan menghindari keramaian. Yaitu Nabi tidak memberi keringanan bagi mereka untuk mewakilkan pelemparan. Demikian juga Nabi shallallahu álaihi wasallam memberi keringanan kepada para penggembala untuk tidak mabit di Mina akan tetapi Nabi tetap memerintahkan mereka untuk melempar jamarot di malam hari, bahkan Nabi membolehkan mereka untuk melempar meskipun dengan cara di jamak. Ini menunjukan bahwa tidak boleh bermudah-mudahan dalam mewakilkan pelemparan kepada orang lain kecuali jika benar-benar berudzur. Adapun hanya sekedar karena keramaian dan kepadatan jamaáh haji maka ini bukanlah udzur untuk mewakilkan pelemparan. (lihat Majmuu Fataawa wa Rosaail al-Utsaimin 23/107-108)
Pertama : Tidak boleh baginya untuk menggantikan melaksanakan ibadah orang lain sementara ia sendiri belum melaksanakan ibadah tersebut.
Kedua : Jika ia melemparkan orang lain terlebih dahulu maka jatuhnya adalah untuk dirinya sendiri, sebagaimana jika seorang belum berhaji lantas ia menghajikan orang lain maka jatuhnya adalah untuk diri sendiri
([5]) Dan tidak disyaratkan ia melempar ketiga jamaroot terlebih dahulu untuk dirinya lalu balik lagi dari awal (al-Jamroh as-Shughro) untuk melemparkan yang mewakilkan. Karena tidak ada dalil yang mengharuskan demikian dan hal ini tentu mendatangkan kesulitan yang luar biasa, terlebih zaman sekarang yang padat dan jalur untuk melempar jauh dan diputar-putar untuk menghindari kemacetan. (lihat Majmuu Fataawaa Ibn Baaz 16/86 dan Majmuu Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimiin 24/309)