Bolehkan thowaf dengan di atas kursi roda atau dengan naik sekuter padahal mampu untuk berjalan?
Jawab :
Jika ada udzur (seperti sakit, tua, atau sangat letih) maka ia boleh thowaf dan saí dengan berkendaraan, naik kursi roda, naik skuter, atau dipikul. Adapun jika tidak ada udzur maka lebih baik ia thowaf dan sai dengan berjalan kaki. Adapun jika ia thowaf dan saí dengan berkendaraan atau naik kursi roda maka diperbolehkan hanya saja menyelisihi yang lebih utama
Perinciannya sebagai berikut :
Kondisi seseorang ada dua :
Pertama : Jika seorang ada keperluan (ada udzur) untuk thowaf dan saí sambil naik kendaraan, maka boleh baginya untuk thowaf dan saí naik kendaraan, atau naik tunggangan, atau didorong dengan kursi roda, atau naik skuter, atau dipikul dan semisalnya. Ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama([1]). Udzur tersebut seperti sakit, untuk mengajari orang-orang agar mencontohinya, dan kelelahan yang amat sangat
Ummu Salamah berkata :
شَكَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَشْتَكِي قَالَ: «طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ» فَطُفْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جَنْبِ البَيْتِ يَقْرَأُ بِالطُّورِ وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ
“Aku mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya aku sakit, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Thowaflah engkau di belakang jama’ah, dan engkau sambil naik (ontamu)“. Maka akupun thowaf, sementara Rasulullah tatkala itu sedang sholat di sisi ka’bah, dan beliau membaca “Watthuur wa kitaaabim masthuur….” (Surat At-Thuur)” (HR Al-Bukhari no 1619)
Demikian juga kalau ada hajah (keperluan) untuk thowaf di atas tunggangan meskipun dalam kondisi sehat dan tidak sakit, maka tidak mengapa. Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah thowaf naik kendaraan karena ada keperluan agar dilihat oleh para sahabat sehingga mereka bisa meneladani beliau dan bisa bertanya kepada beliau.
Jabir bin Abdillah berkata :
«طَافَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ يَسْتَلِمُ الْحَجَرَ بِمِحْجَنِهِ، لِأَنْ يَرَاهُ النَّاسُ وَلِيُشْرِفَ وَلِيَسْأَلُوهُ، فَإِنَّ النَّاسَ غَشُوهُ»
“Rasulullah shallallahu álaihi wasallam thowaf di ka’bah tatkala haji Wada’ di atas ontanya, beliau mengusap hajar aswad dengan tongkatnya, yaitu agar orang-orang bisa melihat beliau, agar beliau bisa mengawasi (kegiatan haji para sahabat untuk membimbing mereka-pen), agar mereka bisa bertanya kepada belia, karena orang-orang sudah ramai mengerumuni beliau”.
Dalam riwayat yang lain beliau berkata
«طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِالْبَيْتِ، وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، لِيَرَاهُ النَّاسُ، وَلِيُشْرِفَ وَلِيَسْأَلُوهُ، فَإِنَّ النَّاسَ غَشُوهُ»
“Nabi shallallahu álaihi wasallam thowaf di ka’bah tatkala haji wada’ dengan naik onta, demikian juga beliau saí antara shofa dan marwa juga dengan naik onta, agar orang-orang bisa melihat beliau, agar beliau bisa mengawasi mereka, dan agar mereka bisa bertanya kepada beliau. Sesungguhnya orang-orang sudah ramai mengerumuni beliau” (HR Muslim no 1273)
Kedua : Jika seseorang mampu untuk berjalan dan tidak ada udzur, maka :
Para ulama telah sepakat bahwa thowaf dan saí dengan berjalan itu lebih afdhol([2]). Mereka juga telah sepakat bahwa thowaf dan saí dengan berkendaraan/naik tunggangan/dipikul tanpa udzur maka dibenci (makruh)([3]).
Hanya saja mereka berselisih apakah sah thowaf dan saínya ataukah tidak?
Mayoritas ulama memandang bahwa tidak boleh bagi seseorang yang thowaf dan saí dengan naik kendaraan jika tidak ada udzur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Kemudian mereka berselisih apakah thowafnya tidak sah (dan ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad([4])) ataukah sah namun harus membayar dam (dan ini merupakan pendapat Hanafiyah([5]) dan Malikiyah([6]) , dan riwayat yang kedua dari Imam Ahmad([7]))
Adapun Imam Syafií([8]) dan riwayat ketiga dari Imam Ahmad maka mereka membolehkan thowaf berkendaraan meskipun tanpa udzur([9]).
Pendapat ini (boleh thowaf dengan berkendaraan tanpa udzur) yang lebih kuat menurut penulis. Hal ini karena Allah memerintahkan untuk thowaf secara mutlaq dan tidak mengharuskan dengan berjalan. Maka kapan saja terjadi thowaf (berputar mengelilingi ka’bah) maka telah sah, dan tidak boleh kita menyatakan tidak sah kecuali dengan dalil yang tegas([10]).
Demikian pula Nabi shallallahu álaihi wasallam thowaf dengan naik onta hanya karena ingin dilihat oleh para sahabat yang lain, agar mereka bisa bertanya kepada beliau atau untuk mengawasi amal ibadah mereka. Jika kita perhatikan maka udzur ini bukanlah udzur yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk thowaf berjalan atau tidak, akan tetapi ini adalah udzur yang berkaitan dengan orang lain, yaitu demi kemaslahatan para sahabat.
Karenanya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat madzhab Syafií yang juga merupakan riwayat ke tiga dari Imam Ahmad. Meskipun ini adalah pendapat yang lebih kuat namun tentu lebih hati-hati adalah seseorang tidak thowaf berkendaraan kecuali karena udzur, agar ia keluar dari perselisihan ulama, dan juga karena para ulama telah sepakat bahwa thowaf dengan berjalan kaki lebih afdol.
([1]) Ibnu Taimiyyah berkata :
يَجُوزُ الطَّوَافُ رَاكِبًا وَمَحْمُولًا لِلْعُذْرِ بِالنَّصِّ وَاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَبِدُونِ ذَلِكَ فَفِيهِ نِزَاعٌ
“Boleh thowaf naik kendaraan atau dipikul karena ada udzur, hal ini berdasarkan nas (dalil) dan kesepakatan para ulama. Adapun jika tanpa udzur maka ada perselisihan” (Majmuu’ al-Fataawaa 26/188)
وَلَا خِلَافَ فِي أَنَّ الطَّوَافَ رَاجِلًا أَفْضَلُ؛ لِأَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَافُوا مَشْيًا، وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي غَيْرِ حَجَّةِ الْوَدَاعِ طَافَ مَشْيًا
“Tidak ada khilaf bahwasanya thowaf dengan berjalan kaki lebih afdol, karena para sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam mereka thowaf dengan berjalan kaki. Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam di selain haji wada’ juga thowaf dengan berjalan kaki” (al-Mughni 3/358)
Dan demikian juga tatkal di haji wada’ pada awalnya Nabi shallallahu álaihi wasallam thowaf dengan berjalan kaki, tatkala orang-orang banyak mengerumuni beliau barulah beliau thowaf dengan berkendaraan.
Abu At-Thufail berkata kepada Ibnu Ábbas :
أَخْبِرْنِي عَنِ الطَّوَافِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ رَاكِبًا، أَسُنَّةٌ هُوَ؟ فَإِنَّ قَوْمَكَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ سُنَّةٌ، قَالَ: صَدَقُوا وَكَذَبُوا، قَالَ قُلْتُ: وَمَا قَوْلُكَ: صَدَقُوا وَكَذَبُوا؟ قَالَ: ” إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَثُرَ عَلَيْهِ النَّاسُ، يَقُولُونَ: هَذَا مُحَمَّدٌ هَذَا مُحَمَّدٌ، حَتَّى خَرَجَ الْعَوَاتِقُ مِنَ الْبُيُوتِ قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُضْرَبُ النَّاسُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا كَثُرَ عَلَيْهِ رَكِبَ وَالْمَشْيُ وَالسَّعْيُ أَفْضَلُ ”
“Kabarkanlah kepadaku tentang saí antara shofa dan marwah dengan naik kendaraan/tunggangan, apakah itu merupakan sunnah?, karena sesungguhnya kaum-mu menyangka bahwa itu adalah sunnah”. Ibnu Ábbas berkata, “Mereka benar dan mereka dusta”. Aku berkata, “Apa maksudnya mereka benar dan mereka dusta?”. Ibnu Ábbas berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam orang-orang ramai mendekati beliau, mereka berkata, “Ini Muhammad, ini Muhammad”, hingga wanita-wanita pingitan keluar dari rumah-rumah mereka. Dan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tidak boleh ada orang-orang dipukuli dihadapan beliau (untuk menghalangi mereka dari beliau), tatkala orang-orang semakin ramai mengerumuni beliau maka beliapun naik kendaraan. Dan berjalan dan saí (tanpa kendaraan) lebih afdol” (HR Muslim no 1264)
([3]) Ibnu Ábdilbarr berkata :
وَكُلُّهُمْ يَكْرَهُ الطَّوَافَ رَاكِبًا لِلصَّحِيحِ الَّذِي لَا عُذْرَ لَهُ وَفِي ذَلِكَ مَا يُبَيِّنُ أَنَّ طَوَافِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاكِبًا فِي حَجَّتِهِ إِنْ صَحَّ ذَلِكَ عَنْهُ كَانَ لِعُذْرٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Dan para ulama seluruhnya membenci thowaf dengan berkendaraan bagi orang yang sehat yang tidak ada udzur baginya. Dan ini menjelaskan bahwa thowafnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam naik kendaraan ketika haji -jika shahih haditsnya- maka itu karena ada udzur, wallahu álam” (At-Tamhiid 13/100)
Beliau juga berkata :
وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى كراهة الطوارف رَاكِبًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ أَنِّي لَا أَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَحِبُّونَ لِأَحَدٍ أَنْ يَطُوفَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَلَى رَاحِلَةٍ رَاكِبًا وَلَوْ كَانَ طَوَافُهُ رَاكِبًا لِغَيْرِ عُذْرٍ لَكَانَ ذَلِكَ مُسْتَحَبًّا عِنْدَهُمْ
“Diantara yang menunjukan akan dibencinya thowaf dengan berkendaran tanpa udzur, yaitu aku tidak mengetahui ada khilaf di kalangan para ulama kaum muslimin bahwasanya mereka tidak menganjurkan kepada seorangpun untuk saí antara shofa dan marwah di atas kendaran. Jika thowafnya Nabi shallallahu álaihi wasallam naik kendaraan tanpa udzur tentu hal ini merupakan perkara yang dianjurkan di sisi para ulama” (At-Tamhiid 2/95)
فَأَمَّا الطَّوَافُ رَاكِبًا أَوْ مَحْمُولًا لِغَيْرِ عُذْرٍ، فَمَفْهُومُ كَلَامِ الْخِرَقِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ. وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْ أَحْمَدَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «قَالَ: الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ» . وَلِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْبَيْتِ، فَلَمْ يَجُزْ فِعْلُهَا رَاكِبًا لِغَيْرِ عُذْرٍ، كَالصَّلَاةِ، وَالثَّانِيَةُ، يُجْزِئُهُ، وَيَجْبُرُهُ بِدَمٍ. وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ. وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ
“Adapun thowaf berkendaraan atau dipikul tanpa udzur maka yang dipahami dari perkataan al-Khiroqi adalah tidak sah. Dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Karena Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda, “Thowaf di ka’bah adalah sholat”, dan karena thowaf adalah ibadah yang berkaitan dengan ka’bah maka tidak boleh dikerjakan dengan berkendaraan tanpa udzur, sebagaimana sholat.
Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad adalah thowafnya sah akan tetapi harus bayar dam. Dan ini adalah Imam Malik, dan juga Abu Hanifah” (al-Mughni 3/358)
وَإِنْ طَافَ رَاكِبًا أَوْ مَحْمُولًا فَإِنْ كَانَ لِعُذْرٍ مِنْ مَرَضٍ أَوْ كِبَرٍ لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ أَعَادَهُ مَا دَامَ بِمَكَّةَ فَإِنْ رَجَعَ إلَى أَهْلِهِ فَعَلَيْهِ الدَّمُ عِنْدَنَا
“Dan jika ia thowaf berkendaraan atau dipikul maka jika karena udzur seperti sakit atau tua, maka ia tidak terkena apapun. Dan jika ia thowaf berkendaraan tanpa udzur maka hendaknya ia mengulangi thowafnya selama ia masih di Mekah, dan jika ia telah kembali ke negerinya maka menurut kami wajib baginya untuk bayar dam”(Al-Mabsuuth 4/45-46)
وَأَمَّا الْقَادِرُ إذَا طَافَ، أَوْ سَعَى مَحْمُولًا أَوْ رَاكِبًا فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ بِإِعَادَتِهِ مَاشِيًا مَا دَامَ بِمَكَّةَ وَلَا يُجْبَرُ بِالدَّمِ …وَإِنْ رَجَعَ لِبَلَدِهِ فَلَا يُؤْمَرُ بِالْعَوْدِ لِإِعَادَتِهِ وَيَلْزَمُهُ دَمٌ فَإِنْ رَجَعَ وَأَعَادَهُ مَاشِيًا سَقَطَ الدَّمُ عَنْهُ
“Adapun orang yuang mampu jika ia thowaf atau saí dengan dipikul atau berkendaran maka ia diperintahkan untuk mengulanginya lagi dengan berjalan selama ia masih di Mekah dan tidak perlu membayar dam… dan jika ia telah kembali ke negerinya maka ia tidak diperintahkan untuk mengulangi thowafnya hanya saja ia harus bayar dam. Jika ia kembali ke Mekah dan mengulangi thowafnya dengan jalan kaki maka tidak perlu bayar dam” (Hasyiat Ad-Dusuqy ála Asy-Syarh al-Kabiir 2/40)
([7]) Sebagaimana telah lalu penukilannya (lihat al-Mughni 3/358)
فَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَطُوفَ الرَّجُلُ بِالْبَيْتِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ مَاشِيًا إلَّا مِنْ عِلَّةٍ، وَإِنْ طَافَ رَاكِبًا مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَلَا فِدْيَةَ
“Maka yang lebih aku sukai adalah seseorang thowaf di ka’bah dan saí antara shofa dan marwah dengan berjalan kaki, kecuali karena sakti. Dan jika ia thowaf berkendaraan tanpa ada sakit maka ia tidak perlu mengulangi thowafnya dan tidak perlu bayar fidyah” (Al-Umm 2/190)
وَالثَّالِثَةُ، يُجْزِئُهُ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ… وَهِيَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ
“Riwayat ke tiga dari Imam Ahmad bahwasanya thowaf berkendaraan tanpa udzur adalah sah dan tidak perlu membayar dam… dan ini adalah madzhab Imam Syafií…” (Al-Mughni 3/358)
([10]) Lihat pendalilan Ibnul Mundzir sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah di al-Mughni 3/358