Jika seseorang letih setelah thowaf apakah boleh baginya untuk menunda saínya hingga esok hari?
Jawab :
Disunnahkan al-muwaalaat antara sái dan thowaf, yaitu berkesinambungan dan besambung antara saí dan thowaf, yaitu saí dilakukan langsung setelah thowaf, akan tetapi hal ini tidaklah wajib, karena saí merupakan ibadah yang independent (berdiri sendiri). Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafi([1]), madzhab Syafií([2]), dan madzab Hanbali ([3]).
Karenanya jika seseorang sedang umroh, lalu ia melakukan thowaf, setelah itu ia letih dan istirahat dan baru melanjutkan saí keesokan harinya maka tidaklah mengapa. Tentunya ia masih dalam kondisi berihram, karenanya ia tetap harus meninggalkan larangan-larangan ihram.
أَنَّ السَّعْيَ لَا يَجِبُ بَعْدَ الطَّوَافِ فَوْرًا بَلْ لَوْ أَتَى بِهِ بَعْدَ زَمَانٍ وَلَوْ طَوِيلًا لَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَالسُّنَّةُ الِاتِّصَالُ بِهِ
“Sesungguhnya saí tidak wajib langsung dikerjakan setelah thowaf, akan tetapi bahkan jika ia mengerjakan saí setelah waktu yang meskipun lama maka tidaklah mengapa. Dan sunnahnya adalah setelah thowaf langsung saí”(Al-Bahr ar-Raaiq 2/357)
الْمُوَالاَةُ بَيْنَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ فَسُنَّةٌ فَلَوْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا تَفْرِيْقًا قَلِيْلاً أَوْ كَثِيْرًا جَازَ وَصَحَّ سَعْيُهُ
“Bersambung antara thowaf dan saí adalah sunnah (tidak wajib), maka jika ia memisahkan antara keduanya dengan pemisahan yang sebentar atau lama maka boleh, dan sah saí-nya” (Al-Majmuu’ 8/73)
وَلَا تَجِبُ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ. قَالَ أَحْمَدُ: لَا بَأْسَ أَنْ يُؤَخِّرَ السَّعْيَ حَتَّى يَسْتَرِيحَ أَوْ إلَى الْعَشِيِّ. وَكَانَ عَطَاءٌ، وَالْحَسَنُ لَا يَرَيَانِ بَأْسًا لِمَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ أَوَّلَ النَّهَارِ، أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ إلَى الْعَشِيِّ. وَفَعَلَهُ الْقَاسِمُ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ؛ لِأَنَّ الْمُوَالَاةَ إذَا لَمْ تَجِبْ فِي نَفْسِ السَّعْيِ، فَفِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَافِ أَوْلَى
“Tidak wajib sambung antara thowaf dengan saí. Imam Ahmad berkata, “Tidak mengapa seseorang mengakhirkan saí hingga beristirahat, atau hingga sore hari”. Áthoo dan al-Hasan memandang tidak mengapa bagi orang yang thowaf di ka’bah pagi hari untuk menunda saí antara Shofa dan Marwa hingga sore hari. Dan hal ini juga dilakukan oleh al-Qosim dan Saíd bin Jubair. Karena al-muwaalat (sambung satu putaran dengan putaran yang lainnya) jika tidak wajib pada saí-nya sendiri maka antara saí dan thowaf lebih utama untuk tidak wajib” (al-Mughni 3/352)